Rabu, 22 April 2009

Kesehatan Jombang Jamkesmas Belum Merata, Bupati Jombang Dapat Penghargaan

(Jombang-ICDHRE) Kesehatan adalah gaya hidup. Kalimat tersebut nampak jelas terpampang pada website Dinas Kesehatan Jombang. Menunjukkan bahwa kalimat itu menjadi landasan dasar dalam menciptakan tatanan masyarakat dengan kesehatan sebagai mindset utama.


Pada akhir Desember 2008 lalu, penghargaan diterima oleh Bupati Jombang, Suyanto, sebagai salah satu dari 10 kepala daerah terbaik dari 300 kepala daerah se-Indonesia versi sebuah majalah ternama.
Bupati Jombang diindikasikan mampu dan berhasil mengembangkan pusat kesehatan masyarakat setara dengan rumah sakit kecil yang tersedia berbagai fasilitas medis termaksud dokter spesialis. Dikarenakan adanya kerjasama, ketelatenan, kesabaran, dan mau melihat dari dekat apa yang saat ini menjadi keluhan masyarakat pedesaan khususnya yang kurang mampu sehingga pelayanan kesehatan benar-benar didapat secara langsung dan tepat sasaran, tulis majalah tersebut. Tapi benarkah kesehatan di Jombang telah benar-benar tertangani secara serius?
September 2008, kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) dibagikan kepada sebagian masyarakat yang masuk dalam kategori miskin. Kasi Promkes dan Jaminan Kesehatan Bidang Pemberdayaan dan Sumberdaya Kesehatan Jombang, Gatot Sunarto, menegaskan bahwa saat ini jumlah penerima kartu Jamkesmas sebanyak 255.130 Jiwa. Data tersebut langsung diterima dari Pusat. Namun, meskipun masih ada sekitar 50.000 warga miskin Jombang yang belum mendapat kartu Jamkesmas, kakek 3 cucu ini menilai Jamkesmas di Jombang sudah merata karena sesuai dengan prosedur.
Untuk mengakomodir warga miskin yang tidak mendapat fasilitas kesehatan melalui kartu Jamkesmas, Pemkab Jombang mengalokasikan dana Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) sebesar 3,7 M. Anggaran 2 M untuk RSD Jombang, dan 1,7 M untuk Dinas Kesehatan. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi 50.090 warga miskin Jombang.
Berbeda dengan kenyataan di lapangan, Tatik warga Desa Kapas yang mendapatkan kartu Jamkesmas menuturkan bahwa dirinya pernah berobat ke Rumah Sakit Umum Jombang, namun karena stok obat generik habis maka dia diminta seorang petugas rumah sakit untuk membeli di tempatnya. "Karna stok obat habis, seorang petugas rumah sakit meminta saya membeli obat di tempatnya," ujar perempuan yang bekerja sebagai pembantu ini.
Sunarto, salah seorang yang pernah datang ke tempat Ponari, si dukun cilik ini mengungkapkan kekecewaannya. "Saya ini warga miskin, tapi kok tidak dapat kartu jamkesmas itu, lha wong di koran ditulis warga miskin di Jombang dapat kartu jamkesmas tapi saya kok tidak? Buat makan sendiri saja susah, ya uwes saya ke Ponari saja, toh penyakit lumpuh tangan yang saya derita ini nyatanya bisa sembuh setelah minum air itu," ungkap pria lajang 51 tahun itu.
Dinas Kesehatan yang diwakili oleh Kasi Promkes, Gatot Sunarto, ketika dikonfirmasi terkait pelayanan terhadap penerima kartu Jamkesmas menegaskan, "monggo dilaporkan kepada saya, siapa saja yang dirasa tidak sesuai prosedur dalam melayani pemilik kartu Jamkesmas dan nanti akan saya sampaikan ke Dinkes, saya juga siap menghadapi masyarakat yang kurang memahami bagaimana prosedur pengobatan bagi pemilik kartu Jamkesmas," tegas pria yang sejak tahun 1976 mengabdikan dirinya di bidang promkes ini.
Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Kalau substansi dari undang-undang itu saja tidak terimplementasikan secara baik bagaimana mungkin terwujud derajat kesehatan secara optimal?
Tanggapan Keluarga Ponari terhadap Pelayanan Kesehatan di Jombang
Memasuki awal tahun 2009, Jombang dihebohkan dengan munculnya bocah cilik yang tiba-tiba dianggap menjadi dewa penyelamat. Dialah Ponari, bocah yang duduk di kelas 3 sekolah dasar ini menemukan batu ajaib yang kemudian diyakini banyak warga masyarakat sebagai batu bertuah yang mampu menyembuhkan warga khususnya yang sulit ekonominya.
Seiring perjalanannya, Pemerintah Kabupaten, Jajaran Muspida dan tokoh agama melarang keras terhadap hadirnya praktek pengobatan alternatif ini dengan alasan menyesatkan, irasional dan terlebih memusyrikkan sebagian besar masyarakat.
Meski telah berkali-kali menutup praktek pengobatan tersebut, toh tidak menyurutkan keinginan masyarakat yang ingin berobat ke dukun cilik tersebut. Sampai akhirnya praktek Ponari dibuka lagi, dan masih banyak ribuan warga yang mengantri secara tertib guna mendapat giliran celupan pada air yang dibawa masing-masing orang.
Paeno, pria yang dianggap keluarga Ponari sebagai ayah angkat bocah 9 tahun tersebut angkat bicara tentang implementasi pelayanan kesehatan di Jombang. Dia mengungkapkan bahwa sebenarnya pemerintah harus menjadikan contoh kasus datangnya ribuan warga ke tempat anak angkatnya untuk berobat itu sebagai sebuah pelajaran, cerminan bahwa sesungguhnya pelayanan di rumah sakit seringkali membuat kecewa para pasien yang datang. Entah itu model pelayanannya yang kurang ramah atau biaya yang terlalu besar yang harus dikeluarkan untuk sekali pengobatan.
Ketika media SOERAT mencoba menanyakan suatu hal terhadap Ponari berkenaan dengan kesehatan, bocah yang terlihat periang itu hanya diam dan lebih asyik memainkan gamenya. "Wajar mbak, dia (Ponari) tidak mau bicara kalau sedang asyik main game," jawab ayat angkat Ponari
Pria yang berpostur agak tinggi tersebut menambahkan, "tentang kesehatan, sebenarnya banyak juga mbak yang menyebabkan kesehatan di kota ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Misalkan tentang solialisasi penerima kartu Jamkesmas, menurut saya banyak warga masyarakat yang mungkin tidak tahu dengan jumlah jiwa yang ditetapkan oleh pemerintah. Siapa saja yang mendapat kartu layanan jamkesmas maka dari itu banyak anggapan bahwa penerima kartu Jamkesmas salah sasaran. Kalau sudah begini, ya tidak boleh menyalahkan masyarakat yang tidak tahu menahu soal ini. Mestinya sosialiasinya juga diperbaiki," tambahnya panjang.
Disinggung tentang ribuan warga yang datang bahkan dari luar daerah sekalipun, Paeno menegaskan sekali lagi, "kita tidak pernah mengundang orang-orang sakit datang berobat kemari, justru mereka datang dengan mengharap kesembuhan. Alhamdulillah banyak yang sembuh, semua itu kehendak-Nya. Nah, yang saya harapkan kepada pemerintah agar Jamkesmas tersalurkan dengan baik, agar banyak orang-orang sakit dapat terlayani dengan baik,!" tegasnya. (Nophee)

Selengkapnya...

Banyak Rakyat Miskin Tidak Mendapat Jamkesmas

(Tulungagung-Paricara) Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak dasar warga negara karena sudah diatur dalam UUD 1945. Negara berkewajiban memenuhi hak dasar tersebut dan memberikan perlindungan atau jaminan sosial bagi seluruh rakyatnya, terutama mereka yang lemah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Namun fakta berbicara lain. Dalam sejumlah kasus, negara dianggap lalai memperhatikan kesehatan rakyatnya.


Tengok saja nasib pasangan Nurhadi dan Mamik Susiani, warga Desa Besole Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung. Keluarga miskin ini hanya bisa pasrah melihat penderitaan kedua anaknya, masing-masing Moh Hasan al-Bukhori (3 tahun) dan Desi Wulansari (1,5 tahun), yang didiagnosa mengalami microcephalys (pengecilan kepala).

Karena tidak ada biaya untuk berobat, mereka kini cuma bisa merawat Hasan dan Desi di rumah. Berbagai usaha sebenarnya telah dilakukan agar penyakit yang diderita kedua anaknya bisa segera sembuh. Seperti memeriksakannya ke Puskesmas dan RSUD Tulungagung sampai 2 kali. Tapi lantaran biaya yang harus dikeluarkan mahal dan tidak punya kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Nurhadi terpaksa harus membawa anak-anaknya kembali pulang.

Dengan kondisi seperti itu, ia mengaku sudah tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa. Nurhadi yang kesehariannya bekerja sebagai tukang pembelah batu hanya bisa berharap bantuan dari pemerintah. Tapi sayang, tanggapannya justru mengecewakan. “Saya pernah mendatangi perangkat desa yang dulu sempat melakukan pendataan, namun malah disemoni (dicibir) dengan jawaban, eh… rumah kamu masih layak jadi belum ada bantuan,” tutur Nurhadi menirukan kata-kata petugas.

Kepala Puskesmas Kecamatan Besuki, Anindito Aryono, menyatakan kedua anak itu sudah cacat sejak lahir sehingga sulit diobati. Yang perlu diperhatikan adalah penanganan sejak dini dari orang tuanya harus optimal. Dikhawatirkan microcephalys akan terjadi pada anak ketiga.

Selaku Kepala Puskesmas, pihaknya hanya bisa membantu dengan mengajak teman-teman dan petugas Puskesmas yang lain untuk membantu keluarga Nurhadi sebagai ganti tidak adanya Jamkesmas dan Jamkesda yang seharusnya ia terima. “Setiap seminggu atau dua minggu sekali saya dijenguk oleh Kepala Puskesmas dan diberi susu untuk anak saya,” tambah Nurhadi.

131,9 Ribu Maskin Belum Mendapat Kartu Jamkesmas
Keadaan di atas hanyalah contoh kecil dari realitas kesehatan di masyarakat. Kemungkinan masih banyak peristiwa serupa terjadi di tempat-tempat lain. Anindito, juga mengakui kenyataan tersebut. “Itu masih satu kasus yang coba kita carikan solusi, ada beberapa yang masih tertinggal dan belum terdata oleh kita untuk menerima bantuan seperti Jamkesmas,” jelasnya.

Pelaksanaan Jamkesmas ini sesungguhnya sudah diatur melalui SK Menteri Kesehatan No. 125 tahun 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jamkesmas dan telah disosialisasikan ke seluruh daerah. Namun demikian, kenyataannya masih saja ada rakyat miskin yang tertinggal alias belum mendapatkan kartu Jamkesmas.

Di Kabupaten Tulungagung terdapat sekitar 69.697 keluarga miskin. Yang terdata sebagai penerima Jamkesmas sebanyak 201.604 jiwa dan yang belum memperoleh Kartu Jamkesmas sebanyak 131.907 jiwa.

Biaya Jamkesmas sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat namun di kabupaten belum terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan sosialisasi ke tingkat bawah kurang. “Ini yang menjadi faktor mengapa realisasinya menjadi terhambat. Yang saya sesalkan, pemerintah daerah belum memberikan tanggapan positif bagaimana mensosialisasikan kartu Jamkesmas yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin,”demikian diungkapkan Zainul Fu`ad, salah satu pengurus Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Tulungagung.

Hal senada dikemukakan Suhaili, Ketua Bantuan Tugas (Bagas) Desa Besole Kecamatan Besuki. Menurutnya, saat ini banyak program yang diluncurkan pemerintah baik pusat maupun di daerah, namun demikian masyarakat belum tahu mekanisme dan prosedurnya. Demikian juga dengan adanya Jamkesmas untuk orang miskin ternyata tidak ada sosialisasinya, sehingga masyarakat miskin tidak mengetahui prosedur teknisnya jika berobat. “Wajar apabila mereka merasa kesulitan dan bingung untuk mengurusnya,” paparnya.

Sementara itu Pemerintah Kabupaten Tulungagung telah menganggarkan dana kesehatan melalui RAPBD sebesar Rp 14,255 M. Namun untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin hanya sebesar Rp 400 juta atau 2,8% dari total anggaran Dinkes. Jumlah ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/ puskemas pembantu dan jaringannya, yang angkanya mencapai Rp.12,848 M atau hanya 3%.

Caleg Abaikan Persoalan Kesehatan Rakyat Miskin
Meski masalah kesehatan rakyat miskin sampai saat ini masih menyisakan banyak persoalan, namun partai politik dan calon legislatif (caleg) yang bersaing dalam Pemilu 9 April 2009 lalu tetap tidak peduli. Padahal, (jika jadi) merekalah nanti yang akan ikut menentukan berbagai kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan di bidang kesehatan.

Lihat apa yang dilakukan parpol dan caleg-caleg di Kabupaten Tulungagung. Dalam pantauan SOERAT, selama kampanye Pemilu berlangsung, nyaris tidak ada tawaran program yang menarik dari parpol dan caleg untuk membantu memperjuangkan nasib rakyat miskin agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

Mereka, para calon wakil rakyat itu, lebih suka berkampanye dengan memasang tanda gambar (foto) melalui baliho, banner, spanduk, poster, stiker, kartu nama dan sebagainya. Atau berkeliling membagi-bagikan berbagai bentuk alat peraga kampanye, bahkan uang, kepada masyarakat agar memilih parpol dan caleg bersangkutan. Ada memang caleg yang bersedia melakukan dialog secara langsung dengan kelompok-kelompok masyarakat. Namun materi yang dibahas lebih banyak masalah teknis seperti bagaimana cara mencontreng yang benar.
Dibalik itu semua, tampak ada nuansa ketakutan dari sebagian caleg untuk menyampaikan program-program yang akan diusungnya kepada masyarakat. Sebab, menyampaikan program dianggap sebagai janji dan suatu saat akan ditagih oleh masyarakat jika mereka benar-benar terpilih menjadi wakil rakyat. Apalagi berdasarkan pengalaman, janji para caleg lebih banyak diingkari.

Fatalnya, muncul anggapan bahwa persoalan rakyat tidak begitu penting. Karena itu kampanye dengan menawarkan banyak program sama sekali tidak efektif dan hanya membuang-buang waktu. Toh dalam Pemilu, rakyat hanya butuh uang, bukan tawaran program yang muluk-muluk. Dengan begitu, setelah terpilih, mereka akan merasa santai dan bekerja seenaknya lantaran tidak terbebani oleh janji-janji program saat kampanye. (Lukman, Paricara)
Selengkapnya...

Jamkesmas Masih Bermasalah di Madiun

(Madiun-DIFAA) Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya. Negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi warganya khususnya bagi masyarakat miskin termasuk di dalamnya perempuan. Sistem kesehatan yang mencangkup aturan hukum, anggaran, pelaksanaan serta pengawasan program kesehatan saling terkait dampaknya bagi pemenuhan hak kesehatan masyarakat tersebut.


Salah satu program kesehatan pemerintah adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) sebagai kelanjutan program Askeskin. Di Kabupaten Madiun jumlah penerima jaminan kesehatan tersebut sekitar 186.934 jiwa atau 61.771 KK. Tujuannya adalah memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin secara gratis.

”Jamkesmas ini berlaku mulai dari pelayanan di Puskesmas hingga RS.Soedono kelas A,” kata Dr. Sudijo M.Kes, Kepdinkes Kabupaten Madiun. Tahun ini, anggaran kesehatan untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun sebesar Rp 14 M untuk semua program. ”Anggaran untuk kesehatan masyarakat miskin sebesar Rp 1 M yang diserahkan langsung ke puskesmas-puskesmas di Kabupaten Madiun, dan Rp 1 M untuk biaya obat dan operasional Puskesmas,” tambahnya.

Menurut beliau, data Jamkesmas untuk Kabupaten Madiun berbeda dengan daerah lain yang menggunakan data BLT. Di Madiun memakai data BPS. Empat belas kriteria data BPS antara lain jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari, penghasilan, frekuensi makan setiap hari, pemilikan televisi, motor, ternak, dan tabungan. Dan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk Jamkesmas maka bisa mendapatkan pelayanan gratis atau keringanan biaya apabila mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan atau desa.

Meski program Jamkesmas sudah dimulai pemerintah sejak tahun 2008 dan dilanjutkan pada tahun 2009, pemenuhan hak kesehatan masyarakat ternyata belum dicapai. Seperti kisah Sutarwo, pemuda Dusun Gemarang Desa Gemarang Kecamatan Gemarang, “sejak 5 tahun lalu ada benjolan di pipi Sutarwo. Awalnya tidak menganggu tetapi lama kelamaan benjolan itu membesar dan terasa sakit. Pada bulan September tahun 2007, saya memeriksakan ke rumah sakit Panti Waluyo, kemudian di rujuk ke rumah sakit Dr. Soetomo, tanpa tahu apa sakitnya.”

“Di rumah sakit Dr. Soetomo saya diminta untuk ronsen dan dirawat inap sambil menunggu hasil pemeriksaan sekitar 1 bulan. Selama menunggu saya tidak mendapatkan kamar, dan harus tidur di emperan rumah sakit. Dari hasil ronsen di diagnosa ternyata saya menderita tumor ganas dan perlu di operasi. Sesudah satu bulan di rumah sakit, kemudian disuruh pulang dengan alasan kamar telah penuh dan diminta menunggu panggilan. Tetapi waktu terus berjalan dan sampai kini belum ada kabar dari rumah sakit, sedangkan tumornya makin membesar,” ungkap pemuda yang sehari-hari sebagai buruh tani dan guru mengaji.

Sutarwo sebenarnya memiliki kartu Askeskin tetapi selama berobat di rumah sakit itu dia tetap diharuskan membayar biaya pengobatan dan tanpa ada pelayanan kamar. “Kulo gadhah askeskin, tapi ndak paham kangge nopo, ngertine nggih mbayar. Kulo telas kinten-pinten Rp 10 juta,” tutur Sutarwo yang rumahnya berjarak 68 km dari kota Madiun.

Hari Senin tanggal 13 April 2009, dia baru menerima kartu Jamkesmas sebagai pengganti kartu Askeskin. Namun ia tidak diberi informasi apa kegunaan kartu tersebut. Sosialisasi program belum menyentuh semua masyarakat, apalagi bila geografisnya jauh dari perkotaan. “Kulo mboten ngerti kangge nopo kartu niki, mboten disanjangi kangge nopo, mboten wonten penyuluhan kesehatan teng mriki, “ tambahnya lagi.

Kisah serupa menimpa ibu Surip, 59 tahun, penduduk Pacitan yang pernah dirawat di RSI Aisyiyah Ponorogo pada bulan lalu. Dia adalah pemegang kartu Jamkesmas saat operasi kanker rahim namun masih dibebani biaya obat-obatan dan biaya transfusi darah. “Belum semua rumah sakit mau melaksanakan keputusan Depkes untuk menggratiskan biaya obat dan pelayanan dengan alasan anggaran rumah sakit terbatas. Padahal pembiayaan kesehatan itu berasal dari pemerintah pusat,” kata Ahmad Iswahyudi, pendamping Jamkesmas di Madiun.

Penggunaan SKTM untuk non Jamkesmas ternyata juga tidak selalu berlaku dan pasien masih dibebani biaya pelayanan. “Rumah sakit tidak mau melayani pasien dengan SKTM dengan alasan tidak ada anggaran untuk itu, dan tidak ada Perda sebagai payung hukum. Sehingga pelayanan ke masyarakat miskin tidak terwujud meski itu sudah diatur oleh pemerintah pusat,” tambahnya.

Hak Kesehatan dan Caleg Terpilih
Dalam kampanye para caleg partai tidak ada yang spesifik mau memperjuangkan kesehatan masyarakat. Hampir semua caleg hanya menjanjikan kesejahteraan dan kemajuan daerah. “Kesehatan masyarakat miskin tidak terpisahkan dari keberadaan perempuan karena di negara kita mayoritas perempuan dalam kondisi miskin. Budaya partiarkhi telah menempatkan perempuan sebagai konco wingking sehingga menjadikan kelompok pertama yang miskin,” kata Ibu Henika Fauziyah, SE, caleg perempuan terpilih dari Partai Kebangkitan Bangsa dapil 4 Kabupaten Madiun.

”Dengan jumlah perempuan yang meningkat di DPR dan DPRD diharapkan pelaksanaan dan pengawasan program kesehatan masyarakat miskin termasuk perempuan dapat berjalan lebih baik,” kata Henika berharap. Menurutnya, kemiskinan dan kesehatan saling terkait satu sama lain dan tidak berujung. Kemiskinan akan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit seperti gizi buruk, kelaparan. Lingkungan yang buruk menjadi sumber penyakit karena tidak tersedia dana yang cukup untuk memenuhinya. Dan apabila kesehatan buruk maka akan menyebabkan produktifitas kerja menurun, menambah pengeluaran pengobatan, dan mengurangi keperluan hidup lain seperti pendidikan, rumah yang layak dsb.

”Untuk itu perlu peningkatan anggaran kesehatan untuk masyarakat miskin termasuk perempuan yang sampai saat ini masih kecil. Demikian juga untuk program kesehatan reproduksi, penanggulangan HIV dan AIDS, gizi perempuan dan anak, termasuk perempuan yang termarginalkan seperti pekerja seks. Pelayanan kesehatan terhadap masyarakat harus dilakukan tanpa melihat latar belakang suku, agama dan pekerjaan seseorang. Hak kesehatan setiap warganegara adalah sama,” kata Henika. ”Misalnya, perlu adanya klinik pengobatan di lokalisasi sebagai pemenuhan hak kesehatan bagi pekerja seks,” lanjutnya. Karena kesehatan masyarakat miskin, termasuk di dalamnya kelompok perempuan, adalah hak dasar yang harus dipenuhi negara. Meski aturan hukum dan anggaran telah ada, perlu juga pengawasan dalam pelaksanaannya oleh semua pihak. Sehingga kebutuhan kesehatan dapat terpenuhi tanpa membedakan status ekonomi dan sosial seseorang. ( Ari DIFAA )
Selengkapnya...

Harus Ada Pos Pengaduan Layanan Jamkesmas

(Jombang-Alharaka) Untuk mengurangi banyaknya kasus penyelewengan layanan Jamkesmas di Kabupaten Jombang diperlukan posko pengaduan layanan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Selain tidak adanya keinginan baik dari pemerintah kabupaten, kurangnya informasi tentang Jamkesmas kepada masyarakat miskin (maskin) sebagai akar masalah.


Mengapa masyarakat membutuhkan kejelasan dari manajemen RSD (Rumah Sakit Daerah) Jombang dan aturan standar layanan minimal kesehatan. Informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat sehingga sering terjadi penyelewengan dan pelanggaran hak-hak pelayanan kesehatan. Posko khusus bertugas untuk memberikan keterangan dari penggunaan Jamkesmas dan keluhan ketika terjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Posko juga sebagai penjamin bagi rumah sakit sehingga dapat membantu pasien yang mengalami kesulitan administrasi.

Tugas ini, bagi pemerintah tidak harus membentuk tim baru hingga mengakibatkan pembengkakan operasional anggaran. Namun hanya dengan memberikan tambahan tugas kepada Puskesmas atau RSD. Sejak dilakukan hearing pada tanggal 20 Maret 2009 yang dilakukan oleh beberapa perwakilan NGO dan Ormas di Jombang yang dihadiri berbagai instansi pemerintah yakni RSD Jombang, Komisi D DPRD, Dinkes Kabupaten Jombang, serta berbagai kalangan organisasi masyarakat. Sampai saat ini masih belum ada tindak lanjut dari komisi D karena disibukkan oleh kegiatan pemilu legislatif.

Abdul Nasir, Sekretaris Komisi D, menyarankan agar program Jamkesmas dan sistem pelayanan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang anggarannya ditanggung oleh pemerintah daerah perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Sebab masih banyak masyarakat yang tidak paham sehingga menuai sejumlah keluhan. Terutama yang berkaitan dengan ketentuan biaya bagi pasien miskin.

Sementara itu menurut Nur Habibah, salah satu kader Posyandu di Dusun Gempolpait Banjardowo Jombang, selagi masyarakat miskin kebingungan apa dan bagaimana Jamkesmas, persoalan layanan gratis ini tidak akan pernah bisa berjalan maksimal. “Saya mendengar ungkapan dari Menteri Kesehatan Fadlilah Supari, bahwa daftar obat dalam Jamkesmas adalah produk generik yang tidak terdaftar di semua apotek, dan hanya bisa diperoleh di apotek RSD. Namun kenyataannya ada beberapa resep yang ketika ditebus di apotek RSD malah tidak ada. Jadi mau nggak mau kita nyari di apotek umum,” ucapnya.

Hal senada diutarakan oleh Tholan, bapak dari Subroto, pasien yang meninggal akibat sakit tetanus di RSD Jombang. Ceritanya pada tanggal 19 Maret, tepatnya jam 08.00 WIB, Subroto dilarikan ke rumah sakit hasil rujukan dari Puskesmas Banjardowo. Karena memiliki kartu Jamkesmas ia harus menunggu proses administrasi dan dokter yang menanganinya. Meskipun keluarga mengajak Sudarianto selaku ketua RT 3 untuk memperkuat Jamkesmasnya, ternyata setelah tiba di RSD pelayanan yang diperoleh tidak memperhatikan kondisi pasien yang parah.

”Seluruh keluarga saat itu menduga penyakit Subroto sudah parah, pasalnya setelah dibawa ke Puskesmas petugas merekomendasikan untuk segera dibawa ke RSD Jombang. Tiba di rumah sakit jam 08.00 WIB lalu pihak keluarga mengurus berbagai prosedur Jamkesmas dengan sabar meski ribet. Namun kami sangat kecewa karena pihak rumah sakit tidak secepatnya menangani Subroto dan baru diperiksa pada pukul 16.00 WIB. Saat kondisinya semakin kritis, kami disarankan untuk membeli obat namun harus membayar karena di apotek RSD Jombang tidak ada persediaan. Beberapa menit kemudian tubuh Subroto kejang-kejang dan akhirnya anak saya meninggal dunia,” terang Tholan warga RT 3 RW 6 Banjardowo.

Kenyataan tersebut membuat seluruh keluarga Tholan berduka. Belum lagi persoalan obat yang harus tetap dibeli seharga Rp 175 ribu, dan biaya ambulan untuk jenazah yang harus dibayar. “Kami seluruh keluarga tidak bisa berbuat banyak, dalam pikiran kami seharusnya apapun penyakit yang diderita pasien Jamkesmas harus gratis. Kasus ini juga sudah dilaporkan ke DPRD. Namun hasilnya sampai saat ini belum ada tidak lanjut yang jelas dari pihak dewan. Harapan saya semoga tidak ada lagi kasus serupa seperti yang telah dialami putra saya,” ungkap Tholan.

Perlu Standar Pelayanan Kesehatan
Kualitas pelayanan RSD Jombang memang patut dipertanyakan. Banyaknya keluhan pasien rawat inap kelas III kerap sekali dimuat oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik. Hal ini menunjukkan kalau program kesehatan murah yang dicanangkan pemerintah belum menjangkau masyarakat miskin. Sementara bila pasien berobat ke dokter yang juga praktik di rumah dikenakan biaya berkali lipat dari biaya di rumah sakit.

“Sepertinya sangat sedikit sekali ada dokter yang memberikan keringanan biaya kepada pasien yang secara ekonomi pas-pasan. Ini berarti jiwa sosial para dokter di negeri ini patut dipertanyakan juga. Pasalnya mereka telah digaji dari uang rakyat malah masih mentargetkan biaya lagi ketika buka praktik sendiri, lihat saja mana ada dokter miskin,” keluh Ismail, salah satu pelopor Kelompok Remaja Manungggal Rakyat (Keramat) dari Mojosongo Balungbesuk Diwek Jombang.

Tahun lalu, ada salah satu anggotanya yang sakit dan diharuskan untuk operasi. Namun karena tidak mendapatkan kartu Askeskin atau Jamkesmas, Ismail menghimpun anggotanya untuk bantingan (iuran) guna meringankan beban temanya yang sakit.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan cerita yang dituturkan Miftah dari kelompok FKPM Mayangan Diwek Jombang. “Saya pernah mendampingi tetangga yang benar-benar miskin, ia harus menjalani operasi kandungan, eh.. ternyata tetep saja harus membayar. Padahal idealnya jika telah ada program kesehatan gratis bagi rakyat miskin maka semua jenis penyakit yang dikeluhkan pasien miskin harus gratis. Namun kenyataannya tidak semua jenis penyakit ada obatnya pada program Jamkesmas,” ungkap pemuda ini mengeluhkan.

Kenyataan tersebut membuat Miftah dan kawan-kawannya juga melakukan iuran untuk meringankan beban tetangganya. Menurut Miftah, tidak semua obat di-Askeskan, hanya penyakit tertentu saja yang ada obatnya. Padahal pasien Maskin tidak punya cukup uang untuk menebus obat tersebut. Idealnya semua masyarakat miskin yang sakit mendapatkan pengobatan gratis ketika melalui program Jamkesmas dan Jamkesda.

“Dulu ada Askeskin, ketika ada yang tidak mendapatkan kartu maka pemerintah desa memberikan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Saat ini banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Bahkan sebagian Pemdes tahu bagaimana prosedur penggunaan program Jamkesda. Meskipun ada yang sakit tetap saja pemdes memberi SKTM tanpa dipantau bagaimana pelaksanaannya di rumah sakit oleh pihak desa,”tutur Miftah.

Sementara itu menurut pengamatan Rodli Zaen, warga Tanjung Anom Bulurejo Diwek Jombang, apa yang dirasakan semua orang khususnya pasien kelas III dalam penanganan medis baik dokter maupun perawat selalu lambat. “Saya sudah mendatangi perawatnya dan bahkan dokternya langsung namun setengah jam baru nonggol itu kan lambat banget. Padahal kondisi pasien butuh pertolongan langsung. Belum lagi persoalan administrasi dan keuangan yang biasanya kalau memakai Jamkesmas agak mbulet. Salah satu tetangga saya ada yang membutuhkan tranfusi darah karena kondisinya miskin seharusnya gratis. Tapi anehnya pihak PMI dan RSD saling lempar tanggung jawab. Akhirnya tetangga saya harus mencari hutangan untuk membeli darah tersebut,” terang Rodli, penasehat kelompok Fata (Forum Arek Tanjung Anom).

Ini semua membuktikan bahwa profesionalisme RSD Jombang tidak maksimal. Bisa dilihat bagaimana para staffnya yang memberikan pelayanan untuk rawat jalan maupun rawat inap. Rodli pernah mengetahui sendiri, saat itu ada laki-laki tua yang mengantri periksa di poli jantung. Seorang perawatnya tidak ramah sekali, demikian juga dokternya malah memberikan kata-kata yang menakutkan. “Ada kesan pembedaan yang sangat mencolok bagi masyarakat miskin yang menggunakan kartu Jamkesmas atau Askeskin dengan yang membayar. Bisa dibedakan pelayanan yang diberikan antara kelas III kamar Mawar dengan kelas paviliun. Ini bukan fasilitas. Di kelas III banyak sekali ditemukan para perawat dari anak-anak sekolah yang masih praktik, sedangkan petugasnya hanya duduk-duduk di kantor. Saya sempat berfikir para petugas mempekerjakan anak-anak praktik dan mereka dengan santainya tidak melakukan apa-apa…nah ini kan repot..,” tambahnya.

Seharusnya RSD Jombang tidak hanya membangun layanan kesehatan dari segi fisik semata, namun yang terpenting adalah membangun sumber daya para staff agar siap menjadi pelayan rakyat. “Perubahan kualitas para perawat inilah yang belum kami rasakan selain yang nampak adalah gedung-gedung megah yang terbangun. Padahal persoalan kondisi prima para perawat dalam menghadapi pasien juga sangat penting. Kami tahu ratusan pasien tiap hari mempunyai beragam keluhan, tentunya jika para perawat tidak dalam kondisi baik, akan gampang sekali tersulut emosinya. Sehingga dalam menghadapi pasien juga selalu emosi,” tandas Rodli. Disinilah sangat dibutuhkan sebuah Posko Pengaduan Pelayanan. (Din din)
Selengkapnya...

LAYANAN KESEHATAN DI LOKALISASI Upaya Mencegah Penyebaran HIV dan AIDS

(Kediri-SuaR) Jika kesehatan adalah hak rakyat maka rakyatlah yang harus memperjuangkannya. Atau pemerintah yang harus dengan bangga memenuhinya sebagai sebuah kewajiban. Jika demikian pilihannya maka rakyat memang perlu melawan atau pemerintah secara sadar dan elegan memberi pelayanan melalui berbagai kebijakannya secara terhormat.


Sudah menjadi harga mati, dimanapun tempatnya, harus ada dikotomi antara rakyat dan penguasa tentang ketidakadilan ataupun pemiskinan dan korupsi dalam konteks upaya mendapatkan hak-hak manusia, kemanusiaan dan bernegara. Tidak terkecuali di Kediri. Ternyata, advokasi pun tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pembuat kebijakan tertinggi di daerah, tetapi juga sudah merambah di kalangan unit pelaksanaan kebijakan terhadap atasannya. Mungkin ini bukan hal yang menarik, tetapi patut didukung selama proses itu memang berpihak kepada rakyat.

Kekuatan Advokasi
Sejak adanya aturan penertiban lokalisasi dari pemerintah Kabupaten Kediri tahun 1998 berdampak pada tertutupnya akses layanan apapun yang diterima oleh para penghuninya. Terutama pelayanan kesehatan yang sebelumnya rutin diberikan.

Melihat kondisi tersebut, ada satu analogi sederhana. Jika di perumahan, perkampungan atau dalam lingkungan besar di sebuah perkotaan terdapat saluran pembuangan air limbah domestik, yang notabene air ini kotor dan tidak berguna. Kemudian saluran yang selama ini lancar-lancar saja tiba-tiba ditutup oleh sekelompok orang. Akibatnya, secara perlahan bau busuk akan tersengat, populasi nyamuk bertambah drastis, becek dan banjir mulai terjadi, air resapan tercemar, dan kerawanan lain akan bermunculan. Sampai akhirnya berbagai endemi penyakit dan kerusakan lingkungan akan dirasakan semua orang tidak hanya yang tinggal di sekitar saluran air yang tertutup tersebut. Akan tetapi oleh masyarakat satu daerah. Begitulah, jika lokalisasi yang selama ini dianggap kelompok “kotor”, namun tidak ditangani secara serius justru akan menjadi persoalan bagi semua orang.

Dalam situasi serba terbatas bahkan tertutup dari banyak akses layanan, khususnya kesehatan, muncullah sebuah gagasan masyarakat yang “ditertibkan” itu untuk membuka “saluran” yang tertutup. Sebagaimana layaknya membongkar saluran air, di sini dibutuhkan alat dan energi yaitu pengetahuan tentang hak kesehatan dan kebersamaan bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh penertiban.

Awal 2007, mereka membekali diri dengan wawasan kesehatan di tempat yang representatif sekaligus menyatukan misi advokasi yang akan dijalankan guna mendapatkan pelayanan kesehatan. Giliran selanjutnya, mereka telah siap untuk berdiskusi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri sebagai pelaksana penyedia layanan kesehatan. Pada dasarnya, ternyata tidak terlalu sulit untuk mensinergikan pemahaman bersama tentang hak kesehatan. Artinya, Dinas Kesehatan selama masa penertiban itu mempunyai sikap malu-malu untuk menjalankan kewajibannya.

Inilah yang menjadi tonggak kebersamaan atau kekuatan masyarakat yang menamakan dirinya Jaringan Pokja Peduli AIDS Ekslokalisasi Kediri Raya. Mereka sekitar 40 orang dari 8 ekslokalisasi di Kabupaten Kediri (Tambi, Gedang Sewu, Gurah, Dadapan, Bolodewo, Weru, Krian,Weru) dan 1 ekslokalisasi Kota Kediri (Semampir).

Perjuangan Baru Dimulai
Kesepakatan dengan Dinas Kesehatan benar-benar dilaksanakan. Bulan-bulan berikutnya sudah tersedia pelayanan pemeriksaan IMS bagi masyarakat yang ditertibkan, yaitu di Puskesmas Gurah. Namun, bagi masyarakat, kesehatan bukanlah satu-satunya aspek keselamatan dan kenyamanan hidup. Masa berikutnya, mereka harus berhadapan dengan kekuatan lain yang menutup ”saluran”, yaitu pihak aparat keamanan. Di sela-sela menikmati sedikit lancarnya ”aliran” pelayanan, masih ada sumbatan yang harus didekati agar mereka bisa bekerja dengan tenang, aman dan nyaman. Maksudnya adalah, ekslokalisasi juga distigma sebagai pengganggu keindahan tata wilayah dan ketenangan warga sekitarnya dengan alasan hiburan liar. Sehingga harus dirazia setiap saat, tidak peduli siang, sore bahkan tengah malam.

Apakah tindakan represif ini dapat menjamin lebih tenang masyarakat? Justru akan semakin membuka aib daerah di mata publik. Karena kebijakan ini dirasa sangat menyumbat ”saluran.” Melalui mekanisme pertemuan jaringan 3 bulanan, masyarakat mengundang para aparat/dinas yang berwenang melakukan razia. Di sana, terjadilah dialog dan transformasi kebijakan yang tidak utuh dan hanya menyelesaikan satu demi satu ”sumbatan” dari sekian sumbatan yang ada. Kesepakatannya adalah masyarakat yang dirazia akan menjaga ketertiban dan keamanan terhadap pihak luar dan memanfaatkan layanan kesehatan yang ada secara optimal. Satu lagi unsur pemerintah dari Satpol PP dan Binamitra mulai terlibat dan mendukung program penanggulangan HIV. Padahal, selama proses membuka ”sumbatan” ini penularan HIV sama sekali tidak terhambat oleh penertiban. Hal itu yang membuat rasa tanggung jawab bagi warga ekslokalisasi untuk membuktikan bahwa mereka mampu membentengi diri dari HIV.

Sebaliknya, orang-orang dari luarlah yang membuat mereka rentan terhadap penularan HIV. Yaitu para laki-laki hidung belang yang tidak tersentuh kewajiban atau penertiban/kebijakan yang seharusnya dibuat pemerintah daerah. Dari sini, perjuangan dimulai untuk mendapatkan perlindungan dan posisi tawar agar terhindar dari tertular IMS dan HIV. Tidak ada cara lain, peraturan di tingkat kabupaten yang mewajibkan pemakaian kondom beserta programnya yang terpadu/komprehensif. Akankah terwujud ”sumbatan” terakhir dan terbesar bisa terbuka?

Selanjutnya, tiap 3 bulan, Jaringan Pokja ini terus melakukan pertemuan di lokasi secara bergiliran untuk meneguhkan posisinya dalam advokasi dan monitoring program penanggulangan HIV guna memperlancar ”saluran”. Muspika, Dinas Sosial, Tokoh agama dilibatkan dalam proses ini. Sampai pada suatu saat terjadilah tragedi Tambi yang membuat kekuatan emosional di antara mereka semakin kuat.

Sumbatan Terakhir
Sampai hari ini, pimpinan tertinggi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) belum juga menyadari bahwa wabah yang diakibatkan tersumbatnya ”selokan” di depan rumahnya semakin kronis. Tren peningkatan penderita HIV di Kabupaten Kediri melampaui 10% dari estimasi nasional 990 orang. Logikanya, jika air selokan ini merembas maka rembasan yang meresap ke rumah tangga dan masyarakat di sekitarnya tentu sudah banyak dan tidak disadari. Hanya bisa dirasakan 5-10 tahun mendatang.

Begitulah, karakteristik epidemi HIV dan AIDS. Artinya, masyarakat di dalam ekslokalisasi sudah mendapatkan pemahaman/pengetahuan tentang informasi dasar dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS, sehingga mereka bisa mencegahnya.

Yang menjadi beban berat mereka adalah melakukan negosiasi pemakaian kondom bagi pelanggannya yang belum mempunyai cukup informasi apalagi kesadaran tentang perilaku seks aman. Ada pilihan-pilihan yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyikapi hal ini. Pertama melakukan pemberdayaan bagi masyarakat ekslokalisasi menuju pengentasan yang tidak hanya berorientasi pada pekerja seks, tetapi juga kepada mucikari dan pihak lain yang diuntungkan, semisal kiwir. Tentu ini bukan langkah sederhana dan ringan. Sejauh ini, belum ada satupun pemerintah daerah yang berhasil melakukannya.

Kedua, secara tegas dan elegan dengan penuh tanggung jawab atau setidaknya kepedulian kepada pengidap HIV, pemerintah beritikad baik membuat produk hukum yang mengatur program penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif. Sebab, cepat atau lambat namun pasti, bahwa fenomena HIV dan AIDS akan menjadi tragedi pemiskinan yang luar biasa. Lebih hebat dari korban “gertakan” Gunung Kelud tahun lalu, lebih parah dari “korban” pencalegan pada pemilu legislatif yang menghabiskan dana triliunan rupiah. Karena korban HIV dan AIDS sudah ditangani puluhan tahun secara nasional dan belum kunjung jua berkurang.

Kenyataannya penyakit ini bisa berkurang apabila korban meninggal dunia. Hal ini disebabkan belum adanya aturan lokal atau daerah yang sungguh-sungguh menanganinya. Kecuali “sumbatan” ini sudah mengakibatkan banjir bandang yang menelan korban ratusan jiwa bahkan ribuan orang di Kabupaten Kediri, baru “sumbatan” atau kebijakan itu segera diputuskan oleh pemerintah daerah bersama DPRD.

Meskipun mereka (warga ekslokalisasi) telah berjuang bagi komunitasnya, diakui atau tidak, mereka sudah banyak berkontribusi untuk penyelamatan dari bencana sosial dan kemanusiaan. Meskipun demikian mereka tidak menuntut penghargaan dan tidak ingin disebut pejuang atau pahlawan.

Ketiga, persoalan ini tetap menjadi tanggung jawab masyarakat terresiko untuk mengurusi nasibnya sendiri dengan tidak menjamin bau “selokan” dan resapan air yang perlahan semakin meluas, karena “sumbatan” terbesar tidak berhasil dibuka. (Ijun)
Selengkapnya...

Kesehatan sebagai hak asasi, masihkah berpihak pada rakyat miskin?

(Nganjuk-Punden), Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pemerintah melalui APBD maupun APBN telah memberikan program yang ditujukan untuk rakyat miskin. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilakukan antara lain pemberian BLT, PNPM, Program Keluarga Harapan, dan dalam bidang kesehatan adalah JAMKESMAS. Akan tetapi apakah semua program tersebut benar-benar bisa membantu masyarakat ataukah hanya sebagai hiasan dan pemanis agar masyarakat bersimpatik pada pemerintah.


Dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), status kesehatan merupakan salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan per kapita. Maka pembangunan kesehatan dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan mulai dari tingkat pusat sampai ke Kabupaten/ Kota, untuk itu ditetapkan visi pembangunan kesehatan Indonesia adalah “Indonesia Sehat 2010”

Mahalnya biaya kesehatan di negara kita telah membuat rakyat miskin seakan tidak berhak untuk menikmati layanan kesehatan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masyarakat yang terpaksa harus kehilangan nyawa hanya karena tidak memiliki biaya untuk berobat. Namun, apakah berarti pemerintah hanya diam melihat hal ini?. Inilah beberapa contoh sebagai kritik dari program kesehatan pemerintah.

Jamkesmas, Jauh Api Dari Panggang
Semiwati, warga Desa Jekek Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk adalah pasien yang menggunakan SKTM (surat keterangan miskin) dari desa. Karena pasien tersebut adalah termasuk warga miskin seharusnya dia berhak untuk mendapatkan pelayanan secara cuma-cuma. Tetapi kenyataannya selama menjalani proses penanganan di rumah sakit keluarga pasien harus mengeluarkan biaya terlebih dahulu ke PMI guna membayar 4 kantong darah senilai Rp 940 ribu. Aturannya PMI harus mengembalikan uang dari pasien karena keluarga tersebut jelas dari keluarga miskin. Namun dalam prosesnya PMI tidak mau mengganti biaya tersebut sebelum ada rekomendasi dari Dinkes. Setelah semiwati berhasil mendapatkan rekomendasi dari pihak Dinkes ternyata PMI belum juga memberikan uang ganti talang yang dikeluarkan oleh keluarga pasien dengan alasan kontrak dengan pihak rumah sakit dimana korban dirawat (RSUD Kertosono) belum diperpanjang/diperbaharui. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya Sumiati bisa menerima kembali biaya yang telah dikeluarkan tersebut.

M. Dhori, salah seorang anggota DKR (Dewan Kesehatan Rakyat) Kabupaten Nganjuk yang telah mendampingi keluarga Sumiati mengatakan bahwa perlu usaha yang ekstra agar kita terutama masyarakat miskin bisa mendapatkan hak kita untuk bisa menikmati pelayanan kesehatan yang layak, meskipun pemerintah telah memberikan berbagai program pelayanan bagi rakyat miskin. “Tanpa adanya perjuangan dan keberanian mustahil kita bisa mendapatkan itu semua dengan gratis” lanjutnya

Selain buruknya manajemen dan sistem administrasi rumah sakit, aparat pemerintah desa juga seringkali mempersulit masyarakat untuk bisa mendapatkan SKTM. Pemberian SKTM maupun Jamkesmas yang tidak merata dan kurang tepat sasaran menyebabkan masyarakat yang seharusnya bisa menikmati layanan ini malah tidak mendapatkannya.

Ahmad Robin, warga Desa Garu Kecamatan Baron adalah keluarga miskin yang anaknya harus dirawat di rumah sakit akibat penyakit step. Selama ini keluarga tersebut belum masuk dan terdaftar sebagai keluarga miskin yang berhak mendapatkan Jamkesmas. Dengan berbagai upaya yang dilakukan akhirnya dia bisa mendapatkan SKTM dari pihak desa setempat. “Saya ini rakyat miskin yang seharusnya bisa menikmati layanan dari pemerintah tetapi mengapa malah pemerintah sendiri yang mempersulit saya untuk bisa mendapatkan semuanya. Alhamdulillah berkat bantuan teman teman dari Paguyuban Mandiri beban saya bisa menjadi ringan” ungkap Ahmad Robin.

Dari sini terlihat bahwa secara de jure pemerintah telah memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat terutama masyarakat miskin. Tetapi secara de facto apa yang telah dilakukan pemerintah?. Perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat miskin masih sangat kurang, terbukti dengan buruknya manajemen yang dijalankan oleh pemerintah dalam menjalankan program-programnya. Belum lagi pelayanan dari tenaga kesehatan yang kurang berpihak pada masyarakat miskin. (Lila)
Selengkapnya...

Hak Reproduksi Terabaikan Karena Ketidaktahuan

( Madiun-DIFAA ), Selasa tanggal 14 april 2009, DIFAA bersama dengan perempuan pekerja seks (PS) lokalisasi Kedung Banteng melakukan konsultasi kesehatan dengan dinas kesehatan kabupaten Ponorogo. Acara tersebut diikuti kurang lebih 30 orang PS yang diproyeksikan sebagai kader inti atau peer educator (PE) untuk sosialisasi kepada PS yang lain, team DIFAA dan perwakilan dari Dinas Kesehatan.


Konsultasi kesehatan yang dilaksanakan di aula KUA Kecamatan Sukorejo Ponorogo ini bertujuan untuk membedah persoalan kesehatan reproduksi berikut solusi alternatifnya. Mengetahui jenis obat dan dampak bahayanya kepada PS yang sering memakai obat tanpa resep dokter dan mengusulkan untuk pemenuhan fasilitas kesehatan di lokalisasi Kedung Banteng agar memadai dan layak.

Kegiatan ini terlaksana karena adanya keresahan dari beberapa PS yang berada di lokalisasi terkait dengan kebiasaan mereka mengobati penyakit sendiri tanpa melalui konsultasi kepada pihak yang berkompeten misalnya kepada bidan, dokter atau ke puskesmas. Ada banyak faktor mengapa mereka melakukan hal tersebut, diantaranya karena masih sedikit pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Sehingga untuk membicarakan persoalan yang terkait dengan alat reproduksinya mereka masih malu dan tabu. Kedua biaya kesehatan yang berhubungan dengan kulit dan kelamin cenderung mahal sehingga mereka memilih mengobati sendiri dengan biaya murah tapi beresiko tinggi.

Pengunaan obat itu juga didasarkan pengetahuan mereka terhadap pengalaman penyakit teman-teman sendiri. Bila gejala sakitnya sama maka mereka akan mengkonsumsi obat yang sama tanpa memeriksakan dahulu ke puskesmas atau kepada dokter. Perilaku seperti ini yang membahayakan karena tidak semua penyakit dengan gejala yang sama obatnya juga sama. Oleh karena itu diperlukan konsultasi kesehatan terlebih dahulu sebelum mengobati sendiri.

Untuk fasilitas kesehatan yang berada di lokalisasi Kedung Banteng masih belum memadai. Seharusnya ada klinik pengobatan dan petugas yang selalu siap di lokalisasi untuk melayani masyarakat. Dari lokasi Kedung Banteng ini membutuhkan waktu yang lama dan jalan yang rusak untuk sampai pada puskesmas terdekat. Padahal pelayanan kesehatan bersifat penting, respon cepat dan tanggap terhadap pasien.

Berdasarkan kebutuhan diatas, DIFAA memfasilitasi mereka untuk melakukan dialog langsung dengan dinas kesehatan terkait dengan persoalan kesehatan reproduksi.
Dr. Luky Hanifah sebagai kepala puskesmas Sukorejo menuturkan bahwa penyakit di Indonesia meningkat bukan hanya PMS dan IMS saja, tetapi penyakit di luar PMS dan IMS seperti hepatitis dan kanker. Perempuan memang sangat rentan terhadap kanker payudara dan kanker rahim karena alat reproduksi perempuan terletak di dalam dan sangat sulit untuk mendeteksinya. Sehingga disarankan bagi perempuan yang sudah aktif secara seksual untuk melakukan papsmear yaitu pemeriksaan kanker sejak dini minimal 3 bulan sekali. Suntikan yang dilakukan seminggu sekali dan bahasa lokalnya ”korekan” (mengambil cairan vagina untuk diperiksa) hanya untuk mengetahui apakah PS tersebut terkena infeksi menular seksual atau tidak. Sedangkan untuk mengetahui adanya kanker harus dengan papsmear. Selain itu beliau menganjurkan kepada PS untuk mendeteksi secara dini terhadap kanker dengan meraba payudaranya saat mandi. Apakah ada benjolan atau tidak disekitarnya. Bila ada benjolan licin dan halus itu tahap kanker ringan, kalau benjolan yang berbengkol-bengkol dan terasa sakit biasanya itu kanker ganas.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah kebersihan rumah dan lingkungan. Kebersihan kamar mandi dan perlunya ventilasi untuk pertukaran udara bersih. Dari PS sendiri banyak yang mengajukan pertanyaan terkait dengan obat yang disuntikkan. ”Kalau yang disuntikkan setiap hari Rabu itu jenisnya antibiotik atau jenis apa, kok warnanya merah dan putih?” tanya salah satu pekerja seks.

Dari pihak Puskesmas menjelaskan kalau yang disuntikkan kepada PS itu adalah vitamin bukan antibiotik. ”Mengapa vitamin, karena itu untuk menjaga kesehatan mbak-mbak ini yang kerjanya gak kenal waktu. Seperti mesin kalau tidak dirawat ya bisa rusak, makanya perlu dijaga,” ungkap bu Lucky Hanifah. ”Kegunaan vitamin untuk menjaga kesehatan, sedangkan kalau antibiotik malah akan memperparah kondisi kesehatan. Jika penyakitnya tidak sama kemudian diberi antibiotik, penyakitnya bisa kebal terhadap tubuh,” lanjutnya.

Konsultasi kesehatan ini merupakan wujud dari kesadaran perempuan pekerja seks di lokalisasi Kedung Banteng dalam memperjuangkan haknya untuk mendapatkan akses informasi kesehatan terlebih tentang kesehatan reproduksi. Sikap ini berdasarkan konferensi international kependudukan dan pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo yang sudah ditandatangani oleh pemerintah. Diantara hak-hak reproduksi yang dijamin menurut ICPD antara lain adalah hak untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi, hak atas informasi, hak untuk memilih pasangan dan hak untuk melakukan hubungan seksual tanpa paksaan.

Sedangkan yang dimaksud dengan hak reproduksi adalah hak untuk semua pasangan dan individual untuk mendapatkan informasi dan pelayanan. Menentukan/memutuskan dan bertanggung jawab berkenaan dengan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksinya tanpa diskriminasi. Oleh karena itu negara harus bertanggung jawab atas penyediaan sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi yang layak. Kesehatan adalah hak rakyat tanpa melihat status dan pekerjaannya.

Senada dengan yang diungkapkan Faridah selaku Program Leader DIFAA bahwa, setiap manusia tanpa pandang bulu mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan yang layak begitu juga dengan pekerja seks yang ada dilokalisasi Kedung Banteng ini. Akses informasi dan minimnya pengetahuan tentang hak reproduksi membuat hak mereka terabaikan,” ungkapnya. ”Ini menjadi tugas bersama antara pihak-pihak yang terkait seperti pemerintahan daerah, NGO (Non Goverment Organisation), dan institusi yang berkaitan langsung untuk terus melakukan tindakan strategis mempromosikan hak reproduksi dan melakukan penyadaran akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti, workshop, seminar, pelatihan, dialog interaktif di radio maupun di televisi, dan training-training, dengan tema hak reproduksi secara berkelanjutan untuk perluasan informasi secara menyeluruh,” tambahnya.

Kondisi seperti ini sudah terrekam oleh DIFAA pada kesepakatan bersama di Workshop Planning dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Kepolisian, pemerintahan kecamatan sampai pemerintahan desa di wilayah Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Perwakilan dari stake holder ini bersepakat untuk bersama-sama melakukan pendidikan kritis terhadap masyarakat khususnya komunitas Lokalisasi Kedung Banteng untuk penyebaran informasi terkait dengan kesehatan reproduksi sampai pada tahapan aksi. Di akhir pertemuan konsultasi kesehatan menghasilkan rencana tindak lanjut untuk mengupayakan adanya aturan bersama 'wajib kondom' di Lokalisasi Kedung Banteng, sebagai usaha preventif meminimalisir penyebaran penyakit menular seksual, HIV dan AIDS. (Sirin DIFAA)


Selengkapnya...