Rabu, 22 April 2009

Harus Ada Pos Pengaduan Layanan Jamkesmas

(Jombang-Alharaka) Untuk mengurangi banyaknya kasus penyelewengan layanan Jamkesmas di Kabupaten Jombang diperlukan posko pengaduan layanan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Selain tidak adanya keinginan baik dari pemerintah kabupaten, kurangnya informasi tentang Jamkesmas kepada masyarakat miskin (maskin) sebagai akar masalah.


Mengapa masyarakat membutuhkan kejelasan dari manajemen RSD (Rumah Sakit Daerah) Jombang dan aturan standar layanan minimal kesehatan. Informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat sehingga sering terjadi penyelewengan dan pelanggaran hak-hak pelayanan kesehatan. Posko khusus bertugas untuk memberikan keterangan dari penggunaan Jamkesmas dan keluhan ketika terjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Posko juga sebagai penjamin bagi rumah sakit sehingga dapat membantu pasien yang mengalami kesulitan administrasi.

Tugas ini, bagi pemerintah tidak harus membentuk tim baru hingga mengakibatkan pembengkakan operasional anggaran. Namun hanya dengan memberikan tambahan tugas kepada Puskesmas atau RSD. Sejak dilakukan hearing pada tanggal 20 Maret 2009 yang dilakukan oleh beberapa perwakilan NGO dan Ormas di Jombang yang dihadiri berbagai instansi pemerintah yakni RSD Jombang, Komisi D DPRD, Dinkes Kabupaten Jombang, serta berbagai kalangan organisasi masyarakat. Sampai saat ini masih belum ada tindak lanjut dari komisi D karena disibukkan oleh kegiatan pemilu legislatif.

Abdul Nasir, Sekretaris Komisi D, menyarankan agar program Jamkesmas dan sistem pelayanan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang anggarannya ditanggung oleh pemerintah daerah perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Sebab masih banyak masyarakat yang tidak paham sehingga menuai sejumlah keluhan. Terutama yang berkaitan dengan ketentuan biaya bagi pasien miskin.

Sementara itu menurut Nur Habibah, salah satu kader Posyandu di Dusun Gempolpait Banjardowo Jombang, selagi masyarakat miskin kebingungan apa dan bagaimana Jamkesmas, persoalan layanan gratis ini tidak akan pernah bisa berjalan maksimal. “Saya mendengar ungkapan dari Menteri Kesehatan Fadlilah Supari, bahwa daftar obat dalam Jamkesmas adalah produk generik yang tidak terdaftar di semua apotek, dan hanya bisa diperoleh di apotek RSD. Namun kenyataannya ada beberapa resep yang ketika ditebus di apotek RSD malah tidak ada. Jadi mau nggak mau kita nyari di apotek umum,” ucapnya.

Hal senada diutarakan oleh Tholan, bapak dari Subroto, pasien yang meninggal akibat sakit tetanus di RSD Jombang. Ceritanya pada tanggal 19 Maret, tepatnya jam 08.00 WIB, Subroto dilarikan ke rumah sakit hasil rujukan dari Puskesmas Banjardowo. Karena memiliki kartu Jamkesmas ia harus menunggu proses administrasi dan dokter yang menanganinya. Meskipun keluarga mengajak Sudarianto selaku ketua RT 3 untuk memperkuat Jamkesmasnya, ternyata setelah tiba di RSD pelayanan yang diperoleh tidak memperhatikan kondisi pasien yang parah.

”Seluruh keluarga saat itu menduga penyakit Subroto sudah parah, pasalnya setelah dibawa ke Puskesmas petugas merekomendasikan untuk segera dibawa ke RSD Jombang. Tiba di rumah sakit jam 08.00 WIB lalu pihak keluarga mengurus berbagai prosedur Jamkesmas dengan sabar meski ribet. Namun kami sangat kecewa karena pihak rumah sakit tidak secepatnya menangani Subroto dan baru diperiksa pada pukul 16.00 WIB. Saat kondisinya semakin kritis, kami disarankan untuk membeli obat namun harus membayar karena di apotek RSD Jombang tidak ada persediaan. Beberapa menit kemudian tubuh Subroto kejang-kejang dan akhirnya anak saya meninggal dunia,” terang Tholan warga RT 3 RW 6 Banjardowo.

Kenyataan tersebut membuat seluruh keluarga Tholan berduka. Belum lagi persoalan obat yang harus tetap dibeli seharga Rp 175 ribu, dan biaya ambulan untuk jenazah yang harus dibayar. “Kami seluruh keluarga tidak bisa berbuat banyak, dalam pikiran kami seharusnya apapun penyakit yang diderita pasien Jamkesmas harus gratis. Kasus ini juga sudah dilaporkan ke DPRD. Namun hasilnya sampai saat ini belum ada tidak lanjut yang jelas dari pihak dewan. Harapan saya semoga tidak ada lagi kasus serupa seperti yang telah dialami putra saya,” ungkap Tholan.

Perlu Standar Pelayanan Kesehatan
Kualitas pelayanan RSD Jombang memang patut dipertanyakan. Banyaknya keluhan pasien rawat inap kelas III kerap sekali dimuat oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik. Hal ini menunjukkan kalau program kesehatan murah yang dicanangkan pemerintah belum menjangkau masyarakat miskin. Sementara bila pasien berobat ke dokter yang juga praktik di rumah dikenakan biaya berkali lipat dari biaya di rumah sakit.

“Sepertinya sangat sedikit sekali ada dokter yang memberikan keringanan biaya kepada pasien yang secara ekonomi pas-pasan. Ini berarti jiwa sosial para dokter di negeri ini patut dipertanyakan juga. Pasalnya mereka telah digaji dari uang rakyat malah masih mentargetkan biaya lagi ketika buka praktik sendiri, lihat saja mana ada dokter miskin,” keluh Ismail, salah satu pelopor Kelompok Remaja Manungggal Rakyat (Keramat) dari Mojosongo Balungbesuk Diwek Jombang.

Tahun lalu, ada salah satu anggotanya yang sakit dan diharuskan untuk operasi. Namun karena tidak mendapatkan kartu Askeskin atau Jamkesmas, Ismail menghimpun anggotanya untuk bantingan (iuran) guna meringankan beban temanya yang sakit.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan cerita yang dituturkan Miftah dari kelompok FKPM Mayangan Diwek Jombang. “Saya pernah mendampingi tetangga yang benar-benar miskin, ia harus menjalani operasi kandungan, eh.. ternyata tetep saja harus membayar. Padahal idealnya jika telah ada program kesehatan gratis bagi rakyat miskin maka semua jenis penyakit yang dikeluhkan pasien miskin harus gratis. Namun kenyataannya tidak semua jenis penyakit ada obatnya pada program Jamkesmas,” ungkap pemuda ini mengeluhkan.

Kenyataan tersebut membuat Miftah dan kawan-kawannya juga melakukan iuran untuk meringankan beban tetangganya. Menurut Miftah, tidak semua obat di-Askeskan, hanya penyakit tertentu saja yang ada obatnya. Padahal pasien Maskin tidak punya cukup uang untuk menebus obat tersebut. Idealnya semua masyarakat miskin yang sakit mendapatkan pengobatan gratis ketika melalui program Jamkesmas dan Jamkesda.

“Dulu ada Askeskin, ketika ada yang tidak mendapatkan kartu maka pemerintah desa memberikan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Saat ini banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Bahkan sebagian Pemdes tahu bagaimana prosedur penggunaan program Jamkesda. Meskipun ada yang sakit tetap saja pemdes memberi SKTM tanpa dipantau bagaimana pelaksanaannya di rumah sakit oleh pihak desa,”tutur Miftah.

Sementara itu menurut pengamatan Rodli Zaen, warga Tanjung Anom Bulurejo Diwek Jombang, apa yang dirasakan semua orang khususnya pasien kelas III dalam penanganan medis baik dokter maupun perawat selalu lambat. “Saya sudah mendatangi perawatnya dan bahkan dokternya langsung namun setengah jam baru nonggol itu kan lambat banget. Padahal kondisi pasien butuh pertolongan langsung. Belum lagi persoalan administrasi dan keuangan yang biasanya kalau memakai Jamkesmas agak mbulet. Salah satu tetangga saya ada yang membutuhkan tranfusi darah karena kondisinya miskin seharusnya gratis. Tapi anehnya pihak PMI dan RSD saling lempar tanggung jawab. Akhirnya tetangga saya harus mencari hutangan untuk membeli darah tersebut,” terang Rodli, penasehat kelompok Fata (Forum Arek Tanjung Anom).

Ini semua membuktikan bahwa profesionalisme RSD Jombang tidak maksimal. Bisa dilihat bagaimana para staffnya yang memberikan pelayanan untuk rawat jalan maupun rawat inap. Rodli pernah mengetahui sendiri, saat itu ada laki-laki tua yang mengantri periksa di poli jantung. Seorang perawatnya tidak ramah sekali, demikian juga dokternya malah memberikan kata-kata yang menakutkan. “Ada kesan pembedaan yang sangat mencolok bagi masyarakat miskin yang menggunakan kartu Jamkesmas atau Askeskin dengan yang membayar. Bisa dibedakan pelayanan yang diberikan antara kelas III kamar Mawar dengan kelas paviliun. Ini bukan fasilitas. Di kelas III banyak sekali ditemukan para perawat dari anak-anak sekolah yang masih praktik, sedangkan petugasnya hanya duduk-duduk di kantor. Saya sempat berfikir para petugas mempekerjakan anak-anak praktik dan mereka dengan santainya tidak melakukan apa-apa…nah ini kan repot..,” tambahnya.

Seharusnya RSD Jombang tidak hanya membangun layanan kesehatan dari segi fisik semata, namun yang terpenting adalah membangun sumber daya para staff agar siap menjadi pelayan rakyat. “Perubahan kualitas para perawat inilah yang belum kami rasakan selain yang nampak adalah gedung-gedung megah yang terbangun. Padahal persoalan kondisi prima para perawat dalam menghadapi pasien juga sangat penting. Kami tahu ratusan pasien tiap hari mempunyai beragam keluhan, tentunya jika para perawat tidak dalam kondisi baik, akan gampang sekali tersulut emosinya. Sehingga dalam menghadapi pasien juga selalu emosi,” tandas Rodli. Disinilah sangat dibutuhkan sebuah Posko Pengaduan Pelayanan. (Din din)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar