Selasa, 24 Februari 2009

PEMILU 2009: Memilihlah Kepada Yang Berpihak

(Nganjuk, Punden) Geliat pemilu 2009 sudah semakin terasa di kelompok yang ada di desa-desa di Kabupaten Nganjuk. Bahkan ini dirasakan sejak pilkada di Kabupaten Nganjuk yang berlangsung bulan Nopember 2008 lalu. Tekanan itu kini semakin deras saja. Tidak hanya berupa janji caleg dan partai yang mengusung kesejahteraan rakyat kecil, tapi juga iming-iming program kepada mereka yang di desanya memiliki kelompok seperti koperasi, karang taruna, paguyuban petani dan sejenisnya.

Hal ini wajar terjadi menjelang pelaksanaan pemilu 2009 yang akan berlangsung pada 9 April nanti. Apalagi dengan keluarnya putusan MK yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang (UU) 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Berdasarkan itu, untuk periode 2009-2014, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik yang berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Dengan begitu, kedaulatan rakyat semakin diakui. Rakyat yang memilih, rakyat pula yang menentukannya.

Tak heran jika keputusan MK itu dianggap oleh sebagian kalangan sebagai kemenangan demokrasi bagi rakyat. Namun disisi lainnya menjadi semacam peringatan bagi para caleg maupun parpol yang akan bertarung di Pemilu 2009 nanti. Sehingga berbagai upaya untuk mencari simpati kepada massa pendukung dilakukan untuk mendulang suara.

Menurut Masykur, ketua Paguyuban Mandiri yang juga maju sebagai caleg di Dapil III Kabupaten Nganjuk. “Mau tidak mau, sekarang ini caleg harus benar-benar mendekat dan bisa diterima di hati rakyat. Jadi apapun akan dilakukan untuk memperoleh tambahan suara bagi caleg dan parpol. Karena proses politik pada pemilu 2009 ini akan semakin berkontribusi pada terbentuknya nilai budaya kompetisi di masyarakat. Artinya, siapa yang sungguh-sungguh berakar di masyarakat selama ini, niscaya merekalah yang berhasil meraih simpati rakyat. Di sinilah para politisi harus berkompetisi. Memang, di satu sisi situasi sosial yang diwarnai baku-saing itu niscaya rawan konflik. Namun, jika ia disikapi dengan positif dan dikelola dengan baik, niscaya dampaknya semakin menumbuhkan kebutuhan untuk berprestasi pada diri setiap orang,” terang Masykur.

Apa yang diakuinya sebagai fenomena politik menjelang pemilu tersebut memang didukung sebuah fakta bahwa, semakin hari dinamika politik yang berkembang di wilayah pedesaan di lingkungan Nganjuk juga semakin kuat. Kelompok-kelompok yang saat ini mulai dilirik oleh caleg seperti Paguyuban Mandiri, Arrahman dan Koperasi Perempuan Rejo Makmur juga mengalami hal yang tak jauh beda dengan kelompok lain. Meski keberadaannya di desa, tapi kelompok yang memiliki basis anggota nampaknya memang sedang diburu oleh mereka yang menginginkan lolos menjadi pemenang dalam pilpres 2009. “Kami juga didekati oleh caleg, terus terang dalam peristiwa seperti ini saja keberadaan kami merasa di hargai. Kelompok kami juga mendapat tawaran dari beberapa caleg untuk mendapatkan bantuan dari mereka,” cerita Khamil yang saat ini menjadi bendahara di Koperasi Perempuan Rejo Makmur.

Gejala menguatnya dinamika politik itu sekaligus membuktikan bahwa eksistensi organisasi yang ada di desa-desa itupun mulai diakui oleh publik. Sementara dibagian lainnya ada semacam kekhawatiran bagi peserta pemilu 2009 untuk tidak lagi didukung oleh pemilih. Suara rakyat kini bagaikan vonis politik yang menimbulkan dampak penyeleksian. Artinya, jika ada pemimpin incumbent yang tidak disukai maka rakyat pun dapat menghukumnya melalui pemilu. Akhirnya pemimpin yang bersangkutan tidak bisa berkuasa lagi lantaran tidak mendapatkan suara yang cukup.

Maka, sebagai bagian dari organisasi sosial yang memiliki kemandirian yang kuat, dinamika politik ini tidak bisa dilepaskan begitu saja. Harus diikuti tapi tidak larut. Jadi harus direspon dengan sikap yang hati-hati agar tidak tergoda dengan apapun yang dapat menceraiberaikan solidaritas sosial yang sudah terbangun diantara mereka. “Menurut kami, perubahan itu harus diperjuangkan dengan landasan prinsip “dari, oleh dan untuk kita.” Artinya, kita sendirilah yang harus terlibat aktif dalam proses terciptanya perubahan dan tidak bergantung dengan pihak lain. Apalagi para caleg yang jelas-jelas tidak memihak kami. Harapan kita, setidaknya 90% wakil rakyat periode 2009-2014 nanti adalah orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Oleh karenanya, lebih baik mendukung calon yang sudah jelas keberpihakannya kepada rakyat kecil yang akan didukung. Mereka jelas-jelas mewakili kepentingan kami yang ada di desa seperti calon yang diusung oleh komunitasnya sendiri,” Ujar Ndori dengan penuh semangat.

Bahwa banyak kelompok yang ada di masyarakat menjadi incaran para politisi tidak akan dapat mempengaruhi kemandirian organisasi yang sudah memiliki modal yang kuat seperti kekompakkan dan sikap kritis dalam berpolitik. Memang, untuk menarik simpati masyarakat luas, strategi yang digunakan bisa bermacam-macam. Diantaranya melalui lahirnya kebijakan yang populis dan seolah memihak rakyat yang lemah, memberikan bantuan modal, maupun program-program ekonomi yang ditawarkan adalah sekian cara yang dilakukan oleh mereka yang ingin berkuasa. Namun demikian, ada fakta lain bahwa rakyat sudah semakin kritis dan pintar dalam merespon situasi politik yang berkembang menjelang pilpres.

Sungguh sebuah kenyataan yang luar biasa. Dalam moment yang sarat dengan kepentingan politik seperti sekarang ini kelompok-kelompok kecil seolah mendapat tempat yang berharga di mata mereka, diakui eksistensinya. Namun setelah pemilu, mereka dengan mudah dilupakan, dianggap tidak ada. Sehingga di saat proses pembuatan keputusan yang menyangkut nasib kelompok-kelompok kecil ini seperti mereka seolah tidak mendapatkan tempat untuk ikut membahas dan menentukan lahirnya sebuah kebijakan. Padahal adalah hak rakyat untuk turut berperan secara aktif menentukan setiap proses yang menyangkut kehidupan mereka.

Menyikapi hal ini, menurut Hambali, sekretaris Koperasi Ar Rahman yang juga pelukis, maka lebih mementingkan kemajuan organisasi yang telah ada. “Lagi-lagi rakyat memang harus memperjuangkan nasibnya sendiri untuk mencapai cita-cita kesejahteraan yang menjadi mimpi bersamanya. Dari organisasi kecil inilah sebenarnya semuanya dimulai. Membangun kekuatan sosial dan ekonomi melalui organisasi seperti koperasi misalnya yang nantinya akan berdampak pada masyarakat di desa. Semangat itu harus tetap ditumbuhkan disetiap orang yang ada di organisasi dan masyarakat yang lain,” katanya.

Untuk selanjutnya, marilah sekarang kita membantu caleg-caleg yang pro rakyat agar memiliki kans terpilih di pemilu 2009. Metode ini terbuka dan rasional, terutama bagi parpol yang jelas dan tegas menggunakan mekanisme internal sistem suara terbanyak. Mari kita membuka ruang agar pribadi-pribadi yang pro rakyat/konstituen-lah yang akan terpilih nantinya. Caranya memfasilitasi dan membantu mereka, semampu yang kita bisa. (Yap Swt)
Selengkapnya...

Pesta Demokrasi Bukan Untuk Rakyat

(Madiun, Difaa) Pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada 9 April 2009 mulai marak geliatnya di masyarakat. Perubahan sistem demokrasi dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka pada tahun 2004 telah membawa perubahan besar dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Tapi apakah pesta demokrasi benar-benar untuk kepentingan rakyat?

Dalam sistem pemilu proporsional tertutup wakil-wakil rakyat dipilih oleh partai. Partai inilah yang menyalurkan aspirasi rakyat melalui perwakilannya di parlemen. Partai dianggap contoh bentuk masyarakat untuk menguji kelayakan seorang calon legislatif, seperti cara memimpin, membuat kebijakan dan mengelola masyarakat. Partai punya kekuatan besar siapa yang akan didudukkan di parlemen. Dengan sistem ini terkadang rakyat tidak mengenal perwakilan dari partai, aspirasi rakyat tidak terkontrol ketika diimplementasikan.

Dalam sistem pemilu sekarang rakyat bisa langsung memilih calon legislatif yang di sodorkan oleh partai. Rakyat bisa mengenali dan berhubungan langsung dengan para calon yang akan mewakilinya. Dengan begitu masyarakat bisa menyalurkan aspirasi dan harapan penyelesaian masalah-masalah lewat wakilnya di legislatif. Para caleg partai memanfaatkan sistem pemilu yang baru ini untuk meraih dukungan seluas-luasnya dari masyarakat.

Semaraknya pesta demokrasi juga merambah di desa tertinggal Kedung Banteng, Kec. Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Berbagai poster dan reklame partai beserta calon legislatif dipasang di pinggir jalan, di pohon-pohon dan di pagar rumah. Poster-poster itu membawa pesan tentang diri caleg yang layak dipilih sebagai perwakilan di parlemen. Untuk meyakinkan pemilih ada yang berbungkus pernyataan primordial; asli daerah Ponorogo, asli wong Mediun, memasang foto petinggi partai, guru atau kyainya.

Tetapi banyak warga di LKB (Lokalisasi Kedung Banteng) adem ayem saja melihat poster-poster yang terpasang. Bahkan mereka bersepakat agar atribut pemilu tidak dipasang di dalam komplek tapi di luar komplek atau tepi jalan besar. Menurut Bapak Soenyoto, Ketua RT 38 RW Desa Kedung Banteng, “Poster tidak perlu masuk komplek mbak, biar warga sini kalau punya pilihan berbeda masih bisa guyub dengan warga lain, biar dipasang di luar saja. “Seperti juga yang disampaikan bu Salam, salah seorang pemilik warung, “warga kan macam-macam mbak pilihannya, tidak bisa disatukan pilihannya malah nanti bisa jadi masalah dengan tetangga bila pilihannya beda.“

Untuk milih caleg sederhana saja alasannya, yaitu yang memperhatikan kebutuhan warga lokalisasi, salah satunya yakni perbaikan jalan menuju lokalisasi yang sampai saat ini kondisinya masih makadam. Jalan itu menjadi akses warga lokalisasi untuk berobat, sekolah bagi anak-anak juga untuk peningkatan perekonomian warga. Beberapa waktu yang lalu ada warga yang meninggal di perjalanan, ada juga yang sakitnya semakin parah karena klinik atau balai pengobatan belum didirikan di lokalisasi. Ekonomi warga tidak lancar apalagi bila hujan datang karena pengunjung lokalisasi sedikit, distribusi barang-barang kebutuhan warga untuk sehari hari jadi terhambat.

“Kita inginnya ada caleg yang memberi aspal untuk perbaikan jalan menuju Kedung Banteng mbak, jalannya kan sudah jelek dan sudah sering diusulkan di Musrenbangdes tetapi belum diperbaiki juga. Tetapi para caleg belum sanggup, mungkin nanti kalau terpilih baru bisa katanya,” ujar Pak Soenyoto. Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Salam, “dulu waktu pemilu 2004 dijanjikan untuk di bangun oleh satu partai bila menang, eh saat menang tidak di bangun juga….mungkin lupa ya mbak akan janjinya,” ujarnya.

Warga juga belum menentukan siapa partai dan caleg yang akan dipilih. Dalam sistem pemilu sekarang ini, yang menganut multi partai, semakin membuat masyarakat kesulitan menentukan pilihan. Jumlah partai semakin banyak, pemilu sudah kesekian kalinya dilaksanakan, tetapi belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Kompleksnya persoalan sosial mulai kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang mahal, juga pemerataan kesejahteraan tak kunjung terwujud membuat kepercayaan masyarakat terhadap partai berkurang dan semakin hilang. Partai terasa jauh dari jangkauan masyarakat, dan masyarakat berada dalam tempat yang berbeda dengan partai. “Walah mbak, lha wong ndak kenal, tahu juga dari kalender saja, toh kalau dipilih juga belum tentu peduli sama kita,” ujar Bu Soinem warga LKB.

Dengan sistem proporsional daftar calon terbuka bagi legislatif telah memberi peluang masyarakat untuk memilih caleg yang dipercaya untuk mewakili aspirasinya. Akan tetapi caleg-caleg hari ini banyak wajah baru, masyarakat tidak mengenal. Bagaimana kemampuan dan kepedulian caleg terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat belum diketahui. Jika hari ini saja kemampuan mereka belum teruji maka menjadi hal yang meragukan dapat menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. “Meski banyak posternya yang dipasang di jalan-jalan tetapi aku belum tahu profilnya mbak, kemampuannya seperti apa, kepedulian pada warga kecil bagaimana?” kata Mas Heri, warga LKB.

Untuk pemilu 2004 dan pemilu gubernur ternyata warga Kedung Banteng banyak yang golput. Khususnya bagi warga yang berasal dari luar Ponorogo. Untuk menggunakan hak pilihnya harus pulang ke daerah masing- masing, tetapi mayoritas dari mereka memilih golput karena harus bekerja. “ Harusnya pulang mbak, tapi ya ndak tahulah nanti, ngapain juga milih, ndak penting. Nasib kita juga begini-begini aja, tidak berubah,” ujar mbak Yuni pesimis. Ada juga yang bersikap dingin saat ditanya masalah pemilu yang akan datang. “ Ndak tahulah mbak, lihat nanti saja, saya kan harus kerja, ujar mbak Yanti.

Pemilu sebagai bentuk dan proses demokrasi untuk perubahan kualitas kehidupan masyarakat ternyata tidak menjadi sesuatu yang menarik untuk mereka ikuti. Masyarakat menjadi putus asa terhadap partai. Karena selama ini hanya dijadikan obyek janji-janji politik dalam kampanye partai. Padahal Masyarakat telah menunaikan kewajiban sebagai warganegara yang baik dengan menggunakan hak pilih dalam pemilu selama ini, tetapi mereka tidak mendapatkan hak-haknya. Sangat disayangkan bila pemilu yang berbiaya mahal tapi tidak tahu untuk apa dan untuk siapa. (Ari difaa)
Selengkapnya...

Putusan MK Meningkatkan Suhu Politik Jombang

(Jombang, ICDHRE) Momentum pemilihan wakil rakyat selalu saja diwarnai praktek money politic, mulai di tingkat kabupaten, daerah, maupun pusat. Ibarat jamur yang selalu saja tumbuh di daerah lembab, money politic tumbuh subur menjadi umpan untuk menggenjot perolehan suara. Apalagi setelah MK merevisi UU Pemilu yang menggugurkan nomor urut menjadi pemicu semakin gencarnya para caleg berupaya memperoleh suara dengan jalan apapun.

Babak baru terukir dalam sejarah demokrasi di Indonesia, khususnya Pemilihan Umum legislatif. Setelah Presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan kepala daerah se-Indonesia dinyatakan terpilih berdasarkan suara terbanyak, maka kini hal serupa juga berlaku untuk calon legislator. Ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi menganulir Pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu, yang berarti calon legislator terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terang saja semakin memacu semangat para calon legislator untuk berlomba-lomba mencari suara terbanyak dengan jalan pintas yang sudah membudaya yakni politik uang. Padahal tidak ada jaminan pasti bahwa setelah para calon anggota dewan tersebut menebar 'uang panas' akan mendapatkan imbal balik yakni berupa suara dalam pileg april mendatang.

Di Jombang, praktek serupa sudah terjadi. Puluhan bahkan ratusan caleg seolah beradu ketangkasan dalam perjuangannya memperoleh suara masyarakat. Di tengah-tengah kota, banyak spanduk maupun baliho bergambar wajah para caleg tersebut terpampang memenuhi sudut dan pinggiran jalan, bahkan sampai ke pelosok desa sekalipun sehingga nampak sekali menjadi pengganggu keindahan kota.

Suhu politik Jombang bertambah panas disebabkan beberapa ada caleg yang berbuat anarkis. Hal itu terlihat dengan banyaknya baliho caleg yang robek disayat pisau. Kuat dugaan, pelakunya adalah sesama rival politik. Salah satunya terjadi di Desa Ploso Kecamatan Ploso, Jombang. Di tempat tersebut, baliho caleg yang dipampang di pertigaan jalan raya Ploso terlihat robek seperti tersayat pisau.

Ponidi (47), salah satu tukang becak yang sehari-harinya mangkal di tempat tersebut mengaku tidak tahu menahu soal rusaknya beberapa baliho caleg tersebut. Ponidi menjelaskan, waktu perusakan diperkirakan dini hari. Sebab, selama mangkal di tempat itu, baliho tersebut masih dalam keadaan utuh. Namun setelah keesokan harinya, gambar tersebut sudah tersobek-sobek. “Saya mangkal disini dari jam 7 pagi sampai jam 11 malam, selama itu tidak terjadi apa-apa,” tutur ponidi.

Visi Misi tak Jelas, Potensi Golput Makin Besar
Munculnya banyak caleg dari berbagai parpol tidak serta merta membuat masyarakat merasa senang karena akan punya banyak pilihan dengan ragam visi misi yang berbeda. Tapi justru dengan banyaknya pilihan caleg, muncul respon negatif masyarakat dikarenakan mereka tidak punya visi dan misi yang jelas.

Berkaca pada pengalaman pilkada pertengahan tahun lalu, 30 % masyarakat Jombang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala daerah. Hal tersebut dipicu karena masyarakat sudah sangat bosan dengan janji-janji kampanye yang ada dan tidak mungkin dilaksanakan ketika sudah menjabat.

Asumsi itu pun masih berkembang sampai saat ini, banyak elemen masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan calon wakil rakyat. Hal tersebut tercermin dalam dialog di salah satu lembaga sosial di Jombang beberapa waktu yang lalu.

Dialog warga Jombang yang bertajuk “Potensi Politik Uang dan Meningkatnya Golput dalam Pemilu 2009”, tersimpulkan bahwa potensi money politic akan sangat tinggi sebagai akibat dari revisi UU Pemilu oleh MK tentang suara terbanyak, karena akan muncul kompetensi dari para caleg demi mendapat suara terbanyak.

Gareng, salah satu peserta yang hadir dalam dialog tersebut mengatakan bahwa money politic menjadi sesuatu yang didamba kehadirannya dalam alam seperti ini karena masyarakat jelas mengharapkan sesuatu dari proses demokrasi yang sedang berlangsung. “Saya sebagai bagian dari masyarakat, secara terang-terangan jelas mengharapkan sesuatu dari proses pemilu tersebut, karena kita sudah seringkali menjadi korban dari proses pemilu itu. Kalau hubungannya dengan politik uang, kalau boleh saya sarankan ya terima saja uangnya, tapi jangan pilih orangnya” ungkapnya. (nophee)

Selengkapnya...

Respon Rakyat Jombang Menjelang Pemilu 2009

(Jombang, Alha-Raka) Upaya penguatan kesadaran politik rakyat menjadi penting menjelang pemilihan calon legislatif (Caleg) baik tingkat Kabupaten, Propinsi maupun DPR RI. Sehingga rakyat tidak terus-menerus menjadi objek politik tetapi berubah menjadi subjek yang mampu mempengaruhi realitas politik untuk berpihak kepada rakyat.

Secara normatif, tugas pendidikan politik sesungguhnya harus dilakukan Parpol (partai politik). Dalam pasal 11 Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Parpol menjelaskan bahwa parpol berfungsi melakukan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar warga negara Indonesia menjadi sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Praktiknya hal ini sedikit dilakukan oleh Parpol, sebaliknya masyarakat harus proaktif meningkatkan partisipasinya dalam Pemilu untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif.

Salah satu kelompok Mawarno dari Mojowarno Jombang mempunyai gagasan untuk mempertemukan Caleg (Calon Legislatif) lokal pada Dapil III yang meliputi Bareng Mojowarno, Mojoagung pada tanggal 15 Pebruari 2009. Acara diadakan di Balai desa Mojowarno kecamatan Mojowarno kabupaten Jombang dengan tema menuju pemilu berkualitas 'Ada Apa Dengan Caleg-Siapa Calegku.' Dari 250 undangan yang disebar, hanya 100 orang yang datang memadati balai desa. Tapi antusiasme masyarakat tersebut tidak disambut positif oleh para caleg. Terbukti ketika panitia mengundang caleg dari dari 10 parpol hanya empat orang yang datang.

“Seharusnya memang Parpol yang melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, namun entah mengapa tidak ada satupun Parpol yang mengagas dialog antar Caleg dan mendiskusikan visi dan misi masing-masing. Untuk itu dari pada kita menunggu terus, maka sebagai pemuda tak ada salahnya jika menginginkan seorang wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan nasib rakyat,” kata Didik.

Kesadaran Politik Harus Dibangun
Terbangunnya kesadaran politik rakyat, tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Keberadaan 44 parpol di Kabupaten Jombang sesungguhnya memiliki tingkat kekuatan untuk melakukan pendidikan politik. Wajar tahun demi tahun tingkat golput (golongan putih) semakin meningkat. “Kondisi inilah yang menjadi penting untuk didiskusikan, meski kami hanya kumpulan pemuda namun memiliki keinginan untuk membangun tatanan demokrasi yang lebih berkualitas, memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya untuk meningkatkan kedewasaan pemilih. Janganlah parpol itu menyuguhi kucing dalam karung” kata Didik, selaku koordinator PPKM mantap.

Segala hal terkait dengan parpol dan calegnya, harus diketahui oleh khalayak. Masyarakat harus memiliki kebebasan memilih berdasarkan bacaan politik yang dimilikinya. Persoalan jatuhnya akan ke parpol mana atau caleg siapa, asalkan berdasarkan ijtihad sendiri, dianggap baik dan itu lebih mendidik dibandingkan dengan harus memilih dibawah ancaman fisik maupun psikologis, atau bahkan hanya karena politik uang.

“Tentu saja, menghadapi tugas yang sangat berat ini, parpol harus berbenah diri untuk selalu siap memberikan pendidikan politik dalam rentang yang sangat pendek ini. Sebagai risiko dari proses politik, berjuang di tataran struktur harus ditebus dengan perjuangan yang tidak ringan. Memang demokrasi perlu ditebus dengan waktu, tenaga, pikiran, dan dana yang sangat besar. Kendati tidak mudah parpol menghadapi persoalan di kalangan internal, namun kita berharap parpol tidak meninggalkan tugas utamanya yaitu melakukan pendidikan politik. Sebab kita punya target, Pemilu 2009 tidak hanya sukses tetapi juga berkualitas” tambahnya.

Menurut cerita Catur Budi Setyo, mantan pengurus Mawarno yang saat ini telah menjadi Kepala Desa Mojowarno menerangkan bahwa kegiatan mempertemukan Caleg memang pernah dilakukan pada tahun 2004. Hal ini dimaksudkan untuk mencari keuntungan usai pelaksanaan kegiatan karena selalu tidak ada untungnya bahkan mengalami kerugian. Namun dibalik itu semua yang terpenting adalah sebuah pendidikan politik yang memang harus dilakukan kepada semua orang. Agar mereka tahu calon mana yang pantas untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil.

“Rakyat perlu terbiasa dengan pendidikan politik, ini rasional. Mereka membutuhkan tambahan informasi karena masyarakat telah disuguhi fenomena politik sejak pilkades 2007. Untuk itu masyarakat bisa bebas menanyakan apapun, sebaliknya Caleg juga mempunyai waktu untuk memaparkan semua visi dan misinya asal jangan ngomong masalah pribadi aja. Untuk itu dialog ini harus ada RTL (rencana tindak lanjut) dari pihak panitia khususnya, agar bisa disosialisasikan kepada masyarakat yang tidak bisa hadir mengikuti jalannya diskusi,” terang Catur.

Hal senada juga ditambahkan oleh Riris, ketua Penggerak PKK Mojowarno,. bahwa peran serta perempuan dalam pemilihan legislatif ini juga sangat menentukan. Karena secara kuantitas kaum hawa juga cukup besar, maka hendaknya seluruh Caleg ketika sudah duduk di kursi dewan tidak lupa memperjuangkan kepentingan perempuan. Dengan meningkatkan anggaran, atau minimal mengawal betul anggaran dari 20% untuk perempuan benar-benar sudah tepat sasaran. “Kalau Kabupaten Jombang menginginkan perempuan berdaya, konsekuensinya memang harus diperjuangkan dalam bentuk anggaran. Bagaimana bisa membuat kegiatan banyak ketika anggaran sangat minim bagi perempuan,” ujar ibu satu putri ini semangat.

Respon Kelompok Jombang
Berbicara mengenai politik memang terkesan sulit di kalangan masyarakat desa. Namun pada bulan April 2009 seluruh lapisan masyarakat dari petani, tukang becak, akademisi, sampai pada pejabat di Kabupaten Jombang juga akan melakukan pemilihan umum. Kedengarannya sangat demokratis walaupun belum penyadaran politik belum dilakukan terutama bagi pemilih pemula. Keuangan ini akan dimanfaatkan para kandidat dengan masih menggunakan lagu lama. Mereka masih melihat faktor kedekatan, bahkan dukungan uang akan mendongkrak perolehan suara.

Ismail, Ketua Keramat Mojosongo Jombang, memaparkan bahwa tidak bisa dipungkiri kondisi politik saat ini adalah dampak dari pembelengguan politik selama 32 tahun telah membuat rakyat menjadi apolitik. Tentu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali membangkitkan kesadaran politik rakyat. Partai politik sebagai pemain di barisan terdepan memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Pemerintah harus memfasilitasi pendidikan politik tersebut melalui penyisipan materi pendidikan politik pada kurikulum pendidikan nasional. “Tujuan dari pendidikan politik tersebut adalah agar rakyat menjadi subyek politik. Menjadi pemain-pemain utama di pentas perpolitikan nasional, bukan seperti selama ini bahwa rakyat hanyalah obyek politik. Rakyat baru disertakan dalam kegiatan politik hanya ketika menjelang pemilu. Kita tentunya ingin mengubah hal tersebut,” tambahnya.

Kelompok Keramat mempunyai sikap tegas kepada Caleg, siapapun yang akan berkunjung ke Mojosongo akan diterima. Karena ini salah satu media pendidikan politik juga untuk seluruh anggota. Mereka bisa dialog langsung dengan para Caleg. Bayu, Mantan Ketua keramat juga mengomentari pentingnya kunjungan langsung Caleg kepada kelompok. “Kalau kita hanya melihat caleg melalui gambarnya di stiker, kartu nama, atau baliho sebetulnya tidak maksimal. Karena kita tidak akan pernah tahu motivasi dan latar belakang para Caleg mencalonkan diri. Untuk itu lebih baik kelompok bisa langsung bertanya, khususnya menanyakan komitmennya memperjuangkan kepentingan rakyat,” tuturnya.

Sama halnya dengan kelompok Dekrit 17 Badang Ngoro Jombang, Mereka juga mengakui sering dikunjungi langsung oleh para Caleg. Mohammad Efendi, salah satu anggota mengomentari maraknya kunjungan Caleg kepada kelompok, harus dinilai positif meski ada kepentingan ketika para Caleg datang. “Semakin banyak yang berkunjung bagi kelompok Dekrit'17 akan memperbanyak referensi kawan-kawan. Setidaknya ada perbedaan yang sangat besar ketika melihat Caleg melalui gambar, dengan melihat dan berdialog langsung dengan Caleg. Sementara ini kita masih memilah-milah mana yang lebih bagus. Saya pribadi saja belum ada gambaran yang cocok dengan pemikiran saya,” kata cak Epen, panggilan akrabnya.

Pentingnya kunjungan Caleg kepada kelompok, dinilai Cak Epen sebagai wujud kepedulian Caleg kepada kelompok. Salah satunya ketika mereka memberikan bantuan untuk kas kelompok. “Saya pikir memang lebih baik Caleg membantu langsung masyarakat. Dari pada uang kampanye dipakai untuk membuat ribuan baliho maupun stiker, belum lagi biaya ongkos jasa pemasangan amat sangat banyak yang terbuang percuma. Namun ketika uang tersebut dibuat membantu kelompok atau desa yang membutuhkan pastinya akan lebih bermanfaat,” tandasnya. (Din-din)
Selengkapnya...

Kelompok “Sumber Makmur” Memperjuangkan Kepentingan Perempuan

(Tulungagung, Paricara) Hampir dua tahun Kelompok Masyarakat Mandiri (KMM) “Sumber Makmur” Desa Tugu Kecamatan Sendang, Tulungagung berdiri. Banyak dinamika terjadi di kelompok yang sebagian besar anggotanya kaum perempuan. Mulai dari kisah keberhasilan, hingga cerita kegagalan, hambatan dan tantangan yang muncul dan berbaur menjadi satu.

Pada awal-awal terbentuk jumlah anggota hanya 8 orang, tapi kini sudah mencapai 25 orang. Secara perlahan mereka memahami hak dan kewajibannya sebagai warga. Mereka menyadari bahwa perempuan tidak seharusnya hanya berkutat dengan urusan rumah tangga, namun juga berhak masuk dalam wilayah sosial bahkan politik, termasuk berpartisipasi dalam pembangunan desa.

Kesadaran ini mendorong keterlibatan KMM Sumber Makmur dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) ditahun 2008. Mereka tidak hanya datang dalam forum tersebut, tetapi juga menyampaikan sejumlah usulan program pembangunan untuk kemajuan kaum perempuan Desa Tugu. KMM berupaya agar usulan yang mereka ajukan bisa masuk prioritas usulan desa.

Menurut Ketua KMM Sumber Makmur, Ibu Timi, keterlibatan kaum perempuan Desa Tugu di forum Musrenbangdes merupakan hal baru. Selama ini mereka tidak banyak mengetahui program-program pembangunan yang diusulkan oleh desa karena tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam Musrenbangdes. Perempuan cuma menjadi obyek pembangunan tanpa pernah tahu proses dan alokasi anggaran sebenarnya.

Dijelaskan ibu berputera satu ini, unsur perempuan yang ikut Musrenbangdes setiap tahun selalu ada. Namun, bisa dibilang jumlahnya sangat terbatas dan tidak mewakili kepentingan kaum perempuan, sebab yang diundang hanya pengurus PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Padahal ada unsur perempuan lain, seperti wanita tani, organisasi keagamaan, jama'ah-jama'ah dan sebagainya.

Terlebih, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Bedasarkan data Desa Tugu tahun 2007, jumlah penduduk perempuan sebanyak sebanyak 1.913 jiwa, sedangkan laki-laki 1.891 jiwa. Karena itu, kehadiran pengurus PKK yang jumlahnya hanya 1-2 orang dalam Musrenbangdes dianggap kurang mewakili kepentingan kaum perempuan Desa Tugu secara keseluruhan. “Kita ingin agar kaum perempuan Desa Tugu bisa berpartisipasi dalam membangun desa. Salah satunya dengan ikut Musrenbangdes dan menyampaikan usulan program-program pembangunan. Sehingga masalah dan kebutuhan kaum perempuan bisa didengar dan mendapat perhatian yang serius dari pemerintah,”papar Ibu Timi.

Tidak cuma sampai di Musrenbangdes, KMM Sumber Makmur juga terus menindaklanjuti usulan yang diajukan melalui Musrenbang di tingkat kecamatan, kabupaten dan forum-forum perencanaan pembangunan daerah lainnya, dengan harapan usulan tersebut masuk dalam APBD. Meskipun sampai saat ini belum membawa hasil yang memadai, tapi proses-proses yang dilalui menjadi pelajaran penting dan pengalaman berharga bagi semua anggota KMM Sumber Makmur.

“Kita jadi memahami bahwa untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk kaum perempuan, agar memperoleh anggaran melalui APBD, ternyata tidak gampang. Perlu kerja keras, walaupun kita sadar bahwa APBD merupakan hak masyarakat,”tambah Sujilah, anggota KMM Sumber Makmur.

Tetap Solid
Tidak hanya terlibat dalam perencanaan pembangunan, KMM Sumber Makmur juga melakukan kegiatan lain agar anggota kelompoknya bisa lebih berdaya dan mandiri, terutama dari segi ekonomi. Yakni dengan mengembangkan budi daya ternak kambing. Saat ini semua anggota kelompok telah memiliki kambing ternak untuk dibudidayakan menjadi usaha ekonomi produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga. Kambing-kambing ternak itu sebagian bahkan sudah beranak pinak. Maklum, pakan untuk kambing ternak, terutama rumput-rumputan relatif mudah didapatkan di Desa Tugu.

Setiap bulan mereka melakukan rembug (pertemuan) rutin plus arisan, bertempat di rumah anggota kelompok yang dijadwalkan secara bergiliran. “Dalam rembug, bukan hanya arisan melainkan juga membicarakan berbagai permasalahan untuk kita pecahkan secara bersama-sama. Misalnya bagaimana kelompok ini bisa ikut aktif dalam perencanaan pembangunan, bagaimana anggota kelompok dapat lebih sejahtera secara ekonomi, bagaimana menjadikan kelompok tetap utuh bahkan semakin maju dan sebagainya,”papar Bapak Muktamat, bendahara KMM Sumber Makmur.

Kenyataannya, KMM Sumber Makmur hingga memasuki usia hampir 2 tahun tetap solid. Dalam setiap kegiatan rembug rutin bulanan sebagian besar anggotanya selalu hadir. Ikatan emosional juga kian terpupuk. Sedikit demi sedikit banyak diantara anggota kelompok yang semula kaku dan grogi berbicara di muka umum, kini mulai terlatih dalam menyampaikan pendapat di depan orang banyak, termasuk berkomunikasi dengan aparat pemerintahan.

Bagi anggota KMM Sumber Makmur hal itu merupakan kemajuan yang luar biasa. Apa kuncinya? Menurut Bapak Muktamat, salah satunya karena kelompok ini dibangun dengan cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang berdaya, mandiri dan sejahtera melalui terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang kuat.

Bergerak dengan Pendekatan Agama
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah KMM Sumber Makmur digerakkan dengan sentuhan atau pendekatan agama. Dalam rembug, disamping arisan dan diskusi, juga diisi dengan pengajian agama. Bapak Muktamat sendiri yang dikenal sebagai tokoh agama Desa Tugu yang menyampaikan pesan-pesan agama tersebut. Materinya tidak cuma soal ibadah, tetapi juga persoalan sosial-kemasyarakatan.

Waktu yang dialokasikan untuk pengajian agama memang cukup singkat, yakni antara 10 sampai 15 menit, namun terbukti mampu memberi warna, semangat dan motivasi tersendiri bagi dinamika kelompok. Maklum, sebagian besar anggota KMM Sumber Makmur masih awam tentang agama. Mereka berharap dapat menimba ilmu lebih banyak dengan bergabung menjadi anggota kelompok. “Dengan memakai pendekatan agama, dalam setiap pertemuan kelompok, saya selalu menekankan kepada semua anggota untuk hadir jika tidak ada halangan yang benar-benar mendesak. Ikut pertemuan sangat penting agar keberadaan kelompok ini bisa tetap utuh, sehingga apa yang kita cita-citakan bisa tercapai,”kata Bapak Muktamat. (Nasi)
Selengkapnya...

Menanggulangi Bahaya 'Kematian' di Ekslokalisasi se-Kediri

(Kediri, SuaR) Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS, beberapa tahun terakhir ini, sepertinya kelompok-kelompok yang termarginalkan (terpinggirkan) selalu dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya 'pewabahan' di suatu tempat termasuk di Kediri. Logika yang mereka pakai adalah kelompok ini terstigma dan terdiskriminasi secara sosial, politik dan ideologi. Sehingga mereka sangatlah rentan memperoleh perlakuan tidak adil. Apalagi ketika perempuan menggunakan organ reproduksinya sebagai alat untuk bekerja, maka proses stigma itu semakin kuat karena menilai seseorang berdasarkan moral. Ironisnya kita juga sering melakukan aktifitas berdasarkan apa yang kita inginkan bukan apa yang mereka butuhkan

Kita tahu, prostitusi pada dasarnya merupakan perbuatan yang membahayakan kesehatan individu maupun masyarakat. Ini jelas bertentangan dengan norma agama maupun aturan hukum. Dari perspektif kesehatan, aktifitas tersebut jika tidak dikontrol akan menjadi titik awal menyebarnya berbagai macam penyakit menular seksual.

Minimnya kualitas pendidikan, tidak adanya lapangan kerja, dan belum adanya perbaikan ekonomi secara signifikan harus diakui sebagai faktor pemicu utama keberadaan pelacuran. Kondisi ini merupakan cerminan ketidakmampuan negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya. Artinya, problem pelacuran merupakan dampak dari ketidakmampuan pemerintah. Individu di dalamnya tidak lebih dari sekedar korban dari proyek pemiskinan terstruktur yang dilakukan secara sistematis. Meski seringkali kita tidak percaya dan underestimate karena menganggap mereka bodoh, malas, mau enaknya sendiri dan harap gampang.

Dalam rangka mereduksi dampak buruk dari pekerjaannya terhadap pewabahan HIV dan AIDS, maka SuaR melakukan intervensi terhadap kelompok pekerja seks dan pasangannya serta membentuk komunitas. SuaR mengadakan beberapa kegiatan antara lain Outreach (penjangkauan) secara individu terhadap kelompok pekerja seks baik yang terbuka (di lokalisasi) maupun di non lokalisasi dengan memberikan pengetahuan tentang resiko pekerjaan dan pencegahannya sampai pada tingkat perubahan prilaku serta kesadaran untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin di delapan tempat yakni; Ekslokalisasi Dadapan, Gurah dan Gedang Sewu. Tambi, Bolodewo, Krian, Weru dan Butuh serta semampir.

Untuk mereduksi katergantungan, ketidakberdayaan dan adanya kepercayaan komunitas agar bisa berdaya dan mandiri maka SuaR mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan mereka agar bertanggungjawab dalam komunitasnya. Pada tingkat Komunitas terbentuklah POKJA pencegahan HIV/AIDS dan POKJA Se-Kediri Raya. Secara individu mereka membentuk kader-kader kesehatan untuk kelompok pekerja seks yang tergabung dalam Pendidik Sebaya (PE). Untuk memperoleh dukungan dari Mucikari dan meningkatkan pengetahuan diadakan kegiatan One Day Training, yang tidak kalah pentingnya melibatkan pasangan Pekerja seks (KIWIR) dalam pelatihan Kader Kesehatan khusus untuk laki-laki di Lokalisasi.

Hal ini adalah bagian dari strategi yang berkelanjutan, sehingga proses penyadaran berlangsung secara simultan dengan melibatkan semua stakeholder. Dan mereka menjadi pelaku utama. Karena tidak semua permasalahan bisa ditangani oleh komunitas, untuk pemeriksaan kesehatan maka harus melibatkan Dinas Kesehatan maupun Puskesmas.

Penanganan persoalan kesehatan dibutuhkan kerjasama dari beberapa pihak, baik Dinas Kesehatan, Dinas sosial, Dinas Tenaga Kerja, satpol PP maupun kepolisian untuk bersama-sama melakukan upaya pemberdayaan pada kelompok marginal, karena sebagai warga negara mereka mempunyai hak yang sama, termasuk didalamnya adalah rasa aman dari permasalahan sosial dan aman dari penyakit.

Perlindungan Bagi Pekerja Seks
Menilik tragedi beberapa bulan lalu di tahun 2008, kejadian mengenaskan menimpa dua orang WPS di ekslokalisasi Tambi Desa Tambirejo Kec. Kandangan Kediri. Keduanya meninggal dunia di sebuah sungai dekat lokasi mereka tinggal akibat lari ketakutan saat terjadi pemeriksaan aparat. Tragedi kemanusiaan pelanggaran HAM ini menelan korban NDA (26) dan Htk (40).

Dilihat dari kasus tersebut, tindakan aparat merupakan pencerminan dari kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif, mengabaikan hak-hak sipil dan ekonomi korban, serta tidak disandarkan pada kejernihan dalam melihat persoalan. Kriminalisasi terhadap korban membuktikan aparat tidak becus dalam menjalankan kewajibannya, sehingga klaim 'memberantas penyakit masyarakat' dijadikan pembenar atas kelalaian mereka melindungi nyawa korban.

Namun begitu kejadian miris ini tidak menghentikan aktifitas di eks lokalisasi yang lain. Mereka seakan sudah terbiasa dengan resiko itu sehingga tidak begitu menghiraukan. ”Namun setidaknya, pendampingan kami kepada para WPS supaya mereka bisa mengambil pelajaran agar tidak terjadi lagi tragedi serupa. Di sisi lain dalam kaitannya dengan perlindungan kesehatan, kami melakukan kegiatan program penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV-AIDS. Kegiatan ini memerlukan peran serta dari semua warga yang ada di ekslokalisasi. Dengan adanya kerjasama dan pemahaman yang sama diharapkan mereka terhindar dari bahaya mematikan yang datang dari dalam tubuh mereka sendiri. Oleh karena itu mutlak harus ada kader-kader kesehatan di lingkungan mereka baik kelompok kerja (POKJA), WPS sendiri dan kiwir,” kata Sanusi, Direktur SuaR, memberikan keterangan..

”Kiwir adalah pasangan tetap WPS non suami yang “dipelihara” WPS dengan pola hubungan seperti suami. Mereka diharapkan bisa membantu menyebarkan informasi yang akhirnya bisa membuat perubahan prilaku seseorang/WPS menjadi lebih disiplin. Lebih dari itu, penyampaian informasi kesehatan tidak hanya dilakukan ke pasangannya melainkan ke pelanggan dan ke WPS yang lain,” tambah Sanusi

Kegiatan penilaian resiko individu/Individual Risk Assesment (IRA) keWPS bisa membantu mereka dalam merencanakan pengurangan resiko agar tidak tertular IMS dan HIV-AIDS. Rencana pengurangan resiko paling banyak akan diambil tindakan pemeriksaan secara rutin, mengurangi minum anti biotik, menawarkan kondom (menggunakan kondom setiap hubungan seks), dan tidak mencuci vagina dengan menggunakan pasta gigi karena berbahaya.

Dari rencana yang telah dijalankan, yang paling berhasil adalah pemeriksaan rutin, mengurangi minum anti biotik dan tidak mencuci vagina dengan menggunakan pasta gigi. Untuk pemakaian kondom di kelompok WPS, dari hasil pemeriksaan sampai saat ini masih rendah. Menurut salah seorang WPS yang menolak disebutkan namanya menyatakan, tamu mereka banyak yang tidak mau meskipun mereka sudah berusaha melakukan nego untuk meningkatkan penggunaan kondom saat hubungan seks. Hal ini terbukti, dari keterangan WPS pada saat IRA lanjutan, bahwa dalam proses negosiasi kondom seringkali gagal.

Program lainnya yakni Penapisan (PNP), adalah pemeriksaan secara menyeluruh dan periodik pada kelompok resiko tinggi di ekslokalisasi (WPS). Kegiatan rutin itu dibantu oleh kelompok kerja (POKJA) yang bertugas di seksi kesehatan. ”Adanya komunikasi yang baik antara pokja dengan petugas medis (tim kesehatan), kegitan penapisan berjalan lancar, dan POKJA masing-masing bisa melakukan tugasnya dengan baik. Begitu juga pemeriksaan pelanggan (HRM) dengan cara datang langsung ke klinik sesuai jadwal yang saya informasikan berjalan baik,” kata Ijun, salah satu petugas lapang SuaR.

”HRM/pelangan yang mengakses layanan ini ketika diperiksa hasil IMSnya banyak yang positif. Akhirnya, mereka percaya bahwa penyakit kelamin hanya bisa dicegah dengan menggunakan kondom. Dan setelah pemeriksaan ini, diharapkan klien itu bisa menyampaikan informasi ke teman sebayanya tentang bahaya dari prilaku beresiko bagi keluarga. Namun sebaiknya anda semua mencegahnya dengan A,B,C,D,& E : yakni Anda tidak melakukan seks (bebas), Bersikap saling setia pada pasangan, menCegah dengan memakai kondom, noDrug, dan melakukan Edukasi pada masyarakat,” ujar Ijun, menyarankan. (SuaR, Rmy)

Selengkapnya...

KRJB Melakukan Pendidikan Koperasi di Kelompok-kelompok

(Jombang) Diawal tahun 2009, Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat (KRJB) melakukan pendidikan koperasi seperti yang dimandatkan dalam Raker (Rapat Kerja) pada bulan Juli 2008. Tujuannya mendorong pembentukan dan memperkuat koperasi di kelompok-kelompok yang mencirikan kemandirian penguasaan dan pengelolaan permodalan.

KRJB, adalah sebuah forum aliansi dari kelompok-kelompok di Kabupaten Jombang yang terbentuk di tahun 2006. Tujuan forum ini untuk memperjuangkan keadilan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya yang selama ini tidak berpihak pada rakyat kecil. Menurut ketua KRJB, Anis Su'udi, meskipun KRJB mempunyai program utama membangun usaha ekonomi koperasi, namun tidak menutup kemungkinan akan melakukan advokasi secara umum. Dalam pelaksanaanya, KRJB memberi mandat kepada Komite Pelayanan untuk melakukan pelatihan sesuai permintaan kelompok. Adapun anggota komite terdiri dari kelompok-kelompok yang sudah berpengalaman, seperti anggota Perkumpulan Alha-Raka dan ICDHRE. “Kita mempunyai makna sendiri tentang ekonomi kerakyatan yakni ekonomi tonggone dewe-dewe. Artinya kita akan melakukan usaha pengembangan ekonomi dimana kita tinggal ” terangnya.

Hal senada disampaikan Zainul Abidin, salah satu anggota Komite Pelayanan, bahwa dalam pelaksanaan pelatihan tergantung kebutuhan kelompok, karena tidak semua kelompok yang tergabung dalam KRJB mempunyai usaha yang sama. Untuk itu komite pelayanan memberikan klasifikasi materi yang terbagi dalam 3 tahapan. tahap pertama, bagi kelompok yang belum ada usaha ekonomi, tahap kedua, kelompok yang sudah memiliki usaha dan akan diarahkan untuk membangun koperasi simpan pinjam. Dan tahap tiga, kelompok koperasi yang telah memiliki usaha simpan pinjam tapi masih membutuhkan skill administrasi atau pembukuan.

Tahap awal pelatihan dilakukan di kelompok Sigino Desa Grogol Diwek Jombang, pada 5 Januari 2009. Sebelum melakukan pelatihan di semua kelompok, komite membutuhkan data awal terkait persoalan kelompok. Hal ini untuk bahan fasilitator dalam mengarahkan forum agar lebih dinamis. Tujuan pelatihan ini adalah untuk membantu kelompok membangun koperasi yang kuat. Hal ini karena sebagian besar anggota KRJB adalah masyarakat miskin. Maka perlu kiranya membahas dan mengupas secara rinci tentang perekonomian kelompok. Dari sinilah salah satu pengurus Sigino, Nasikin, berharap kepada komite (KRJB) selain memfasilitasi bagaimana mengelola administrasi dengan baik, juga memberikan pengetahuan kepada kelompok agar mengetahui cara mengembangkan usaha bersama.

Berbagi Pengalaman Berkoperasi
Pelatihan koperasi KRJB telah terlaksana di beberapa kelompok diantaranya; Kelompok Koperasi Sigino, Kelompok Koperasi Cakra Sengon Jombang, dan Kelompok Pemuda Dekrit 17 Ngoro yang diikuti 3 kelompok di wilayah Korcam Jombang Selatan, serta di Komunitas APP (Asosiasi Pemuda Pagerwojo) yang diikuti kelompok Banjarsari di wilayah Korcam Perak Jombang.

Pelatihan koperasi kedua terlaksana pada 22 Januari 2009, di Kelompok Koperasi Cakra Sengon Jombang. Hasilnya dituturkan oleh Sutiar, penasehat Koperasi Mamkari, bahwa dengan bertemunya mereka pada kebutuhan yang sama akan semakin mempererat hubungan antar kelompok. “Setidaknya saya bisa menduplikat hasil pembukuan kali ini untuk dijadikan referensi baru bagi kelompok Mamkari. Mamkari ingin memperbaiki beberapa catatan model pembukuan agar lebih mudah, dan perkembangannya lebih pesat ketika mereka sering bertemu dan belajar dengan koperasi lain. Meski hanya perwakilan, namun hasil dari pelatihan ini nantinya akan diberitahukan kepada pengurus dan anggota yang lain tentunya,” kata Sutiar, mantan ketua KRJB periode 2006-2008.

Sementara itu pelatihan koperasi ketiga di wilayah Jombang selatan pada tanggal 26 Januari di Balai Desa Badang Ngoro Jombang. Diikuti tiga perwakilan kelompok yang hadir yakni, Dekrit 17 Badang Ngoro, Kompak Bajang Karanglo Mojowarno, dan Manis Madu Godong Ngoro Jombang. Beberapa temuan dan usulan dari proses pelatihan itu diantaranya dikemukakan oleh Catur Prasetyawan yang menanyakan, mengapa KRJB hanya mendorong kelompok untuk membentuk koperasi, bagaimana jika KRJB juga praktek langsung mengelola koperasi. Dan mengapa KRJB mematok harga mati, bahwa untuk menyelesaikan persoalan ekonomi kelompok harus mendirikan koperasi?

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Anis Su'udi selaku ketua, bahwa ia tidak bisa memutuskan KRJB harus membentuk koperasi, karena dalam Raker tidak ada program pendirian koperasi KRJB. Selain itu, KRJB tidak mungkin mendirikan koperasi sendiri karena masing-masing kelompok sudah ada koperasi yang mempunyai legalitas dan kewenangan membuat kebijakan sendiri. Bagaimana mungkin KRJB merubah kewenangan tersebut. Peluang lain yang mungkin dilakukan KRJB adalah advokasi kebijakan kepada pemerintah Jombang. Point penting ini harus dilakukan sebagai langkah awal membangun kelompok.

Usulan lain, datang dari Bogel, mantan ketua Dekrit'17, bahwa KRJB harus mendokumentasikan berbagai kasus kelompok sebagai media pembelajaran bagi kelompok lain. Seperti mencatat kegiatan koperasi yang sudah dijalankan, dan kemudian membuat rencana tindak lanjut dan evaluasi. Catatan itu kemudian disebarkan ke kelompok-kelompok yang membutuhkan khususnya saat pelatihan.

Dari paparan Mukhlisoni, anggota Kelompok Kompak Bajang Karangloo Mojowarno, saat ini kegiatan bersama yang telah dilakukan masih sosial kemasyarakatan. Sedangkan untuk kegiatan usaha ekonomi bersama belum ada. Namun sudah mempunyai greget untuk membuat usaha bersama. Motivasi ini diperoleh dari seringnya berinteraksi dengan KRJB. Adapun usulan dari kelompok Kompak adalah, bagaimana kalau pengurus memfasilitasi bertemunya seluruh kelompok KRJB untuk melakukan kerjasama khususnya di bidang pemasaran.

Pelatihan keempat, bertempat di Komunitas APP (Asosiasi Pemuda Pagerwojo) dan Banjarsari Perak Jombang. Dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2009 di balai Desa Pagerwojo, dihadiri sebanyak 17 peserta. Selain koperasi, Mauludin Syafi'i, salah satu anggota APP menyampaikan rencana membuat usaha ternak belut bersama. Dan kegiatan ini akan dijadikan salah satu usaha koperasi.

Sepenggal Cerita Koperasi dari Jombang Utara
Koperasi Wira Usaha Katemas (WIKA) Desa Katemas Kudu Jombang telah memiliki 266 anggota. Sebelum ada koperasi, Desa Katemas adalah pusat kerajinan anyaman pandan. Namun karena kondisi pemasaran yang merosot, akhirnya muncul inisiatif membentuk koperasi.

Pertama kalinya ada 20 orang yang terlibat dengan simpanan pokok sebesar Rp.10 ribu, simpanan wajib Rp 1.000 dan bunga pinjaman sebesar 2 %. Jumlah anggota lambat laun kian bertambah menjadi 100, 200 dan hingga sekarang telah mencapai 266 orang. Sedangkan untuk modal koperasi telah berkembang dari Rp 7 juta menjadi Rp 12 juta.

Untuk kerajinan anyaman pandan, sampai sekarang juga masih eksis meski pemasarannya terkadang tersendat. Untuk saat ini kelompok WIKA sedang mempersiapkan sampel pesanan anyaman pandan dari seorang pengusaha di Bojonegoro. “Kita (WIKA) memang sedang mempersiapkan sampel anyaman untuk di bawa ke Bojonegoro karena kami mendapatkan pesanan dalam jumlah lumayan banyak” ungkap Zainul Arifin, Ketua Koperasi WIKA Katemas.

Beberapa koperasi yang juga eksis, yakni Koperasi Amanah yang berada di Desa Mayangan Kecamatan Jogoroto. Koperasi ini mulai aktif sejak Desember 2007, dengan anggota lebih dari 80 orang, dan besaran modalnya mencapai Rp.20.000.000. Selain itu juga ada Koperasi Perempuan Jawara Randuwatang (KPJR) Kudu, yang tetap bertahan di tengah godaan banyaknya bank clurut, karena mereka yakin kelompok koperasi bisa menjadi wadah menyelesaikan persoalan ekonomi anggotanya. Koperasi ini dirintis sejak Juni 2008 dan memiliki anggota sebanyak 20 orang. Sedangkan mencapai Rp.3.000.000. Selain berkoperasi, KPJR juga mempunyai usaha kerajinan anyaman tas plastik. Titik Purwati, sekretaris KPJR mengungkapkan, “Pesanan anyaman tas plastik biasanya datang ketika ada hajatan besar, atau akhir tahun. Paling sering dipesan untuk THR an” ungkap ibu muda yang juga caleg dari salah satu partai besar ini.

Lain halnya dengan koperasi Leppast. Koperasi yang berada di Dusun Kalibening, desa Tanggalrejo kecamatan Mojoagung ini beberapa waktu lalu telah melakukan RAT pertama. Dengan jumlah modal sekitar Rp. 5,180 juta dari 68 orang anggota. Koperasi ini terbilang cukup unik, sejak kemunculannya pada Januari 2005, koperasi Leppast hanya melakukan kegiatan simpanan saja. Dan betho' ane (SHU) dibagikan menjelang hari raya. Namun sejak Maret 2008, koperasi ini mulai melakukan simpan pinjam.

Pada acara RAT (Rapat Anggota Tahunan) pertama pada 17 Januari 2009, disepakati Koperasi Leppast akan menambah anggota yang mencakup warga desa. Karena sebelumnya koperasi Leppast hanya mencakup lingkup dusun saja, kini akan melakukan pengembangan ke seluruh masyarakat Desa Tanggalrejo. Dalam hal keuangan Koperasi Leppast termasuk salah satu koperasi yang transparan. Dalam forum RAT kala itu, disepakati juga untuk anggota yang ingin mengakses laporan keuangan bisa langsung bertanya kepada pengurus tiap bulannya.

Beberapa penggal cerita tentang tetap eksisnya koperasi-koperasi yang ada di beberapa komunitas telah menunjukkan bahwasanya program utama koperasi yang diusung oleh KRJB tetap bisa menjadi isu strategis dalam menjawab tantangan bagaimana membangun dan mengembangkan kemandirian ekonomi di kelompok-kelompok. (Nophie, Dien)

Selengkapnya...

Keterampilan Membordir Meningkatkan Pendapatan Keluarga

(Tulungagung, Paricara) Membangun ekonomi yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan semangat, kerja keras, kemampuan mengelola organisasi dan solidaritas tinggi dari setiap orang yang terlibat dalam kelompok tersebut.

Begitu halnya dengan Kelompok Masyarakat Mandiri (KMM) Jaya Makmur Desa Selorejo Kecamatan Ngunut, Tulungagung. Mereka harus berjuang ekstra keras bagaimana agar keberadaan kelompok yang telah berdiri hampir dua tahun silam bertahan bahkan semakin maju dan anggotanya kian mandiri dan sejahtera. Berbagai upaya dilakukan, antara lain dengan mengembangkan usaha ekonomi berupa bordir. Sebagian besar anggota KMM Jaya Makmur pernah mengikuti pelatihan bordir selama beberapa minggu pada akhir tahun 2007.

Kelompok ini bahkan telah memiliki inventaris berupa dua unit mesin bordir yang dipakai secara bergiliran bagi anggota yang membutuhkan. Sejumlah anggota yang tidak memiliki modal telah memanfaatkan mesin ini untuk mengembangkan usaha bordirnya. Hasilnya, selain dapat memperdalam ketrampilan membordir, keberadaan mesin ini dinilai ikut membantu meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga anggota KMM Jaya Makmur. Ketua KMM Jaya Makmur, Nurul Isnaini mengakui, tidak semua anggota kelompok dapat menggunakan mesin tersebut karena jumlahnya yang masih terbatas. “Tetapi paling tidak dapat memberikan manfaat bagi anggota yang betul-betul tidak punya modal untuk membeli mesin sendiri,”ujarnya.

Dikatakan Nurul, masalah modal memang menjadi persoalan tersendiri bagi kelompok yang mempunyai anggota sebanyak 24 orang ini. Namun, bukan berarti hal itu tidak dapat diatasi. Setidaknya ada dua jalan yang telah ditempuh. Pertama, mengajukan usulan agar mendapatkan dukungan dana dari APBD melalui forum-forum perencanaan pembangunan seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Cara kedua adalah dengan swadaya. Sebagian anggota kelompok mengumpulkan modal sendiri untuk membeli mesin bordir dan bahan-bahan baku yang dibutuhkan.

Kedua cara itu dijalankan secara bersama-sama. Namun, pengajuan lewat APBD pada tahun 2008 lalu gagal dicapai. Usulan yang diajukan ternyata tidak masuk dalam APBD 2009. Bendahara KMM Jaya Makmur, Umi Ani menambahkan, pihaknya menyadari bahwa mengajukan usulan lewat APBD memang butuh waktu lama, yaitu satu tahun lebih. Hasilnya pun belum pasti, bisa disetujui bisa pula ditolak. Sedangkan mereka harus bertahan hidup ditengah kebutuhan pokok yang terus menerus merangkak naik. Namun, kelompok ini tidak patah arang, pada 2009 ini mereka mengusulkan lagi pengadaan mesin bordir ke APBD melalui Pemerintah Desa Selorejo.

Sukses Tanpa Mengandalkan Modal Pemerintah
Di tengah kegagalan mengakses dana APBD, ada dua anggota KMM Jaya Makmur justru sukses mengembangkan usaha bordirnya tanpa tergantung dengan dana dari pemerintah. Mereka adalah Sulikah dan Siti Isroil. Keduanya tergerak untuk mendapatkan modal secara mandiri karena sulitnya mengakses modal dari pemerintah. Mereka membeli mesin bordir dengan cara swadaya. Lagi pula aset yang dimiliki kelompok kami masih kecil, sehingga belum dapat memberikan pinjaman modal kepada anggotanya.

Sulikah misalnya, dalam jangka waktu kurang dari setahun, ia sudah berhasil memproduksi bordir sebanyak satu kodi per hari atau 30 kodi per bulan. Mulai dari membordir sarung bantal, sprei dan sebagainya. Produksi bordir itu merupakan pesanan dari pelanggan melalui pengepul.

Menurut perempuan yang akrab dipanggil Kisul ini, keuntungan yang diperoleh memang belum terlalu besar. Dalam 15 hari (dua minggu), ia mengaku hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp 150 ribu-Rp 170 ribu atau rata-rata Rp 300 ribu per bulannya.
Walaupun cuma Rp 300 ribu per bulan, Kisul yang memiliki seorang puteri ini tetap bersyukur karena dapat membantu suaminya mencari nafkah untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga, sehingga dapur tetap bisa mengepul. “Lumayanlah, hitung-hitung dapat membantu suami,”katanya.

Pengurus KMM Jaya Makmur berharap langkah yang ditempuh Kisul dapat ditiru dan dapat memberikan motivasi kepada anggota kelompok yang lain untuk mengembangkan usaha bordir. Yakni berusaha secara mandiri dan tidak tergantung dengan modal pemerintah. Anggota kelompok yang tidak mampu membeli mesin sendiri bisa menggunakan mesin inventaris kelompok.

Selesaikan Masalah Lewat Rembugan
Selama hampir 2 tahun berjalan, KMM Jaya Makmur banyak menghadapi masalah dan tantangan, terutama bagaimana membangun kelompok perempuan yang solid dan kuat serta meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan anggota melalui pengembangan ekonomi produktif lewat bordir dan sebagainya.

Berbagai masalah itu dibicarakan dan diselesaikan melalui forum rembug yang dilakukan setiap satu bulan sekali. Kegiatan ini dilaksanakan secara bergilir di rumah-rumah anggota kelompok, diselingi dengan kegiatan arisan. “Dalam rembug kita membicarakan banyak hal dan berusaha menyelesaikan setiap masalah yang kita hadapi bersama. Seperti bagaimana memperoleh modal usaha bagi anggota kelompok, menjadikan forum rembug sebagai kegiatan yang menarik dan membangkitkan kembali semangat anggota kelompok yang saat ini mulai turun,”tutur Umi Ani. (Nasi)
Selengkapnya...

TUNTUTAN MASYARAKAT KEDUNG BANTENG

(Madiun, Difaa) Rendahnya akses terhadap hak-hak kesehatan, yang meliputi informasi (terutama tentang hak kesehatan reproduksi), kualitas pelayanan kesehatan, dan sarana kesehatan yang kurang memadai menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan hidup lebih dari 300 orang penghuni termasuk pedagang, juru parkir, dan anak-anak di wilayah yang dikenal dengan Lokalisasi Kedung Banteng (LKB).

Biasanya lokalisasi terletak di jalur-jalur transit kendaraan pengangkut barang atau hanya beberapa kilometer dari perkotaan sehingga akses untuk memperoleh layanan umum seperti jasa transportasi, pusat perbelanjaan, puskesmas atau rumah sakit, Klinik VCT dan apotik lebih mudah karena jarak yang dekat.
Tetapi agak berbeda dengan Lokalisasi Kedung Banteng (LKB) di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Letak LKB sangat jauh dari perkotaan, sekitar 28 km dari kota Ponorogo dan 33 km dari Kota Madiun sehingga menyulitkan memperoleh layanan umum khususnya bagi para pekerjanya. Misalnya transportasi ke terminal atau ke Puskesmas harus menghabiskan uang sekitar Rp 25 ribu sampai dengan Rp 30 ribu. Belum lagi kondisi jalan masuk menuju lokalisasi ini masih makadam sejauh 3 km dari jalan beraspal.
Dari hasil PAR (Participation Action Research) yang pernah dilakukan oleh DIFAA (Muslim Woman's Initiatives for Human Right) selama 6 bulan ditahun 2007 bersama masyarakat Kedung Banteng menyimpulkan, masih adanya beberapa persoalan riil yang dirasakan oleh masyarakat LKB. Mulai dari masalah jalan yang rusak, pemenuhan kesehatan dan pendidikan.
Hak atas kesehatan ini telah dijamin dan menjadi kesepakatan dunia yang tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan konvensi-konvensi yang ada dibawahnya seperti; Konstitusi WHO 1946, Deklarasi Alma Ata 1978, Deklarasi Kesehatan Dunia 1998. Bahkan hak atas perawatan dan pelayanan secara khusus ditegaskan pada Penjelasan Umum (General Comment) No. 14/2000, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Lebih-lebih lagi bahwa hak-hak dasar rakyat atas kesehatan ini juga termaktub dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDG's) yang mana Indonesia juga turut menandatangani kesepakatan tersebut.
Rapat Koordinasi Kesehatan Daerah Propinsi Jawa Timur yang diselenggarakan di Prigen pada 13-14 Oktober 2008 lalu, juga menghasilkan pointer bahwa pada tahun 2010 setiap Kab/Kota diharapkan memiliki layanan penanggulangan HIV-AIDS terutama layanan Pengobatan Dukungan dan Perawatan serta memulai program kolaborasi TB-HIV.
Sudah saatnya pelaksanaan kebijakan publik dibidang kesehatan saat ini digeser paradigmanya dari sekedar memenuhi kebutuhan (need) ke arah pendekatan berlandaskan hak (right based). Hak atas kesehatan tersebut wajib dipenuhi oleh negara (dalam hal ini pemerintah Kabupaten Ponorogo) bagi setiap warga negara tanpa memandang suku, ras, agama atau jenis pekerjaannya.
Upaya Memperkuat Hak-hak Perempuan
Hasil pelatihan kesehatan reproduksi dan rembug warga (FGD) yang dilakukan DIFAA dengan masyarakat LKB, menunjukkan belum maksimalnya pelayanan kesehatan yang diterima oleh warga masyarakat Kedung Banteng. Kondisi ini justru menjadi semangat tersendiri untuk terus belajar mengerti dan memahami hak-hak dasarnya atas kesehatan, terutama kesehatan reproduksi bagi pekerja seks (PS) yang di sana.
DIFAA bekerjasama dengan HIVOS Jakarta berusaha membantu dan mendorong semangat ini dengan memfasilitasi beberapa kegiatan untuk memperkuat hak-hak kesehatan reproduksinya.
Hampir tiap hari, sejak 6 bulan lalu, Yogic dan Sirin berkeliling dari wisma ke wisma untuk menjalin persahabatan dan perlahan-lahan menyelipkan informasi-informasi tentang kesehatan reproduksi kepada para PS sambil bercanda dan berbagi cerita. Dan ternyata jerih payah mereka ini mulai membuahkan sedikit hasil. Terutama setelah pelatihan selama dua hari di Ngebel, beberapa alumni pelatihan ini ternyata juga sudah meng-gethok tular-kan ilmu yang didapat kepada teman-temannya yang satu wisma dan ada juga kepada beberapa pelanggan.
Seusai pelatihan kawan-kawan PS di Kedung Banteng bersepakat untuk belajar bersama dan terus meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, termasuk pentingnya penggunaan kondom. Kenyataannya belum semua memakai kondom karena seringkali pelanggan juga tidak mau memakai kondom. Seringkali mereka beralasan kondom tidak nikmat, tidak nyaman, dan merasa yakin bahwa dirinya adalah orang yang sehat atau bebas dari penyakit. Padahal hanya kondom satu-satunya cara untuk mencegah penularan PMS/IMS, HIV dan AIDS.
Tapi pada dasarnya kawan-kawan PS di Kedung Banteng banyak yang sudah pintar, buktinya beberapa diantaranya sudah berani dan mau berbagi pengalaman dengan masyarakat sekitar. Melalui Talkshow di Radio Komunitas DELTA FM pada bulan Desember, mbak Luna (nama Samaran) berbagi cerita tentang pengalamannya menjadi TKI di Luar Negri. Juga pada bulan Januari 2009 kemarin, Mbak Dara (nama samaran) berbagi pengalaman tentang cara-cara menjaga kesehatan reproduksi yang benar. Misalnya jangan terlalu sering memakai sabun pembersih vagina karena akan membunuh bakteri yang sebenarnya masih dibutuhkan oleh tubuh kita. Jadi memang tidak semua bakteri itu berwatak Jahat.
Pada bulan Februari, kawan-kawan PS di LKB ingin belajar tentang kesehatan reproduksi secara medis kepada Dinas Kesehatan (DINKES) Kabupaten Ponorogo. Mereka sudah menyusun beberapa pertanyaan tentang jarum suntik, manfaat obat-obatan yang biasa mereka konsumsi juga tentang beberapa jenis peralatan yang biasanya ada di klinik tiap hari Rabu pagi.
Tetapi nampaknya pihak DINKES belum memberikan respon karena masih padatnya jadwal kegiatan DINKES sehingga rencana ini belum dapat terwujud. Yah kita harus bersabar untuk dapat mewujudkan amandemen UUD 45 pada tahun 2000 pasal 28 H bahwa “....setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”, termasuk pelayanan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang telah disebut diatas. (ida difaa)

Selengkapnya...

TKI Bentuk Kelompok Simpan Pinjam Perempuan

(Tulungagung, Paricara) Meski sering disebut sebagai pahlawan devisa, faktanya menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) tak selamanya membawa hasil yang menggembirakan. Tindak kekerasan sering dialami, bahkan tak jarang diantara mereka pulang dengan tangan hampa. Keinginan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga pun sirna. Agar bisa bangkit kembali, mantan TKI harus memulai dari nol.

Nasib tak menyenangkan itu setidaknya dialami sejumlah mantan TKI perempuan asal Desa Pojok Kecamatan Ngantru, Tulungagung. Setelah tidak lagi bekerja di perantauan, di rumah mereka harus berjuang keras membantu sang suami mencari nafkah agar dapur tetap mengepul dan anak-anak juga tetap bisa sekolah. Ada yang membuka usaha ternak ayam, jahit menjahit, makanan, sampai memproduksi emping mlinjo.

Tidak hanya soal ekonomi, kondisi yang sama buruknya adalah ketika para TKI menerima perlakuan tak semestinya dari majikannya di luar negeri maupun perusahaan penyalur tenaga kerja. Mereka sering mengalami penipuan, kekerasan fisik dan mental, penelantaran, gaji tak sesuai kontrak dan sebagainya tanpa ada perlindungan terhadap TKI.

Di tengah situasi semacam itu, dua tahun lalu, beberapa mantan TKI dan kaum perempuan Desa Pojok membentuk sebuah kelompok perempuan yang kemudian diberi nama Kelompok Masyarakat Mandiri (KMM) Sumber Rejeki. Beranggotakan keluarga, calon dan mantan TKI perempuan. Kelompok ini telah mempunyai anggota sebanyak 25 orang perempuan dengan berbagai latar belakang profesi.

Berdayakan Perempuan Desa
Ketua KMM Sumber Rejeki, Siti Mukaromah, menjelaskan bahwa tujuan utama dibentuknya kelompok untuk memberdayakan ekonomi kaum perempuan Desa Pojok, khususnya bagi keluarga, calon dan mantan TKI perempuan. Disamping itu untuk mendorong Pemerintah Kabupaten Tulungagung agar lebih memperhatikan kondisi TKI yang telah memberikan sumbangan besar bagi perekonomian daerah dengan kiriman uang rata-rata Rp 300 miliar per tahun. Antara lain dengan meningkatkan anggaran pemberdayaan TKI serta menerbitkan peraturan daerah yang berpihak pada kepentingan TKI.

Oleh karena itu mereka mengajukan usulan program untuk pemberdayaan TKI dan perempuan ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) lewat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat desa hingga kabupaten, baik dalam bentuk pemberdayaan skill maupun ekonomi. Tahun 2008 lalu, mereka telah terlibat secara langsung dalam Musrenbangdes hingga Musrenbangkab.

“Kita terlibat langsung dalam Musrenbang, karena kita ingin kaum perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Jadi, bukan hanya menjadi obyek dan menerima manfaat pembangunan saja, tapi juga tahu prosesnya. Dengan begitu, kita nantinya bisa ikut mengontrol atau mengawasi jalannya pembangunan, apakah berpihak pada kepentingan masyarakat, termasuk perempuan atau tidak,”ujar Mukaromah.

Sayang, usulan yang diajukan KMM Sumber Rejeki, meski sudah disetujui dalam Musrenbangkab namun tidak masuk dalam APBD 2009. Tapi mereka tampaknya tidak putus asa, tahun ini mereka mengajukan lagi usulan yang belum terwujud itu lewat Pemerintah Desa Pojok, untuk diteruskan ke Pemerintah Kecamatan Sendang dan Pemerintah Kabupaten Tulungagung.

Rintis Kegiatan Simpan Pinjam
Di sisi lain, untuk mencapai tujuannya, KMM Sumber Rejeki juga berupaya meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan cara merintis koperasi lewat kegiatan simpan pinjam, pengembangan budi daya ternak kambing, dan tata boga. Untuk kegiatan simpan pinjam, modal awalnya cukup kecil, yakni hanya Rp 300 ribu. Sampai sekarang, ada sekitar 20 anggota yang telah menyimpan uangnya, dengan rata-rata rata-rata simpanan Rp 5 ribu per bulan. Dengan demikian, uang yang terkumpul setiap bulan cuma Rp 100 ribu.

Dari 25 orang anggota, saat ini ada 6 anggota yang telah memanfaatkan dana simpan pinjam untuk usaha ekonomi produktif, seperti usaha makanan, buah-buahan, dan sebagainya. “Uang yang dipinjam sebesar Rp 100 ribu-Rp 150 ribu,” papar Wakil Ketua KMM Sumber Rejeki, Maryulin. Menurut dia, sebagian besar anggota kelompok sangat antusias untuk menabung atau menyimpan uangnya. Karena jumlah uang yang ditabung relatif kecil, mereka tidak merasa keberatan. Kegiatan simpan pinjam ini dilakukan saat rembug rutin plus arisan yang dilaksanakan rutin setiap bulan.

Dikatakan Maryulin, kegiatan simpan pinjam sengaja dimulai dengan jumlah yang kecil dan sementara dikhususkan bagi anggota KMM Sumber Rejeki untuk memupuk kesadaran untuk saling membantu antar sesama anggotanya dan terus berkembang. “Kita memiliki harapan besar agar kegiatan simpan pinjam terus berlanjut, bahkan bisa berkembang menjadi koperasi. Sehingga keberadaan kelompok ini dapat membantu meningkatkan kesejahteraan anggota,”paparnya. (Nasi)

Selengkapnya...