Rabu, 22 April 2009

Banyak Rakyat Miskin Tidak Mendapat Jamkesmas

(Tulungagung-Paricara) Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak dasar warga negara karena sudah diatur dalam UUD 1945. Negara berkewajiban memenuhi hak dasar tersebut dan memberikan perlindungan atau jaminan sosial bagi seluruh rakyatnya, terutama mereka yang lemah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Namun fakta berbicara lain. Dalam sejumlah kasus, negara dianggap lalai memperhatikan kesehatan rakyatnya.


Tengok saja nasib pasangan Nurhadi dan Mamik Susiani, warga Desa Besole Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung. Keluarga miskin ini hanya bisa pasrah melihat penderitaan kedua anaknya, masing-masing Moh Hasan al-Bukhori (3 tahun) dan Desi Wulansari (1,5 tahun), yang didiagnosa mengalami microcephalys (pengecilan kepala).

Karena tidak ada biaya untuk berobat, mereka kini cuma bisa merawat Hasan dan Desi di rumah. Berbagai usaha sebenarnya telah dilakukan agar penyakit yang diderita kedua anaknya bisa segera sembuh. Seperti memeriksakannya ke Puskesmas dan RSUD Tulungagung sampai 2 kali. Tapi lantaran biaya yang harus dikeluarkan mahal dan tidak punya kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Nurhadi terpaksa harus membawa anak-anaknya kembali pulang.

Dengan kondisi seperti itu, ia mengaku sudah tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa. Nurhadi yang kesehariannya bekerja sebagai tukang pembelah batu hanya bisa berharap bantuan dari pemerintah. Tapi sayang, tanggapannya justru mengecewakan. “Saya pernah mendatangi perangkat desa yang dulu sempat melakukan pendataan, namun malah disemoni (dicibir) dengan jawaban, eh… rumah kamu masih layak jadi belum ada bantuan,” tutur Nurhadi menirukan kata-kata petugas.

Kepala Puskesmas Kecamatan Besuki, Anindito Aryono, menyatakan kedua anak itu sudah cacat sejak lahir sehingga sulit diobati. Yang perlu diperhatikan adalah penanganan sejak dini dari orang tuanya harus optimal. Dikhawatirkan microcephalys akan terjadi pada anak ketiga.

Selaku Kepala Puskesmas, pihaknya hanya bisa membantu dengan mengajak teman-teman dan petugas Puskesmas yang lain untuk membantu keluarga Nurhadi sebagai ganti tidak adanya Jamkesmas dan Jamkesda yang seharusnya ia terima. “Setiap seminggu atau dua minggu sekali saya dijenguk oleh Kepala Puskesmas dan diberi susu untuk anak saya,” tambah Nurhadi.

131,9 Ribu Maskin Belum Mendapat Kartu Jamkesmas
Keadaan di atas hanyalah contoh kecil dari realitas kesehatan di masyarakat. Kemungkinan masih banyak peristiwa serupa terjadi di tempat-tempat lain. Anindito, juga mengakui kenyataan tersebut. “Itu masih satu kasus yang coba kita carikan solusi, ada beberapa yang masih tertinggal dan belum terdata oleh kita untuk menerima bantuan seperti Jamkesmas,” jelasnya.

Pelaksanaan Jamkesmas ini sesungguhnya sudah diatur melalui SK Menteri Kesehatan No. 125 tahun 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jamkesmas dan telah disosialisasikan ke seluruh daerah. Namun demikian, kenyataannya masih saja ada rakyat miskin yang tertinggal alias belum mendapatkan kartu Jamkesmas.

Di Kabupaten Tulungagung terdapat sekitar 69.697 keluarga miskin. Yang terdata sebagai penerima Jamkesmas sebanyak 201.604 jiwa dan yang belum memperoleh Kartu Jamkesmas sebanyak 131.907 jiwa.

Biaya Jamkesmas sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat namun di kabupaten belum terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan sosialisasi ke tingkat bawah kurang. “Ini yang menjadi faktor mengapa realisasinya menjadi terhambat. Yang saya sesalkan, pemerintah daerah belum memberikan tanggapan positif bagaimana mensosialisasikan kartu Jamkesmas yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin,”demikian diungkapkan Zainul Fu`ad, salah satu pengurus Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Tulungagung.

Hal senada dikemukakan Suhaili, Ketua Bantuan Tugas (Bagas) Desa Besole Kecamatan Besuki. Menurutnya, saat ini banyak program yang diluncurkan pemerintah baik pusat maupun di daerah, namun demikian masyarakat belum tahu mekanisme dan prosedurnya. Demikian juga dengan adanya Jamkesmas untuk orang miskin ternyata tidak ada sosialisasinya, sehingga masyarakat miskin tidak mengetahui prosedur teknisnya jika berobat. “Wajar apabila mereka merasa kesulitan dan bingung untuk mengurusnya,” paparnya.

Sementara itu Pemerintah Kabupaten Tulungagung telah menganggarkan dana kesehatan melalui RAPBD sebesar Rp 14,255 M. Namun untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin hanya sebesar Rp 400 juta atau 2,8% dari total anggaran Dinkes. Jumlah ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/ puskemas pembantu dan jaringannya, yang angkanya mencapai Rp.12,848 M atau hanya 3%.

Caleg Abaikan Persoalan Kesehatan Rakyat Miskin
Meski masalah kesehatan rakyat miskin sampai saat ini masih menyisakan banyak persoalan, namun partai politik dan calon legislatif (caleg) yang bersaing dalam Pemilu 9 April 2009 lalu tetap tidak peduli. Padahal, (jika jadi) merekalah nanti yang akan ikut menentukan berbagai kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan di bidang kesehatan.

Lihat apa yang dilakukan parpol dan caleg-caleg di Kabupaten Tulungagung. Dalam pantauan SOERAT, selama kampanye Pemilu berlangsung, nyaris tidak ada tawaran program yang menarik dari parpol dan caleg untuk membantu memperjuangkan nasib rakyat miskin agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

Mereka, para calon wakil rakyat itu, lebih suka berkampanye dengan memasang tanda gambar (foto) melalui baliho, banner, spanduk, poster, stiker, kartu nama dan sebagainya. Atau berkeliling membagi-bagikan berbagai bentuk alat peraga kampanye, bahkan uang, kepada masyarakat agar memilih parpol dan caleg bersangkutan. Ada memang caleg yang bersedia melakukan dialog secara langsung dengan kelompok-kelompok masyarakat. Namun materi yang dibahas lebih banyak masalah teknis seperti bagaimana cara mencontreng yang benar.
Dibalik itu semua, tampak ada nuansa ketakutan dari sebagian caleg untuk menyampaikan program-program yang akan diusungnya kepada masyarakat. Sebab, menyampaikan program dianggap sebagai janji dan suatu saat akan ditagih oleh masyarakat jika mereka benar-benar terpilih menjadi wakil rakyat. Apalagi berdasarkan pengalaman, janji para caleg lebih banyak diingkari.

Fatalnya, muncul anggapan bahwa persoalan rakyat tidak begitu penting. Karena itu kampanye dengan menawarkan banyak program sama sekali tidak efektif dan hanya membuang-buang waktu. Toh dalam Pemilu, rakyat hanya butuh uang, bukan tawaran program yang muluk-muluk. Dengan begitu, setelah terpilih, mereka akan merasa santai dan bekerja seenaknya lantaran tidak terbebani oleh janji-janji program saat kampanye. (Lukman, Paricara)

1 komentar: