tag:blogger.com,1999:blog-69642716293141965132024-02-20T17:41:10.662-08:00MAJALAH SOERATMajalah yang diterbitkan oleh 6 lembaga di kawasan Matraman Jawa Timur. Untuk menjawab kebutuhan informasi yang pro kelompok marjinal yang selama ini tidak diberitakan oleh media mainstream.Unknownnoreply@blogger.comBlogger71125tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-58178460495102476352010-08-08T22:56:00.000-07:002010-08-08T23:05:15.552-07:00www.soerat.or.id<div style="color: #990000; font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: x-large;">Untuk meningkatkan pelayanan Majalah Soerat, kami membuat portal khusus. Kunjungi kami di <a href="http://www.soerat.or.id/">www.soerat.or.id.</a></span></div><a name='more'></a><div style="color: #990000;"><span class="fullpost" style="font-size: x-large;"></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-56013738066901412932010-04-07T23:23:00.001-07:002010-04-07T23:37:38.234-07:00Pelopor Wirausaha dari Lereng Wilis<div>Banyak orang berpikir, tinggal di daerah terpencil di lereng pegunungan dengan akses transportasi dan komunikasi yang terbatas mengurangi kreativitas dan mendorong perilaku berpikir yang statis. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Sulastri, perempuan dari Pegunungan Wilis di lereng Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sulastri berhasil menunjukkan kepada dunia mengenai ide-idenya yang inovatif dalam gerakan penyadaran masyarakat di pelbagai bidang kehidupan. Ide-idenya bisa menggerakkan ekonomi rakyat demi mengangkat derajat kehidupan mereka. Padahal, dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. "Kuncinya hanya belajar dan terus belajar. Tidak boleh malu sekalipun harus bertanya kepada yang lebih muda," ujar Kepala Desa Joho itu. Dia berhasil mengentaskan warganya dari kantong kemiskinan.</div><a name='more'></a><div>Desa Joho yang terletak 1.000 meter di atas permukaan laut adalah daerah gersang dan tandus pada musim kemarau. Tanaman pangan dan hortikultura hanya tumbuh satu musim dalam setahun. Praktis, ekonomi pertanian yang menopang hajat hidup mayoritas penduduk tidak berjalan normal. Hasil pertanian berupa jagung, ketela, dan kadang juga padi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan perut warga sehari-sehari. Adapun kebutuhan sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, terpaksa dikorbankan. Seperti lazimnya desa tertinggal, angka kemiskinan tinggi, angka putus sekolah tinggi, derajat kesehatan rendah. Dari 3.242 jiwa penduduk desa, sepertiganya masuk dalam kategori penduduk sangat miskin. Kondisi kaum perempuannya sangat menyedihkan. Mereka hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Kalaupun ada yang sedikit lebih maju, itu karena mereka menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri.<br />
</div><div></div><div><b>Pulang kampung</b></div><div>Kisah perjuangan Sulastri dimulai saat ia memutuskan pulang ke kampung orangtuanya di Desa Joho, tahun 2000. Dia lahir dan besar di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, kampung para transmigran asal Jawa. Saat itu, kondisi Sulastri tidak lebih baik dibandingkan sebagian besar perempuan di desanya, meskipun ia sempat mengenyam Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 2 Kediri. Setelah menikah dengan Mulyono dan dikaruniai seorang anak, ia menjadi ibu rumah tangga biasa. Apalagi, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, Sulastri harus mengurus orangtuanya. Untuk menopang ekonomi keluarga, ia membuka toko kelontong di rumahnya. Suaminya hanya sopir angkutan.<br />
</div><div></div><div>Pada tahun 2003, sekelompok mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri melakukan kuliah kerja nyata di desanya. Mereka meninggalkan "pekerjaan" baru bagi Sulastri untuk meneruskan mengajar di Taman Pendidikan Al Quran rintisan mahasiswa. "Kelihatannya sederhana, tetapi praktiknya tidak mudah. Jangankan mengajar, punya pengetahuan saja tidak," katanya. Melihat ironi kehidupan di depan matanya, Sulastri berinisiatif datang ke kampus dan meminta mahasiswa mengajari ibu-ibu menjadi tutor. Sejak saat itu, ia mulai menghimpun kaum perempuan di desanya berkumpul sekadar berbagi cerita dan informasi.</div><div></div><div>Cerita dari perempuan-perempuan desanya membuat hati Sulastri semakin trenyuh. Dia pun mendirikan Paguyuban Perempuan Sido Rukun hanya dengan berbekal niat dan semangat. Demi memajukan paguyuban, ia nekat datang ke kampus dan meminta bantuan hewan ternak untuk dipelihara dengan harapan dapat menambah penghasilan masyarakat. "Ketika itu kami diberi uang Rp 500.000 yang hanya cukup membeli dua ekor kambing kacang (atau kambing sayur, kambing berkualitas paling rendah)," ujarnya.Induk kambing kemudian dipelihara bergantian. Anaknya diambil sebagai upah pemelihara. Jika anaknya lebih dari satu, anak yang lain dibagikan kepada keluarga yang membutuhkan.<br />
</div><div></div><div>Meskipun sukses dengan usaha kambingnya, Sulastri masih merasa ada yang mengganjal di hatinya. Itu karena ia masih melihat ibu-ibu itu tak punya kegiatan alias menganggur. Dia lalu mengajak mereka membuat usaha keripik buah pisang, talas, dan sukun. Sulastri sendiri yang memasarkannya ke Kota Kediri, sekitar 20 kilometer dari desanya. Ide pembuatan keripik didasari murahnya harga hasil bumi. Setandan pisang raja nangka, misalnya, hanya Rp 1.500 sampai Rp 2.000. Padahal, setelah diolah menjadi keripik, setandan pisang itu bisa menghasilkan Rp 60.000. Harga talas dan sukun malah lebih rendah lagi.<br />
</div><div></div><div><b>Koperasi</b></div><div>Paguyuban kemudian mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Sido Makmur. Modalnya berasal dari iuran pokok anggota Rp 25.000 dan iuran wajib Rp 5.000 per bulan. Kini koperasi itu bisa meminjamkan Rp 2 juta kepada para anggotanya. Padahal, awalnya pinjaman maksimal cuma Rp 50.000. "Sebelum ada koperasi, warga pinjam ke rentenir. Bayarnya setelah panen. Kalau gagal panen, utang menumpuk karena bunganya tinggi," katanya.<br />
</div><div></div><div>Berkat pinjaman koperasi, masyarakat bisa membuka usaha baru atau mengembangkan usaha yang sudah berjalan. Kini, tercatat 30 usaha budidaya lebah madu berkembang di Joho.Itu pun juga tidak lepas dari usaha Sulastri meminta bantuan Dinas Kehutanan Kabupaten Kediri memberikan penyuluhan tentang ternak madu dan modal awal dua kotak sarang lebah.Yang tidak kalah penting, bangkitnya industri rumah tangga pembuatan "kutang (beha) tradisional". Sedikitnya ada tiga perajin dengan produksi ratusan buah beha per minggu.Perempuan yang tengah hamil muda anak keduanya itu juga gencar mempromosikan produk usaha kecil dari desanya di setiap kesempatan, terutama ketika bertemu masyarakat dari luar.<br />
</div><div></div><div>Dalam tiga tahun terakhir, penduduk miskin di Desa Joho berkurang 359 keluarga. Kini hanya 600 rumah tangga. Hasil pendataan Badan Pusat Statistik, rumah tangga miskin yang berhak menerima beras miskin tahun 2010, tinggal 507 keluarga. Kini Sulastri mulai bergerak ke sektor lain. Misalnya, mengembangkan kesenian musik tradisional dengan alat lesung dan alu, alat menumbuk padi pada zaman dahulu. Kesenian ini tampil pada acara-acara penyambutan tamu. Namun, tak jarang juga mereka diundang di perhelatan, seperti pameran kerajinan, acara wisuda sarjana, dan momen penting lainnya.<br />
</div><div></div><div>Sulastri terus bergerak. Dia berjanji akan mengawal pendidikan di desanya agar generasi muda yang lahir menjadi manusia yang lebih unggul dan andal, tidak hanya sekadar menjadi TKI. Dia juga berencana merintis kembali usaha pembuatan sirup berbahan tanaman rosela. Dia seperti memberikan pencerahan bahwa bicara saja tidak cukup. Bukti dengan kerja keras lebih dibutuhkan negeri ini.</div><div>sumber : Runik Sri Astuti/kompas</div><div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-77051809455928893272010-01-27T19:49:00.001-08:002010-04-07T23:29:02.218-07:00Tolong Kabarkan, Nasi Aking Saya Belum MatangMatahari pagi sudah terik, namun sisa hujan semalam masih membasahi Desa Pulosari Kecamatan Bareng, Jombang. Kesibukan terlihat di sebuah rumah berdinding bambu dan berlantai tanah. Sugiati (45), pemilik rumah, sibuk mencuci 'beras' yang ia taruh di ember. Air ia kucurkan, kemudian 'beras' ia bersihkan. Begitu Sugiati melakukannya berulang-ulang. Hingga akhirnya 'beras' itu ia taruh diatas tungku perapian.<br />
<a name='more'></a><br />
Jangan salah, beras yang sedang dicuci oleh perempuan paruh baya ini bukan beras pada umumnya. Akan tetapi, warga Pulosari itu sedang mencuci beras untuk nasi aking atau yang biasa disebut karak.<br />
<br />
Ya, beras dari nasi basi yang sudah dikeringkan, kemudian dimasak lagi. Nasi alternatif itulah yang akan digunakan untuk mengganjal perut.<br />
<br />
Sugiati tak pernah tahu bahwa Kamis (28/1/2010), pemerintahan SBY-Boediono sudah berusia 100 hari. Ibu dua anak ini juga tidak mengerti jika saat ini banyak orang sedang turun jalan untuk 'mencuci' sekaligus mencaci pemerintahan SBY-Boediono. Yang ia tahu hanya mencuci nasi aking, memasak, kemudian menyantapnya bersama keluarga. Tidak lebih.<br />
<br />
"Nggak sempat mikir 100 hari pemerintahan pak SBY-Boediono. Malah saya tidak tahu. Orang kecil seperti saya yang terpenting bisa makan tiap hari," kata Sugiati dengan polos, Kamis (28/1/2010).<br />
<br />
Apa ada pesan khusus untuk 100 hari pemerintahan SBY-Boediono? Sugiati tak menjawab, ia terdiam untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba mulutnya terbuka. Dengan spontan ia mengatakan bahwa nasi aking yang sedang dimasak belum matang.<br />
<br />
"Tidak ada pesan khusus. Tolongkan kabarkan saja kalau nasi aking saya belum matang," kata Sugiati sambil membersihkan bakul yang ia pegang.<br />
<br />
Memang, menyantap nasi aking bukan hal baru bagi Sugiati dan sebagian warga Pulosari. Maklum saja, sejak dua bulan terakhir ini harga beras tak terbendung lagi. Komoditas tersebut merangkak hingga tembus Rp 6.500/Kilogram.<br />
<br />
"Dengan makan nasi aking bisa mengirit pengeluaran," tambahnya beralasan.<br />
<br />
Istri dari Suwanto ini menjelaskan, dalam satu minggu, hanya satu hari keluarganya mengkonsumsi nasi beras. Selebihnya, ia menyiasati dengan makan nasi aking tersebut.<br />
<br />
�Agar rasa nasi alternatif itu lebih nikmat, warga RW 04 Pulosari ini mencampurnya dengan singkong yang sudah kering alias gaplek. Alasannya, jika dicampur dengan gaplek, nasi aking lebih pulen.<br />
<br />
Ketimpangan itu dibenarkan oleh Purnomo, Ketua RW 04 Desa Pulosari. Kata Purnomo, di wilayahnya ada sekitar 500 KK (Kepala Keluarga). Dari jumlah itu, 120 KK diantaranya mengkonsusmsi nasi aking.<br />
<br />
Mengapa? Salah satu alasannya adalah faktor kemiskinan. Sebab, sebagian besar penduduk Pulosari bekerja sebagai buruh tani. Otomatis, penghasilannya mereka juga tidak pasti. " Rata-rata penghasilan dalam satu bulan hanya Rp 500 Ribu," ungkap Purnomo.<br />
<br />
Sebenarnya, lanjut Purnomo, warganya sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Semisal BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Beras untuk orang miskin). Hanya saja, bantuan tersebut belum mampu mengurai benang kusut kemiskinan di wilayahnya.<br />
<br />
"Kami hanya berharap pemerintah terketuk hatinya," pungkasnya.[suf/ted]<br />
<br />
sumber: beritajatimUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-37150653552317261862010-01-27T19:33:00.002-08:002010-01-27T19:34:10.460-08:00Sejuta Kritik Untuk Wakil Rakyat Jombang(Jombang-Alha-Raka) Gaji pertama DPRD Jombang tentunya sudah dikantongi sejak Oktober 2009 lalu. Namun sampai kini, kerja riel untuk masyarakat Jombang masih sekedar janji dan janji. Banyak persoalan yang belum terselesaikan seperti perda PKL, perda pendidikan, perda transportasi, perda miras dan lain-lain. Kecuali perda prostitusi yang sejak bulan puasa lalu memang sudah disyahkan oleh Gubernur Jawa Timur dan ada beberapa verifikasi yang harus dilalui sebelum perda ini benar-benar dilaksanakan. Alasanya ada beberapa pihak masyarakat yang merasa dirugikan, hingga perda prostitusi ini terkesan dipaksakan untuk wilayah Jombang.<br /><span class="fullpost"><br />Kedaulatan berada di tangan rakyat, namun ketika hak politik rakyat telah terwakilkan oleh DPR seolah-olah Dewan Perwakilan Rakyat ini sebagai penjelmaan suara seluruh rakyat. Padahal sejatinya kedaulatan itu sendiri masih sepenuhnya milik rakyat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apalah arti kedaulatan rakyat? ketika rakyat selalu ditindas oleh aturan baik UU, Perpres, Perda, maupun Perbub. <br />Disisi lain mangkraknya beberapa Raperda yang sudah berada di gedung dewan, membuktikan banyaknya persoalan yang telah terjadi di tubuh para wakil rakyat Jombang ini. Mengapa Raperda (PKL, Transportasi, Pendidikan, dan Miras) belum juga ada perkembangan yang berarti. <br /><br />Perda Prostitusi Merugikan Banyak Pihak<br />Menurut Udin, salah satu pengerak di lembaga non pemerintah, WCC (Woment Crisis Center) Jombang mengatakan “DPR sekarang ini memang harus segera diingatkan akan warisan tugas dari para mantan DPR lama. Yang saya herankan mengapa raperda Prostitusi sudah disyahkan oleh Gubernur, padahal banyak pasal dan ayat yang masih perlu dikaji ulang karena sangat merugikan perempuan Jombang secara keseluruhan. Belum lagi penutupan lokalisasi tentunya membawa dampak sosial yang amat berat bagi para PS (pekerja Seks), karena mereka juga butuh tetap hidup dan makan. Pemerintah belum memberikan solusi kongkrit mengapa tega menutup lokalisasi, lantas dikemanakan rasa kemanusiaan para elit penguasa ini. Banyak mata rantai yang terpotong, hingga akan memunculkan persoalan baru yakni para PS tetap akan beroperasi dengan sembunyi-sembunyi. Ini yang membahayakan karena tidak terpantau oleh dinas kesehatan sehingga membawa dampak yang lebih besar yakni terjadinya penyakit menular seks, HIV AIDS dan lain-lain persoalan kesehatan” kata Udin, Koordinator Advokasi WCC.<br />Polemik munculnya aturan tentunya ada dampak positif dan negatif pada rakyat. Idealnya Undang-undang memang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Namun hal ini ternyata bukan jaminan untuk rakyat bisa berdaulat, padahal UU menjadi acuan dasar, dan siapapun tidak akan mempunyai kekuatan untuk merubah dan merusaknya. <br />Hal ini juga diakui oleh dunia internasional, sejak diakuinya bangsa Indonesia manjadi negara merdeka. Untuk menyikapi perda prostitusi di Jombang, serjumlah elemen masyarakat yang peduli terhadap kaum perempuan mengkaji detail mengapa perda prostitusi ini disyahkan tanpa adanya solialisasi dengan masyarakat. “Ada ide untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Kostitusi, namun kami perlu kajian data lebih dalam,” tambah Udin <br /><br />Masihkah Ada Guru Tanpa Tanda Jasa<br /> Sementara itu menurut Puji Santoso, pemuda Dekrit’17 Badang Ngoro Jombang, menyatakan “Membincang kata kedaulatan, ada juga yang menyebut kekuasaan. Rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang berkuasa. Kekuasaan berada di tangan rakyat, begitu kita bisa artikan. Sampai pada kata ini, masih bisa dipahami dengan sebuah pengandaian. Misalnya diibaratkan kekuasaan adalah sebuah benda, maka benda tersebut sejak dari dulu hingga saat ini terletak di tangan rakyat. Sampai saat ini tidak ada pihak yang pernah memungkiri, namun realitanya mana ada kedaulatan yang sepenuhnya ada. Buktinya banyak aturan yang kurang berpihak kepada rakyat,” ungkap Puji Santoso, guru SDN Badang Ngoro.<br />Sebagai seorang guru yang masih belum diangkat (negeri), dirinya merasa dianak tirikan. Karena sampai saat ini baik Guru Tidak Tetap/Pegawai Tidak Tetap (GTT/PTT) di Kabupaten Jombang, masih sangat minim kesejahteraanya dengan upah yang masih jauh dibawah UMR (Upah Minimum Regional). “Meski ada ganjalan besar di hati, namun saya tetap mengucapkan selamat atas terpilihnya para caleg (calon legislatif) menjadi anggota DPR bulan September 2009 lalu. Semoga mereka mampu mengemban amanat sesuai tugas dan fungsinya sebagai pelayan rakyat. DPR harus mampu mereformasi kinerja buruknya (jangan hanya janji-janji di masa kampaye). Dan harus selalu pro rakyat kecil dengan memanfaatkan seluruh panca indra yang dimiliki agar jeli, teliti dan solutif terhadap persoalan dan kebutuhan rakyat seperti ketika menggodok Perda Pendidikan yang masih mangkrak agar secepatnya direalisasikan,” harap Puji yang masih menjadi tenaga GTT.<br />Harapan Puji, juga merupakan suara perwakilan semua guru swasta di Kabupaten Jombang. Karena pendidikan termasuk persoalan dasar seluruh rakyat, maka harus segera diprioritaskan mulai dari instrumen pendukung yakni kwalitas guru dan anggaran bantuan untuk siswa. “Semoga dengan penyegaran seluruh wajah anggota DPR baru, mampu menciptakan iklim yang baik dengan meningkatkan anggaran untuk pendidikan. <br />Adanya perekrutan PNS jalur honorer/pengadaan data base kepada guru yang telah mempunyai pengabdian diri cukup lama, ini merupakan anugrah bagi para guru. Secercah jaminan kesejahteraan ini merupakan bukti penghargaan pemerintah atas jasa-jasa para pahlawan tanpa tanda jasa dalam mencerdaskan generasi bangsa, semoga kuota data base ditambah lagi” tutur pemuda Dekrit ini mantap.<br /><br />Kedaulatan Rakyat Masih Semu<br />Sementara itu menurut Abadi Arianto, yang juga warga Badang Ngoro Jombang, berharap agar DPR yang baru ini tidak hanya duduk santai di kursi dewan, namun harus turun langsung ke lapangan melihat para perangkat desa dalam melakukan tugas pelayanannya kepada masyarakat. Secara langsung apakah sudah sesuai dengan tugas dan fungsinya. “Sejak saya menjabat LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) di Desa Badang belum pernah ada seorang dewan yang mau mengkritik langsung kerja Pemerintah Desa. Meski ada BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang juga sebagai pengontrol kinerja Pemdes, namun posisi dewan di tengah masyarakat tetaplah diharapkan agar aspirasi warga tersampaikan dengan cepat,” kata cak Badi.<br />Berdasar UU pula, sistem diciptakan untuk melegalkan kekuasaan para pembuat kebijakan. Seharusnya aturan dibuat untuk menjamin kesejahteraan rakyat agar bisa terarahkan dalam praktek kehidupan. Di Jombang saat ini sistem politik yang berjalan adalah implementasi kekuasaan dipetakan oleh para pemain politik dengan memakai tangan rakyat. Kata pendeknya, munculnya Dewan yang berasal dari salah satu partai politik juga menentukan suara munculnya segala kebijakan baik perda maupun aturan yang lain. <br />Idealnya ketika menjadi dewan memang harus lepas dari atribut partai agar terlihat lebih independen. Seharusnya posisi partai juga termasuk sebagai kepanjangan tangan rakyat dalam mengemban amanat kekuasaan rakyat. Partai yang ada saat ini tidak mempunyai fungsi strategis demi terciptanya relasi kuasa yang seimbang. Namun kondisi yang terjadi sebaliknya, partai politik hanya menjadikan rakyat sebagai alat pijakan untuk kepentingan diri dan golongan semata. Sebab hanya melalui partailah implementasi kedaulatan rakyat itu bias dijalankan. Lebih jelasnya, Pemilu legislatif menghasilkan DPR, dan munculnya Caleg juga melalui partai politik. <br />Padahal Parpol yang telah mendudukkan wakilnya di legislatif ternyata kurang mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Hingga saat ini rakyat masih belum bisa menikmati kekuasaan yang ‘disimbolkan’ berada di tangan mereka. Kondisi ini akan tetap bertahan bila rakyat sendiri tidak merebut kedaulatan yang saat ini dipegang oleh partai politik yang notabene adalah pemerintah, baik ekskutif maupun legislatif. Rakyat petani, rakyat pedagang, semua rakyat terpinggirkan dan termiskinkan mutlak harus bisa merebut kedaulatan. <br />Persoalan semakin jelas, kemiskinan, keterpurukan ekonomi rakyat, agaknya bukanlah hukum alam atau takdir Tuhan, namun disebabkan kelalaian pemerintah. “Kalau sudah begini, lantas kenapa kekuasaan yang ada di tangan rakyat itu tidak bisa dijadikan jaminan bagi kehidupannya? Kedaulatan itu ternyata tidak ada pengaruh berarti bagi kehidupan rakyat secara mayoritas. Sebagai contoh, saya adalah rakyat yang tingal di pedesaan, yang mayoritas semua tetangga saya berprofesi sebagai petani. Meski dikatakan petani memegang kekuasaan, namun ternyata petani sama sekali tidak kuasa meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ketika kami ingin mendapatkan harga pupuk yang murah, banyak oknum yang turut mempermainan harga pupuk, khususnya pada masa tanam yang sebentar lagi akan tiba,” keluh Suyudi, warga Banjardowo Jombang.<br />Sementara itu menurut Bella Benanda, Ketua DPRD Jombang, menyatakan dirinya akan melakukan tugas dan fungsi DPRD sebagaimana mestinya “Dewan selalu siap jika diajak untuk hearing, karena tugas DPR adalah mewakili rakyat, maka saya akan selalu mendengarkan aspirasi masyarakat. Pada konsep dasar yang akan dibangun oleh DPRD sekarang adalah dari suara rakyat. Pun dalam menentukan Raperda yang sebelumnya harus dikaji, digodok, kemudian disosialisasikan baru diverifikasi” katanya pada acara dialog warga di Lakpesdam NU Jombang. <br />Bella juga memberikan Informasi terkait Perda Miras. Posisinya saat ini belum bisa diturunkan karena belum ada tahapan verifikasi. “Menanggapi persoalan apapun harus selalu berfikir positif, seperti usulan perda becak motor, perda transpsrasi pelayanan publik juga harus memperhatikan 3 aspek. Yakni aspek filosofis, aspek normatif, aspek sosiologis. Artinya peraturan dibuat tidak boleh bertentangan dengan aturan diatasnya, peraturan dibuat harus dilihat dampak sosialnya juga,” terang Bella. <br />(Din-Din Alha-Raka) <br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-91470766456686463202010-01-27T19:33:00.001-08:002010-01-27T19:33:37.101-08:00Masih Kurang Akses Informasi Jamkesmas Di Kabupaten Ponorogo(Madiun-DIFAA) Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-45 tahun 2009 ini mengambil tema “Perilaku Sehat Membangun Bangsa Kuat“. Makna dari peringatan HKN ini didasari dari kesepakatan global MDGs dalam bidang kesehatan antara lain upaya penurunan angka kematian ibu, penurunan angka kematian anak, memerangi penyebaran PMS, IMS , HIV dan AIDS, serta penciptaan lingkungan bersih.<br /><span class="fullpost"><br />Tema tersebut mencerminkan bahwa betapa pentingnya faktor perilaku kesehatan terhadap lingkungan sekitar yang dapat menentukan derajat kesehatan manusia. ”Dengan perilaku sehat seperti tidak merokok, hidup bersih, gerakan cuci sabun sebelum dan sesudah aktifitas maka dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga bila rakyat sehat maka bangsa akan kuat dan produktif,” ungkap Dr. Hj. Andy Nurdiana Diah Q, Mkes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo.<br />Ditambahkan lagi oleh Ibu Kepala Dinkes Kab. Ponorogo bahwa masyarakat perlu membiasakan diri hidup sehat mulai dari lingkungan rumah dengan STBM atau Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, meliputi upaya menjaga kebersihan, tersedianya jamban keluarga, minum air sehat (air matang, karena air bersih belum tentu sehat)<br />HKN ini juga perlu dimaknai sebagai upaya pemenuhan hak kesehatan bagi semua warga masyarakat tanpa kecuali, terutama untuk masyarakat miskin. Upaya pemenuhan hak kesehatan bagi masyarakat miskin, di Departemen Kesehatan telah melaksanakan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan basis data dari BPS. <br />Peserta Jamkesmas di Kabupaten Ponorogo tercatat sebanyak 340.056 jiwa. Jumlah ini sesuai dengan kuota yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dan bagi masyarakat miskin yang tidak menjadi peserta Jamkesmas, maka dibebankan pada pemerintah daerah melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). <br />Di Jawa Timur tercatat baru sekitar 8 kota/kabupaten yang melaksanakan program Jamkesda antara lain; Kabupaten Gresik dan Kediri (mulai Agustus 2009). Sementara di Karesidenan Madiun, program Jamkesda baru dilaksanakan di Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi mulai bulan November 2009.<br />Untuk tahun 2010, Pemerintah Jawa Timur dengan program Universal Covered bagi masyarakat miskin non kuota Jamkesmas akan dilayani hak kesehatannya dengan dana sharing dari propinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan. <br /><br />Kendala Dalam Program Jamkesmas <br /> Namun begitu, program Jamkesmas masih ada kendala dalam pelaksanaannya di Ponorogo. Terdapat rumah sakit yang enggan melayani peserta Jamkesmas dengan masih membebankan biaya obat kepada pasien. ”Pihak rumah sakit sering beralasan persediaan obat sudah habis, sehingga pasien diminta membeli diluar rumah sakit (apotik). Dan untuk itu, pihak rumah sakit meminta pasien menandatangani surat keterangan sanggup membeli obat diluar rumah sakit. Dengan surat ini maka menguatkan dokter untuk mengalihkan pemenuhan kebutuhan obat bagi pasien,” kata Wempi Catur Arianto, SPd, Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kabupaten Ponorogo, yang kebetulan juga mantan ketua BEM IKIP PGRI Madiun, dan mantan Ketua I PMII Madiun.<br />Ketika hal tersebut dikonfirmasikan ke Kepala Dinkes Kab. Ponorogo, menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas. Tidak dibenarkan pembelian obat diluar Rumah Sakit tempat perawatan pasien Jamkesmas. ”RS harus memberikan hak pasien Jamkesmas bila pasien peserta Jamkesmas membawa persyaratan-persyaratan lain seperti KTP dan surat keterangan miskin dari desa. Bila tidak dilayani maka pasien berhak mengadukan pada Unit Pelayanan Masyarakat (UPM) yang berada di rumah sakit atau di Dinas Kesesahan setempat. Dan tugas Dinkes adalah mengkoordinasikan dengan pihak terkait,” kata Ibu Dr.Hj Andy, Kadinkes Kab. Ponorogo.<br />Kendala lain dari masyarakat adalah minimnya informasi tentang Jamkesmas, mulai dari alur pengajuan, jenis obat apa saja yang ditanggung dan atau biaya perawatan. ”Saya rasa sosialisasi tentang Jamkesmas ke masyarakat masih sangat kurang, sementara personil DKR terbatas dan wilayahnya sangat luas. Di sisi lain masyarakat peserta Jamkesmas mempunyai keterbatasan akses informasi,” kata Wempi Catur Arianto, SPd, Ketua DKR Kab. Ponorogo.<br />Untuk membenahi hal itu, pelaksanaan program Jamkesmas perlu adanya kerjasama yang baik dari semua pihak yakni, pemerintah, pendamping program, dan masyarakat itu sendiri sebagai bagian penerima program. Yang paling penting adalah peran serta aktif masyarakat untuk menjadi masyarakat yang berdaya dan berpola pikir untuk sehat. Sehingga tindakan preventif lebih baik dan optimal dilakukan, daripada kuratif terhadap penyakit, agar kita menjadi bangsa yang sehat dan bangsa yang kuat. (Ari Royani, DIFAA)<br /><br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-88001542304369020942010-01-27T19:31:00.002-08:002010-01-27T19:32:40.931-08:00KRJB Memperjuangkan Hak Korban Tol Yang Tertindas Kunjungi Cak Nun dan Gus Sholah(Jombang) Anggota Jama’ah korban pembangunan jalan tol Nganjok-Mojokerto di Kabupaten Jombang pada bulan Oktober 2009, telah menemui beberapa tokoh masyarakat yakni Cak Nun (MH Ainun Najib), dan juga tokoh NU Gus Sholah (Sholahuddin Wahid dari PP. Tebuireng). Kedua tokoh ini dimintai dukungannya oleh anggota Jama’ah dalam memperjuangkan hak-hak mereka sampai berhasil. Bila perlu sampai ke pemerintah pusat.<br /><span class="fullpost"><br />Sesuai yang telah direncanakan, pada pertemuan awal bulan Agustus 2009 di Mushola Ismail, Desa Pagak Sumberejo Jombang yang mensepakati kenaikan harga yang layak, Welly selaku Koordinator Jama’ah Korban Tol beserta juru bicara (jubir) dari masing-masing desa mempunyai tugas mendatangi dua tokoh penting di Jombang untuk dimintai dukungan atas perjuangan jama’ah. <br /><br />Pada tanggal 4 Oktober 2009, beberapa perwakilan jama’ah berhasil menemui MH Ainun Najib dan mendapat rekomendasi untuk secepatnya membuat surat keberatan kepada menteri atau presiden. Sedangkan perwakilan jama’ah dan KRJB yang melakukan kunjungan ke kediaman Gus Sholah, mendapat hasil yang cukup mengembirakan yakni Gus Sholah bersedia membantu berdiskusi dan berdialog langsung dengan para wakil rakyat di gedung DPRD Kabupaten Jombang yang akan segera dilakukan. “Saya siap untuk membantu para Jam’ah korban pembangunan jalan tol. Dan seharusnya yang memfasilitasi pertemuan dengan para investor adalah bupati sendiri. Namun anehnya dalam hal ini Bupati Jombang malah mendukung para investor menekan harga. Untuk itu saya siap membantu, melihat posisi warga Jombang yang tertindas tentunya saya juga tidak akan tinggal diam,” kata Gus Sholah saat di temui beberapa orang perwakilan KRJB di kediamanya pada 24 Oktober 2009.<br /><br />Masih menurut Gus Sholah, pengadaan jalan tol umumnya hanya untuk kepentingan memperlancar bisnis para pengusaha besar. Maka seharusnya pemerintah Jombang mengalokasikan dana atau relokasi yang sepadan dan tidak merugikan masyarakat kecil. Asumsinya, ketika warga pindah tempat itu saja sudah dinilai rugi, apalagi menekan harga yang sangat rendah tentunya warga akan rugi dua kali lipat. “Dalam hal ini pemerintah Jombang sendiri yang membuat bencana bagi warganya, karena seharusnya posisi pemerintah Jombang itu menjadi jembatan untuk melindungi dan mengayomi warga bukan malah mendukung para investor. Posisi rakyat saat ini memang sudah tertekan oleh berbagai teror yang itu dilakukan para perangkat desa dan juga anak buah para investor, lantas bagaimana dengan wakil rakyat kita yang duduk di kursi legislatif. Kalau tidak kita jawil tentunya mereka juga akan diam saja. Untuk itulah rakyat yang harus bergerak terlebih dahulu untuk mengawali mendesak dan memberi tuntutan kepada pemerintah daerah melalui DPRD. Rakyat harus mengingatkan kembali tugas DPRD yang utama yakni membantu rakyat,” terang Gus Sholah.<br /><br />Langkah selanjutnya para jubir kemudian mendata ulang anggota di masing-masing desa yang masih bertahan. Data ini dimaksudkan agar koordinator mengetahui secara pasti luasan tanah masing-masing anggota jama’ah yang terkena proyek pembangunan jalan tol trans Mojokerto-Nganjuk. Selanjutnya jika semua data tersebut lengkap, maka dibentuk tim untuk mengolah data menjadi dasar-dasar argumentasi untuk memperkuat gerakan jama’ah ke seluruh instansi pemerintah. Maka pada tanggal 25 Oktober 2009, Komite KRJB (Konsoursium Rakyat Jombang Berdaulat) beserta anggota yang diberi mandat melakukan pembacaan ulang terhadap persolan yang ada. Dari sinilah diketahui bahwa perjuangan para jama’ah memerlukan pemetaan ulang agar tidak mudah terpecah belah maka setiap anggota jama’ah harus mengetahun peran dan fungsi para petugas yang mengintimidasi warga. <br /><br />“Untuk membuat agenda materi posisi masalah, sikap perjuangan serta tuntutan dibutuhkan kembali para Jubir untuk membantu melengkapi data awal yang telah ada. Kita akan bersama-sama melakukan kajian terhadap beberapa aturan yang sudah ada, mulai dari UU 1945 pasal 33 (3) sebagai landasan hukum pengaturan atas tanah secara nasional : Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.” jelas A Syamsul Rizal selaku penasehat KRJB. Atas landasan tersebut, lanjut Rizal, sesuai dengan falsafah pancasila; Tanah adalah karunia Tuhan yang mempunyai sifat magis-religius dan harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat, dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, bahkan negara.<br /><br />Tol Untuk Kepentingan Komersil Saja?<br />Secara normatif pembangunan jalan tol memang mengacu pada Perpres No.65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, namun setelah diteliti lebih jauh lagi sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukan pada ranah kepentingan umum. Argumentasinya, karena menurut Kitap (1985) (dikutip penulis dari Soemardjono, 2005:78) kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial yakni, dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit. Realitas menunjukkan bahwa jalan tol pasti bermotifkan profit (Sumardjono, 2005:109). Dengan demikian, argumentasi hukum yang paling tepat untuk jalan tol adalah, cara perolehan tanah oleh pemerintah bukan dengan pengadaan tanah, melainkan dengan jual-beli (Oloan Sitorus, 2004: 7)<br /><br />Hal ini juga dibenarkan oleh salah satu anggota jama’ah korban tol Suyudi asal Dsn. Gempolpait Banjardowo, bahwa nantinya warga Gempolpait sendiri akan kesulitan mengakses jalan tersebut. ”Kita selaku warga yang berprofesi petani sangat dirugikan dengan pengadaan jalan tol ini. Pertama irigasi akan macet, dan terhambatnya arus lalu lintas pertanian utamanya yang masih memakai alat transportasi sederhana seperti gerobak. Nah apa boleh kita lewat tol kalau mengangkut hasil pertanian dengan alat tersebut, tentunya akan terkena tilang. Dan biasanya para petani sering mengunakan sepeda onthel dan becak untuk mengangkut rumput pakan ternak. Wah....kalau yang ini malah bisa diusir karena dianggap mengganggu dan menghambat para penguna jalan tol. Susah memang jadi rakyat kecil, ditambah lagi harga yang ditawarkan amat tidak layak dengan kerugian yang didapat warga. Bagaimana pemerintah Jombang ini kok malah akan mengunakan konsinyasi, padahal sudah nampak betul dampak kerugian rakyatnya sangat banyak. Bukanya membantu malah menteror,” keluh bapak empat putra ini panjang lebar.<br /><br />Pemerintah dalam hal ini bisa dikategorikan melanggar Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, yang mana telah menjamin ‘Hak Asasi Atas Kepemilikan’, dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan. Masalah hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari hak asasi manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk di dalamnya hak adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara paksa dengan mengabaikan aspirasi subyek hak atas tanah. Hal ini dinyatakan pada pasal 36 dan 37; <br /><br />Pasal 36 menyebutkan;<br />1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.<br />2. Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.<br />3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.<br /><br />Pasal 37 menyebutkan; <br />1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.<br /><br />Keberadaan undang-undang tersebut jelas memihak rakyat, namun anehnya pemerintah sendiri yang melanggarnya. Hal ini menurut Ismail, warga Pagak Sumberejo Jombang, bahwa posisi dan peran rakyat sebagai pemilik tanah sudah jelas, yakni sebagai subyek pelepas dan penyerah hak atas tanah demi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. “Kita selaku korban tidak akan menolak pembangunan, bahkan menjadi partisipan yang aktif untuk mendukung pembangunan negara tercinta ini. Namun jangan hanya karena kepentingan para investor lantas hak-hak warga terabaikan,” katanya. <br /><br />Perjuangan yang dilakukan oleh Jama’ah Korban tol bersama KRJB dilandasai oleh undang-undangan. Khususnya undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan, pelayanan publik, informasi publik, dan hak-hak rakyat dalam jual-beli atau mekanisme ganti rugi. Partisipasi aktif, baik secara perorangan maupun secara berkelompok dan atau pengembangan partisipasi melalui keterlibatan pihak-pihak yang dipercaya rakyat untuk dapat membantu memperlancar penyelesaian masalah yang dihadapi. “Dari peraturan ini, maka tidak ada salahnya KRJB turut membantu kelompok masyarakat yang tertindas untuk mencapai tujuan bersama yakni demi kepentingan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan,” tegas Syamsul Rizal. (Din-din, Alha-Raka)<br /><br />Tuntutan Jama’ah Korban Jalan Tol<br />Kami, Jama’ah Korban Jalan ToL Jombang, sebagai organisasi perjuangan para korban pelepasan tanah untuk pembangunan ruas Tol dari 12 desa di 3 kecamatan, telah mempelajari, menimbang dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mendasarkan sikap dan tindakan atas data dan fakta, bahwa “kami menolak patokan dan skema harga tanah yang ditawarkan, mengecam tindakan tidak bermartabat dalam menyelesaikan masalah ganti adil tanah”. Kami menuntut kepada para pihak sesuai kewenangan masing-masing untuk :<br />1. Menaikkan Harga Satuan per-Meter Tanah secara Adil, Layak dan Prospektif. Adil sesuai tujuan pembangunan itu sendiri ‘demi kesejahteraan rakyat’, karena kami melepaskan hak atas tanah. Layak; lepasnya hak atas tanah berarti lepas pula peruntukan tanah untuk kepentingan keluarga dan masa depan mereka. Dan prospektif, dengan mempertimbangan ‘siapa yang diuntungkan ke depan dari pelepasan hak atas tanah ?’. Karenanya, keadilan harga menurut kami –terlepas dari nilai NJOP yang kadaluarsa dan tidak jelas perhitungan beserta mekanisme pertanggungjawabannya- adalah 1). Harga batas bawah satuan per-meter = nilai NJOP dikali 1 masa kontrak investasi dan pengelolaan jalan TOL, yakni ; 35 tahun, dan 2) Harga batas atas satuan per-meter = nilai NJOP dikali 2 masa kontrak investasi dan pengelolaan jalan TOL, yakni ; 70 tahun. Dasar berpikir adil yang kami gunakan menggunakan logika penyertaan saham dalam pengelolaan jalan TOL. Atau secara garis besar pemerintah harus menaikan Harga Untuk Tanah tol untuk tanah sawah Rp 200 ribu –Rp 1,200 juta. Sedangkan untuk tanah darat Rp 700 ribu – Rp 2,500 juta <br />2. Sebagai bentuk layanan publik dan kebijakan pembangunan, maka ‘Harus ada transparansi / keterbukaan harga dari Tim P2T, TPT, dan Dasar Taksiran oleh Tim Appraisal. Karenanya, jika terdapat ketidaklayakan atau ketidaksesuaian taksiran harga dengan kondisi harga yang berkembang di masyarakat, maka;<br />3. Perlu peninjauan ulang atas penilaian kelayakan dan keadilan harga dari Tim Appraisal. Dengan demikian, patokan tawaran harga juga harus ditinjau ulang.<br />4. Perlu ‘Pengukuran Ulang atas Tanah yang akan dilepas’. Hal ini penting untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik kepemilikan/keluasan tanah di masa depan. Dan konsekwensi dari pengukuran ulang adalah ;<br />5. Meng’harga’i sisa tanah sesuai batas toleransi yang telah ditetapkan pemerintah.<br />6. Menjamin dampak AMDAL yang bersifat negatif bagi warga sekitar lokasi TOL, baik dampak social-ekonomi, politik maupun budaya. <br />7. Memberikan tenggang waktu kepada warga –ketika tanahnya terjual- untuk mempersiapkan perpindahan se-usai pembayaran.<br />8. Perlu Ketegasan tugas pokok dan fungsi dari pemerintah kecamatan dan pemerintahan desa terkait pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. Hal ini penting, karena telah terjadi kecenderungan manipulasi data dan pungli atas masalah pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. <br />9. Menindak tegas ‘Mafia Tanah’ yang turut serta meruncingkan masalah pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. Karenanya ‘KAMI MENOLAK MAFIA TANAH’.<br />Jombang, 15 Oktober 2009<br />Jamaah Korban Tol Jombang<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-23516230330473201992010-01-27T19:31:00.001-08:002010-01-27T19:31:45.404-08:00Pentingnya P3K Dan Pengetahuan Kesehatan(Madiun-DIFAA) Kesehatan adalah hal yang utama dalam kehidupan, karena dengan kesehatan yang terjaga, manusia dapat melakukan segala aktifitas. Berbagai upaya dilakukan agar sehat mulai dari menjaga kebersihan sampai pergi ke dokter untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ketika sakit. Upaya Menjaga kesehatan juga harus di sertai dengan pengetahuan kesehatan yang luas, karena pengetahuan dapat melahirkan kesadaran untuk peduli dan menjaga kesehatan diri.<br /><span class="fullpost"><br />Tetapi bila sakit yang kita derita hanya luka kecil atau kecelakaan ringan, maka diperlukan pertolongan yang cepat agar tidak semakin parah. Hal ini biasa kita sebut dengan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, disingkat P3K. <br />Hari itu, Rabu 11 Nopember 2009, ada yang berbeda di ruang kesehatan Lokalisasi Kedung Banteng (LKB) Ponorogo. Para Pekerja Seks (PS) yang rutin melakukan pemeriksaan kesehatan di Dinas Kesehatan Kab. Ponorogo antusias berkerumun. Ternyata mereka bergantian mencoba menimbang berat badan pada timbangan yang baru saja ada. Alat timbang badan ini adalah salah satu alat kesehatan yang disediakan oleh DIFAA sebagai bentuk komitmen atas kepedulian kondisi kesehatan Pekerja Seks yang jauh dari akses kesehatan. <br />Alat kesehatan lain adalah tensimeter, thermometer, alat pengukur tinggi badan, perban, kain kasa dan juga kotak P3K sebagai penyimpan obat. Obat-obatan yang tersedia di kotak P3K antara lain; penurun panas (parasetamol), pereda nyeri, plester luka, obat luka bakar, obat maag, antiseptic, balsem atau krim otot. <br />Diharapkan dari alat P3K ini dapat membantu warga LKB untuk mendapatkan pertolongan pertama saat kondisi darurat. Karena seringkali diperlukan pertolongan pertama pada yang sakit sebelum dibawa ke Puskesmas atau ke dokter. <br />Beberapa kejadian kecelakaan ringan seperti yang sering kita alami di rumah seperti, pingsan, memar, luka tersayat kena pisau atau benda tajam lain, luka terbakar, terkilir (keseleo), mimisan (pendarahan hidung), gigitan hewan dan sengatan serangga, membutuhkan pertolongan segera agar tidak menjadi penyebab terjadinya penyakit yang lebih parah kondisinya. Akan tetapi tindakan ini dilakukan dengan melihat tingkat keparahan keadaan korban. Apabila kondisi korban tergolong luka berat, maka harus segera di bawa ke petugas medis.<br /><br />Meningkatnya Derajat Kesehatan<br />Warga LKB merasa senang atas kehadiran alat-alat kesehatan dan P3K ini karena dianggap membantu mereka. ”Senenge mbak ada alat ini, jadi saya tahu berat badan dan tensi darahku....” ungkap salah seorang warga LKB. ”Obat-obatnya juga dapat membantu kami. Jadi kalau masuk angin atau tangan terbakar bisa cepat ditolong tanpa keluar dari LKB ....,” ujar salah seorang warga LKB lainnya.<br />Disamping penyediaan alat-alat kesehatan dan kotak P3K, terdapat pula almari sebagai tempat penyimpanan buku-buku bacaan dengan berbagai tema terkait isu kesehatan dan perempuan. Buku-buku tersebut berisi pengetahuan tentang PMS, IMS, HIV dan AIDS, serta kondom. Buku tentang kanker serviks, dan hidup sehat dengan lingkungan bersih. Juga masih banyak lagi tema yang lainnya. Warga LKB menyebut tempat ini sebagai taman bacaan mini. Berlokasi di satu ruang dengan ruangan pelayanan kesehatan di LKB. <br />Sementara sebagian PS antri untuk pemeriksaan kesehatan, sebagian yang lain menunggu sambil membaca-baca buku yang telah tersedia. Taman Bacaan LKB ini menjadi salah satu upaya DIFAA untuk meningkatkan pengetahuan PS dan warga LKB lainnya disamping kegiatan-kegiatan yang telah lakukan.<br />Upaya peningkatan pengetahuan perlu dipupuk dan dibudayakan melalui kegiatan membaca. Dengan membaca buku dapat menambah materi untuk saling diskusi dan berbagi informasi antar warga. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu PS, ”Saya senang ada banyak buku disini, saya bisa meminjamnya dan dibawa pulang biar teman-teman serumah saya bisa ikut mbaca mbak....” .<br />Sesudah pemeriksaan kesehatan oleh Puskesmas, kelompok PS berkumpul di ”sekolahan”. Agendanya adalah persiapan pelatihan kader kesehatan sebagai kelanjutan dari kegiatan Wisma Perempuan, yakni pembentukan pengurus kader kesehatan dan perumusan jadwal kegiatan pelatihan. Materi pelatihan meliputi pengetahuan kesehatan termasuk bagaimana cara menggunakan obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan, pengetahuan kesehatan lingkungan, pengetahuan kesehatan reproduksi, IMS, PMS, HIV dan AIDS.<br />Dan yang terpenting adalah adanya pelatihan teknis cara penggunaan alat-alat kesehatan yang difasilitasi oleh petugas pelayanan kesehatan Puskesmas kepada kader kesehatan di LKB. Pelatihan ini dimaksudkan agar kader kesehatan ini terampil dalam menggunakan alat-alat tersebut untuk membantu petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan setiap hari Rabu kepada kawan-kawannya sesama PS. <br />Dengan kegiatan ini juga dapat memaksimalkan sumber daya yang ada untuk peningkatan derajat kesehatan di LKB. Karena memang kesehatan perlu dimulai dari kepedulian dan kemauan diri sendiri untuk menjaga dan merawatnya. (Ari Royani, DIFAA)<br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-48012867269176091442010-01-27T19:30:00.000-08:002010-01-27T19:31:13.384-08:00Ingin Memberdayakan Diri, Kaum Perempuan di Banyuwangi Selatan Membuat Kelompok Perempuan(Banyuwangi-ICDHRE) Semangat untuk membuat kelompok perempuan tengah dilakukan oleh sebagian besar kaum perempuan di wilayah banyuwangi selatan. Upaya tersebut dilakukan karena sebagian besar dari mereka tidak mau terus menerus diposisikan sebagai pelengkap dalam urusan rumah tangga yang notabennya hanya melakukan bentuk kegiatan yang pokok - pokok saja, seperti urusan dapur, sumur dan urusan kasur. <br /><span class="fullpost"><br />Khususnya bagi kaum perempuan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dusun Curahjati kecamatan Grajagan-Banyuwangi. Ingin memberdayakan diri, merupakan motivasi awal bagi para perempuan ini untuk dapat terlibat langsung dan berperan aktif dalam upaya-upaya membangun roda ekonomi didesanya. Sehingga beberapa waktu yang lalu mereka bersama-sama membuat wadah kelompok yang tujuannya sebagai media belajar bersama, Senin (15/10/2009) kemarin. <br /><br />Sebelumnya, kebanyakan dari para perempuan ini berlatarbelakang ekonomi menengah kebawah, kehidupan ekonominya rata-rata hanya terpaku pada penghasilan suaminya yakni penghasilan musiman. Dari latarbelakang yang sama tersebut mereka berupaya membangun kemandirian lewat usaha bersama melalui kelompok yang tengah mereka ciptakan. <br /><br />Meskipun nama kelompok ini pada waktu itu belum terbentuk. Namun, rencananya; bentuk usaha yang akan dilakukan ialah usaha bersama memproduksi belbagai jenis sabun dan shampoo. Dimulai dari usaha tersebut kaum perempuan ini mencoba untuk merealisasikan peran aktifnya dalam upaya memberdayakan diri “Sebenarnya sejak dulu saya ingin sekali mengikuti kegiatan-kegiatan yang sifatnya mengarah pada pemberdayaan, apalagi pemberdayaan tentang perempuan. Akan tetapi kesempatan untuk itu jarang sekali saya peroleh, tidak jarang, kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintahan desa maupun oleh lembaga-lembaga lainnya, minim sekali melibatkan kaum perempuan. terlebih halangan tersebut juga di sebabkan oleh sang suami.” ujar Sumiati, Warga dusun Curahjati. “Selalu ada aja alasan serta motifnya, biasa; suami saya tidak mengizinkan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut karena takut; saya nanti kecantol (ikut, red) sama laki-laki lain”. Lanjut perempuan setengah baya ini, sambil tersenyum.<br />Hal senada juga disampaikan oleh Hadi Masrukin, selaku pemerhati nasib kaum perempuan di Banyuwangi selatan yang sekaligus eksis diLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ICDHRE-Banyuwangi. Menurutnya, pendekatan secara ekonomi sangat efektif untuk menjaring potensi-potensi para kaum perempuan ini, salah satunya ialah dengan membuat wadah belajar yang dikelola oleh kelompok-kelompok berbasis keanggotaan. Keterlibatan serta peran aktif perempuan dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan sangat menentukan, Disamping itu, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan juga harus mulai dikenalkan. Sebagaimana telah tertuang dalam kebijakan nasional dan ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. “peran perempuan dalam upaya pembangunan disekup pedesaan maupun skala nasional sangatlah dibutuhkan, karena, mereka ialah salah satu pelaku utama roda perekonomian. Sudah semestinya nasib kaum perempuan juga perlu untuk dipikirkan, karena perempuan juga mempunyai hak-hak yang sama selaku mahluk sosial, juga sudah sepantasnya mereka diberlakukan secara adil”. Tegasnya. “Partisipasi aktif wanita disetiap proses pembangunan tentunya akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Dan juga sebaliknya, kurang berperannya kaum perempuan, akan berdampak pada lambatnya proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.” Lanjut pria berambut cepak ini. <br />Ditempat lain, tepatnya di desa Pesanggaran-Banyuwangi, juga sudah mulai nampak beberapa kelompok perempuan yang mulai produktif, tetapi bentuk usahanya beda dengan kelompok perempuan yang ada di dusun Curahjati. Kelompok perempuan ini lebih pada usaha Unit Simpan Pinjamnya (USP). disamping itu, kelompok ini juga melakukan usaha produksi makanan ringan yang dikemas didalam plastik berukuran kecil, usaha tersebut tak lain ialah produksi keripik singkong, keripik pisang dan kripik lain sejenisnya. Dan sampai saat ini sudah didistribusikan kewarung-warung kecil (toko makanan) yang ada diwilayah Pesanggaran. Bentuk usaha-usaha tersebut juga dikelola dengan pola kekeluargaan dan berbasiskan keanggotaan. “Sebagian kecil dari kaum perempuan yang ada diwilayah Pesanggaran, sudah mulai aktif dalam melakukan usaha-usaha yang dikelola secara berkelompok, baik Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) maupun usaha Unit Simpan Pinjam (USP), setidaknya keberadaan kelompok-kelompok ini sudah memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi didesa Pesanggaran”. Ujar Didik, salah seorang pemuda yang juga aktif dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan di desa Pesanggaran-Banyuwangi, sekaligus mengakhiri perbincangan dengan Soerat. <br />Pada kenyataannya memang; dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima oleh sebagian besar kaum perempuan. Siapa yang disalahkan dalam hal ini?. (Sihin ICDHRE).<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-42536815712717446332010-01-27T19:28:00.001-08:002010-01-27T19:28:59.200-08:00MAJU BERSAMA KOPERASI GMNU BARON(Nganjuk-Punden) Satu demi satu berbagai komunitas berdiri di Kabupaten Nganjuk. Dengan berbagai bentuk organisasi, komunitas ini berdiri sebagai wujud kesadaran masyarakat bahwa organisasi, paguyuban ataupun kerukunan di lingkungan sekitar sangat penting untuk dibangun. Munculnya berbagai kelompok ini juga sebagai jawaban atas situasi ekonomi, budaya dan politik yang selama ini tidak berpihak kepada masyarakat. Selain itu juga kesadaran individu yang ada sudah berubah menjadi kesadaran kolektif yang dapat menghasilkan karya bersama, terutama sebagai bagian dari proses tranformasi sosial dan kesejahteraan bersama.<br /><span class="fullpost"><br />Jauh sebelumnya, di Kabupaten Nganjuk telah terbentuk bermacam organisasi seperti paguyuban, ikatan pemuda, kelompok perempuan, kelompok usaha dan koperasi serta organisasi lainnya. <br />Banyaknya program yang digulirkan oleh pemerintah yang bersifat pemberdayaan dengan berbagai bentuk program ternyata masih belum menyentuh kebutuhan masayarakat yang sebenarnya. Program atau lebih tepat dikatakan proyek yang ada, selama ini hanyalah aksi pemerintah yang kontra produktif. Karena biasanya program yang ada hanya untuk meredam gejolak sosial yang terjadi di masyarakat akibat dari ketidakmampuan pemerintah mensejahterakan rakyatnya. <br />Berbagai program pemberdayaan yang selama ini digulirkan menjadikan masyarakat semakin miskin, semisal program pinjaman yang diberikan pemerintah bahkan membuat masyarakat harus terjerat hutang. Situasi inilah yang juga mendasari berdirinya berbagai kelompok sebagai upaya membangun kesejahteraan bersama. <br />Baru-baru ini telah berdiri Gerakan Masyarakat Nahdatul Ulama (GMNU) dengan kegiatan utama pengembangan ekonomi. Koperasi GMNU sebagai alat untuk mensejahterakan anggotanya. Meskipun baru beberapa bulan berdiri akan tetapi keberadaan gerakan ini telah banyak melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya sosial, yaitu melibatkan masyarakat umum dalam beberapa kegiatan. Seperti pada bulan Agustus lalu, dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia dengan bentuk lomba jalan sehat, pelatihan sablon, tak ketinggalan dalam kegiatan ini juga diadakan khusus ibu-ibu rumah tangga.<br /> Dari serangkain kegiatan ini, sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat sekaligus hiburan juga diadakan pemutaran film dokumenter. Gagasan pembentukan gerakan ini adalah sebagai wujud kegelisahan mengingat selama ini kondisi warga Nahdhiyin khususnya di lingkup wilayah Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk masih jauh dari kondisi keadilan baik di bidang ekonomi, sosial dan politik terutama bagi warga “Nahdhiyin kultural”. Sebuah gagasan yang tidak popular tapi sangat konstruktif mengingat selama ini di lingkungan warga Nahdhiyin sudah ada wadah otonom sebagai alat pemberdayaan bagi umat.<br /> Dinamika sosial inilah yang setidaknya menjadi upaya dan ide dalam rangka mengaktualisasikan sebuah nilai antara ibadah ritual maupun sosial ungkap Fathul Mu`in tokoh masyarakat dari Desa Waung Kecamatan Baron sekaligus juga ketua Koperasi GMNU ini bercerita terkait dengan gagasan pembentukan gerakan ekonomi bersama ini. “Kami berharap bahwa gerakan ini akan berkembang nantinya karena di samping kita bisa ber-ukhuwah kita juga bisa meningkatkan kesejahteraan secara bersama dengan tetap memegang teguh silaturrahmi dengan belajar bersama-sama,” jelasnya. Seperti komunitas-komunitas lain yang telah dulu terbentuk, untuk meningkatkan sumberdaya di dalam GMNU ini, pengurus juga melakukan kerjasama dengan berbagai kelompok yang ada baik terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) maupun pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan anggotanya.<br /><br />MEMBANGUN KESEJAHTERAAN <br />Dalam upaya pengembangan dan penguatan modal, koperasi GMNU saat ini juga telah bekerjasama dengan Perkumpulan Desa Mandiri (PUNDEN) untuk kegiatan simpan pinjam bagi anggotanya.Upaya pengurus untuk memperluas jaringan dan pengembangan juga dilakukan oleh pengurus dengan mengikuti berbagai pertemuan antar kelompok yang selama ini sudah tergabung, baik di Koperasi Kumandang maupun forum aliansi antar komunitas yaitu Serikat Rakyat Anjuk Bangkit (SERAB) sebuah forum aliansi sebagai alat perjuangan bagi masyarakat Nganjuk.<br /><br />Profil Koperasi GMNU<br />Sekertariat : TPQ Al-Muttaqin Ds.Waung Kec.Baron<br /> Telp: 0358 7645320<br />Berdiri :5 Mei 2009<br />Jumlah anggota:15 orang<br />Tempat Pertemuan : Bergilir di setiap anggota setiap Tanggal 5 jam 14.00 WIB<br /><br />Pengurus Koperasi Gmnu<br />Ketua : Fathul Mu`in<br />Sekertaris : Mahfud<br />Bendahara : Munir<br /><br />Latar Belakang Berdiri<br />Bahwa sampai saat ini kesejahteraan masyarakat semakin jauh dari apa yang selama ini diharapkan. Banyaknya program bantuan dari pemerintah ternyata belum bisa meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini juga dirasakan oleh warga Nahdhiyin yang tidak menjadi pengurus, masih belum berdaya secara ekonomi, sosial maupun politik. Situasi inilah yang mendasari bahwa pentingnya sebuah gerakan baik sosial maupun ekonomi di kalangan kultural Nahdhiyin untuk mengaktualisasikan diri dengan bentuk kegiatan baik bidang pendidikan, gerakan sosial, pemberdayaan ekonomi melalui sebuah organisasi berupa Gerakan Masyarakat Nahdatul Ulama (GMNU) dan Koperasi GMNU sebagai alat pemberdayaan dan kesejahteraan bagi anggota.<br /><br />Visi Dan Misi Koperasi GMNU<br />Visi :<br /> Mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi<br /> Memberikan pendidikan bagi kelompok masyarakat<br /> Mewujudkan warga Nahdhiyin sebagai pilar perubahan di segala bidang sehingga nilai-nilai sebagai ormas yang mampu menjadi tauladan dan bisa dirasakan oleh masyrakat<br />Misi :<br /> Membangun ekonomi bersama melalui gerakan pemberdayaan melalui koperasi<br /> Mengaktualisasikan diri di masyarakat melalui kegiatan sosial dan pendidikan<br /> Bekerja membangun masyarakat dengan media dakwah dan pendidikan serta pemberdayaan<br /><br />Aturan Main Koperasi GMNU :<br />Simpanan Pokok: Rp. 50.000<br />Simpanan Wajib: Rp. 5000<br />Jasa Pinjaman (Ju`alah) 1% / bulan <br />Jangka Pinjaman: 5 bulan (apabila jumlah pinjaman kurang atau sama dengan Rp 150.000,-)<br /><br />Unit Usaha :<br />Simpan-pinjam<br />Jual pupuk<br />Jual roti<br /><br />Rencana Usaha :<br />Pengembangan usaha peternakan dan agribisnis<br />Membuat produk sepatu dan sandal.<br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-36939751415628802442010-01-27T19:27:00.002-08:002010-01-27T19:28:14.914-08:00Sumber Daya Jerukgulung Terabaikan, Partisipasi Masyarakat DianaktirikanAndai aku jadi orang kaya, akan aku bantu permodalan rakyat miskin dalam usaha pengembangan ekonomi…………<br />Andai aku jadi pengusaha, akan aku ciptakan lapangan pekerjaan bagi saudaraku warga Desa Genengan………<br />Andai aku jadi kepala desa, akan aku jadikan desa ini lebih maju atas kehendak rakayatku………<br /><span class="fullpost"><br />Ungkapan di atas menandakan bahwa situasi Dusun Genengan Desa Jerukgulung Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri, masih perlu pemikiran dan kerja keras dari semua elemen desa yang lebih massif. Perkembangan ekonomi yang cenderung stagnan (datar saja) alias tidak ada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat menengah ke bawah. Lapangan pekerjaan yang sangat terbatas menyebabkan jumlah pengangguran semakin hari semakin bertambah. <br />“Ah…!!! kenapa aku sampai bisa melihat dan mikir sejauh ini, semakin membikin aku pusing saja…….” Hal ini sangat mengganggu fikiranku, karena kondisi pemerintahan desa, menurutku juga sangat tidak menunjukkan bahwa desa ini milik semua masyarakat. Cara pandang pemerintah sebagai penguasa penguasa kecil di desa masih lekat sekali di tempatku. Aparat desa berubah menjadi juragan-juragan yang kerjanya tukang perintah sana sini. Sedangkan, partisipasi masyarakat dan transparansi pelaksanaan pemerintahan masih menjadi perihal yang langka. <br />Kondisi ini menciptakan jarak antara warga masyarakat dengan pemerintah desa (perangkat). Masyarakat yang sering mengkritisi kondisi desa, dianggap menjadi penghalang dalam rencana pembangunan desa. <br />Aku berharap dari lingkungan terdekat ini, dengan semangat kebersamaan dapat melakukan pengembangan pembangunan secara efektif. Desa dengan perencanaan partisipatif, menemukan posisi, peran dan arti strategisnya untuk menjamin pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat dalam psores perencanaan pembangunan di desa. <br />Meningkatnya peran masyarakat harus dilakukan sejalan dengan peran pemerintah desa yang pro aktif dalam memfasilitasi arah dan pembangunan desa, dengan mengutamakan peran langsung dari masyarakat, termasuk dalam pembuatan keputusan. Pemerintah bersama masyarakat harus jeli melihat dan memetakan potensi desa, meliputi perencanaan dan pengendalian, pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan serta evaluasi dan tindak lanjut. <br />Peran pemerintah seperti ini dimaksudkan untuk mencegah adanya eksploitasi kelompok tertentu. Pemerintah harus mendorong terjadinya hubungan yang partisipatif antara masyarakat dengan perangkat desa. Upaya pemberdayaan ini dimaksudkan mampu mengoptimalkan fungsi pelayanan yang dibutuhkan masyarakat secara mandiri. <br />Dan dalam alur pembangunan dibutuhkan tata kelola perencanaan pembangunan dan perencanaan anggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui musyawarah desa.<br /><br />Radio Komunitas Menjembatani Kepentingan Warga <br />Namun disisi lain, untuk mencari teman yang peduli terhadap persoalan desa perlu upaya yang sangat maksimal. Boleh dibilang apatis ketika masih belum adanya semangat untuk membangun desa. Sibuk dengan aktifitas pribadi masing masing. Sehingga dalam hal ini, perlu adanya beberapa orang untuk menjadi pelopor untuk membangun nilai solidaritas. Ingin aku mengabaikan hal ini, namun aku selaku warga desa setempat yang setiap hari melihat fakta tersebut menjadi bingung. Mulai dari mana aku untuk merubah desa ini menjadi desa yang sesuai dengan harapan masyarakat.<br /> Radio komunitas yang ada mungkin bisa menjadi pijakan awal untuk memulai membangun kebersamaan sesama warga Genengan. Di komunitas radio ini terdapat kelompok pegiat seni Dangdut, Campursari, dan Kuda lumping, yang kemudian berhimpun menjadi komunitas warga. Dalam perjalanannya selain mempunyai keinginan mengembangkan kesenian, kegiatan lain juga dikembangkan seperti, kelompok media belajar keaksaraan fungsional yang merupakan program pemerintah Kabupaten Kediri. <br /> “Ya…..Bu Aminah teman diskusiku, untuk melihat serta mencermati kondisi desaku tempat aku lahir”. Disamping radio komunitas yang diberi nama “Purnama FM”, akan terus dikelola sebagai media bersama, media informasi, pendidikan dan hiburan. Utamanya bagi warga Dusun Genengan, Desa Jerukgulung Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri, dan semua saja yang bisa mengakses frekuensi Purnama FM. <br /> Dengan kemampuan seadanya kami bersama kawan penyelengara siaran radio Puranama FM, terus berkomitmen mempertahankan dan mengelola radio komunitas. Dalam kurun waktu beberapa tahun secara internal banyak dinamika yang kami lalui misalnya, naik turunnya semangat dan keluar masuknya kawan-kawan yang mengelola radio. Sehingga kami bersama kawan-kawan yang ada meneruskannya dengan mencari kader yang bersedia bergabung di Radio Komunitas Purnama. <br /> Secara finansial kami juga berbuat semaksimal mungkin untuk memenuhinya bersama kawan-kawan yang ada. Tidak heran, jika terkadang harus off beberapa hari karena pemancar mengalami kerusakan pada saat kas belum mencukupi untuk perbaikan. Apapun cerita perjalanan kami di komunitas warga dan radio, kami merasa bersyukur kepada Allah SWT. Karena kami masih diberi kekuatan dan semangat untuk bersama- sama melakukan dan memberikan yang terbaik bagi lingkungan kami. <br /> Kami berharap ada pihak lain yang peduli dan membantu persoalan kami. Tidak lupa, kami berterima kasih sekali bisa berkenalan dengan kawan-kawan SRKB (Serikat Rakyat Kediri Berdaulat). Paling tidak ada kawan untuk berbagi pengalaman, mendapat masukan dan motifasi. Dengan mengenal SRKB, makin bertambah jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan kami membangun desa. Namun akan lebih baik bila kegiatan kami juga diikuti oleh warga desa kami yang lain. Kami akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan kegiatan kami. Salam kami untuk kawan-kawan di SRKB. Saya terkesan dengan semangatnya “UNTUK MELAWAN KETIDAKADILAN HARUS MENGORGANISIR DIRI”. (Maliki Abilowo-Genengan).<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-75370481005622915202010-01-27T19:27:00.001-08:002010-01-27T19:27:35.543-08:00Rakom SBL Jalin Persaudaraan Antar Umat(Jombang-AlhaRaka) ‘Semoga semakin jaya di udara’. Ucapan selamat atas kesuksesan Radio Komunitas (Rakom) Suara Budi Luhur (SBL) FM di Dusun Ngepeh Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Jombang di tahun ke-6, datang dari berbagai organisasi masyarakat, instansi pemerintah, para pengusaha maupun sesama Rakom. Ini membuktikan jangkauan radio tersebut semakin luas, sehingga diharapkan jalinan persaudaraan antar umat beragama di wilayah itu semakin erat.<br /><span class="fullpost"><br />Sebuah perjalanan panjang turut mewarnai berdirinya Rakom SBL FM. Keberhasilan menjaga komitmen akan radio komunitas tentunya ditunjang oleh keberadaan fans yang selalu turut memberikan support baik materi maupun non materi. Karena tidak jarang banyak radio komunitas yang beralih haluan menjadi radio komersil, karena tuntutan kebutuhan operasional radio yang begitu banyak. Namun hal ini tidak terjadi di Rakom SBL. Kuncinya adalah tetap kompak dan semangat untuk mempertahan nilai luhur yakni hidup rukun antar umat. Tidak heran bila rakom ini memiliki fans yang beragam agama. Dan program acaranya pun lebih bernuansa untuk memperkuat kerukunan antar umat beragama. Mulai dari hiburan, informasi, pendidikan, dan juga religius. <br /><br />Menurut H. Khamdi, ketua PBL (Paguyuban Budi Luhur) yang merupakan induk organisasi Rakom SBL memberikan mandat untuk terus mengembangkan Suara Budi Luhur dengan tetap diatas rel radio komunitas yang manjadi dasar berdirinya SBL. “Rakom SBL adalah sebuah wadah alternatif yang dinamis untuk umat beragama. Dimana semua agama mampu hidup berdampingan dengan indah, yang mana semua agama melupakan perbedaan, sehingga muncul kebersamaan guna mencegah perpecahan. Berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh berbagai media yang banyak kelompok dari satu dan yang lainnya saling menunjukkan egoisme sendiri-sendiri, sehingga yang tercipta adalah kebencian yang akan menghancurkan kelompok tersebut karena masing-masing tidak mau menghargai perbedaan, dan ingin menang sendiri,” tuturnya. <br /><br />Masih menurut Khamdi, radio komunitas SBL merupakan sebuah wadah yang benar-benar mempunyai visi misi yang jelas. Untuk itu ia mengharap bahwa radio SBL terus berlanjut dan semakin berkembang hingga keluar kota sesuai yang dicita-citakan. Dan selalu siap untuk menghadapi hidup yang terus berkelanjutan agar semua orang mau menanam kebaikan, dengan menghormati perbedaan. Karena dia yakin, semua agama adalah baik tidak ada agama yang bertujuan merusak. Sesuai dengan jargon radio yang mengudara setiap hari yakni ‘radio bolone dewe, tambah suwe tambah ngejreng’. “Semoga dengan Ultah ke 6 ini, rakom SBL tambah dewasa dan tambah jaya di udara” ucap Khamdi semangat. <br /><br />Dulu frekuwensi SBL tepat pada posisi 107,7 MHz dengan ketingian antena hanya 25 meter di tahun 2003. Sekarang, berkat dukungan para fans, ketinggian antena mencapai 42 meter dan frekuwensi 100,9 MHz. Sayangnya, fans yang berada di beberapa wilayah Kecamatan Bareng tidak mampu mengakses frekuwensi tersebut. <br /><br />Namun begitu, laju perkembangan radio komunitas SBL dalam kurun waktu 6 tahun dinilai cukup baik dari tahun ke tahun. "Kini SBL sedang menata administrasi dan menejemen kelembagaan agar legal dimata hukum. Hal ini memerlukan perjuangan berat, karena prasyarat yang harus dipenuhi cukup rumit dan memerlukan waktu relatif lama. Dalam proses perjuangan ini para krew akan tetap mengudara meski belum ada ijin resmi dari Komisi Penyiaran Jawa Timur” ujar Sandra.<br /><br />Masih menurut Sandra, pada tanggal 2 Nopember 2009 pengurus yang terdiri dari ketua, bidang penyiaran, bidang keuangan, jurnalis, dan teknisi akan pergi ke Surabaya, dalam rangka EDP (evaluasi dengar pendapat) untuk mempresentasikan dan menjelaskan data permohonan IPP (ijin peyelengara penyiaran) serta studi kelayakan lembaga penyiaran di SBL FM. “Kami berharap semoga proses presentasi beberapa perwakilan SBL ini sukses, agar kami dapat mengudara dengan tenang tanpa takut adanya intimidasi akan dibredel,” kata Sandra.<br /><br />Di radio komunitas SBL, jika ditotal perkembangannya antara pendengar pasif dan aktif bisa mencapai 5-10 ribu orang, terlihat dari perolehan atensi maupun kiriman atensi dari para fans. Ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2006-2009. Anggota yang sudah pasti biasanya sering datang ke studio, meskipun hanya cangkruan ataupun sekedar menyapa penyiar. Hal ini menunjukkan kesuksesan radio SBL tergantung fans di berbagai kota," terangnya.<br /><br />Ultah SBL, Ultah Fans<br />SBL akan tetap terbuka bagi siapa saja, tidak pilih-pilih dan tidak membeda-bedakan antara agama, ras, dan suku. Yang terpenting adalah untuk menjalin kerukunan umat, dimana antar fans dapat menjalin silaturrohim dan saling berbagi pengalaman hidup. Dalam capaian kesuksesan ini, yang harus selalu di pupuk adalah menumbuhkan regenerasi baru, baik dari kru penyiar maupun para fans. Pun dengan kegiatan nguri-nguri tradisi jawa yang bercirikan khas Jombang, mulai dari kesenia tari, ludruk, wayang beserta dalang dan pengiringnya sinden. <br /><br />Menurut ketua Fans Mimbar Wibisono, kebersamaan untuk saling memiliki dapat diwujudkan melalui banyak hal. Diantaranya selalu menciptakan kebersamaan ditiap momen. Seperti halnya momen Ultah ke 6 ini, tanpa komitmen kuat para fans untuk turut berkorban memberikan waktu, tenaga, materi tentunya tidak akan pernah sukses. “Saya sangat bangga kepada Rakom SBL, dimana antara fans yang satu dan lainya selalu saling menghargai hingga tidak ada konflik yang tercipta. Yang ada hanya kedamaian dan kerukunan, semua sadar bahwa persatuan akan mampu menjaga kedamaian yang abadi dalam pergaulan sehari-hari. Kami memang menganjurkan setiap fans kiranya mau menyumbangkan materi sedikit untuk proses operasional Ultah. Dan dari anjuran seihlasnya inilah anggaran terkumpul dan dijadikan untuk selamatan bersama ” ujar laki-laki kelahiran Sidowayah Bareng tahun 1959 yang lalu.<br /><br />Masih menurut Mimbar, baginya tidak masalah bagi para fans yang tidak bisa menyumbang karena terdesak oleh kebutuhan sehari-hari. Yang terpenting adalah hadir dan turut berkumpul dalam momen bersama, dari berbagi kebahagiaan inilah akan terdorong rasa saling memiliki antar fans. Dan ketika dirinya ditanya tentang susahnya menjadi ketua fans, tentunya tidak mudah baginya untuk mempertahankan kegiatan untuk tetap dinamis. Dimana ia tidak memperoleh gaji atas jabatan yang diembanya, malah tugas yang menumpuk selalu menuggu kala kegiatan sedang berlangsung. Namun baginya tidak ada kata susah dalam menjalani jabatan ketua Fans, karena setiap hari Mimbar selalu bertemu dengan orang-orang baru yang turut mengagumi keberadaan Rakom SBL ditengah-tengah wilayah yang penuh dengan keragaman agama. “Hati saya selalu riang gembira mbak, tak ada sedih ketika berjumpa dengan para fans. Bagi saya <br />Ini adalah anugrah dan mandat suci untuk menciptakan kebersamaan ditengah keberagaman,” tambahnya.<br /><br />Selain momen tahunan, kegitan bulanan yang telah berjalan cukup lama adalah kegiatan arisan dan kardus terbang. Setiap tanggal 15 anggota fans yang aktif bertemu, namun tanggal ini juga menyesuaikan kesibukan para fans. Seperti pada hari raya tiap agama, tentunya antara umat yang satu dan yang lainya sadar akan kesibukan persiapan hari raya. Maka alternatif kesepakatan yang telah berlangsung, biasanya tanggal dimajukan atau diundur. Menurut Nilam, salah satu penyiar SBL mengatakan bahwa arisan sebesar Rp 10 ribu mampu mempererat tali persaudaraan antar fans. “Jika tidak ada rutinan SBL juga sepi, ini pernah terjadi setahun yang lalu, sempat arisan sudah habis dan cukup lama fakum tanpa kegiatan ditambah lagi para fans juga jarang berkunjung ke studio. Rasanya ada yang kurang gitu ketika siaran,” kenag Nilam.<br /><br />Adapun kardus terbang ini diperuntukan kepada hal-hal yang tersifat mendadak, jika sewaktu-waktu radio membutuhkan biaya operasional yang membengkak. Disamping kardus terbang, para fans juga setiap arisan melakukan iuran seribu perbulanya. Dari sinilah operasional Rakom SBL diambilkan dan atas kesadaran para fans juga SBL terus berlanjut dan semakin mantap gaungnya ditengah maraknya radio komersil. Tidak ada kalimat yang indah dalam ahir tulisan ini kecuali ucapan selamat dari para pengemmar SBL di seluruh pelosok desa ‘Semoga SBL akan terus jaya di udara selamanya’. (Din-din Alha-raka)<br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-52358967200389907742010-01-27T19:25:00.000-08:002010-01-27T19:26:37.309-08:00Cerita Danang Dari Sepawon(Kediri-SS) Salah satu tokoh masyarakat Desa Sepawon adalah Danang, 38 tahun. Pria yang bertempat tinggal di Dusun Petungombo ini menguraikan bahwa desanya perlu intervensi inovasi. Banyak hal yang bisa dikerjakan masyarakat Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Namun, warga merasa bingung bagaimana memulainnya. Potensi besar yang ada di Sepawon menurut Danang adalah karakter masyarakatnya yang rukun dan perangkat desa yang terbuka untuk bekerjasama. <br /><span class="fullpost"><br />Namun demikian, sumber daya masyarakat Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten menurut Danang masih sangat minim. Sehingga menurutnya perlu sekali adanya program pemberdayaan terlebih untuk masyarakat di Dusun Petungombo. <br />Tidak salah, karena dari 5 dusun yang ada hanya satu dusun yang berada di luar wilayah PTPN XII Ngrangkah Pawon, yaitu Dusun Petungombo. Sejarahnya pada tanggal 17 Desember 1980, ada program nasional (prona) yakni 351 KK pada waktu itu mendapatkan sertifikat hak milik. Sehingga masyarakat Dusun Petungombo memiliki rumah dan tanah yang bersertifikat. Hal ini tentunya berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat di 4 (empat) dusun lain yang harus selalu mengikuti aturan perkebunan. <br />Masyarakat Petungombo bebas dari aturan Perkebunan dan ikut peraturan desa. Mata pencaharian masyarakat Petungombo bertani kebun dengan tanaman cengkeh dan kopi. Karena warga memiliki lahan sendiri tingkat kesejahteraannya berbeda dengan dusun lainya. Selain bertani, beternak juga menjadi andalan masyarakat di dusun ini. Ternaknya antara lain sapi, kambing, ayam dan lain-lain. Selain itu , ada juga warga Petungombo yang ikut menjadi buruh perkebunan, meski jumlahnya tidak banyak. <br />Menurut Danang perbedaan ini tentunya juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Petungombo. Masyarakat dusun yang termasuk kawasan Perkebunan selalu bergantung dengan PTPN, namun masyarakat Petungombo sama sekali tidak. Warga Petungombo lebih mandiri.<br /> Berdasarkan pengalaman saat terjadi letusan Gunung Kelud, masyarakat Desa Sepawon, termasuk Dusun Petungombo kekeringan karena banyak sumber mata air tidak bisa difungsikan, dan semua permukaan tanah tertutup dengan ketebalan debu letusan sampai 15-20 cm. Dampaknya, masyarakat desa mengangur. Tapi masyarakat Petungombo memilih tetap bertahan karena evakuasi yang dilakukan pemerintah dianggap tidak menguntungkan warga.<br />Jika dilihat dari peta kawasan rawan bencana, jarak Dusun Petungombo Desa Sepawon, sebenarnya sangat dekat dengan letusan Kelud yaitu termasuk dalam kawasan rawan bencana satu (KRB 1). Namun saat terjadi bencana, bantuan pemerintah malah difokuskan di Desa Sugihwaras yang menjadi pusat perhatian Pemda Kediri. Kendala ini menurut Danang karena akses masuk ke Dusun Petungombo sangat sulit. Akses jalan yang berupa jalan tanah dan berbatu menyulitkan untuk dilalui kendaraan. Apalagi kalau terjadi bencana.<br />Namun dari pengalaman masyarakat terhadap evakuasi bencana oleh Pemda memang kurang disambut positif. Masalahnya, karena tidak adanya jaminan keamanan terhadap asset-aset yaitu barang-barang dan ternak oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengevakuasi secara paksa tetapi tidak pernah mensosialisasikan terlebih dahulu tentang perkembangan informasi akurat/valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait letusan Kelud. Hal itu membuat masyarakat engan untuk mengungsi dan lebih memilih bertahan dirumah masing-masing.<br />Terkait program DRR bagi Danang adalah hal positif. Minimal program ini bisa mengurangi resiko bencana yakni ancaman letusan Kelud. DRR juga melakukan pemahaman kepada masyarakat akan pengurangan resiko bencana. Salah satu hal yang mendesak adalah hal teknis berkaitan pelatihan dan pendidikan tentang resiko bencana. Sehingga masyarakat tidak perlu menunggu inisiatif pemerintah yang seringkali tidak tepat sasaran. (SS)<br /> <br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-21494649038078598992010-01-27T19:23:00.000-08:002010-01-27T19:24:52.725-08:00Sejarah Tanah Ngrangkah Sepawon dan Badek(Kediri-SS) Ini tentang sejarah tanah yang kini menjadi sengketa antara masyarakat setempat dengan pihak perkebunan (PTPN XII). Aparat dengan tangan besinya telah melakukan penindasan terhadap rakyat atas nama kewenangan yang diberikan pemerintah. Saatnya kini penderitaan rakyat berakhir.<br /><span class="fullpost"><br />Masa Penjajahan Belanda<br />Tanah di daerah Ngrangkah Sepawon, sebelumnya merupakan hutan belantara. Hutan ini kemudian dibuka oleh Mbah Diposulaksono, kemudian disusul oleh penghuni baru yang lainya. <br />Sehingga dapat dikatakan bahwa para pembuka hutan ini juga adalah para leluhur masyarakat Desa Sepawon sekarang. Masyarakat pembuka hutan ini kemudian mendiami dan beranak pinak serta memperoleh penghidupan dari tanah dan sumber-sumber penghidupan yang lain ditempat ini. <br />Dari situ mulai berkembang sekelompok masyarakat yang hidupnya bergantung dari pertanian (hasil membuka lahan garapan). Masyarakat kemudian mulai menanami lahan dengan tanaman palawija seperti jagung dan ketela pohon. <br />Jumlah kepemilikan tanah warga pada waktu itu rata-rata setiap kepala keluarga itu minimal 0,5 Ha. Seiring bertambahnya waktu jumlah penduduk bertambah banyak dan kebutuhan lahanpun bertambah dan kemudian warga berinisiatif membuka lahan baru. Maka kemudian terbentuklah perkampungan baru yaitu Sumberejo, Kampung Pulo, Kampung Pakelan, Kampung Glatik dan Kampung Ngrangkah. <br />Pada tahun 1923 Pemerintah Belanda membuka area perkebunan di sekitar perkampungan warga. Belanda mengambil sebagian tanah garapan dengan cara memberikan ganti rugi sepantasnya pada warga. Namun, oleh Belanda kemudian dikuasakan pada Perusahaan Perkebunan N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Sumber Glatik Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Badek Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Babadan Gevastigde to Surabaya sebagai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. <br />Meski demikian, ada batas yang jelas terhadap antara tanah-tanah yang dikuasai oleh Belanda dengan tanah-tanah yang dikuasi oleh warga. Atau ada batasan jelas antara tanah yang dimiliki warga setempat, yakni tanah pertanian yang diperoleh dari hasil membuka semak belukar menjadi ladang garapan dengan tanah-tanah perkebunan yang dikuasai Belanda sebagai area perkebunan. <br />Batas-batas itu dibuat atas kesepakatan antara warga dengan pihak Belanda. Hal ini mengacu pada UU Agraria Belanda. Dalam Undang-Undang Agraria tersebut, yang dibuat Belanda pada 1870 tercantum aturan bahwa Gubernur Jendral Belanda tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri.<br /><br />Periode Pendudukan Jepang<br />Akibat penyerbuan tentara Jepang 1942 Belanda kalah, tanah perkebunan yang dikuasai Belanda banyak yang terlantar. Sehingga tanah perkebunan tersebut kembali menjadi semak belukar. Kemudian, tanah-tanah tersebut dikelola oleh Jepang. <br />Dalam pengelolaannya Jepang memanfaatkan tenaga masyarakat yang tinggal di daerah itu untuk Romusha. Pada saat itu Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan guna memperkuat tentaranya. Jepang sendiri waktu itu sedang menghadapi peperangan melawan Sekutu. <br />Karena pada masa itu banyak warga laki-laki yang dipekerjakan sebagai Romusha. Sehingga, banyak tanah-tanah warga yang terlantar dan tak tergarap. Akhirnya, tanah tersebut menjadi semak belukar lagi. Ditambah lagi kontrol yang ketat dari Jepang yang mengakibatkan petani tidak bisa lagi mengelola tanah yang dimilikinya.<br />Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 setelah penjajahan Jepang berakhir juga merupakan kemerdekaan bagi warga Ngrangkah untuk kembali lagi bertani. Sebanyak 500 KK mulai kembali mengelola lahann garapannya. <br />Pada tahun 1946 atas perintah Bupati Kediri Jumari dengan melalui pamong praja setempat (diantaranya Marto dan Kasmi) warga mulai melakukan pembabatan kembali tanah pertanian warga yang tak terawatt. Tindakan menduduki dan memanfaatkan lahan terlantar tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum. Karena memang sebelumnya yang dikelola adalah tanah yang pada masa penjajahan Belanda sudah menjadi milik warga yang tinggal di daerah itu. <br />Bahkan pada saat Agresi Militer tahun 1947-1948, dimana pada waktu itu pihak Belanda mencoba mengurus sisa-sisa tanah yang pernah didudukinya dan dikelola menjadi perkebunan kembali. Hal itu sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam mengelola lahan garapanya. Belanda pun tidak mempersoal tentang keberadaan warga yang mengerjakan lahan warga. Asumsi yang berkembang karena kesepakatan batas tanah antara warga dan Belanda sudah tuntas.<br />Kemudian pada tahun 1950 Rombongan dari Kawedanan Pare datang mengunjungi warga dan menyarankan agar tanah-tanah yang telah ada dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya secara turun temurun. Dari sini keyakinan warga terhadap hak kepemilikan tanahnya semakin kuat.<br /><br />Masa Terjadi Nasionalisasi <br />Agresi Militer berakhir, Pemerintahan Soekarno segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda yang ada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No 86 / 1958, LN 1958,No 162) dan diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959 yang meliputi tanah bekas perkebunan atau perusahaan barat dikuasai Negara. Terrmasuk di dalamnya tanah perkebunan N.V. Cultuur Mij Badek, N.V. Ngrangkah Sumber Glatik, N.V. Babadan . <br />Sejak tanggal 3 Desember 1957 tanah perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan perusahaan perkebunan Belanda dirubah menjadi PPN Antan yang merupakan perusahaan perkebunan milik Negara RI. Sebenarnya pada saat nasionalisasi ini juga sudah ada kejelasan, mana tanah milik Perusahaan Belanda dan mana tanah milik warga. Apalagi, pada saat tanah yang terkena nasionalisasi dan kembali ke Negara diluar batas-batas tanah-tanah rakyat dan tetap ada pembatasan yang jelas antara tanah yang terkena nasionalisasi dengan tanah yang dimiliki warga.<br />Setelah ada program nasionalisasi dan ditambah lahirnya UUPA 1960 dan diperkuat dengan pidato Menteri Agraria pada tanggal 12 September 1960 di depan DPR-GR tentang keberadaan UUPA 1960 yang bertujuan untuk memperkuat hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki atau perempuan yang berfungsi sosial. Substansi terhadap penguatan dan perlindungan terhadap Prifat-Bezit, hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun muncul dalam UUPA 1960 ini. Pada waktu itu warga sudah melakukan pembayaran pajak penghasilan mulai tahun 1952 sampai tahun 1961. Hal ini dapat dibuktikan warga dengan adanya bukti pajak warga Ngrangkah yang dibayarkan kepada perangkat desa (Jono).<br /><br />Masa Penggusuran <br />Pada tahun 1966 terjadi koflik, dimana tanah yang dikuasai warga berusaha diambil alih oleh Pemerintah dengan dalih tanah mereka adalah tanah hasil Nasionalisasi. Kemudian terjadilah tindakan yang bersifat manipulatif melalui tekanan, paksaan dan teror. Perangkat desa bersama tentara meminta paksa surat-surat berharga yang menunjukan kepemilikan mereka atas tanah dengan dalih bahwa tanah-tanah mereka akan diproses, istilahnya pemutihan, untuk mendapatkan sertifikat.<br />Dan sebagai gantinya, sementara, warga menerima kartu IKABRA (Ikatan Karyawan Brawijaya). Namun tindakan tentara dan perangkat ini hanya bohong belaka. Kenyataannya kemudian tindakan ini adalah upaya untuk menghilangkan bukti-bukti kepemilikan tanah warga dan sebagai tindakan awal untuk merampas tanah warga untuk area perkebunan. <br />Pemaksaan ini juga menggunakan banyak cara. Seperti dalih yang berlindung pada anggapan nasionalisasi tanah secara keliru. Seringkali yang digunakan dalih adalah Lembaran Negara No 162 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi tanah perkebunan.Tetapi dasar pijakan ini tidak dilihat secara utuh. Hanya sepotong-sepotong.<br />Ditingkat lokal pemerintah memperkuat upaya perampasan dengan menggunakan media pertemuan antar pemerintah lokal dan warga. Misalnya keputusan rapat Tri Tunggal yang dihadiri oleh Camat, Aparat Kepolisian, ABRI, dan warga masysarakat di lapangan Sepawon. Keputusan rapat sepihak tersebut adalah bahwa tanah yang dimiliki dan dikelola warga selama berpuluh-puluh tahun tersebut dikatakan atau diklaim tanah milik nagara dan warga wajib menyerahkan tanah garapanya kepada Negara dan apabila warga tidak mau menyerahkan maka dianggap sebagai musuh Negara. <br />Bentuk-bentuk penekanan tidak hanya itu, apabila warga tidak menyerahkan tanah yang dimilikinya, tanpa berdasarkan fakta dan bukti yang jelas maka mereka dicap sebagai PKI. Setelah rapat tersebut warga dikumpulkan di rumah kepala kampong yang bernama Musiran. Warga dipaksa untuk memberikan sidik jari (cap Jempol) diatas surat pernyataan. Namun ada sebagian yang tidak mau karena maksud surat pernyataan tersebut adalah upaya penyerahan tanah warga.<br />Selain itu bentuk pemaksaan juga dilakukan lewat perampasan bukti-bukti kepemilikan tanah (surst-surat tanah) oleh aparat tentara dengan cara mendatangi rumah-rumah warga dan menggeledah isi rumah dengan paksa. Banyak warga yang ketakutan dan akhirnya menyerahkan surat tanah mereka karena diancam dengan senjata. <br />Dalam perampasan hak milik oleh militer. Ada 3 kelompok militer yang terlibat. Pertama Brigif 521 dengan tokohnya Wagiran dan Wardi. Kodam dengan tokohnya Jalil. Brimob dibawah pimpinan Lameni dan Seman. Serta ada kelompok lain dari veteran dan kepolisian. Selain merampas mereka juga menduduki kampung warga dengan melakukan ancaman dan kekerasan terhadap warga apabila warga tetap ”nekad” mengelola dan memanen hasil tanamannya. <br />Warga diultimatum dan tidak boleh melakukan aktifitas diatas garapannya. Ultimatum ini diikuti dengan pemukulan. Contohnya pada waktu itu Tomo mengambil (rambanan) daun nangka untuk makanan ternaknya, dihajar/dipukuli oleh Imam dari Brigif karena didakwa menjarah dan berusaha mengelola lahannya kembali. <br />Tindakan tentara tidak berhenti sampai disini. Tindakan represif ini sampai pada penghilangan nyawa. Diantaranya yang menimpa Patmo, Yahya, Dayat, Rasid, Tarmadi, Warsimin, Nyoto, Suro Srmin. Kematian mereka semua tidak wajar dan akibat penganiayaan yang sangat keji. Bahkan, mayat pak Patmo Yahya yang dikenal sebagai pimpinan, Kepalanya di Penggal dan diarak keliling kampong oleh Nurtam yang pada waktu itu sebagai sinder keamanan.<br />Semenjak 1966 tanah-tanah rampasan dari warga dikelola oleh pihak militer menjadi perkebunan karet dengan mengatasnamakan perkebunan PRIGIF (Proyek Gabungan ABRI). Setelah dikelola militer, warga dikelompokkan menjadi satu di dusun Ngrangkah Desa Jarak dan sebagai gantinya warga disuruh bekerja dengan gaji 1 rupiah/hari. Padahal, kalau bekerja dilahan sendiri bisa mencapai 10 rupiah/hari, dan ganti rugi atas tanah yang dimiliki diganti uang sebanyak Rp 45.000. Namun kenyataanya uang itupun tidak diberikan segera sampai bertahun-tahun. Dalam kondisi ini warga tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.<br />Warga selama menjadi karyawan itupun dibebani dengan syarat-syarat yang memberatkan. Antara lain apabila selama 3 bulan kerjanya baik maka diangkat jadi karyawan dan apabila tidak memenuhi syarat maka akan diberhentikan. Pada tahun 1968 yang sudah jadi karyawan satu persatu diberhentikan dengan dalih SEKRENING (di- PKI- kan), upaya tersebut dilakukan dengan cara yang penuh rekayasa yakni penunjukan pada KTP yang menyatakan bahwa warga yang pernah menjadi anggota PKI. Proses tersebut berlangsung sampai tahun1970. <br />Setelah warga dipecat, perkampungan warga juga digusur lagi terutama bagian Timur dan Utara yakni Glatik, Sumber Rejo, Pulo, Pakelan, Ampera, Pojok, dijadikan satu diperkampungan Ngrangkah-Sepawon tahun 1966. Untuk mempermudah pengawasan, untuk Dusun Pojok dijadikan satu dengan Badek, dengan ketentuan setiap warga yang digusur akan diganti dengan ukuran tanah 20 M. dan lebar 25 M dengan janji tanah tersebut akan disertifikatkan untuk menjadi hak milik. <br />Namun janji itu sekali lagi hanya janji kososng. Sampai bertahaun-tahun janji itu lenyap ditelan bumi. Malah tanah tersebut menjadi perkebunan kopi dan cengkeh. Akibat dari penggusuran ini kondisi ekonomi tidak menentu. Untuk memperbaiki kehidupannya banyak warga menjadi trans (ikut program transmigrasi). <br />Akibat sempitnya perkampungan dari beberapa dusun dijadikan satu dan digusur lagi. Sebagai gantinya warga ditempatkan diatas lahan tempat aliran lahar gunung kelud yang diatasnya penuh batu-batu kecil dan pasir. Saat itu juga banyak yang pindah ketempat lain. Selama 4 tahun kondisi warga dalam keadaan kacau balau dan dalam tekanan pemerintahan Orde Baru. <br />Sesudah 2 tahun perkebunan dibawah Pengelolaan ABRI akhirnya berpindah kepemilikan. Dari pengelolaan BRIGIF digabung dengan PPN Antan XII, dimana peralihan tersebut tanpa diketahui warga dan pola yang dipakai tetap sama yaitu rekayasa.<br />Tahun 1975 perkebunan melakukan perluasan lagi, dan warga mengalami penggusuran lagi dan ditempatkan dilahan semak belukar yang disebut Ngglagah Rejo dan sekarang disebut Wono Rejo Desa Tri Sulo. Masa dibawah PPN Antan XII tetep tidak ada perbaikan nasib. Untuk meredam warga dijadikan karyawan tapi lagi-lagi dipecat tanpa ada alasan yang jelas. <br />Perlu menjadi catatan dalam masa penggusuran itu adalah, ada sebuah kampong yang waktu itu selamat dari penggusuran yakni kampong Pakelan II (Petung Ombo) dan ternyata tidak masuknya Kampong Pakelan dalam penggusurn dikarenakan di dalam kampong pakelan ada seorang Veteran 45 yaitu Kamituo Sadimin bersama keluarganya.<br /><br />Perjuangan Tahun 1982<br />Pada tahun 1982 ada diantara warga yang ingin menuntut pegembalikan tanahya dari penguasaan perkebunan. Perkebunan dan militer menyebutnya kelompok Kamin cs.Pada 19 Mei 1983 Kamin dan Panuji diculik. Warga menyebutnya kena Petrus (Penembak Misterius) Kamin dan Panuji sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Namun, warga tidak takut. Upaya untuk mendapat hak atas tanahnya ini berlanjut sampai mengirim pengajuan hak atas tanah kepada Mendagri. <br />Berikutnya terjadi proses peralihan pengelolaan kebun dari pihak PPN Antan XII ke pihak PTPN XII. Hal itupun juga direkayasa dan tidak diketahui warga. Bahkan, mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria. <br />Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga Ngrangkah Pawon atau tanah warga diklaim berstatus tanah Negara bekas hak erfpacht dengan atas nama : N.V. Cultuur Mij Nrangkah Sumber Glatik, N.V. Cultuur Badek dan N.V. Cultuur Mij Babadan, terkena Nasionalisasi berdasarkan UU Nomor 86 tahun 1958 junto Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959. Di dalam keterangannya perkebunan menuliskan bahwa sejak tanggal 3 Desember 1959 tanah hak milik yang pernah dikelola warga (klaim tanah milik perkebunan) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. <br />Dalam SK. /HGU / DA / 87 sangat jalas sekali bahwa pengajuan HGU yang dilakukan oleh PTPN XII tentang luas tanah bukan hak erfpacht milik Belanda saja, tapi milik warga yang dirampas sejak awal pemerintahan Orde Baru. Diperkuat dalam syarat-syarat pengajuan HGU yang didalamnya sangat memberatkan, diantaranya apabila di dalam areal yang diberikan dengan HGU ini ternyata masih terdapat pendudukan atau penggarapan rakyat secara menetap yang sudah atau belum mendapat penyelesaian maka menjadi kewajiban dan tanggung jawab sepenuhnya dari penerima hak untuk menyelesaikan dengan menurut peraturan yang berlaku, syarat ini digunakan untuk menekan warga dengan sewenang wenang. (Ashar Surya Sejahtera).<br /><br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-71757585503070236842009-11-03T19:35:00.002-08:002009-11-03T19:36:28.438-08:00Koperasi Berkembang di Pondok Pesantren(Tulungagung-Paricara) Pondok Pesantren (Ponpes) kini tak lagi melulu berurusan dengan mengaji kitab kuning. Ponpes telah berkembang merambah ke berbagai bidang pengetahuan dan keterampilan. Salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi para santri dalam bentuk koperasi. <br /><span class="fullpost"><br />Tengok saja Koperasi Daruttaibin di Ponpes Daruttaibin Desa Campurdarat Kecamatan Campurdarat, Tulungagung. Selain ngaji, Ponpes ini juga mengajari santrinya untuk praktek langsung berkoperasi. Menurut salah satu penggerak Koperasi Daruttaibin, Istiqomah, pada awalnya kegiatan ekonomi ini hanya dilakukan oleh kalangan internal ponpes sendiri, karena hanya menyediakan kebutuhan para santriwan dan santriwati seperti kitab kuning dan kebutuhan pokok lainnya. Kemudian kegiatan ini menjadi bahan pengajaran dan pengalaman bagi para santri.<br />Dikatakannya, untuk sementara yang banyak membutuhkan barang-barang koperasi adalah santri perempuan. Sedangkan untuk santri laki-laki biasanya hanya titip bahan atau pesan saja, seperti sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya.<br />Pada dasarnya keberadaan koperasi di Ponpes ini dimaksudkan untuk memperlancar proses belajar mengajar. Bagai para santri yang belum memiliki uang untuk mencukupi kebutuhannya, seperti kitab dan lain-lain, mereka bisa pinjam di koperasi. ”Apabila sudah punya uang, pinjaman bisa dilunasi di kemudian hari,” terang Istiqomah.<br />Kehadiran koperasi di Ponpes Daruttaibin sangat dirasakan manfaatnya oleh para santri. Romdhoni, salah seorang santri, mengaku sangat terbantu dengan adanya koperasi tersebut. ”Koperasi benar-benar membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari santri. Apalagi, santri boleh berhutang dan boleh mengembalikan kapan saja kalau sudah punya uang,” ujar santri yang akrab dipanggil Dhoni ini.<br />Selain menyediakan kebutuhan proses belajar mengajar, melalui koperasi para santri juga diajarkan untuk belajar membangun ekonomi. Seperti saat koperasi mendapat pesanan jajan atau kue dari masyarakat sekitar, maka para santri perempuan diajari untuk belajar membuat kue. <br />Para santri pun merasa senang dengan kegiatan tambahan di pondok. Selain belajar ilmu-ilmu agama, para santri juga belajar berbagai keterampilan hidup. seperti yang di ungkapkan Bapak Jazuli. ”Para santri senang diajak belajar di luar kegiatan ngaji, seperti bertani, beternak maupun yang lainnya,” tutur bapak Jazuli, salah satu pengasuh Ponpes Daruttaibin.<br /><br />Libatkan Masyarakat dalam Pengembangan Koperasi<br />Dalam perkembangannya, kegiatan koperasi di Ponpes ini ternyata dilirik masyarakat sekitar. Bahkan sebagian diantaranya ikut bergabung. ”Ini sebagai langkah awal untuk membangun perekonomian masyarakat agar lebih bisa berkembang. Sebagai kader pesantren kita harus bisa bersosialisasi dengan masyarakat,” terang Istiqomah menambahi.<br />Seiring berjalannya waktu, para penggerak Koperasi Daruttaibin menginginkan agar unit usaha koperasi dikembangkan tidak hanya di bidang perdagangan, namun juga simpan pinjam. Dengan modal Rp 6 juta, penggerak koperasi yang dipelopori oleh bapak Kholik mencari anggota yang berasal dari masyarakat sekitar Ponpes Daruttaibin. <br />Langkah ini mempunyai prospek yang sangat besar maka Koperasi Daruttaibin kemudian dikelola secara lebih serius. Anggotanya kini mencapai anggota 20 orang. Adapun simpanan pokoknya ditentukan sebesar Rp 60 ribu dan simpanan wajibnya sebesar Rp 5 ribu. Untuk membangun kebersamaan, setiap satu minggu sekali anggota koperasi membuat pertemuan rutin dengan agenda pengajian yang diasuh oleh Pengasuh Ponpes Daruttaibin, KH Moh Damanhuri Risya. <br />Dalam kesepakatannya, anggota koperasi berhak mengajukan pinjaman, namun dengan jumlah yang ditentukan. Ini karena modal koperasi masih terbatas. Besarnya pinjaman, untuk setiap anggota dibatasi paling besar Rp 600 ribu. ”Sesuai kesepakatan, masing-masing anggota koperasi boleh meminjam maksimal Rp 600 ribu,” terang Istiqomah.<br />Dijelaskannya, jika nanti ada yang pinjam lebih dari jumlah yang ditentukan, maka di kahawatirkan anggota yang lainnya banyak yang tidak kebagian. Istiqomah menambahkan, modal koperasi masih sedikit. ”Makanya bila yang pinjam lebih dari ketentuan dikawairkan anggota yang lainnya tidak kebagian,” tuturnya.(Lukman, Paricara)<br /><br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-79085860345843679892009-11-03T19:35:00.001-08:002009-11-03T19:35:49.137-08:00Tol Trans Jawa: Forum Jama’ah Korban Jalan Tol Jombang; Tolak Isu Harga(Jombang-Alha-Raka) Kekompakan para korban merupakan salah satu kekuatan untuk mengupayakan penyelesaian ketidaksamaan harga penjualan tanah yang terkena landasan tol Trans Jawa Kertosono-Mojokerto antara warga dan P2T Kab. Jombang. Kompak di sini bukan berarti warga menolak ganti rugi, namun menunggu sampai ada kenaikan harga yang layak. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Usai pertemuan perwakilan dari masing-masing desa pada tanggal 30 Agustus dan 15 September 2009 di Dsn. Ngrawan Ds. Santren Tembelang Jombang, menghasilkan beberapa temuan baru terkait isu kenaikan harga. Pada awalnya harga tanah dihargai hanya Rp 50 ribu per M² kini naik menjadi Rp 70 ribu per M². Mengenai isu yang beredar tersebut, warga yang tanahnya akan diambil negara tentunya masih enggan menerima tawaran harga tersebut. Menurut Ismail, warga Desa Sumberejo Jombang, bahwa dirinya beserta 38 warga tetap kukuh dan sepakat bersama-sama akan berusaha mempertahankan tanah yang menjadi haknya. Tapi kondisi saat ini memang ada beberapa warga yang awalnya ikut mempertahankan harga jual sudah berkurang sedikit demi sedikit dengan alasan karena terlilit hutang. Disamping itu banyak sekali aparatur pemerintahan melakukan intimidasi serta memberikan informasi bahwa tidak akan ada kenaikan harga sampai kapan pun. <br />“Banyak anggota kami yang diancam bahwa kalau tidak segera memberikan tanah yang akan dibebaskan maka akan segera berurusan dengan pihak pengadilan. Padahal kami juga telah memberi tahu bahwa untuk berurusan dengan pihak hukum tentunya tidak semudah itu. Ada beberapa tahapan sebelum mengarah pada urusan konsinyasi, yakni warga harus bertemu dengan pihak eksekutif terlebih dahulu, dalam hal ini adalah bupati. Jika telah terjadi tawar menawar harga dan tidak menemukan titik temu, barulah ada tahapan menuju pengadilan,” terang Ismail. <br />Penuturan Ismail memang berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus mengutamakan musyawarah. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah hanya sepihak dalam membuat keputusan. Kini warga yang bertahan di Sumberejo dari 38 menjadi 28 dan terakhir tinggal 16 orang. Sedangkan di kecamatan Perak dan Bandar Kedungmulyo yang juga turut menjadi anggota aliansi kini yang bertahan hanya tinggal 17 orang. Sedangkan di desa Banjardowo dari 3 dusun yang paling banyak bertahan adalah Dsn. Gempolpait yakni 12 orang. Sedangkan untuk Cangkring Ngrandu Sidomulyo dan Santren Ngrawan Tembelang juga ada yang sudah memberikan tanah-tanah mereka dengan harga yang tidak sama. <br />“Kami awalnya hanya memberikan penawaran dengan mengajukan langsung kepada pihak eksekutif dan tembusan kepada pihak P2T (Panitia Pengadaan Tanah) dengan harga 2 kali lipat dengan harga yang diisukan. Namun dalam satu tahun ini tidak direspon sama sekali, kami merasa dipermainkan oleh pemerintah Jombang. Kini kami akan mengajukan permintaan harga sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) jika asumsinya permeter Rp 10 ribu, maka akan kami kalikan dengan kontrak investor selama tahap awal 35 tahun atau bisa jadi kontraknya 70 tahun maka tanah kami juga akan bisa mencapai harga permeter Rp 700 ribu” kata Ismail selaku koordinator Desa Sumberejo.<br /> Hal senada juga disampaikan oleh H. Harun dari perwakilan Dsn. Gempolpait, bahwa meski dirinya telah didatangi oleh pihak kecamatan Jombang secara langsung namun akan tetap bertahan sampai ada kelayakan harga. “Untuk mau bertahan memang hak masing-masing orang, saya pun tak bisa melarang dan tidak bisa menyuruh kepada siapapun. Jika saya ditanya tetangga yaa saya jawab menunggu sampai ada kenaikan baru saya berikan. Lha wong harga jual beli normal tahun ini saja sudah naik. Apalagi untuk kasus khusus pada ganti rugi tanah, tentunya masyarakat juga tidak mau rugi karena nantinya jalan tol ini akan dikomersilkan” ungkapnya. <br /> Sementara itu menurut Mustaghfirin, yang menjadi tuan rumah pada pertemuan ketiga di Dsn. Ngrawan juga membenarkan hal tersebut diatas. “Kita adalah calon korban tol, kenapa disebut korban ya karena kita tidak ada niatan untuk menjual tanah-tanah tersebut, namun karena untuk kepentingan umum terpaksa kita memberikan namun tentunya dengan harga yang layak. Ketika harga tersebut kita masih merasa rugi, maka kita harus berjuang. Dulu tahap sosialisasi awal dari pemerintah kami akan diberi ganti rugi dengan harga perkotaan, namun buktinya mana? pemerintah hanya omong kosong ini kan namanya bohong. Kita dikhianati oleh pemerintahan Jombang, untuk itu hanya ada dua pilihan kita akan menempuh jalur damai ataukah anarkis. Namun untuk saat ini kita akan menempuh jalur damai dahulu, meski harga diri rakyat kecil seperti kita telah terinjak-injak namun kita harus menggunakan otak bukan otot,” kata pak Mus Tegas.<br /><br />Pemerintah Membuat Rakyat Miskin<br />Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, jargon ini tentunya sangat tepat dipakai untuk menyemangati perjuangan warga Forum Jama’ah Korban Jalan Tol Jombang (FJKTJ). Isu harga yang telah disebarkan pemerintah memang tidak manusiawi, terbukti banyak warga yang mengeluhkan harga tersebut. Padahal kalau ditinjau dari dampak yang ditimbulkan tidaklah sedikit, mulai dari kondisi sosial masyarakat yang dulunya pedesaan akan bergeser pada budaya perkotaan. Dulunya masyarakat menjadi petani dengan mengolah tanah-tanah mereka. Namun ketika jalan tol telah jadi mereka harus berupaya bertahan hidup dengan mencari pekerjaan lain karena tidak mempunyai lahan untuk bertani. Hal ini juga akan memicu banyaknya angka pengangguran. Belum lagi polusi yang tidak bisa dihindari oleh masyarakat setempat di sekitar lingkungan tol. Mulai dari polusi udara sampai pada polusi suara bising. Apakah ini mendapatkan jaminan asuransi dari pemerintah? Tepat kiranya jika pemerintah akan membuat rakyat miskin jika tidak mempertimbangkan harga yang layak dan manusiawi melihat dampak negatif yang akan muncul sangat beragam.<br />Untuk itulah beberapa warga yang masih tersisa akan terus bertahan dan memperjuangkan tanah-tanah mereka. Adapun tahapan awal yang pernah dimusyawarahkan bersama dengan KRJB (Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat) dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) Jatim adalah membuat rencana kerja teknis, yakni selalu berupaya melakukan koordinasi minimal setiap bulan. Dan selanjutnya akan membentuk team kecil untuk merumuskan hasil kesepakatan dengan bentuk pernyataan sikap yang akan ditujukan kepada semua instansi pemerintah dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat pusat yakni Jakarta. Adapun tahapan proses upaya bersama tersebut yang sudah mulai, pertama: Warga sepakat untuk kompak dan bersatu untuk tidak memberikan tanah sampai ada kenaikan harga yang layak. Kedua, selanjutnya masyarakat akan terus berupaya bisa bertemu langsung dengan P2T, TPT atau tim penaksir tanah dari provinsi Jawa Timur, dan dari sini jika memang harga telah disepakati oleh tim yang ditunjuk oleh Pemkab, yakni sang penaksir harga teratas itu berapa dan minimal itu berapa. Ketiga, Maka warga juga harus tahu batasan tanggal batasan akhir kapan realisasi pembebasan tanah itu dilakukan.<br />Dari ketiga tahapan tersebut harus tetap disertakan transparasi dari desa, jika semua data tersebut sudah ada ditangan warga selanjutnya FJKTJ akan bersama-sama melakukan audensi atau hearing dengan pihak eksekutif maupun legislatif. Namun sebelumnya masyarakat harus berupaya keras untuk mencari dukungan dari berbagai pihak, agar persoalan ini menjadi isu kabupaten. Menurut Heri, koordinator lokal Ngrawan, “kalau diperlukan kita akan bersama-sama membuat simulasi para korban tol yang dipaksa oleh pemerintah untuk memberikan tanah miliknya yang sejengkal sampai titik darah penghabisan. Dengan model simulasi akan mempercepat proses penyebaran informasi kepada seluruh khalayak. Yang terpenting lagi dari perencanaan teknis tersebut, yang tetap harus diperhatikan adalah bagaimana warga yang masih bertahan dan belum menyerahkan tanah-tanah mereka tetap kompak. Meski ada intimidasi dari berbagai pihak, jika masyarakat kompak maka perjuangan ini akan menemukan hasil yang diinginkan bersama, ” jelas Heri.<br />Pada pertemuan ke-3 tersebut, KRJB memandatkan Syadad, selaku staf ICDHRE Jombang untuk memfasilitasi jalannya diskusi. Untuk mendapatkan keadilan dari pemerintah memang rakyat harus berjuang keras, untuk memperlancar proses perjuangan perlu kiranya mengadakan do'a bersama yang ditujukan kepada birokrasi pemerintahan Jombang mulai dari bupati beserta stafnya dan pihak P2T. Harapan dari do'a bersama tersebut agar mau berfikir untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan bisnis semata dan mau transparasi tentang segala hal. Jangan hanya untuk menekan pengeluaran anggaran sedikit mungkin, namun dampaknya malah mengorbankan rakyat kecil. “Kita akan mulai bersama-sama melakukan penataan strategis, namun terlebih dahulu kita akan membuat team kecil yang terdiri dari ketua, para koordinator desa dan dibantu oleh beberapa perwakilan kelompok KRJB untuk merumuskan draf pernyataan sikap bersama yang ditujukan kepada semua instansi,” terang Syadad.<br />Adapun usulan yang berhasil dikumpulkan pada malam hari itu diantaranya: menuntut kenaikan harga dan menolak harga yang telah diisukan selama ini oleh pihak pemerintah, adanya transparasi dari tim P2T dan TPT, peninjauan ulang terhadap kelayakan harga dari tim apreaser, pengukuran ulang terhadap tanah-tanah yang masih belum diberikan warga, memberikan tenggang waktu kepada warga untuk pindah usai pembayaran ganti rugi, penambahan kesejahteraan bagi warga yang terkena dampak sosial ekonomi, batas toleransi sisa tanah, dan tolak mafia tanah termasuk para perangkat yang terlibat. “Dari beberapa usulan ini pada tanggal 24 September 2009 usai lebaran team yang telah ditugasi harus berkumpul dan segera melayangkan draf rumusan kesejumlah instansi. Draf rumusan yang telah dibuat nantinya akan menjadi materi untuk hearing ke DPRD Jombang, namun tentunya menunggu terbentuknya komisi-komisi dan ketua DPRD yang baru,” tambah Syadad. (din-din, Alha-Raka)<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-90608186645583882672009-11-03T19:34:00.000-08:002009-11-03T19:35:03.884-08:00“Sekolah Dilarang Melarang”(Madiun-Difaa) Tanggal 28 Oktober 1928 atau 81 tahun lalu menjadi tonggak persatuan tekad dan semangat nasionalisme pemuda. Pemuda dari berbagai daerah yang tergabung dalam berbagai perkumpulan daerah antara lain Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, bertemu di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Pertemuan itu melahirkan kesatuan tekad, semangat, dan tujuan perjuangan bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bebas dari penjajahan bangsa lain. Saat ini, 64 tahun merdeka, kita perlu memaknai kembali peristiwa bersejarah tersebut, terutama dalam menghadapi era globalisasi.<br /><span class="fullpost"><br />Pertemuan pemuda pada tahun 1928 itu merupakan proses yang panjang dari perjalanan perjuangan bangsa. Berbagai perjuangan sebelumnya yang dilakukan para pejuang selalu dapat dipatahkan penjajah/Belanda. Karena perjuangan sebelum tahun 1928 bersifat kedaerahan, adu fisik, dan tidak ada persatuan semangat dan tujuan bersama. Dengan terlaksananya pertemuan pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda maka dimulailah babak baru perjuangan bangsa yang akhirnya menghantarkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.<br />Setelah Indonesia merdeka, pemuda meneruskan peran dengan mengisi kemerdekaan. Berbagai kiprah dan bentuk pengabdian kepada negara pasti berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan dulu. Hal tersebut merupakan cara dan memaknai perjuangan pemuda tempo dulu, sesuai dengan pernyataan Bapak Chusnul Yaqien, SH, Kasi Pembinaan Generasi Muda dan Olah Raga Dinas Pendidikan, Budaya, Pemuda dan Olah Raga Kota Madiun, “Saya kira meski bentuk perjuangan pemuda berbeda dengan masa dulu, tetapi pemuda harus tetap mempertahankan NKRI, berkiprah sesuai dengan bidang dan kemampuannya, termasuk mau menjaga budaya kita seperti Reog atau kesenian yang lain”. <br /> Yohanes Manasye atau biasa dipanggil John, adalah salah seorang pengurus kelompok studi SDM (Sekolah Dilarang Melarang). Sekolah non formal ini merupakan kelompok studi yang terbentuk pada bulan Juni 2009, yang kelahirannya diprakarsai oleh DIFAA Madiun. SDM dalam kegiatannya menganut sistem belajar terbuka, aspiratif, setara, dan partisipatif. John sebagai bagian dari SDM yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium PMKRI Madiun periode 2008-2009, menyatakan bahwa bentuk perjuangan pemuda sekarang secara internal harus meningkatkan kualitas, pengetahuan, dan integritas diri. “Pemuda terutama mahasiswa jangan bergerak di tingkat elit saja, tetapi harus masuk dan peduli dengan situasi yang terjadi di masyarakat secara langsung,” ujar John. <br />Hal senada disampaikan oleh Chusnul Yaqien bahwa, Sumpah Pemuda tahun ini seharusnya diperingati untuk dimaknai ulang oleh pemuda Indonesia. Bagaimana menjaga semangat kebangsaan yang melekat dalam sanubari pemuda. Menurut Chusnul, ada banyak hal yang harus dilakukan untuk memaknai Sumpah Pemuda. “Salah satu cara adalah menjaga dan mengembangkan budaya. Karena budaya Indonesia sangat banyak dan bernilai tinggi. Jangan baru sadar ketika ada klaim budaya dari bangsa lain. Pemuda juga harus bisa menjaga agar tidak terlibat dengan gerakan radikal seperti terorisme yang merugikan bangsa dan negara sendiri,” kata Bapak Chusnul. <br /> Sementara bagi John, menjaga rasa kebangsaan bisa diwujudkan dengan cinta produk dalam negeri, karena produk dalam negeri sebenarnya tidak kalah bagus dengan produk luar negeri. “Adalah memprihatinkan apabila pemuda sekarang lebih suka produk luar negeri, termasuk juga suka dengan gaya hidupnya yang belum tentu cocok dengan masyarakat kita,” kata John.<br />Pemuda Indonesia sekarang ini lebih mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri dan mengoptimalkan potensi diri sehingga lebih siap menghadapi tantangan globalisasi yang penuh dengan persaingan. Globalisasi adalah masa di mana sekat negara, wilayah, sistem, dan ideologi semakin tipis. Maka persaingan kerja semakin ketat. “Generasi muda sekarang lebih bebas, leluasa, dan pasti lebih mampu bersaing, asal jangan terjebak dalam globalisasi yang bersifat negatif. Ambil sisi positif dari globalisasi,” tambah Chusnul Yaqien.<br />Pemuda harus siap bersaing dalam tantangan globalisasi yang membutuhkan kemampuan dan skill yang memadai. Karena dalam era globalisasi hanya yang kuat dan berkemampuan dengan skill tinggi yang dapat bertahan. “Pemuda mesti melengkapi diri dengan berbagai kemampuan, meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan iman takwa (Imtaq). Iman dan takwa tetap penting agar teknologi dapat membawa kebaikan bagi manusia,” tambah Bapak Chusnul.<br /><br />Sumpah Pemuda dan Perempuan<br /> Makna sumpah pemuda yang diperingati juga dapat dijadikan semangat bagi pemudi/perempuan Indonesia untuk meningkatkan perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemudi Indonesia harus mampu tampil ambil peran langsung dalam berbagai problem perempuan Indonesia. “Berbagai masalah perempuan mulai dari kemiskinan, pendidikan yang masih rendah, kekerasan baik KDRT maupun kekerasan pada buruh migran yang tinggi dan trafficking perlu segera diselesaikan,” ungkap Diah Ayu Kartikasari, pengurus SDM yang juga pengurus PMII IKIP PGRI Madiun.<br />Penyelesaian masalah perempuan Indonesia harus dilihat dari berbagai faktor termasuk faktor penyebab maka pendidikan adalah hal utama dan sangat penting untuk di lakukan. “Pendidikan menjadi kunci perubahan kehidupan dan kesejahteraan sehingga kesempatan kerja akan lebih terbuka bagi perempuan jika pendidikan lebih diperhatikan dan terjangkau,” tambah Diah lagi. <br />Perempuan harus terlibat aktif dalam upaya penyelesaian persoalan perempuan karena berbagai faktor:<br />1. Bahwa jumlah perempuan Indonesia separoh lebih banyak dari jumlah laki-laki, maka akan jadi tugas berat jika hanya laki-laki yang terlibat.<br />2. Persoalan perempuan lebih dipahami oleh perempuan sehingga penyelesaian masalah perempuan perlu melibatkan perempuan.<br />3. Laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama, hanya saja kesempatan belum terbuka lebar bagi perempuan.<br />( Ari Royani- DIFAA )<br /><br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-47190155481676079092009-11-03T19:33:00.001-08:002009-11-03T19:34:21.968-08:00Memeluk Gunung, Memeluk Kemanusiaan(Kediri-SS) Pukul 15.20 WIB pada hari Rabu Desa Sepawon kedatangan tamu istimewa. Rombongan Cordaid, salah satu lembaga sosial dari Belanda, untuk melihat salah satu sumber air yang dibangun pada jaman Belanda dan juga ingin mendengarkan ungkapan warga setelah terjadi peristiwa Gunung Kelud. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Rombongan dari Cordaid diantaranya Mr. Jhon, Vivi, Julia, dan dari Surya Sejahtera (SS), Heri DK, Rudiyanto HS serta Bimo Husodo (Anggota DPRD Kabupaten Kediri). Rencananya rombongan akan melihat langsung ke lokasi Sumber Glatik, dimana terdapat mata air berupa DAM kecil buatan Belanda yang digunakan oleh masyarakat Desa Sepawon, memenuhi kebutuhan sanitasinya. Sumber tersebut berlokasi di tengah-tengah perkebunan kopi dan cengkeh Affdeling Glatik PTPN XII Rangkah Sepawon. <br />Sebelum berkunjung ke Sumber Glatik, rombongan ini berdialog dengan komite Panca Manunggal Rasa (PMR) dan warga masyarakat Sepawon di Posko PMR. Rahmad Sudrajat, 30 tahun, Sekretaris Komite PMR menjelaskan, bahwa Dusun Petungombo Desa Sepawon sesuai peta bencana hanya berjarak kurang dari 11 KM dari Kawah Letusan Gunung Kelud. <br />Lukas Margono, 32 tahun, juga menambahkan bahwa sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) yang selama ini memantau Gunung Kelud, Desa Sepawon masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III atau Ring I. <br /><br />Ketika Letusan Kelud Menghampiri Desa Sepawon<br />Vivi, salah satu anggota rombongan Cordaid menanyakan, apakah selain terjadi letusan Gunung Kelud pada tahun 2007 juga terjadi letusan di tahun-tahun sebelumnya. Muharto, seorang warga menjawab bahwa telah terjadi letusan di tahun 1951, 1966, 1991 dan tahun 2007. Muhartoyo juga menceritakan pada tahun 2007, tidak terjadi letusan tetapi menurut PVMBG sudah terjadi letusan dengan perlakuan yang berbeda yaitu keluarnya kubah lava yang sekarang menjadi anak-an Gunung Kelud. <br />Sementara, lanjutnya, letusan tahun 1991 ciri khasnya adalah hujan abu dan batu sebesar kepalan tangan, dan ketebalan pasir sampai 50 cm. Setelah terjadi letusan terlihat seperti padang pasir dan debu, pohon-pohon pada kering tidak ada satupun daun semua pada rontok berjatuhan <br />Pasca letusan Gunung Kelud, jelas Muhartoyo, terjadi seperti hamparan padang pasir dan debu, waktu ini berjalan sampai 3 bulan lebih dimana sumber-sumber mata air menjadi mati dan tersumbat oleh pasir. Peternak-peternak kesulitan mencari pakan karena tidak ada satupun rumput-rumputan dan pepohonan yang ada daunnya. <br />Akhirnya banyak warga yang menjual hewan ternaknya. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Belum lagi di sektor pertanian banyak dari tanaman warga yang rusak dan gagal panen. Banyak rumah warga yang rusak serta sarana umum seperti : Balai Desa, Sekolah Dasar, tempat ibadah, dan jembatan sebagai jalur penghubung Desa rusak parah. Pada letusan gunung Kelud tahun 1991 itu tidak ada korban jiwa.<br />Sementara Julia dari Cordaid menanyakan tentang upaya apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sepawon dan Pemerintah Daerah Kediri ketika akan terjadi letusan. Menurut anggota Komite PMR, Andriyanus Danang, bahwa sesuai dengan pengalaman masyarakat di lereng Gunung Kelud, kebiasan masyarakatnya adalah membaca gejala alam dan berdasarkan petunjuk dari orang yang dituakan (pini sepuh). Jika hewan-hewan liar turun gunung dan tidak ada kicauan burung serta suhu agak panas, padahal di daerah ini hawa dingin berarti tanda-tanda gunung akan meletus (berdasar ilmu titen). <br />Pengalaman letusan gunung Kelud pada tahun 1991 respon pemerintah daerah tidak seperti sekarang, tidak ada informasi sebelumnya. Walaupun pemerintah daerah sekarang juga masih lemah terhadap issu pengurangan risiko bencana, tetapi setidaknya ada lembaga swadaya masyarakat seperti Surya Sejahtera yang mendampingi masyarakat dalam hal melek bencana. <br /> “Jadi waktu terjadi letusan di tahun 1991 masih banyak warga yang masih beraktifitas dan bekerja (ada di tegal, perkebunan, ke pasar dll) untungnya letusan Gunung Kelud terjadi siang hari sekitar pukul 11.00 WIB, seandainya malam hari kita tidak bisa membayangkan dan pasti banyak korban,” tegas Sunarno, 40 tahun. “Ini dikarenakan tidak adanya sosialisasi lebih dini tentang letusan gunung Kelud,” tambahnya. <br /><br />Bagaimana Seharusnya Evakuasi Dilakukan<br />Letusan tahun 1991 tidak ada mekanisme yang jelas tetang evakuasi, rata-rata masyarakat Desa Sepawon percaya kepada pini sepuh tentang sebuah tempat-tempat yang dipercaya aman dari ancaman sesuai lokasi di masing-masing dusun. Sebagian masyarakat percaya bahwa jika terjadi letusan, desanya malah aman dan tidak terjadi apa-apa, justru desa-desa dibawah yang cenderung lebih parah. Hal ini berdasarkan dari pengalaman-pengalaman waktu terjadi letusan. <br />Sementara tahun 2007 situasi berbeda dengan letusan tahun 1991, ada peringatan dini dari pemerintah melalui PVMBG, disamping itu media televisi dan radio sering memberitakan tentang perkembangan status gunung Kelud dari mulai waspada, siaga hingga awas, walaupun gunungnya tidak jadi meletus standard evakuasi yang dilakukan menimbulkan banyak persoalan karena rata-rata dilakukan dengan cara memaksa warga tanpa penjelasan terlebih dahulu. Padahal masyarakat lereng Gunung Kelud yang hidupnya bergantung dengan tradisi ini punya pengalaman tentang letusan gunung.<br />Muhartoyo, kembali menegaskan, seandainya informasi dan penanganan ini dipadukan dengan pengalaman masyarakat, mungkin tidak ada persoalan. Masalahnya saat terjadi tanda-tanda letusan, belum-belum ada pemaksaan dari pemerintah yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI untuk mengungsi di tempat yang telah disediakan. Mereka harus meninggalkan barang-barang berharga, dan ini menjadikan kekecewaan tersendiri bagi warga masyarakat.<br />Mengapa masyarakat sangat sulit untuk diajak evakuasi, alasannya karena trauma dengan kasus yang pernah terjadi. Rata-rata masyarakat yang memiliki ternak enggan untuk dievakuasi di titik aman karena pemerintah sendiri tidak menyediakan evakuasi bagi ternak mereka. Evakuasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung hanya mengamankan orangnya saja tapi tidak kepada asset yang dimiliki. Padahal masyarakat lereng gunung juga sangat bergantung kepada ternaknya sebagai tambahan penopang ekonomi keluarga <br /><br />Surya Sejahtera Lakukan Program Pengurangan Risiko Bencana<br />Kegiatan-kegiatan apa saja yang sudah dilakukan oleh Komite Desa Panca Manunggal Rasa dengan program pengurangan resiko bencana ini? Rahmad Sudrajat selaku sekretaris PMR menjelaskan, bahwa dari awal program yang dibawa Surya Sejahtera ini ada di Desa Sepawon,<br />Pertama; yang kita lakukan yaitu melakukan pemetaan swadaya dan data base kependudukan desa serta aset-aset yang dimiliki warga Desa Sepawon yang terdiri dari 5 dusun, Kedua; membentuk komite desa sebagai lembaga pengurangan resiko bencana yang belum ada di Kediri, Ketiga; mengadakan pelatihan-pelatihan, workshop DRR berbasis masyarakat, melakukan pemetaan desa, pembuatan peta jalur evakuasi, kesepakatan peringatan dini dan kesepakatan bersama tentang pengurangan resiko bencana ancaman letusan Gunung Kelud, Keempat; bersama mengadakan lingking and learning bersama warga di lereng Kelud dan mitra di Plosoklaten dan Wates yang selama ini menjadi tempat untuk evakuasi Kelima; Komite desa juga mengadakan sekolah lapang ternak untuk pembuatan pakan ternak buatan, Keenam; komite desa mengadakan diskusi rutin, sarasehan, rembug warga, ambilah contoh: mengadakan sarasehan untuk membahas tentang tata kelola dan tata guna air, ketujuh; melakukan kunjungan-kunjungan dan belajar bersama ke komunitas-komunitas yang ada di Kediri <br />Mengenai bantuan setelah terjadi letusan Gunung Kelud menurut penuturan Andriyanus Danang, sangat kecil sekali bantuan yang masuk ke Desa Sepawon terutama Dusun Petungombo. Rata-rata bantuan yang berupa droping bahan pokok makanan, bahan obat, dan kesehatan ini hanya di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar. Padahal secara letak geografis Desa Sugihwaras bersebelahan dengan Desa Sepawon yang menurut peta bencana Kelud justru Dusun Petungombo Desa Sepawon yang paling dekat dengan kawah letusan. <br />Dari pengalaman letusan tahun 1991 dan 2007 dapat dianalisa memang jalur masuk ke dusun ini memang sulit. Dari arah barat sangat jauh dari pusat Kecamatan Plosoklaten, sementara dari jalur selatan yang bersebelahan dengan Desa Sugihwaras akses masuk menuju ke desa ini melewati jalan-jalan bebatuan (makadam), jalannya juga sempit. Seolah-olah Dusun Petungombo Desa Sepawon adalah desa yang terisolir, alasan inilah yang menurut masyarakat kenapa bantuan-bantuan enggan masuk. <br />“Karena itu pada tahun 2008 ketika Kecamatan Plosoklaten mendapat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yaitu salah satu program pemerintah, melalui komite desa pengurangan resiko bencana bersama Kader Penggerak Masyarakat Desa (KPMD) dan pemerintahan desa menggelar diskusi dan mensepakati pembangunan difokuskan pada perbaikan jalur evakuasi sepanjang 2 Km. <br />Karena disamping jalan ini sebagai jalur evakuasi titik aman waktu terjadi letusan Gunung Kelud, jalan ini sebagai jalur utama arah ke selatan atau ke Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar dan ke Pasar Wates Kecamatan Wates juga sebagai jalur ekonomi warga. Jika akses jalan ini terbangun Dusun Petungombo tidak terisolir karena masuk ke dusun ini lebih mudah. Alasan-alasan inilah yang menjadikan prioritas, mengapa perbaikan jalur evakuasi dan pembangunan jalan ini penting. <br />Dalam hal ini bekerja sama dengan Insist dan Surya Sejahtera lebih pada program-program pemberdayaan, bukan fisik (pembangunan) tapi knowledge (pengetahuan). Contohnya workshop yang diadakan, pelatihan-pelatihan dan berkunjung ke komunitas-komunitas untuk belajar bersama (lingking learning) selama ini menambah pengetahuan anggota komite desa terlebih masyarakat. Dari sinilah kesadaran itu muncul bahkan sampai menjadi kesadaran kritis. “Pertama; mengetahui akar persoalan, Kedua; tahu bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut, dan yang Ketiga; mau melakukan dan merubahnya,” tegas Sudrajad. <br />Diakhir sesi diskusi dan tanya jawab Komite Desa Panca Manunggal Rasa dengan rombongan Cordaid, ada catatan tentang hikmah diperoleh dari adanya program pengurangan resiko bencana di Desa Sepawon selama ini. Yaitu, Pertama; hikmah dari program ini muncul kesadaran kritis dari masyarakat di lima dusun di Desa Sepawon tentang pentingnya pengurangan resiko bencana. Kedua; di Desa Sepawon terbentuk sebuah lembaga komite desa untuk pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, Ketiga; bertambahnya ilmu pengetahuan masyarakat diluar kebiasaan membaca alam melalui mistik dan ilmu titen ke wawasan kontigensi plan. Keempat; Komite desa ini dijadikan lembaga pemberdayaan oleh masyarakat dengan prinsip menggali potensi sumber daya alam lokalitas. Contoh: berternak (kambing, sapi) dengan cara lebih maju, bertani organik, pembuatan makanan aneka kue berbasis bahan lokal (dodol, sele dari buah nanas) juga ada pra koperasi yang akan di bentuk Kelima; semakin banyak jaringan-jaringan komunitas di Kediri dan Jawa Timur, diantaranya (komunitas tani, koperasi perempuan, komunitas peternak, lembaga kesehatan, Tagana Kediri, PVMBG, mahasiswa pecinta alam, Satlak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan komunitas-komunitas di lereng Kelud kawasan rawan bencana). Hal ini dibuktikan ketika lingking learning diadakan terdapat pengikraran dan deklarasi terhadap gerakan pengurangan risiko bencana untuk ancaman letusan Gunung Kelud. (Ipung, Surya Sejahtera) <br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-18963007670581712862009-11-03T19:32:00.000-08:002009-11-03T19:33:18.166-08:00Konveksi Lokal Kian Terpinggirkan(Tulungagung-Paricara) Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra konveksi yang cukup besar. Terdapat ratusan usaha konveksi rumahan (home industri) yang tersebar di Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru, Boyolangu, Kauman dan sekitarnya. Ratusan bahkan ribuan tenaga kerja menggantungkan harapan hidup dari usaha ini.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Tapi kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan. Nasib sebagian pengusaha konveksi, terutama yang berskala kecil, semakin lama semakin terpuruk karena permintaan pasar yang terus menurun. Kondisi ini diperparah dengan permainan para pemodal besar dalam menyediakan bahan seperti kain, benang dan bahan konveksi lainnya.<br />Fatalnya lagi, sejak dibukanya perdagangan bebas, produk-produk konveksi dari luar daerah maupun luar negeri yang dipasarkan dengan harga murah, cukup leluasa masuk ke Tulungagung. Pengusaha konveksi lokal pun kalah bersaing, lantaran pasar sudah dikuasai produk luar. Akibatnya, mereka makin terpinggirkan dan bahkan sebagian diantaranya terancam gulung tikar. <br />Seperti yang dialami Hariyanto, pemilik rumah konveksi di Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengaku, usaha konveksi yang digelutinya belum sepenuhnya berjalan maksimal. Selama ini dia hanya sebagai pembantu untuk menjahit pesanan orang lain. “Saat ini mesin kita hanya dipakai ketika ada pesanan saja dan itupun kebanyakan merupakan pesanan orang lain,” jelasnya.<br />Hariyanto mengatakan, rata-rata pesanan datang dari sekolah-sekolah. Sehingga untuk produksi sendiri harus menunggu musim sekolah tiba dan itupun sifatnya tahunan. “Kita biasanya memproduksi yang sifatnya musiman, seperti saat ajaran tahun baru tiba,” ungkapnya.<br />Selama ini Hariyanto masih menjalankan produksinya kalau salah satu temannya ada yang dapat order dan menawarinya untuk membantu menyelesaikan pesanannya. Itupun bisa didapat kalau temanya mempunyai pesanan banyak, namun kalau sedikit biasanya dikerjakan sendiri. “Biasanya kita menjahit ketika ada teman kita mendapatkan order banyak, jadi kita bisa kebagian untuk membantu menyelesaikannya,” lanjutnya.<br />Sebenarnya dia mempunyai mesin jahit sejumlah 6 unit, namun demikian tidak setiap harinya dapat memproduksi pakaian karena kendala permodalan. “Maklum mas, walau usaha ini sudah berjalan 2 tahun, namun belum ada modal untuk mengembangkan produksi yang lebih besar,” tutur Hariyanto. <br />Disamping modal, ia juga menghadapi kendala lain, yakni persaingan pasar yang menuntutnya untuk memberikan produk yang lebih baik. Sementara itu, pasar di lokal Tulungagung tidak memberinya kesempatan untuk bisa mengembangkan hasil produksinya. “Yang pasti persaingan industri sangat ketat, apa lagi harganya, semuanya bersaing,” tambahnya.<br />Pemerintah Tulungagung pun sepertinya memberikan keleluasaan bagi para pemodal besar sehingga meminggirkan pengusaha konveksi kecil. Di sisi lain, dengan maraknya produk garment (konveksi) dari luar negeri secara tidak langsung akan mematikan pasar produk konveksi lokal. Hal ini mengakibatkan usaha konveksi lokal menjadi lesu dan terancam gulung tikar. Bila ini terjadi lapangan pekerjaan pun semakin berkurang dan menyisakan banyak pengangguran.<br /><br />Pemerintah Perlu Ikut Mengontrol<br />Hal yang sama dirasakan Hana Rianto, selaku pemilik konveksi asal Dusun Patik, Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengeluhkan kalau selama ini konveksi sudah tidak diminati anak-anak muda. “Banyak anak muda sekarang tidak berminat sebagai seorang penjahit,” keluh Hana, sapaan akrabnya sehari-hari. Padahal, katanya, konveksi telah menjadi jantung perekonomian masyarakat Desa Batangsaren, dikarenakan hampir setiap penjuru masyarakat desa ini mempunyai usaha konveksi. Bahkan konveksi merupakan usaha ekonomi masyarakat Desa Batangsaren yang dilakukan secara turun temurun.<br />Hana mengakui, usaha kecil berupa konveksi saat ini sudah mulai surut. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya jaminan dari pemerintah mengenai standard patokan harga pasar, utamanya di pasar lokal Tulungagung. Sehingga mengakibatkan banyak para pemodal besar mempermainkan harga bahan utama konveksi. “Biasanya saat permintaan pasar banyak, stok kain dikurangi,” terangnya.<br />Monopoli harga ini biasa dan rutin terjadi bila saat pesanan konsumen banyak maka kain di pasaran seakan-akan langka dan pemodal mengatakan kainnya sudah habis dan tidak produksi. Alasan itulah yang biasanya dijadikan alibi untuk menaikkan harga kain di pasaran. Akibatnya, harga produksi tidak sesuai dengan harga jual di pasar. Ia membeberkan, untuk produksi biasanya dia membeli kain dan bahan-bahan produksi lainnya secara tunai. Ini belum termasuk beban biaya tenaga produksi. “Namun biasanya untuk pemesan (konsumen) hutang duluan,” beberapa Hanya. <br />Hanya menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya persatuan pengusaha konveksi sehingga menjadikan persaingan pasar semakin tidak terkendali. Persaingan antar pengusaha konveksi tidak bisa terbendung lagi dikarenakan belum adanya organisasi yang menaungi.<br />Akibatnya, banyak anak muda yang meninggalkan profesi ini. Mereka memilih untuk bekerja keluar daerah bahkan ada yang bekerja keluar negeri. Sehingga sulit untuk mendapatkan tenaga profesional dan memadai. “Saat banyak order, kami bingung untuk mencari tenaga profesional guna membantu menyelesaikan pekerjaan (menjahit) ini,” keluh Hanya. Menurut dia, ada 6 persoalan yang dihadapi pengusaha konveksi skala kecil, yaitu kurang modal, berkurangnya tenaga profesional, belum adanya persatuan antar pengusaha konveksi, managemen pengelolaan, permainan pasar kain oleh pemodal dan semakin banyaknya produk-produk garment yang datang dari luar dan tidak terkontrol.<br />Selain itu, ancaman besar yang paling menghantui pengusaha konveksi lokal adalah harga kain yang didatangkan dari luar negeri ternyata lebih murah dari pada harga kain hasil produk dalam negeri. Mensikapi keadaan ini, seharusnya pemerintah melakukan kontrol terhadap harga pasar kain, khususnya yang didatangkan dari luar negeri, agar tidak merusak harga kain lokal.<br />Hana menegaskan, kalaupun ada pemodal yang ingin masuk di wilayah Tulungagung harus seizin pemilik produksi kecil setempat. “Seharusnya pemerintah tegas melarang para pemodal besar masuk tanpa seizin pengusaha kecil di sini, kecuali mereka mau bekerja sama dengan kita dalam bentuk kontrak kerja,” tandasnya. <br />Pemerintahpun perlu memberikan perhatian dalam bentuk jaminan atas kelayakan produksi dalam negeri serta mendukung atas hasil produksi dalam negeri. Pemerintah semestinya juga memberikan peluang atas hasil produksi warganya sehingga bisa lebih berkembang, termasuk membantu permodalan dan jaringan pemasarannya. Selama ini pemerintah hanya memberi peluang kepada pemilik modal besar saja dan melupakan kondisi industri kecil. (Lukman, Paricara)<br /><br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-27506865193013555742009-11-03T19:31:00.002-08:002009-11-03T19:32:23.125-08:00SERAB, Organisasi Bagi Rakyat Nganjuk(Nganjuk-Punden) Serikat Rakyat Anjuk Bangkit yang disingkat SERAB adalah wujud dari aliansi beberapa kelompok yang ada di Kabupaten Nganjuk. Meskipun belum dideklarasikan, organisasi bersama ini sudah bersepakat untuk saling menguatkan sebagai upaya mewujudkan keadilan demi meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat Nganjuk secara umum.<br /><span class="fullpost"><br />Tim penggagas terbentuknya aliansi ini beberapa waktu lalu terus melakukan tahap demi tahap untuk mempersiapkan deklarasi seperti yang telah dimandatkan. Tim inisiator ini bertugas mengkonsolidasikan seluruh kelompok yang sudah bergabung maupun kelompok lain yang ingin bergabung. Selain itu juga bertanggung jawab atas terbentuknya organisasi aliansi, kemana arah gerakan ini dibangun, dan juga bagaimana organisasi bisa berperan bagi masyarakat, khususnya yang menjadi anggota aliansi. Oleh karena itu beberapa pertemuan telah dilakukan sebagai proses gerakan menuju kemajuan bersama.<br /><br />Saat ini, SERAB beranggotakan 10 kelompok, yakni PAMAN (Paguyuban Mandiri) Dusun Karang Tengah Desa Garu Kec. Baron, KPRM (Koperasi Perempuan Rejo Makmur) Dusun Tegalrejo Desa Bangsiwil Kec. Patianrowo, Koperasi Kumandang Desa Banjaranyar Kec. Tanjung Anom, Koperasi Langgeng Dusun Karang Tengah Desa Garu Kec. Baron, IPM (Ikatan Pemuda Malangsari) Desa Malangsari Kec. Tanjung Anom, Paguyuban Pedagang Pasar Mbaduk Desa Malangsari Kec. Tanjung Anom, Koperasi Ar-Rahman Desa Banjaranyar Kec. Tanjung Anom, Kelompok Tani Sumber Rejeki Dusun Ngelaban Desa Babadan Kec. Patianrowo, Gerakan Muda NU (GMNU) Kec. Baron dan Kelompok Jimpitan Desa Pandanarum Kec. Baron. Organisasi ini juga terbuka bagi kelompok-kelompok lain di masyarakat yang mempunyai anggota tetap dan telah melakukan kegiatan rutin bersama. Dan tidak menutup kemungkinan bagi kelompok yang tidak berdiri secara struktural atau memiliki struktur kepengurusan berjenjang, maupun pribadi-pribadi yang ingin melakukan pengorganisasian di wilayahnya, untuk bisa bergabung dalam aliansi ini.<br /><br />Anggota organisasi aliansi ini aktifitasnya beragam. Ada koperasi, kelompok tani, kelompok pedagang, kelompok pemuda, dan paguyuban. Hal ini sangat memungkinkan bagi SERAB untuk melakukan inovasi di berbagai bidang. Dari beberapa pertemuan yang dilakukan, muncul gagasan dan ide-ide cemerlang untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Kesepakatan yang dihasilkan pada intinya adalah bagaimana organisasi aliansi ini bisa menjembatani kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing kelompok yang ada, baik di bidang ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan maupun yang lainnya. <br /><br />Di bidang ekonomi usulan pelatihan kewirausahaan dan sejenisnya yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi para anggotanya. “Saya berharap dengan adanya organisasi aliansi ini kita bisa saling bertukar pengalaman antar anggota baik di bidang peningkatan ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan, pertanian maupun yang lainnya,” Kata Gaguk, salah satu inisiator yang juga wakil dari kelompok tani Sumber Rejeki dari Nglaban Babadan Patianrowo. <br /><br />Terbentuknya aliansi nantinya diharapkan bisa memfasilitasi setiap persoalan yang dihadapi komunitas di lokal masing-masing. “Saya memiliki harapan yang sangat besar terhadap organisasi ini, yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa banyak manfaat yang kita dapatkan dari berorganisasi atau berkelompok, sehingga bisa menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat yang belum berkelompok untuk bisa bergabung dengan kita,” ungkap Imam Mulyo, salah satu penggerak dari Katerban Baron.<br /><br />Yang tidak kalah penting adalah kekuatan berjejaring yang dilakukan oleh anggota SERAB selama ini baik dengan sesama organisasi aliansi maupun dengan organisasi lain di luar Kabupaten Nganjuk seperti dari wilayah Kediri, Tulungagung, Jombang, Madiun, Mojokerto, juga dengan instansi pemerintah baik di lokal kabupaten, provinsi Jawa Timur maupun tingkat nasional.<br /><br />Gagasan Usaha Bersama Mulai Terwujud<br />Demi mewujudkan cita-cita dan harapan kelompok untuk bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi, dalam sebuah kesempatan pertemuan rutin, salah satu anggota SERAB yaitu Koperasi Kumandang telah membahas rencana usaha bersama yang memanfaatkan SPA atau Sentra Pengelolaan Agrobis yang berada di Kecamatan Sukomoro, yang telah disediakan pemerintah daerah setempat. <br /><br />SPA ini dibangun dengan tujuan memfasilitasi masyarakat Nganjuk, khususnya bagi mereka yang bergerak di bidang agrobis untuk bisa memasarkan produknya di area ini. Letak SPA yang strategis yaitu di pinggir jalan raya dan juga berada di samping Masjid Agung Pancasila sebagai rest area yang biasa digunakan oleh para pengguna jalan untuk sekedar beristirahat dan melakukan kewajiban sholat bagi yang muslim. Keberadaan SPA ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat Nganjuk untuk bisa memiliki ruang agar bisa meningkatkan daya jual produk agrobis mereka.<br /><br />Namun karena pengelolaannya belum maksimal, membuat area ini masih sepi dari pengunjung. Hal ini disebabkan kurangnya promosi maupun sumber daya yang mengelola sehingga terkesan asal-asalan. Artinya asal ada bangunan sebagai sentra agrobis sudah cukup. “Kurangnya perhatian dari pemerintah dalam pengelolaan SPA ini menyebabkan minimnya ketertarikan investor untuk berinvestasi di sini sehingga pengunjung pun malas untuk sekedar mampir,” terang Arif, pria yang berasal dari Jember ini.<br /><br />Berkat kekuatan berjejaring yang dijalin Arif, sebagai salah satu anggota Koperasi Kumandang dengan Pemerintah Daerah Nganjuk, dalam hal ini Dinas Pertanian sebagai instansi yang bertanggung jawab pada keberadaan SPA tersebut, pria yang tinggal di Sukomoro ini dipercaya untuk mengelola dua buah kios yang berada di area SPA. “Saya berharap kepercayaan ini bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin, karena kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kalinya. Dan kita harus menjaga kepercayaan ini demi keberlangsungan hubungan kita dengan pemerintah daerah,” lanjut Arif<br /><br />Mendapatkan kepercayaan untuk mengelola stand di SPA, bagi Arif, merupakan sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Karena dengan terbatasnya modal yang dimiliki oleh organisasi kesempatan tersebut merupakan peluang yang sangat bagus sebagai sarana awal untuk menuju usaha bersama kelompok. SERAB telah melakukan perencanaan-perencanaan terkait dengan pengelolaan stand SPA. Menurut pria yang kental dengan logat maduranya ini, SERAB tidak hanya harus bisa mengelola stand yang dipercayakan kepadanya tetapi juga harus bisa memikirkan bagaimana agar ke depan SPA ini bisa menjadi ikon pariwisata bagi Kabupaten Nganjuk.<br /><br />Prospek kerjasama ini diharapkan sebagai motivasi untuk lebih mengembangkan koperasi, mengingat sumberdaya anggota yang mempunyai berbagai unit usaha dan rencana usaha koperasi sangat relevan, tinggal bagaimana nantinya kegiatan ini dilakukan.<br /><br />Guna menindaklanjuti upaya kerjasama ini, Koperasi Kumandang melakukan launching untuk membuka usaha di SPA. Acara ini bersamaan dengan pertemuan rutin Koperasi Kumandang. dan acara Halal bi Halal seluruh anggota aliansi bersama dengan keluarga masing-masing bertempat di Balai Pertemuan SPA. Tidak tanggung-tanggung launching ini mengundang seluruh jajaran yang terlibat di SPA, mulai dari Bupati, Dinas Pertanian, Disperindagkop, DPRD, sampai pemerintahan desa dimana lokasi SPA ini berada. Namun seperti biasa yang datang hanya beberapa perwakilan saja. Tampak perwakilan dari Dinas Pertanian, Ir. Iswandi, hadir dalam acara santai tersebut. <br /><br />Kedepan, organisasi aliansi ini berharap dengan mengelola stand SPA, bisa menjadi awal yang baik bagi SERAB untuk bisa mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan keadilan demi tercapainya kesejahteraan. (Lila, Punden)<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-57902485454743152322009-11-03T19:31:00.001-08:002009-11-03T19:31:40.214-08:00Dekrit’17 : Kelompok Pemuda Serba Bisa(Jombang-Alha-Raka) Keberadaan kelompok muda Dekrit’17 Badang Ngoro Jombang, betul-betul membawa warna baru di masyarakat Badang secara keseluruhan. Setiap kegiatan besar yang diadakan di desa ini, Dekrit’17 tidak pernah ketinggalan untuk ikut berpartisipasi. Baik dalam kegiatan Agustus-an, simpan pinjam untuk pemberdayaan ekonomi kelompok serta kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada bulan Ramadhan mereka menjadi panitia pelaksana pembagian Zakat. Tekadnya, Kelompok Dekrit’17 selalu siap memberikan yang terbaik untuk kemajuan desa.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Ada kalimat bijak mengatakan, nasib bangsa di masa mendatang bisa dilihat melalui kehidupan pemudanya saat ini. Kalimat ini memiliki arti yang sangat dalam untuk memotivasi kehidupan kawula muda dalam peranannya di masyarakat. Minimal pemuda mampu mendinamisasi di tingkat lingkungan tempat tinggalnya masing-masing. Bila kehidupan pemudanya saat ini buruk, suramlah masa depan bangsa itu. Sebaliknya, bila kehidupan pemuda suatu bangsa saat ini terjadi selalu kreatif, inovatif dan mau belajar melalui karya-karya terbaik, serta jauh dari kebudayaan negatif, maka masa depan bangsa ini akan bisa terjamin sejahtera.<br /><br />Hal di atas menunjukkan bahwa betapa penting peran pemuda dalam kehidupan berbangsa. Sebab hanya merekalah yang menjadi tumpuan masa depan bangsa. Pemudalah yang akan memegang tongkat estafet pengendalian bangsa dimasa mendatang. Dalam sejarah lokal perjuangan Dekrit’17 cukup panjang untuk diurai, namun untuk menunjukan betapa berat perjuangan mereka dalam proses perjuangan berorganisasi maupun dalam melakukan gerakan sosial dalam bermasyarakat. Mereka berjalan perlahan namun pasti dalam mengawali membangun kepercayaan untuk menepis krisis kepercayaan masyarakat mulai tahun 2001 yang lalu. Dengan adanya persepsi miring dalam struktur masyarakat bahwa pemuda masih identik dengan urakan dan arogan, hingga keberadaan pemuda selalu pada posisi terbawah. <br /><br />Hal ini juga pernah dituturkan Puji Santoso selaku ketua panitia pembagian Zakat tahun 2009, bahwa semangat pemuda kalau sudah tumbuh memang tidak bisa dipandang remeh. Tengok saja sejarah proses munculnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 silam, sebuah tantangan untuk dapat merubah keadaan politis, untuk menjadikan bangsa yang merdeka baik pikiran maupun tindakan. ”Kini perjuangan pemuda tidaklah seberat dulu, hanya bagaimana cara bisa mengumpulkan antara pemuda embongan dengan pemuda Masjid-an mampu bertemu dan mau berfikir positif. Jiwa solidaritas bersama inilah yang kemudian disatukan dengan alat yakni membuat kegiatan bersama, seperti PHBN (Peringatan Hari Besar Nasional) dan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam),” terangnya.<br /><br />Dekrit’17 (Depot Kreatifitas 17 Agustus). Dari namanya, jelas nampak kesadaran akan tanggung jawab pemuda sebagai generasi penerus bangsa terutama dalam melanjutkan cita-cita para pahlawan kemerdekaan begitu tinggi. Disadari atau tidak, dalam perjalanan sejarahnya, dia tak pernah lepas dari tantangan baik dari perangkat desa maupun masyarakat sendiri. Namun karena banyak peran positif dalam kehidupan sosial, Dekrit’17 menjadi organisasi kuat dan yang bergerak, dan karena sebagian besar anggota adalah pemuda maka mereka lebih luwes dalam menjalankan fungsi dan perannya yang selalu sejalan dengan visi dan misi organisasi. ”Ibarat tubuh, Dekrit’17 selalu berusaha menjadi penyeimbang, artinya segala bentuk posisi strategis baik wilayah politik maupun religius selalu dapat menempatkan diri pada tempatnya. Khususnya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat termasuk kegiatan pembagian zakat tahun ini telah tertata cukup baik. Melihat persiapan sejak tanggal 11, 12 September 2009 telah dilakukan pendataan baik yang wajib zakat maupun penerima zakat kurang lebih ada 500 orang dan rencana tiap orang mendapatkan 5,7 Kg beras. Dan pada tanggal 13, 14, panitia mulai berkeliling melakukan penarikan zakat dari rumah ke rumah, tanggal 15 panitia mulai menimbang dan 16 panitia membagikan kupon. Untuk selanjutnya tanggal 17 adalah cheking akhir sekaligus evaluasi kerja selama sepekan. Dan rencana H-2 atau H-1 lebaran yakni tanggal 18 atau 19 zakat akan dibagikan sesuai dengan kupon yang telah ditebar,” terang Puji.<br /><br />Asah Kepedulian sosial <br />Dalam pandangan masyarakat umum, peristiwa tiap tahun seperti pembagian zakat ini memang ditunggu oleh masyarakat fakir miskin, janda, dan para orang tua jompo. Dan memang sebelum wadah Dekrit’17 ada, kegiatan ini telah lama berlangsung dan melibatkan para pemuda 2 dusun yakni Dsn. Badang dan Dsn. Wonoasri. Adapun jumlah kepanitian tahun ini berjumlah 49 orang, baik pemuda dan kalangan orang tua.<br /><br />Menurut Puji bahwa pemuda adalah penggerak terhadap semua tujuan. Terlebih keberadaan Dekrit’17 adalah wadah organisasi yang cukup nasionalis, tidak memandang sebelah mata, siapapun adalah sama. ”Proses belajar berorganisasi yang telah lama kita jalani adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan semua bentuk golongan, baik orang orang yang pinter berpolitik, maupun pinter dalam agama. Bukti menjadi salah satu bagian kepanitiaan zakat adalah organisasi Dekrit’17 sebagai wadah yang konsisten dan mampu menunjukan eksistensi dan potensi masing-masing anggotanya. Hal ini merupakan salah satu apresiasi di segala kegiatan di masyarakat,” tambah guru yang aktif mengajar di SDN II Badang ini mantap. <br /><br />Sementara itu menurut Efendi, sejak dirinya pindah ke Dsn. Badang tahun 1999 kegiatan ini relatif stabil. Dirinya mulai terlibat sejak tahun 2002 dan sejak saat itu ia berharap dari pemuda untuk belajar peduli terhadap sesama. ”Seharusnya momen berbagi tidak hanya dilakukan saat menjelang Ramadhan saja, namun kalau bisa sih bulanan. Mengingat banyaknya warga yang tidak mampu dan selalu memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari. Alangkah baiknya kalau seluruh warga Ds. Badang yang sudah mempunyai harta lebih bisa giat dalam beramal,” tutur Cak Epen.<br /><br />Sisi manfaat adanya kegiatan bersama yang telah berlangsung ini antara lain, mampu menggalang persaudaraan antar pemuda dan para orang tua. Masih menurut Efendi terkadang ada jarak ketika keduanya bersitegang, dimana orang tua beranggapan bahwa kegiatan pemuda identik dengan arogan. Namun jika mereka telah berkumpul bersama segala pikiran yang negatif tentunya musnah. ”Bagi pemuda masih berproses belajar menyelami hidup dan mengasah keperdulian, pun dengan para orang tua harus selalu memberi dukungan bukan malah beradu argumen,” tandas bapak dua orang putra ini semangat. (Din-din, Alha-raka) <br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-2480409825740513652009-11-03T19:30:00.000-08:002009-11-03T19:31:06.505-08:00Petani Tanpa Lahan: Wagiman, Beralih Profesi Menjadi Penjual Air Keliling(Kediri-SS) Bagi Wagiman menjadi penjual air keliling bukanlah cita-citanya. Pria berusia 51 tahun ini tanpa kenal lelah menarik geledekan berisi 13 jerigen di dalamnya. Berpeluh keliling kampung, warga Dusun Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, ini sudah lebih 23 tahun menggeluti profesinya . Namun, awal mulanya Wagiman juga sama seperti penduduk Sepawon yang lain yaitu sebagai buruh lepas di Perkebunan Sepawon. <br /><span class="fullpost"><br />Alasannya beralih profesi sebagai penjual air keliling adalah tuntutan terhadap kebutuhan keluarganya. Dimana dengan 2 orang anaknya yang sudah masuk SMP dan lulus SMA. Tentunya kebutuhannya makin bertambah. Sementara bayaran sebagai buruh lepas kecil yaitu Rp 6000,- perhari kerja.<br /><br />Wagiman juga ingin seperti para tetangganya yang sukses sebagai TKI/TKW di luar negeri. Namun dirinya sadar ijasah SD tidak dapat diandalkan. Apalagi Wagiman juga tidak memiliki keahlian. Satu-satunya keahlian adalah mengurus lahan perkebunan. Namun, Wagiman cukup jeli melihat peluang. Desa Sepawon seringkali kesulitan air untuk masak dan mandi. Itu pada kondisi normal. Apalagi kalau saat ancaman Gunung Kelud terjadi. Warga bisa sampai 1 bulan kekurangan air. Oleh karena itu setiap hari Wagiman mengambil air di sumber air yang berjarak 2 km dari dusunnya. Kemudian ia menjajakan air kepada warga setempat di lingkup Desa Sepawon. “Setiap jerigen harganya Rp 1000,-, “ jelas Wagiman. Dari gerobaknya yang berisi 13 jerigen dia mendapat Rp 13.000. Total sehari rata-rata ia bisa menjual air 3 gerobak.<br /><br />Dia ingin anaknya lebih maju daripada dirinya. Kini anak pertamanya sudah lulus SMA dan anak keduanya masih sekolah di SMP. Dia tidak mau anaknya seperti halnya anak-anak tetangganya yang tidak sekolah. Meskipun ia juga tahu bahwa ada juga anak-anak tetangganya yang sudah lulus SMA banyak juga yang pada akhirnya tetap menjadi buruh di perkebunan.<br /><br />Penopang ekonomi keluarga bukan urusan Wagiman seorang. Istrinya di rumah mengurus 1 ekor sapi perahnya. Istrinya tidak malu kalau harus tiap hari mencari rumput ke kebun. Demikian juga dengan anaknya setiap hari setelah pulang sekolah pergi ke kebun mencari rumput. <br /><br />Dari 1 ekor sapi perahnya setidaknya setiap hari dia memperoleh rata-rata 20 liter susu perhari yang dijual Rp 2000 /liter. Dari hasil penjualan susu perhari dia mendapat setidaknya Rp 40 ribu dan setelah dipotong gamblong Rp 5000 sehingga bersih dia mendapat Rp 35 ribu. Setelah ditambah dengan hasil menjual air keliling dia mendapat tambahan setidaknya Rp 35.000. Perhari rata-rata penghasilan keluarga Rp 74 ribu.<br /><br />Uang itu dia gunakan untuk biaya pendidikan anaknya, kehidupan sehari-hari, dan sebagian ditabung. Dia menyadari bahwa tidak tiap hari bisa menjual air dan tidak tiap hari pula sapinya bisa diambil susunya. Sementara kebutuhan hidup sehari-harinya; beras, sayuran, bumbu-bumbu, dan lauk-pauk harus beli karena dia seperti halnya penduduk lainnya tidak punya lahan untuk bisa menanamnya sendiri. Saat ditanya bagaimana kalau kondisi ada bencana Gunung Kelud meletus. Wagiman sendiri kebingungan, sesaat berikutnya ia menjawab, “Kulo sakdermo nglampahing gesang. Menawi sampun dados takdir kulo pasrah marang Gusti.” <br />(Ipung, Surya Sejahtera)<br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-35824171198992704062009-11-03T19:28:00.000-08:002009-11-03T19:29:49.753-08:00PAUD di Desa Mojorwano: Terapkan Metode Pendekatan Komunitas(Jombang-Alha-Raka) Sejak dari dulu Desa Mojowarno Kec. Mojowarno Jombang terkenal dengan kerukunan dan kekompakan penduduknya. Meskipun ada perbedaan keyakinan agama, Desa Mojowarno nyaris tak pernah terdengar keretakan atau konflik bernuansa agama. Tak hanya dari sisi agama, untuk pendidikan putra-putri mereka sepakat untuk merintis PAUD (pendidikan anak usia dini) dengan metode pendekatan komunitas berswadaya bersama-sama sejak bulan agustus yakni tahun ajaran baru 2009.<br /><span class="fullpost"><br />Keragaman penduduk merupakan potensi sejarah sehingga menempatkan Desa Mojowarno sebagai desa yang ramah terhadap perbedaan. Potensi keragaman ini ingin dijaga oleh warganya, mulai dari tradisi budaya, tradisi sosial, hingga tradisi keagamaan masing-masing. Tampaknya persatuan dan keutuhan antar warga adalah kunci kesuksesan majunya suatu desa. Menurut Catur Budi Setyo S.P, bahwa mempertahankan keharmonisan kehidupan sosial yang plural, bukanlah sebuah upaya yang mudah. Banyak kendala yang harus dilalui, sebab pluralitas terutama agama, didalamnya mengandung potensi konflik yang sangat besar. Salah satu cara dilakukan untuk meredam konflik yang berlatar agama ini adalah kebersamaan, substansi terpenting dari sebuah kerukunan harus benar-benar tercermin dalam proses interaksi antar umat beragama dalam kehidupan sosial. Hal ini bisa berupa kegiatan bersama seperti PAUD. “Ayo dulur podo jogo kerukunan, kalimat ini sering saya ucapkan kepada semua warga di setiap kegiatan. Kami tidak harus melakukan diskusi, seminar atau kegiatan bersama secara insidental. Akan tetapi aktifitas keseharian yang melibatkan orang-orang yang berkeyakinan berbeda, bisa menjadi dialog antar umat beragama untuk menjaga komunikasi secara terus menerus. Untuk itulah desa juga memerlukan generasi handal dengan pendidikan yang baik sejak usia dini,” katanya.<br /><br />Hal ini juga tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (pasal 12, ayat 1b). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat inilah Catur beserta istri, Riris Dyah Nugrahini, merintis PAUD dan memberinya nama Sahabat.<br /><br />Riris juga termasuk salah satu penggerak ibu-ibu PKK hingga jalan untuk membuka komunikasi dengan ibu-ibu di Mojowarno sangat mudah. Inisiatif ini langsung direspon positif oleh kaum hawa, dengan memberi pengertian bahwa maksud kehadiran PAUD di tengah keberagaman merupakan upaya untuk bersama-sama mengangkat pendidikan generasi Mojowarno dari awal. “Konsep PAUD Sahabat untuk umum, artinya tidak ada pembedaan baik muslim atau non muslim. Namun karena mayoritas yang terdaftar sampai saat ini sebagian besar muslim maka yang sering dipakai tradisi berdoa yaa muslim. Sedangkan untuk menu pendalaman keagamaan bagi anak non muslim tentunya kami juga menyediakan guru non muslim yang mampu bercerita tentang ajaran keyakinannya. Inipun kelasnya disendirikan, agar tidak terganggu,” jelas Riris, sapaan akrabnya.<br /><br />Adanya PAUD selain untuk merekatkan hubungan sosial antar orang tua, ternyata si anak pun terbawa. Diusia yang masih dini anak telah diajari untuk hidup bersosial. Dimana semisal ketika si anak bermain harus rela ketika mainannya disukai oleh temanya, mau tidak mau si anak yang memegang mainan harus rela mainannya dipinjam oleh temanya. Pengalaman ini dialami oleh Riris yang juga masih mempunyai putri kecil yang ikut sekolah di PAUD Sahabat. “Putri saya Gurit, biasanya minta mau menang jika bermain. Namun ketika telah beberapa kali mengikuti arahan dari para guru PAUD sahabat, kini banyak perubahan yang terjadi. Diantaranya ketika bermain sudah mau mengalah dan berbagi jika temannya yang minta mainannya. Kemandirian juga meningkat mau duduk bersama teman-temannya. Dan bangunnya pagi, karena ada motivasi sekolah. Jika tidak sekolah yaa biasanya siang baru bangun, maklum namanya juga anak-anak,” tuturnya. <br /><br />PAUD Tanamkan Solidaritas Sejak Dini<br />Dari hasil berbagi pengalaman yang diutarakan Riris, ternyata dibenarkan juga oleh ibu Tutus Indrawati, bahwa PAUD memang sangat penting untuk menumbuhkan keberanian anak. Di usia balita anak kalau tidak dibiasakan bersosialisasi dan berkumpul dengan teman-teman sebayanya maka dikhawatirkan anak menjadi pendiam dan menjadi pribadi yang tertutup. “Anugerah nama putri saya memang baru berumur 3 tahun 2 bulan, sebelum mengikuti PAUD, ia lebih suka bermain sendiri. Namun sejak ada PAUD Anugerah sekarang ada peningkatan lebih pintar dan kreatif dalam bermain. Harapan saya saat ini memang telah terwujud yakni anak saya tidak takut lagi bersosialisasi, dan ketika nanti memasuki usia TK (Taman Kanan-Kanak) tentunya ia telah memiliki dasar bagaimana belajar bersama dan tidak boleh menang sendiri,” kata ibu Tutus.<br /><br />PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Caranya melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasamani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Menurut para pakar anak, bahwa 50% dari potensi perkembangan mental dicapai oleh anak-anak pada usia 4 tahun, usia inilah yang sering disebut dengan usia emas. Dimana antara pertumbuhan fisik berhubungan dengan perkembangan kognitif dan psikomotorik sangat pesat. Jika pertumbuhan anak-anak minim pada umumnya sulit, bahkan tidak dapat diperbaiki jika sudah terlambat. Pembentukan perkembangan anak pada sisi Mental, Moral, Panca Indera, Potensi Motorik, Afeksi, maupun Kognisi sangat bagus pada usia emas. Namun pada usia ini memang anak masih belum mandiri, dan biasanya masih sering menangis. <br /><br />Hal ini dituturkan oleh Samiati, salah satu guru PAUD Sahabat, bahwa saat ini banyak orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka cepat menjadi pandai. Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun, atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan 'perilaku aneh' dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. <br /><br />“Meski masih balita, kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan istimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai. Yaa tentunya tidak mudah juga mengarahkan anak di bawah usia TK, karena mereka masih rentan emosinya. Namun ketika dipelajari lebih dalam dunia anak amat menarik, bermain sambil belajar,” terang Samiati yang pernah berpengalaman mengajar usia TK. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.<br /><br />Konsep Komunitas, Utamakan Musyawarah<br />Pendekatan komunitas ini dipakai oleh PAUD Sahabat untuk mempermudah alur dan proses pembelajaran anak sesuai dengan kemauan orang tua. Dimana mulai dari seragam maupun ketentuan kegiatan masak bersama untuk menu makanan sehat bagi si kecil. Kegiatan para ibu ini disamping untuk mempererat hubungan ibu dengan anak, juga memberikan pendidikan secara tidak langsung bahwa usia balita sangat membutuhkan tambahan nutrisi, gizi, dan cara memasak yang baik untuk pertumbuhan dan kecerdasan otak. Kegiatan masak bersama ini dilakukan perkelompok dan tergantung kesepakatan para ibu. “Untuk saat ini kebutuhan seragam masih hanya sebatas seragam olah raga, sedangkan untuk seragam sehari-hari masih belum dibutuhkan. Mengingat sekolah PAUD ini masih baru dan masih memerlukan swadaya untuk kebutuhan lainnya, maka seragam masih bisa ditunda. Sampai saat ini biaya operasional hanya sebatas suka rela, dengan memberi umplungan di depan kelas. Sedangkan alat-alat mainan dan fasilitas lainnya seperti rak, kardus, dan meja lipat adalah hasil swadaya bersama. Mainan tidak harus bagus, tergantung kreatifitas guru dalam mengarahkan. Seperti kertas bekas dan botol bekas bisa disulap menjadi celengan untuk tabungan para siswa yang dihiasi cukup unik dan beragam,” Terang Riris, selaku ketua pengurus PAUD Sahabat.<br />Penyiapan generasi yang sejak usia emas harus diasah sejak awal agar memiliki daya kemandirian dengan pengelolaan manajemen yang bagus ketika hidup bermasyarakat. Hal ini dimaksudkan agar program pengembangan desa secara partisipatif mampu terwujud. Pendidikan berbasis pada kebutuhan membuat anak-anak dan warga dewasa mempunyai kapasitas membuat program pengembangan desa dengan wawasan pemanfaatan produktif, seperti pengenalan pada produk pertanian mulai dari biji-bijian; jagung, kedelai, kacang hijau, isi buah kelengkeng, dan masih banyak lainnya dimaksudkan agar si anak mengenal dunia pertanian dan belajar melatih motorik tangan untuk menjimpit benda-benda yang kecil. “Konsep belajar yang kami kenalkan adalah tidak harus di dalam ruangan, namun kami juga mengajak anak untuk mengenal lingkungan. Bahkan ada rencana untuk langsung bermain di sawah dan berkotor-kotor langsung dengan lumpur. Dan kemarin kami juga sempat bermain tepung dengan permainan warna, dan anak boleh membentuk adonan menjadi berbagai pola mainan sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka,” terang Riris.<br />Untuk mempermudah arus belajar, para guru PAUD Sahabat sepakat untuk menjadikan 4 kelompok berdasar usia yakni usia 2 dan 3 pada kelompok satu, usia 3, 4, 5 pada kelompok 2 sampai 4. Hal ini dimaksudkan agar anak mudah bermain, baris berbaris maupun senam dengan teman sebayanya. Hingga saat ini total keseluruhan siswa ada 62 yang terdaftar, namun karena masih balita terkadang setiap harinya yang aktif mencapai 50 siswa. Adapun hari efektif hanya 3 hari, selasa, rabu dan kamis mulai pukul 7.30 WIB sampai 9.30 WIB. “Namanya juga anak-anak kadang orang tua tidak bisa memaksakan anaknya untuk belajar, yang terpenting ada komunikasi intensif antara orang tua dengan para guru. Hal ini bisa secara langsung maupun melalui buku penghubung,” tambahnya.<br />Sementara itu bagi para guru setiap usai menemani belajar, mereka tidak lantas pulang. Namun berkumpul terlebih dahulu untuk mendiskusikan permainan esok harinya. Saat ini menu generik tetap mengacu pada kurikulum Diknas, namun tambahan menu yang dikembangkan dalam SKH (Satuan Kegiatan Harian) tetap tergantung kreatifitas masing-masing guru. (Din-din, Alha-Raka) <br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-6985861031394533022009-08-08T03:43:00.003-07:002009-08-08T03:43:54.416-07:00MEMBUKA KRAN KEMERDEKAAN BAGI KAUM PINGGIRAN(Kediri) Rasa syukur, atas anugerah kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu dan pahlawan negeri ini patut kiranya dihargai setinggi-tingginya, dari para pejuang yang telah mengorbankan segalanya inilah Indonesia kemerdekaan. Lantas apa makna kemerdekaan bagi rakyat yang selalu terpinggirkan nasibnya, berikut ulasannya. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Benarkah negeri ini masih menaruh hormat pada kemerdekaan. Siapa sajalah mereka ini? Apakah mereka cukup mengenali kaum pinggiran yang sekarang tengah berjuang dengan menggadaikan rasa malu mempertahankan kehormatan, harga diri untuk meraih hidup dan kehidupan demi kemerdekaannya? Mereka kaum kecil yang hanya dipandang sebelah mata juga bersyukur atas perjuangan yang nyaris tak pernah selesai dengan kata kemerdekaan. Hidupnya selalu dikendalikan orang-orang yang mempunyai dompet tebal. <br />Makna kemerdekaan masih bias di mata orang-orang yang terlahir di masa sekarang. Terlebih bagi masyarakat di lingkungan prostitusi. Mereka tidak tahu sama sekali makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab sejak kelahirannya, sampai hari ini, mereka tetap diliputi perjuangan meraih kemerdekaan dalam setiap nafas, jengkal dan gerak kehidupannya. Beragam kesulitan terus membelenggu. Berbagai tekanan seolah sudah menjadi harga mati untuk kelompok pinggiran tersebut.<br /> Kemerdekaan yang secara nasional dimaknai sebagai kebebasan dari cengkeraman penjajahan kolonialisme dan pendudukan bangsa/negara asing, tidak cukup dipahami secara kontekstual dan faktual oleh masyarakat prostitusi. Setiap tahun, masyarakat hanya melakukan perayaan dengan gebyar berbagai kegiatan meriah. Asumsi mereka, bahwa hari kemerdekaan perlu dirayakan dengan semarak dan keceriaan. Perlombaan, hiburan, gelar budaya lokal, kegiatan untuk anak-anak, pawai, dan berbagai macam bentuk perayaan. <br />Dengan tradisi seperti itu, sebenarnya nampak jelas bahwa kemerdekaan memang suatu pembebasan untuk meraih kesenangan, keceriaan, dan hiburan yang mungkin di masa lalu kurang mendapatkan ruang yang merdeka. Untuk saat ini, hiburanpun mulai dipersoalkan oleh para pemangku kepentingan yang merasa berjasa. Hal ini menjadi indikasi bahwa seolah kelompok pinggiran yang mulai mampu menggapai hak-hak dasar dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berujung pada sebuah kooptasi sebagai komoditi politik. Itulah yang mereka pahami tentang kemerdekaan yang sebenarnya tidak pernah mereka pahami. Akhirnya, kemerdekaan hanyalah rutinitas perayaan-perayaan tahunan.<br /> Seharusnya semua orang berfikir secara optimal untuk membangun kebersamaan, kesepahaman, dan perjuangan untuk memaknai kemerdekaan kepada masyarakat pinggiran. Aspek ideologi, itulah yang menjadi dasar pemahaman kemerdekaan yang seharusnya tersampaikan kepada kelompok pinggiran. Lebih lanjut, kemerdekaan harus mampu menjawab hidup yang mutlak dan mendesak mereka butuhkan. Akses pendidikan, ekonomi, kesehatan, informasi menuju kesejahteraan belum sepenuhnya mengarah kepada kemerdekaan yang utuh. Tidak jauh beda dengan tanggapan pekerja seks yang juga seorang pendidik sebaya. ”Kemerdekaan itu belum ada. Kita dulu mungkin bebas dari penjajahan. Tapi sekarang ini kita juga masih dijajah. Justru kalau tidak 'dijajah' kita tidak bisa hidup. Kita saat ini sedang dijajah laki-laki yang ternyata membantu kita” ujar Santi (nama samaran) salah seorang perempuan yang hidup dalam dunia terpinggirkan. (Ijun, SUAR)<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-86265463499876379802009-08-08T03:43:00.001-07:002009-08-08T03:43:25.874-07:00Penambahan Anggota Berarti Menambah Modal Koperasi(Nganjuk) Sudah hampir satu tahun lebih Koperasi Kumandang didirikan. Awalnya hanya puluhan orang saja yang berkomitmen untuk mendirikan koperasi ini. Dalam pertemuan ke pertemuan selalu ada anggota baru yang masuk. Saat ini jumlah anggota Koperasi Kumandang sebanyak 30 orang. Mereka dari berbagai desa di Kabupaten Nganjuk. <br /><span class="fullpost"><br />Penambahan anggota ini tentu saja dapat memperkuat koperasi, selain semakin banyaknya informasi bisnis dan usaha baru yang disampaikan dalam pertemuan rutin setiap tanggal 1, adanya anggota baru ini juga memperkuat permodalan koperasi sehingga pelayanan pinjaman semakain besar. Dalam setiap pertemuan hampir ada Rp. 3 juta uang yang diputar. <br />Tentu saja hal ini semkin membuat optimis para anggota. Anggota yang awalnya hanya ikut-ikutan, sekarang mulai serius menggeluti seluk beluk perkoperasian sehingga bisa dikatakan kader koperasi. Mereka malah ada yang membangun koperasi baru di lingkungannya masing-masing berbekal dari pengalaman di Kumandang. Sebut saja Musyafak, anggota Koperasi Kumandang yanag saat ini menjadi pengurus di Koperasi GMNU, sebuah koperasi yang anggotanya adalah pemuda-pemuda yang berlatar belakanag NU di Kecamatan Baron. Walaupun baru berusia 3 bulanan, koperasi GMNU ini sudah menyusun berbagai kegiatan untuk memperkuat koperasinya.<br /><br />Kader lain yang patut dicontoh adalah, Imam Syafii, seorang Ketua BPD Desa Banjar Anyar Kecamatan Tanjunganom. Imam yang menjadi sekretaris Koperasi Kumandang, juga sedang menata ulang Koperasi Ar-rahman yang di desanya. Koperasi, Arrahman awalnya dibentuk untuk membantu masyarakat desanya dalam memenuhi kebutuhana modal usaha. Namun, karena beberapa faktor, koperasi ini tidak bisa berjala dengan maksimal. Tidak ada aturan yang tegas dan mekanisme pertemuan belum berjalan serta pengurusnya masih sekedar nama. Dengan bergabung dengan Koperasi Kumandang, akhirnya Arrahman berbedah diri. Kebetulan ada anggota Arrahman yang juga anggota Koperasi Kumandang, yakni Hambali. Imam dengan Hambali inilah yang kemudian menjadi motor bagai koperasi Arrahmaan.<br /><br />Orang-orang seperti, Musyafak, Imam dan Hambali ini mulai ada di pikiran anggota Kumandang lainnya. Sebut saja Pepeng, yang dalam bulan ini akan mendirikan juga koperasi di desanya Malang Sari Tanjung Anom. Ada lagi Sukardi dan Masykur serta anggota lain, yang mendapat pengalaman baru dan dijadikan pembelajaran dalam mengelola koperasinya, Koperasi Langgeng di Desa Garu Baron. Tidak kalah dengan anggota laki-laki, ada kader perempuan yang bernama Kamil. Perempuan ini adalah pengurus di Koperasi Perempuan Rejo Makmur di Desa Bukur Patinrowo. <br /><br />Jika nantinya seluruh anggota di Koperasi Kumandang menjadi kader, Koperasi Kumandang akan menjadi sejarah bagi perkembangan gerakan koperasi di Kabupaten Nganjuk. Langkah selanjutnya, koperasi-koperasi yang dibentuk oleh kader-kader Koperasi Kumandang ini kelak musti berjaringan dan membentuk asosiasi koperasi atau sering disebut koperasi sekunder. Ini bertujuan untuk memperkuat manajemen dan jaringan koperasi sehingga semain kuat secara kelembagaannya. (Edy-Punden)<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6964271629314196513.post-48570006124754060562009-08-08T03:42:00.001-07:002009-08-08T03:42:47.213-07:00TK dan PAUD Hidayatut Thullab KEMBANGKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGELOLA PENDIDIKAN(Tulungagung) Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memiliki arti sangat penting dalam memajukan kehidupan sebuah bangsa. Namun, proses pendidikan di lembaga pendidikan tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan atau partisipasi penuh dari masyarakat.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Pemikiran itulah yang setidaknya ikut mengiringi berdirinya Taman Kanak-kanak (TK) dan Pendidikan Usia Dini (PAUD) Hidayatut Thullab di Desa Banjarsari Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung.<br />Memang, lembaga pendidikan ini baru dibuka pada awal tahun ajaran baru 2009/2010. Ijinnya pun masih dalam proses. Sebetulnya, di Desa Banjarsari sendiri telah ada 2 buah TK, namun untuk PAUD belum ada. Meski baru buka, namun dukungan masyarakat cukup luar biasa. Sudah ada 25 anak yang mendaftar, dengan perincian 15 di TK dan 10 untuk PAUD. <br />”Dukungan masyarakat sangat besar, termasuk dari Kepala Desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan, mereka ikut memasukkan anak-anaknya ke lembaga kami. Intinya, lembaga pendidikan ini murni didirikan atas kehendak masyarakat yang ingin memiliki TK dan PAUD di Desa Banjarsari,” jelas Amarudin, Direktur TK dan PAUD Hidayatut Thullab.<br />Di sisi lain, pembentukan TK dan PAUD Hidayatut Thullab sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran asosiasi Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) Tulungagung yang diketuai sendiri oleh Amarudin sebagai motor penggeraknya. Berdasarkan aturan, sebuah lembaga pendidikan harus ada lembaga yang membawahinya. Karena pada waktu berdiri belum ada lembaga yang membawahi TK dan PAUD ini, maka asosiasi KPMD-lah yang lalu dipilih sebagai lembaga induknya.<br />Dikatakan Amar, dalam pengelolaannya lembaga ini berusaha memanfaatkan potensi Desa Banjarsari. Misalnya dengan merekrut tenaga pendidik asal desa setempat. Cuma 1 guru yang berasal dari luar kota, yakni Fitri asal Desa Ngronggo Kota Kediri.<br />Kepada SOERAT, Fitri mengaku merasa tertantang untuk terlibat dalam membangun dan mengembangkan TK dan PAUD Hidayatut Thullab. ”Namanya juga masih babat (baru berdiri), jadi kita masih perlu belajar banyak dan ini menjadi tantangan baru bagi saya,” ungkapnya.<br /> <br />Pengelolaan Bersama Masyarakat<br />Pendirian TK dan PAUD ini bermula dari kesamaan pandangan masyarakat tentang tidak adanya TK dan PAUD yang berlatar belakang Islam di Desa Banjarsari dan sekitarnya. “Daerah ini kan merupakan jalur utama Trans Tulungagung-Kediri, namun sampai saat ini belum ada lembaga pendidikan Islam. Maka, melalui lembaga ini kita berusaha menatap masa depan pendidikan masyarakat Ngantru,” jelas Rokhimi (Jimmy), salah satu pengurus KPMD yang juga penggagas berdirinya TK dan PAUD Hidayatut Thullab.<br />Gagasan ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat Desa Banjarsari melalui Jama`ah Waqi`ah. Hasilnya, masyarakat sepakat mendukung berdirinya TK dan PAUD di desa tersebut, baik moral maupun material. <br />Amar beserta Asosiasi KPMD-nya lantas mengadakan survey kepada seluruh masyarakat yang mempunyai anak. Pada kesempatan lain, ia mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat untuk menggagas secara bersama-sama pendirian lembaga pendidikan bagi anak-anak. “Setelah semua masyarakat dan calon wali murid sepakat kemudian kita buat pamflet dan kita sebarkan kepada seluruh masyarakat,”papar Amar.<br />Pernyataan ini diperkuat oleh Jimmy yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan TK dan PAUD, semuanya didasarkan atas kesepakatan bersama antara pengelola lembaga, mali murid dan tokoh-tokoh masyarakat.<br />Salah satu kesepakatan yang muncul adalah untuk sementara dalam 2 minggu murid diberi sarapan (makan pagi) sebanyak 2 kali, selebihnya anak-anak diberi snack (makanan ringan). Toh ini juga sebagai bentuk kepedulian orang tua terhadap anaknya. ”Jadi semua aturan yang melingkupi sekolah pasti dimulai dari kesepakatan bersama melalui rembuk, baik wali murid maupun tokoh masyarakat,” kata Rokhimi.<br /> <br />Kembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM)<br />Masyarakat Desa Banjarsari berharap, lembaga pendidikan ini mampu mendidik anak-anaknya dengan pengetahuan agama yang baik sebagai modal untuk menghadapi masa depan di era globalisasi. Sebagaimana visi yang dimiliki TK dan PAUD Hidayatut Thullab, yakni mencetak generasi Islam yang cerdas, terampil dan berakhlaqul karimah (berakhlak yang baik) untuk menyongsong masa depan yang gemilang.<br />Sementara misi lembaga ini adalah menjalin persatuan dan kesatuan serta kebersamaan antara sekolah dan masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang mampu menyiapkan generasi Islam pada masa era globalisasi. Menurut Amarudin, PAUD ini merupakan terobosan baru pendidikan bagi masyarakat, karena menjadi bentuk kaderisasi alternatif. <br />Agar dapat berkembang dengan baik, selain dukungan dari masyarakat, pihaknya juga berharap dukungan pemerintah. Apalagi, lembaga pendidikan ini nantinya direncanakan bakal dikembangkan sebagai tempat pendidikan bagi masyarakat. “Harapan nantinya tempat ini akan kita jadikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), sambil menunggu dan memantau anaknya sekolah masyarakat bisa baca-baca buku literatur yang telah disediakan,” tambah Amarudin.<br />Dengan harapan inilah nantinya masyarakat diajak berfikir demi keberlangsungan masa depan anak cucunya, sehingga setiap kali membutuhkan kebijakan baru di sekolah, mereka semua diajak musyawarah untuk mengembangkan pendidikannya, termasuk pengetahuan tentang cara mendidk anak yang lebih baik dan efisien.<br />Amarudin menegaskan, bahwa lembaga pendidikan ini masih dalam tahap pembelajaran, jadi masih sangat butuh pengetahuan dari orang lain yang lebih kompeten dalam bidang pendidikan anak-anak. Semoga ke depan TK dan PAUD ini bisa mandiri, yang paling mendesak hari ini adalah kita membutuhkan bantuan moril dan pengetahuan dari orang-orang yang sudah mahir. (Lukman, Paricara)<br /><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0