Rabu, 22 April 2009

LAYANAN KESEHATAN DI LOKALISASI Upaya Mencegah Penyebaran HIV dan AIDS

(Kediri-SuaR) Jika kesehatan adalah hak rakyat maka rakyatlah yang harus memperjuangkannya. Atau pemerintah yang harus dengan bangga memenuhinya sebagai sebuah kewajiban. Jika demikian pilihannya maka rakyat memang perlu melawan atau pemerintah secara sadar dan elegan memberi pelayanan melalui berbagai kebijakannya secara terhormat.


Sudah menjadi harga mati, dimanapun tempatnya, harus ada dikotomi antara rakyat dan penguasa tentang ketidakadilan ataupun pemiskinan dan korupsi dalam konteks upaya mendapatkan hak-hak manusia, kemanusiaan dan bernegara. Tidak terkecuali di Kediri. Ternyata, advokasi pun tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pembuat kebijakan tertinggi di daerah, tetapi juga sudah merambah di kalangan unit pelaksanaan kebijakan terhadap atasannya. Mungkin ini bukan hal yang menarik, tetapi patut didukung selama proses itu memang berpihak kepada rakyat.

Kekuatan Advokasi
Sejak adanya aturan penertiban lokalisasi dari pemerintah Kabupaten Kediri tahun 1998 berdampak pada tertutupnya akses layanan apapun yang diterima oleh para penghuninya. Terutama pelayanan kesehatan yang sebelumnya rutin diberikan.

Melihat kondisi tersebut, ada satu analogi sederhana. Jika di perumahan, perkampungan atau dalam lingkungan besar di sebuah perkotaan terdapat saluran pembuangan air limbah domestik, yang notabene air ini kotor dan tidak berguna. Kemudian saluran yang selama ini lancar-lancar saja tiba-tiba ditutup oleh sekelompok orang. Akibatnya, secara perlahan bau busuk akan tersengat, populasi nyamuk bertambah drastis, becek dan banjir mulai terjadi, air resapan tercemar, dan kerawanan lain akan bermunculan. Sampai akhirnya berbagai endemi penyakit dan kerusakan lingkungan akan dirasakan semua orang tidak hanya yang tinggal di sekitar saluran air yang tertutup tersebut. Akan tetapi oleh masyarakat satu daerah. Begitulah, jika lokalisasi yang selama ini dianggap kelompok “kotor”, namun tidak ditangani secara serius justru akan menjadi persoalan bagi semua orang.

Dalam situasi serba terbatas bahkan tertutup dari banyak akses layanan, khususnya kesehatan, muncullah sebuah gagasan masyarakat yang “ditertibkan” itu untuk membuka “saluran” yang tertutup. Sebagaimana layaknya membongkar saluran air, di sini dibutuhkan alat dan energi yaitu pengetahuan tentang hak kesehatan dan kebersamaan bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh penertiban.

Awal 2007, mereka membekali diri dengan wawasan kesehatan di tempat yang representatif sekaligus menyatukan misi advokasi yang akan dijalankan guna mendapatkan pelayanan kesehatan. Giliran selanjutnya, mereka telah siap untuk berdiskusi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri sebagai pelaksana penyedia layanan kesehatan. Pada dasarnya, ternyata tidak terlalu sulit untuk mensinergikan pemahaman bersama tentang hak kesehatan. Artinya, Dinas Kesehatan selama masa penertiban itu mempunyai sikap malu-malu untuk menjalankan kewajibannya.

Inilah yang menjadi tonggak kebersamaan atau kekuatan masyarakat yang menamakan dirinya Jaringan Pokja Peduli AIDS Ekslokalisasi Kediri Raya. Mereka sekitar 40 orang dari 8 ekslokalisasi di Kabupaten Kediri (Tambi, Gedang Sewu, Gurah, Dadapan, Bolodewo, Weru, Krian,Weru) dan 1 ekslokalisasi Kota Kediri (Semampir).

Perjuangan Baru Dimulai
Kesepakatan dengan Dinas Kesehatan benar-benar dilaksanakan. Bulan-bulan berikutnya sudah tersedia pelayanan pemeriksaan IMS bagi masyarakat yang ditertibkan, yaitu di Puskesmas Gurah. Namun, bagi masyarakat, kesehatan bukanlah satu-satunya aspek keselamatan dan kenyamanan hidup. Masa berikutnya, mereka harus berhadapan dengan kekuatan lain yang menutup ”saluran”, yaitu pihak aparat keamanan. Di sela-sela menikmati sedikit lancarnya ”aliran” pelayanan, masih ada sumbatan yang harus didekati agar mereka bisa bekerja dengan tenang, aman dan nyaman. Maksudnya adalah, ekslokalisasi juga distigma sebagai pengganggu keindahan tata wilayah dan ketenangan warga sekitarnya dengan alasan hiburan liar. Sehingga harus dirazia setiap saat, tidak peduli siang, sore bahkan tengah malam.

Apakah tindakan represif ini dapat menjamin lebih tenang masyarakat? Justru akan semakin membuka aib daerah di mata publik. Karena kebijakan ini dirasa sangat menyumbat ”saluran.” Melalui mekanisme pertemuan jaringan 3 bulanan, masyarakat mengundang para aparat/dinas yang berwenang melakukan razia. Di sana, terjadilah dialog dan transformasi kebijakan yang tidak utuh dan hanya menyelesaikan satu demi satu ”sumbatan” dari sekian sumbatan yang ada. Kesepakatannya adalah masyarakat yang dirazia akan menjaga ketertiban dan keamanan terhadap pihak luar dan memanfaatkan layanan kesehatan yang ada secara optimal. Satu lagi unsur pemerintah dari Satpol PP dan Binamitra mulai terlibat dan mendukung program penanggulangan HIV. Padahal, selama proses membuka ”sumbatan” ini penularan HIV sama sekali tidak terhambat oleh penertiban. Hal itu yang membuat rasa tanggung jawab bagi warga ekslokalisasi untuk membuktikan bahwa mereka mampu membentengi diri dari HIV.

Sebaliknya, orang-orang dari luarlah yang membuat mereka rentan terhadap penularan HIV. Yaitu para laki-laki hidung belang yang tidak tersentuh kewajiban atau penertiban/kebijakan yang seharusnya dibuat pemerintah daerah. Dari sini, perjuangan dimulai untuk mendapatkan perlindungan dan posisi tawar agar terhindar dari tertular IMS dan HIV. Tidak ada cara lain, peraturan di tingkat kabupaten yang mewajibkan pemakaian kondom beserta programnya yang terpadu/komprehensif. Akankah terwujud ”sumbatan” terakhir dan terbesar bisa terbuka?

Selanjutnya, tiap 3 bulan, Jaringan Pokja ini terus melakukan pertemuan di lokasi secara bergiliran untuk meneguhkan posisinya dalam advokasi dan monitoring program penanggulangan HIV guna memperlancar ”saluran”. Muspika, Dinas Sosial, Tokoh agama dilibatkan dalam proses ini. Sampai pada suatu saat terjadilah tragedi Tambi yang membuat kekuatan emosional di antara mereka semakin kuat.

Sumbatan Terakhir
Sampai hari ini, pimpinan tertinggi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) belum juga menyadari bahwa wabah yang diakibatkan tersumbatnya ”selokan” di depan rumahnya semakin kronis. Tren peningkatan penderita HIV di Kabupaten Kediri melampaui 10% dari estimasi nasional 990 orang. Logikanya, jika air selokan ini merembas maka rembasan yang meresap ke rumah tangga dan masyarakat di sekitarnya tentu sudah banyak dan tidak disadari. Hanya bisa dirasakan 5-10 tahun mendatang.

Begitulah, karakteristik epidemi HIV dan AIDS. Artinya, masyarakat di dalam ekslokalisasi sudah mendapatkan pemahaman/pengetahuan tentang informasi dasar dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS, sehingga mereka bisa mencegahnya.

Yang menjadi beban berat mereka adalah melakukan negosiasi pemakaian kondom bagi pelanggannya yang belum mempunyai cukup informasi apalagi kesadaran tentang perilaku seks aman. Ada pilihan-pilihan yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyikapi hal ini. Pertama melakukan pemberdayaan bagi masyarakat ekslokalisasi menuju pengentasan yang tidak hanya berorientasi pada pekerja seks, tetapi juga kepada mucikari dan pihak lain yang diuntungkan, semisal kiwir. Tentu ini bukan langkah sederhana dan ringan. Sejauh ini, belum ada satupun pemerintah daerah yang berhasil melakukannya.

Kedua, secara tegas dan elegan dengan penuh tanggung jawab atau setidaknya kepedulian kepada pengidap HIV, pemerintah beritikad baik membuat produk hukum yang mengatur program penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif. Sebab, cepat atau lambat namun pasti, bahwa fenomena HIV dan AIDS akan menjadi tragedi pemiskinan yang luar biasa. Lebih hebat dari korban “gertakan” Gunung Kelud tahun lalu, lebih parah dari “korban” pencalegan pada pemilu legislatif yang menghabiskan dana triliunan rupiah. Karena korban HIV dan AIDS sudah ditangani puluhan tahun secara nasional dan belum kunjung jua berkurang.

Kenyataannya penyakit ini bisa berkurang apabila korban meninggal dunia. Hal ini disebabkan belum adanya aturan lokal atau daerah yang sungguh-sungguh menanganinya. Kecuali “sumbatan” ini sudah mengakibatkan banjir bandang yang menelan korban ratusan jiwa bahkan ribuan orang di Kabupaten Kediri, baru “sumbatan” atau kebijakan itu segera diputuskan oleh pemerintah daerah bersama DPRD.

Meskipun mereka (warga ekslokalisasi) telah berjuang bagi komunitasnya, diakui atau tidak, mereka sudah banyak berkontribusi untuk penyelamatan dari bencana sosial dan kemanusiaan. Meskipun demikian mereka tidak menuntut penghargaan dan tidak ingin disebut pejuang atau pahlawan.

Ketiga, persoalan ini tetap menjadi tanggung jawab masyarakat terresiko untuk mengurusi nasibnya sendiri dengan tidak menjamin bau “selokan” dan resapan air yang perlahan semakin meluas, karena “sumbatan” terbesar tidak berhasil dibuka. (Ijun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar