Kamis, 26 Maret 2009

Perempuan Jadi Pajangan Untuk Menarik Massa di Pemilu 2009 ?

( Madiun – Difaa ) Perubahan sistem pemilu dari UU no 12 tahun 2003 ke UU no 10 tahun 2008 telah membawa perubahan sistem demokrasi Indonesia. Perubahan ini ditambah dengan keputusan Mahkamah konstitusi (MK) pada 23 Desember 2008, yaitu Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, memutuskan pemberlakuan sistem suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih, yang otomatis membatalkan penentuan calon legislatif (caleg) berdasar nomor urut. Perubahan sistem ini merubah cara kampanye partai dan caleg dalam meraup suara dan juga membawa peluang, harapan dan tantangan untuk peningkatan partisipasi politik perempuan.

Dengan telah disahkannya UU Pemilu No.12 Tahun 2003, yang dipakai sebagai sistem pemilu tahun 2004 telah melakukan aturan affirnative action bagi partisipasi politik perempuan. Hal ini memiliki dampak politik besar terhadap upaya penghapusan marginalisasi perempuan dibidang politik (pasal 65 ayat(1)); Parpol harus memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik.

Pada Pemilu 2004, ada sepuluh partai politik yang mengklaim telah mendaftarkan bakal calon anggota legislatifnya dengan quota 30% bagi perempuan; Partai Bulan Bintang (PBB) 35,4 %; Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) 42,2 %; Partai Amanat Nasional (PAN) 31 %; Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 32,1 %; Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 32,1 %; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 35,7 %; Partai Bintang Reformasi (PBR) 36,4 %; Partai Damai Sejahtera (PDS) 32,5 %; Partai Golongan Karya (Golkar) 32,5 %; dan Partai Persatuan Daerah (PPD) 46,4 %. (Kompas, 08/01/04).

Namun, setelah dicermati, berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, hampir seluruh parpol yang mengklaim telah memenuhi kuota 30% tidak ada yang memahami ketentuan yang dimaksud dalam Undang-undang Pemilu. Seharusnya, penghitungan dilakukan berdasarkan daerah pemilihan (DP). Namun, yang terjadi adalah jumlah bakal calon legislatif perempuan yang disampaikan adalah jumlah secara keseluruhan. Dan berdasarkan nomor urut bakal calon yang disampaikan ke KPU, menunjukkan perempuan masih dijadikan sebagai pelengkap saja. Ini dibuktikan dari hampir rata-rata perempuan tidak dimasukkan dalam nomor urut jadi.

Kuota 30 % dianggap tidak efektif bagi partisipasi politik perempuan, melihat prosentase perempuan di DPR = 11,09% atau 62 orang dari 550 orang, dan di DPD hanya 21,5%. Bahkan di DPRD Kota Madiun hanya 1 orang, dan di DPRD Kabupaten Madiun hanya 2 orang saja.

Dengan rendahnya partisipasi politik perempuan di pemilu 2004, membuat kebijakan-kebijakan publik yang di hasilkan kurang sensitif gender. Kepentingan-kepentingan perempuan terkait anggaran APBD , kesehatan ibu dan anak, gizi, ASI , pendidikan, dan akses publik terabaikan.

Fenomena sampai saat ini, belum semua partai memiliki caleg perempuan yang handal. Persoalannya, kesalahan awal terjadi dari partai politik itu sendiri yang tidak mempersiapkan kader perempuannya sejak awal. Kebijakan partai di masa yang lalu tidak mempersiapkan perempuan sebagai politikus, tetapi para perempuan ini dipakai untuk menarik simpati dan menghimpun suara saja. “Partai tidak banyak melakukan kaderisasi perempuan untuk membentuk militansi kepartaiannnya, dan militansi perjuangan untuk kepentingan perempuan,” kata Bambang Irwanto, Pengurus Cabang NU Kabupaten Madiun

Dan diberikannya kuota sebesar 30 persen, belum menempatkan kader perempuan pada posisi yang menguntungkan, sebab salah satu kebijakan parpol saat ini adalah setiap calon yang maju sebagai kandidat harus memenuhi syarat-syarat administrasi dan wajib menyediakan dana kampanye. Hal ini sulit bagi perempuan, karena selama ini yang memegang kuasa dalam ekonomi atau asset produksi selalu laki- laki. Ironisnya, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi ketentuan kuota 30%. Jadi tidak ada beda secara hukum apakah di lakukan atau tidak UU pemilu tersebut.

Fenomena Caleg Perempuan di Pemilu 2009
Pada pemilu 2009, Keputusan MK menunjukan perwujudan demokrasi berdasarkan suara rakyat sebagai sebuah perbaikan kualitas demokrasi langsung. Tentunya yang akan menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR, adalah suara yang mewakili secara dominan (banyak) dari rakyat yang memilihnya. Apakah hal ini sudah mencerminkan sebuah demokrasi kehendak rakyat?

Sistem pemilu dengan suara terbanyak berdampak besar untuk partisipasi politik perempuan ke depan. “Dengan pemilu sistem suara terbanyak perempuan mempunyai peluang, motivasi tinggi, dan tantangan yang sama dengan laki-laki. Bila dengan sistem nomer urut, perempuan peluangnya kecil karena di tempatkan di nomer sepatu partai. Sekarang ini bila perempuan bisa menggunakan jaringan lebih maksimal sampai memenuhi 1 BPP, maka dia berhak duduk sebagai anggota dewan” ujar Bambang Irwanto, SH, Pengurus Cabang NU Kabupaten Madiun.

Dengan demikian, menurutnya sistem ini lebih adil bagi para caleg baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, kata Bambang lebih lanjut, tantangan lebih besar akan dihadapi caleg perempuan karena berbagai faktor budaya patriarki yang dimasih kental di masyarakat kita. “Tantangan bagi caleg perempuan adalah meyakinkan pemilih terutama pemilih perempuan itu sendiri, sehingga perempuan perlu motivasi dan optimisme yang tinggi untuk berhasil “ ujar Bambang Irwanto menambahkan.

Peluang caleg perempuan untuk terpilih pada pemilu 2009 juga berdasarkan karakter pemilih perempuan itu sendiri. Gerakan Perempuan Pilih Perempuan yang telah di jalankan pada pemilu 2004 perlu digiatkan lagi. “Perempuan punya banyak kelebihan. Secara jumlah lebih banyak, perempuan juga lebih bisa di percaya dan yang aktif di organisasi punya ikatan lebih kuat, lebih bisa bertanggung jawab, tahan rintangan termasuk godaan korupsi,” ujar Zulin Nur Chayati, Dosen komunikasi UNMER dan aktivis perempuan Madiun.

Realitasnya sekarang, banyak partai yang mulai merekrut perempuan untuk dijadikan caleg partainya. Namun bukan karena nilai lebih seperti yang dimaksud diatas, tetapi karena ‘kelebihan’ lain untuk menarik massa (perempuan). Kita lihat, atribut partai yang bertebaran di jalan-jalan selalu memasang perempuan dengan berbagai pose cantik. Tetapi hal itu bukan jaminan untuk partisipasi perempuan lebih tinggi. Hal ini lebih sebagai fenomena politisi ‘dadakan’.

“Partai hanya menangkap peluang yaitu massa perempuan lebih banyak, maka perlu memasang caleg perempuan. Bagi caleg perempuan sendiri, menjadi dewan adalah pekerjaan, tetapi kebanyakan mereka belum teruji kemampuan di politik apalagi di masyarakat. Hal ini hendaknya di perhatikan oleh pemilih” tambah Zulin Nur Chayati.

Menurutnya, kemampuan caleg perempuan juga harus di tunjang oleh kemampuan finansial yang tinggi, karena kampanye partai memerlukan dana yang tidak sedikit. “Ketika kekuatan finansial perempuan kurang, meski perempuan tersebut adalah kader yang mumpuni, maka dia tidak akan lolos dalam pemilu. Malah mungkin yang terjadi adalah perempuan yang punya dana besar tapi kemampuan ndak ada. Kalau sudah begini, bagaimana dia memperjuangkan nasib perempuan dan rakyat?. Daripada buat poster dan bergaya kayak foto model, mbok ya langsung bantu wong cilik kayak saya ini mbak..,” kilah Ani ( bukan nama sebenarnya ), seorang pedagang di stadion Wilis Madiun.

Tanggapan Masyarakat Terhadap Caleg Perempuan
Banyaknya caleg perempuan ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang menanggapi positif karena perempuan dianggap lebih bisa mewakili kepentingan mereka. “Saya pilih caleg perempuan karena saya kenal dia jujur, jadi ndak mungkin korupsi lah....dan dia dari kalangan masyarakat kecil juga, pasti lebih paham masalah wong cilik kayak saya....,” ujar Ady (bukan nama sebenarnya), seorang laki-laki pedagang jajanan kecil di alun-alun Madiun.

Tanggapan berbeda dilontarkan oleh Nina, 27 tahun, seorang mahasiswa, “Dengan memilih caleg perempuan, harapan saya agar dia bisa memperjuangkan kepentingan perempuan, bagaimana anggaran dan program pemerintah bisa lebih sensitif gender,” ujarnya.

Dan dari hasil investigasi, sebagian masyarakat yang ditemui mengaku lebih suka memilih caleg perempuan, sayangnya kebanyakan mereka belum jelas alasan mengapa memilih caleg perempuan. “Saya pilih caleg perempuan saja karena dia cantik dan kelihatannya baik. Tapi tidak tahu ya, lha sebelumnya juga tidak kenal, hanya tahu dari kalender dan spanduk saja,” ujar Ttn, pedagang warung di pinggir kota Madiun.

Pemilu dengan sistem suara terbanyak masih menjadi tantangan bagi perempuan untuk menunjukkan dan memberikan andil dalam menentukan kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan untuk kepentingan rakyat dan perempuan di dalamnya, harus di perjuangkan lebih giat lagi. Sekarang tergantung kemauan dan kemampuan perempuan untuk bisa mewujudkannya dalam pemilu 2009 ini. Berhasilkah perempuan yang terpilih di dewan mewakili kepentingan perempuan dan rakyat pada umumnya? Kita lihat saja nanti! ( Ari Difaa )
Selengkapnya...

Caleg Perempuan Bukan Cuma Pelengkap

Fenomena Calon Legislatif (Caleg) perempuan cukup mengundang perhatian banyak pihak, terutama menjelang Pemilu Legislatif 2009. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan yang mengembirakan sejak terbitnya Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008, dimana caleg yang diajukan oleh partai politik ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), 30 % diantaranya harus perempuan.

Penempatan perempuan pun harus disusun dalam format tiga orang. Artinya, dari 3 orang caleg yang menempati nomor urut teratas (1,2,3), salah satunya adalah perempuan dan bisa ditempatkan pada nomor 1, 2 atau 3.
Ketentuan untuk memasukkan caleg perempuan ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (DPR/DPRD). Sebab faktanya, selama ini perempuan yang duduk sebagai anggota DPR atau DPRD masih sangat kecil, sehingga kepentingan dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
Sebagai contoh di Kabupaten Tulungagung, dari 45 anggota DPRD hasil Pemilu 2004, jumlah anggota DPRD perempuan hanya 5 orang atau 11 %, dengan perincian PDIP 2 orang, PKB 2 orang dan Partai Golkar 2 orang. Jumlah legislatif perempuan periode 2004-2009 memang lebih banyak jika dibandingkan hasil Pemilu sebelumnya (1999), namun peningkatan tersebut dinilai belum terlalu maksimal mengingat besarnya jumlah penduduk perempuan serta potensi dan masalah yang mereka hadapi.
Pada Pemilu 2009 ini, caleg perempuan di Tulungagung luar biasa banyak, yaitu 170 orang atau 28,38 % dari total caleg yang mencapai 599 orang. Partai politik penyumbang caleg perempuan terbanyak yaitu PKB dengan 19 orang, disusul PAN 18 orang, PKS 16 orang, Partai Hanura 15 orang dan Partai Demokrat 11 orang. Sedangkan parpol yang sama sekali tidak punya caleg perempuan antara lain Partai Merdeka, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) dan Partai Pemuda Indonesia (PPI).
Walaupun secara kuantitas jumlah caleg perempuan cukup banyak, namun sebagian besar merupakan wajah baru, belum teruji dan belum dikenal secara luas di masyarakat. Tapi bukan berarti mereka tidak punya kemampuan. Kemampuan dan integritas mereka baru terbukti ketika benar-benar menjadi wakil rakyat.

Jangan Hanya Jadi Pelengkap
Sebagian pihak menganggap bahwa caleg perempuan hanyalah pelengkap atau orang Jawa menyebutnya sebagai tambel butuh dari daftar caleg yang sejauh ini masih didominasi laki-laki. Yang lebih sinis, penempatan caleg perempuan di nomor urut atas merupakan pemberian gratis alias hadiah atau lebih tepatnya kasihan kepada perempuan karena sulitnya bersaing dengan caleg laki-laki.
Ketua Kelompok Masyarakat “Sumber Makmur” Desa Tugu Kecamatan Sendang, Timi, tidak setuju jika dikatakan keberadaan caleg perempuan hanya sebagai pelengkap. Majunya caleg-caleg perempuan berangkat dari semangat untuk memberdayakan kaum perempuan agar memiliki peran politik yang setara dengan laki-laki. Oleh sebab itu, agar tidak muncul cap miring seperti di atas, caleg perempuan harus mampu membuktikan diri bahwa mereka mempunyai kualitas dan kemampuan untuk menjadi wakil rakyat.
Ditambahkan Timi, maraknya caleg perempuan di Tulungagung harus disikapi secara positif. Sebab hal itu menandakan bahwa posisi perempuan kini semakin maju dan mampu bersaing sejajar dengan laki-laki. “Kami senang banyak perempuan yang menjadi caleg. Kami berharap mereka mampu memperjuangkan kepentingan kaum perempuan apabila benar-benar terpilih sebagai anggota DPRD, bukan sekadar menjadi pelengkap saja,”ujarnya.
Kepada para caleg perempuan, pihaknya berpesan agar memakai cara-cara yang benar dalam meraih suara pemilih. Jangan sampai menggunakan money politic atau politik uang, karena hal itu tidak mendidik dan berpotensi merusak mental masyarakat. Ketika sudah jadi anggota DPRD, mereka harus punya peran aktif (tidak berpangku tangan) dan jangan sampai lupa untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan.
Hal senada diungkapkan Umi Ani, salah seorang penggerak Kelompok Masyarakat “Jaya Makmur” Desa Selorejo Kecamatan Ngunut Tulungagung. Menurutnya, sudah saatnya kaum perempuan tampil di panggung politik. Kendati demikian, dia mewanti-wanti kepada caleg-caleg perempuan agar tetap menjaga moral politik yang benar dan santun, sehingga tidak terjerumus ke dalam praktik politik kotor dan merugikan masyarakat.

Persaingan Semakin Ketat
Seiring dengan adanya perbuahan mekanisme dari nomor urut ke suara terbanyak, maka persaingan untuk mendulang suara juga semakin ketat. Tidak ada jaminan caleg dengan nomor urut kecil secara otomatis akan menjadi anggota DPRD seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
Begitu halnya caleg-caleg perempuan yang menempati nomor urut topi (1-3). Jika sebelumnya mereka berpeluang besar jadi, namun kini harus bersaing ketat dengan caleg-caleg nomor urut di bawahnya dan caleg-caleg dari parpol lain untuk mendapatkan kursi DPRD.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Tulungagung, Fadiq, berharap, agar caleg-caleg perempuan mampu menempatkan diri secara wajar dalam menghadapi persaingan memperebutkan kursi di DPRD. Dia menilai, peluang caleg perempuan masih besar asalkan mampu mengoptimalkan suara pemilih perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki.
Nunik Khurotul Badi’ah, caleg perempuan asal PKB nomor urut 3 Daerah Pemilihan Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru dan Ngantru, mengaku, di tengah persaingan yang begitu ketat dirinya tidak bisa hanya berdiam diri. Walaupun menempati nomor urut atas, tapi dia tetap bekerja keras untuk menghimpun suara sebanyak-banyaknya. Seandainya gagal dia tidak terlalu risau, karena setidaknya ia punya pelajaran berharga dalam dunia politik.
Sebagai pendatang baru, alumni STAIN Tulungagung ini merasa harus lebih banyak mengenalkan diri di masyarakat. Selain menempuh cara konvensional seperti menyebar berbagai atribut kampanye, ia juga melakukan sosialiasi secara langsung kepada masyarakat baik individu maupun kelompok/jama’ah.
Dalam proses itu, ia sangat menghindari metode politik uang dalam meraih suara. Selain dirinya bukan caleg kaya, Nunik tidak ingin menjerumuskan masyarakat ke dalam sikap-sikap yang terlalu pragmatis. “Lagi pula, apabila diketahui dan dilaporkan, praktek politik uang bisa dipidanakan. Ini bisa merugikan caleg. Biarlah kalau ada caleg lain yang menggunakan metode itu, namun saya tidak akan melakukannya,”paparnya. (lukman Paricara)



Selengkapnya...

Banyak Caleg Berangkat Dari Aktifisis Gerakan

(Jombang-ICDHRE) Momentum pesta demokrasi segera terealisasi. Beberapa hari kedepan menjadi waktu yang begitu singkat bagi para calon legislator untuk terus berlomba merebut suara masyarakat yang selalu saja menjadi obyek dalam pesta akbar lima tahunanini .
Namun, pemilu 2009 ini menjadi proses yang bisa dibilang cukup sulit bagi para caleg dalam merebut suara rakyat, karena tidak sedikit masyarakat yang mulai sadar bahwa mereka (masyarakat) hanya menjadi komoditas sesaat.



Pemilu 2009 ini semakin memperlihatkan warna barunya di panggung pesta demokrasi, hal ini terlihat dari banyaknya caleg yang diusung oleh beberapa partai politik ternyata berangkat dari kalangan yang bukan politisi, misalnya saja ada caleg yang berangkat dari profesi selebritis, tukang ojek, petani, bahkan pengamen pun ikut andil dalam proses pemilihan wakil rakyat tersebut.

Munculnya banyak partai politik dan ratusan caleg tidak serta merta membawa angin perubahan yang menjanjikan bagi kalangan 'bawah'. Meskipun telah cukup banyak janji manis yang diungkapkan, kontrak politik yang disepakati dan tentunya tidak ketinggalan budaya money politik yang mungkin saja sudah mendarah daging di kalangan masyarakat itu sendiri, toh masyarakat juga tidak banyak mengalami perubahan nasib ke arah yang lebih baik.

Samsul Rijal, selaku direktur ICDHRE mempunyai pandangan tersendiri. "Banyaknya caleg yang menjadi peserta pemilu, beberapa diantaranya ada yang bisa dikatakan berangkat dari kalangan aktivis gerakan. Seringkali ada beda pendapat dalam menyikapi hal ini, saya melihat bahwa pemilu 2009 ini bagi sebagian kalangan aktivis gerakan adalah sebagai langkah mencari alternatif gerakan yang baru, dimana di satu sisi perkembangan gerakan memanfaatkan moment politik elektoral untuk membangun gerakan. Karena disisi yang lain para aktivis tersebut telah berupaya keras membangun gerakan diluar 'ring', dan bisa saja keinginan untuk 'bertarung' di dalam 'ring' menjadi continuitas pilihan yang harus dijalani"ungkap mantan aktivis PMII tersebut.

Pesimisme Masyarakat Jombang terhadap Pemilu 2009
Beberapa kelompok di Jombang bersikap pesimis terhadap pemilu 2009 ini. Mifta salah satu penggerak di Forum Komunikasi Pemuda dan Masyarakat (FKPM) di desa Mayangan Kecamatan Jogoroto Jombang merespon kurang optimis terhadap pemilihan wakil rakyat tahun ini. "Kami bersikap pesimis, jelas bukan hanya karena banyak caleg yang ikut andil dalam pemilu tahun ini, namun berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya yang nyatanya tidak membawa angin perubahan yang signifikan. Apalagi melihat banyaknya caleg yang tidak berkompeten dan diragukan keberpihakannya malah semakin banyak, kalaupun money politic masih saja menjadi senjata ampuh untuk merebut suara rakyat, mestinya para caleg tersebut juga harus bersiap menerima kenyataan bahwasanya masyarakat sudah mulai pintar memahami politik, dan akan memanfaatkan money pilitik sebagai bumerang bagi caleg-caleg tersebut dengan menerima uangnya tapi tidak memilih mereka di pemilu legislatif pada 9 April mendatang"tegasnya.

Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Nasikhin, salah satu aktivis pemuda di WKK (Wahana Kreasi Kemasyarakatan) Desa Grogol Kecamatan Diwek Jombang, ini mengaku tidak begitu antusias menyambut pemilu 2009. Pasalnya, hanya tiap lima tahun sekali rakyat benar-benar dilibatkan dalam proses demokrasi yang sejatinya untuk memilih wakil rakyat yang nantinya akan menjamin adanya kesejahteraan yang lebih baik, meskipun di sisi lain sebenarnya rakyat justru menjadi komoditi lima tahunan "Ketika banyak caleg yang berangkat dari pemahaman akan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya, tidak menjadi masalah apabila beberapa diantaranya tidak berlatar belakang politisi. Toh, di pemilu sebelumnya juga didominasi oleh caleg parpol, namun tidak ada keberpihakan mereka terhadap rakyat kecil ketika sudah duduk di parlemen. Masyarakat kecil sudah sangat trauma dengan pemilu karna kita bisa melihat bahwa tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada nasib mereka" tandas laki-laki yang menjadi mahasiswa ekonomi di Universitas Darul Jombang tersebut.

Pria yang juga aktif menjadi salah satu pengurus di koperasi Sigino (koperasi mugiguno) ini menambahkan, "Barangkali beberapa kelompok di Jombang akan lebih percaya kepada caleg yang berasal dari komunitas sendiri karna sudah pasti dia dapat merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh rakyat kecil" tambahnya.

Perempuan Juga Bisa jadi Pemimpin
Hasil sensus penduduk terkini masih menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan mendominasi, artinya jumlah kaum perempuan di Indonesia lebih banyak dari kaum laki-laki, 51 % penduduk Indonesia adalah kaum perempuan. Ini berarti memberikan kesempatan kepada perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Apalagi berdasarkan pada Undang-Undang partai politik no 2 tahun 2008, partai politik di Indonesia wajib memberikan 30 % kepengurusan partai dan calon anggota legislatifnya kepada perempuan.

Sejatinya, perempuan mempunyai kapabilitas untuk menjadi pemimpin. Banyak sekali sejarah mencatat bahwa perempuan turut andil dalam membangun peradaban. Namun seringkali keikutsertaan perempuan dengan sengaja ataupun tidak dijegal dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang substansinya mendiskreditkan perempuan.

Dalam diskusi dengan tema "100% Perempuan Bisa Jadi Pemimpin" di studio radio komunitas Suara Warga Jombang, sabtu (7/3) sebagai bentuk dari peringatan hari perempuan se-dunia, terungkap bahwa sebenarnya perempuan punya potensi untuk menjadi pemimpin.

Banyaknya diskriminasi terhadap perempuan menjadi salah satu faktor utama yang ''memaksa' perempuan untuk semakin melibatkan dirinya dalam panggung politik, hal ini juga direspon positif oleh Astri, salah satu pengurus Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jombang. "Sekaranglah saatnya bagi perempuan untuk bangkit dan berani mengikrarkan diri sebagai pemimpin, karena dalam segala aspek tidak ada perbedaan antara perempuan dengan laki-laki" seru nya.

Salah satu perempuan yang telah mengikrarkan dirinya untuk menyampaikan aspirasi rakyat dan lahir dari salah satu kelompok di Jombang adalah Titik Purwati. Maju dari salah satu partai besar di Indonesia, dia telah menanamkan niatnya untuk membawa angin perubahan terhadap masyarakat. Berangkat dari keterbatasan dana, sama sekali tidak mengurangi niatnya untuk maju menjadi salah satu wakil rakyat. Bahkan, untuk mensosialisasikan keikutsertaannya dalam pileg 9 April mendatang, dia mendatangi warga masyarakatnya di daerah dapilnya bukan dengan iming-iming amplop berisikan uang, namun dengan niat dan keinginan kuat untuk mengajak masyarakat khususnya perempuan berani bersuara.

"Tidak muluk-muluk yang saya inginkan, melihat kondisi realitas yang ada, khususnya bagi kaum perempuan yang selama ini akses politiknya terhambat, saya hanya ingin hak-hak mereka terpenuhi karna itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar"tegas perempuan yang akrab dengan sapaan Mbak titik ini.

"Apalagi ketika kita bicara tentang kesehatan, akses pendidikan dan beberapa masalah di wilayah ekonomi seringkali luput dari perhatian orang-orang yang menjadi wakil rakyat, maka dari itu berangkat dari bahwa saya sendiri juga orang kecil dan sudah sering merasakan apa yang dialami oleh orang-orang dengan keterbatasan aksesnya, saya berniat untuk menjadi jembatan bagi rakyat"ungkap ibu muda yang juga salah satu penyiar radio komunitas di wilayah utara brantas. (nophee)


Selengkapnya...

Desa Mojowarno Jombang Endemi DBD?

(Jombang-AlhaRaka) Kondisi musim penghujan dari tahun ke tahun di Kabupaten Jombang masih mengkawatirkan wabah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Untuk mencegah merebaknya penyakit musiman ini, kelompok ‘Mawarno’ Desa Mojowarno Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang, mengerakan seluruh lapisan masyarakat untuk sadar terhadap kebersihan lingkungan dan membuat tim Jumantik, (juru mantri jentik), yakni. Gerakan Rakyat Sadar kesehatan


Desa Mojowarno termasuk desa endemis, dimana setiap tahun dapat dipastikan ada warga yang terserang DBD. Riris, ketua PKK Desa Mojowarno, mengungkapkan, dalam kurun waktu sejak hujan mulai turun, sedikitnya ada lima penderita DBD yang sudah diperiksakan ke Puskesmas setempat. Terakhir, penyemprotan foging di awal tahun 2009 juga sudah dilakukan. “Keganasan nyamuk Aedes aegypti itu sebenarnya mampu dicegah melalui kebersihan lingkungan, khususnya kamar mandi, pot bunga, dan tempat-tempat penyimpanan air lainya. Namun kadang ini sulit dilakukan, karena minimnya sosialisasi dari pemerintah dan kesadaran masyarakat sendiri. Kedua unsur ini harus bekerjasama untuk meningkatkan kesehatan secara menyeluruh,” kata ibu satu putri ini semangat.

Kata Pemerintah, Rakyat Harus Berswadaya
Dikatakan oleh pihak Camat Mojowarno, Djoko Suwolo, yang waktu itu turut menyaksikan ibu-ibu PKK mencari jentik-jentik nyamuk di beberapa rumah warga. Bahwa masyarakat harus proaktif terhadap lingkunganya sendiri dengan konsep Toga yakni, memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami berbagai macam tanaman mulai bunga sampai sayuran, ataupun jenis tanaman herbal sebagai apotik hidup keluarga. “Segala kegiatan selalu membutuhkan biaya operasional, untuk itu alangkah lebih baik masyarakat melakukan iuran seadanya. Semisal jimpitan beras, dari sedikit-demi sedikit tentunya akan terkumpul dan bisa digunakan sebagai modal untuk operasional tiap RT. Saya akan mendukung kegiatan Desa Mojowarno ini, dan kalo perlu saya usahakan jika ada program bantuan tanaman ataupun pohon akan saya prioritaskan untuk Desa Mojowarno,” tegas Djoko Suwolo.

Dukungan lain datang dari Eny Farida, menurutnya pemerintah memang mempunyai program PHBS (Prilaku Hidup Bersih Sehat) yang dicanangkan mulai pertengahan bulan Februari 2009 lalu. “Ada pencanangan program Gertakmas Berlian (?), yang ini di pelopori oleh perempuan. Untuk melakukan sosialisasi saya juga telah memulai dari lingkungan tempat tinggal saya di Jl. Kepatihan Jombang. Jangan sampai masyarakat banyak terserang penyakit, khususnya DB. Karena jika sudah sakit biayanya cukup mahal, untuk itu lebih baik mencegah dari pada mengobati,” kata Eny selaku istri dari Djoko, yang juga staf Pemda (pemerintah Daerah) Jombang bagian kesekertariatan.

Sementara itu, Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Jombang, Endang Setyawati, mengatakan, beberapa kecamatan telah masuk menjadi daerah endemi DBD. Diantaranya Kecamatan Jombang, Diwek, dan Mojowarno. Di tiga kecamatan tersebut, penderita DBD ditemukan paling tinggi. ''Dari data penderita yang kami peroleh, di tiga kecamatan itu yang paling tinggi. Sehingga kami menghimbau kepada warga setempat untuk lebih berhati-hati,'' ungkapnya.

Di Kecamatan Jombang hingga awal Januari tahun ini, tercatat ada 96 kasus dan tiga diantaranya meninggal dunia. Sementara di Kecamatan Diwek, terdapat 77 pasien dan lima pasien yang meningal. Sementara di Kec Mojowarno, terdeteksi 57 kasus dan satu orang meninggal. ”Data itu mulai tahun lalu. Namun, dengan kondisi awal tahun yang demikian, kasus DBD di Jombang tidak bisa dibilang main-main,” terangnya.

Atas kondisi ini, ia telah melakukan upaya pemberantasan nyamuk dengan program pemberantasan sarang nyamuk di semua wilayah yang berpotensi DBD. Menurutnya, program ini telah diserukan di masing-masing puskesmas kecamatan yang ada. ''Kita gencarkan lagi program PSN (?). Selain itu, upaya fogging (pengasapan) dan pemberian bubuk abate juga terus kita lakukan,'' tukasnya.

Optimalisasi Swadaya
Pembangunan desa tidak harus dimulai dari fisik, menata SDM itu juga amat penting. Namun jika keduanya dapat berjalan bersamaan tentunya akan semakin mempercepat pembangunan desa. Cita-cita inilah yang dimiliki oleh Catur Budi Setyo, Kepala Desa Mojowarno yang sedang melakukan pemetaan swadaya. Mulai di bidang kesehatan, ekonomi, budaya, dan sosial kemasyarakatan yang dipelopori oleh kelompok pemuda.

Kerja-kerja kesehatan selain digerakan oleh kaum hawa, juda didukung penuh oleh kalangan pemuda. “Keduanya ada kerja sama untuk saling membantu, proses kegiatan masyarakat awalnya memang susah. Namun setelah bertemu dan mengenali potensi dan masalah, barulah ada tahapan perencanaan, dan melaksanakannya. Seperti halnya kegiatan ibu-ibu PKK Kader Jumantik, ini pemantaunya dilakukan secara bersama-sama, untuk mewujudkan suatu tujuan bersama secara berkelanjutan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, mulai dari tingkat RT, Ormas, maupun beberapa sekolah di lingkungan Desa Mojowarno,” jelas Catur.

Hal ini dibenarkan oleh Anita Dewi, Bidan Desa, bahwa tanpa ada kerjasama diantara masyarakat, desa tidak akan pernah bisa maju. “Mengapa semua lingkungan diajak berperan mulai dari lingkungan masyarakat sampai sekolah. Karena pada usia anak-anak ini kondisi fisik mereka masih rentan. Karena dalam usia pertumbuhan, sehingga imunitas tubuh masih rendah. Selain itu, faktor perilaku anak-anak yang tidak terlalu memperhatikan kebersihan, juga mempermudah serangan,” tuturnya.

Untuk menarik ibu-ibu Kader Jumantik, Ika Angka Triana, selaku Sanitarian Puskesmas setempat mengatakan, bahwa sadar diri juga termasuk salah satu upaya menuju hidup sehat. Jika badan tidak sehat tentunya pikiran dan jiwa pun tidak mampu berjalan optimal. “Saya salut dengan Desa Mojowarno yang semua warganya proaktif bersama-sama membangun Desa. Kerjasama ini harus terus ditingkatkan. Melihat solidaritas antar warga mulai kuat, maka pemerintah wajib memberikan fasilitas terkait kesehatan masyarakat, mulai dari sosialisasi, pemenuhan fasilitas layanan publik, serta pembinaan,” tuturnya. (din-din)



Selengkapnya...

Perempuan Desa Harus Berdaya

(Tulungagung-Paricara) Sudah ada perempuan yang telah berhasil mengangkat derajatnya dengan menempati posisi-posisi penting seperti kepala desa, tokoh masyarakat, kepala perusahaan, kepala dinas, bupati, gubernur, bahkan presiden. Namun, perempuan miskin, tidak punya peran dalam pengambilan keputusan dan diposisikan sebagai warga kelas dua atau pendeknya tidak berdaya secara ekonomi, sosial dan politik. Dan jumlahnya tentu lebih banyak lagi.


Karena itu, sudah saatnya kaum perempuan, khususnya di pedesaan lebih berdaya dalam segala aspek kehidupan. Sebab pada dasarnya perempuan bukanlah makhluk yang rendah dan lemah. Mereka memiliki potensi dan kemampuan yang sama seperti halnya laki-laki.
Semangat itulah yang membuat Kelompok Perempuan Sumber Rejeki Desa Pojok Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung hingga kini tetap bertahan. Dalam usianya yang kurang dari 2 tahun, kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 25 orang terdiri dari keluarga dan mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) serta perempuan muda ini bertekad secara bersama-sama memberdayakan kaum perempuan Desa Pojok.

Sebagaimana ditegaskan Ketua KMM Sumber Rejeki, Siti Mukaromah, memberdayakan kaum perempuan Desa Pojok, khususnya bagi keluarga dan mantan TKI serta perempuan dimaksudkan agar mereka memiliki kemampuan menyelesaikan masalah, mandiri dalam mengambil keputusan dan kesejahteraan secara ekonomi.

Berdasarkan Data Desa Pojok tahun 2006, jumlah penduduk perempuan memang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dari 5.786 jiwa, penduduk perempuan sebanyak 2.884 jiwa, sedangkan laki-laki 2.902 jiwa. Meski jumlahnya lebih sedikit, namun bukan berarti bebas masalah. Perempuan miskin dan menganggur masih banyak, sebagian besar perempuan belum punya peran dalam pengambilan keputusan penting di desa dan mantan-mantan TKI tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari pemertintah daerah setempat.

“Kita tidak ingin kaum perempuan Desa Pojok berpasrah diri. Perempuan harus bersatu agar mampu memberdayakan dirinya sendiri (mandiri) secara ekonomi, sosial bahkan politik. Namun pemerintah juga harus peduli terhadap kepentingan kaum perempuan,”kata Siti.

Rintis Kegiatan Simpan Pinjam
Untuk mencapai tujuannya, KMM Sumber Rejeki berupaya meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan cara merintis koperasi lewat kegiatan simpan pinjam, pengembangan budi daya ternak kambing dan tata boga.

Khusus kegiatan simpan pinjam, modal awalnya cukup kecil, yakni hanya Rp 300 ribu. Sampai sekarang, ada sekitar 20 anggota yang telah menyimpan uangnya, dengan rata-rata simpanan Rp 5.000 per bulan. Dengan demikian, uang yang terkumpul setiap bulan cuma Rp 100 ribu.
Dari 25 orang anggota, saat ini ada 6 anggota yang telah memanfaatkan dana simpan pinjam untuk usaha ekonomi produktif, seperti usaha makanan, buah-buahan dan sebagainya. “Uang yang dipinjam sebesar Rp 100 ribu – Rp 150 ribu,”papar Wakil Ketua KMM Sumber Rejeki, Maryulin.

Menurut dia, sebagian besar anggota kelompok sangat antusias untuk menabung atau menyimpan uangnya. Karena jumlah uang yang ditabung relatif kecil, mereka tidak merasa keberatan. Kegiatan simpan pinjam ini dilakukan saat rembug rutin plus arisan yang dilaksanakan rutin setiap bulan.

Dikatakan Maryulin, kegiatan simpan pinjam sengaja dimulai dengan jumlah yang kecil dan sementara dikhususkan bagi anggota KMM Sumber Rejeki, dengan harapan dapat memupuk kesadaran untuk saling membantu antar sesama anggotanya. Dan berangsur-angsur dapat berkembang menjadi lebih besar.
“Kita memiliki harapan besar agar kegiatan simpan pinjam terus berlanjut, bahkan bisa berkembang menjadi koperasi. Sehingga keberadaan kelompok ini dapat membantu meningkatkan kesejahteraan anggota,”paparnya.

Pemerintah Harus Memperhatikan Kepentingan TKI
Karena sebagian besar anggota KMM Sumber Rejeki adalah keluarga dan mantan TKI perempuan, maka kelompok ini juga berupaya mendorong Pemerintah Kabupaten Tulungagung supaya lebih memperhatikan kondisi TKI yang telah memberikan sumbangan besar bagi perekonomian daerah dengan kiriman uang rata-rata Rp 300 miliar per tahun. Antara lain dengan meningkatkan anggaran pemberdayaan calon dan mantan TKI serta menerbitkan peraturan daerah yang berpihak pada kepentingan TKI.

Langkah yang diambil adalah mengajukan usulan program untuk pemberdayaan keluarga dan mantan TKI ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) lewat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat desa hingga kabupaten, baik dalam bentuk pemberdayaan skill maupun ekonomi. Tahun 2008 lalu, mereka telah terlibat secara langsung dalam Musrenbangdes hingga Musrenbangkab.

“Kita terlibat langsung dalam Musrenbang, karena kita ingin kaum perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Jadi, bukan hanya menjadi obyek dan menerima manfaat pembangunan saja, tapi juga tahu prosesnya. Dengan begitu, kita nantinya bisa ikut mengontrol atau mengawasi jalannya pembangunan, apakah berpihak pada kepentingan masyarakat, termasuk perempuan atau tidak,”ujar Siti Mukaromah.

Sayang, usulan yang diajukan KMM Sumber Rejeki, meski sudah disetujui dalam Musrenbangkab, namun tidak masuk dalam APBD 2009. Tapi mereka tampaknya tidak putus asa, tahun ini mereka mengajukan lagi usulan yang belum terwujud itu lewat Pemerintah Desa Pojok, untuk diteruskan ke Pemerintah Kecamatan Sendang dan Pemerintah Kabupaten Tulungagung.

Di sisi lain, untuk membangun pemahaman bersama mengenai pentingnya keberdayaan perempuan dan TKI, KMM Sumber Rejeki juga berupaya membuat jaringan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Diantaranya Persatuan Mantan TKI Tulungagung (Permita), Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD), Kelompok “Sumber Makmur” Desa Tugu Kec. Sendang, Kelompok “Jaya Makmur” Desa Selorejo Kecamatan Ngunut dan lain-lain. (lukman_paricara)



Selengkapnya...

DIFABEL PUNYA HAK POLITIK…?!

Jangan Jadi Korban Kepentingan Partai Politik

Pemilu legeslatif didepan mata. Atribut-atribut partai politik sebagai fasilitas kampanye masih menghiasi hampir di setiap ruas jalan. Menampangkan foto dengan bermacam-macam pose dan janji-janji yang semakin membuat mata jenuh melihatnya. “Menjanjikan kehidupan yang lebih baik”, adalah salah satu dari sekian puluh janji-janji yang mereka suguhkan dengan hiasan poster dan bendera partai yang ukurannya mengalahkan bendera negara RI. Ironis memang, disatu sisi para caleg berani bertaruh dengan rupiah yang tidak sedikit, tetapi di sisi lain banyak masyarakat ekonomi lemah, mereka yang terpinggirkan di sudut-sudut kota atau yang tidak beruntung dengan kecacatan fiisiknya, harus berjuang demi mempertahankan hidup mereka yang semakin sulit.

Nanti, setelah pesta demokrasi selesai, rupiah yang dijadikan pajangan itu berubah menjadi gundukan sampah di sudut-sudut kota. Masih bagus, jika bisa dimanfaatkan oleh masyarakat miskin untuk alas tempat tinggal mereka, atau digunakan para pedagang kaki lima untuk menutup lapak dari hujan dan panas.
Disudut kota Madiun, tepatnya dibekas makam cina (bong cino) hidup sekelompok masyarakat dengan kondisi memprihatinkan. Mereka hanya mendapatkan hak guna tanah, hidup seadanya dengan ekonomi pas-pasan memenuhi kebutuhan keluarga, seperti mbak Titin (begitu dia biasa dipanggil), dia seorang difabel (penyandang cacat), yang hidup dengan 6 anak dan suami kuli bangunan diluar kota sebagai satu-satunya penopang ekonomi keluarga, sedangkan mbak titin tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.
Titin bersama dengan kawan-kawan difabel lainnya membentuk kelompok untuk berbagi ilmu dan informasi dengan nama PPCKM (Perhimpunan Penyandang Cacat Kota Madiun). Dengan adanya kelompok ini membuat semangat tersendiri bagi mereka untuk terus berjuang demi hidup dengan keterbatasan kemampuan secara fisik.
Kelompok ini ingin terus meningkatkan kapasitas individu dan kelompok untuk terus belajar tentang organisasi, karena mereka yakin melalui organisasi akan mampu mendapatkan solusi alternatif dari persoalan yang dihadapi bersama. Berangkat dari semangat ingin terus belajar tersebut tahun lalu PPCKM bersama-sama dengan DIFAA melakukan kegiatan peningkatan pengetahuan tentang hak-hak difabel. Tidak hanya difabel yang ada diwilayah Madiun saja akan tetapi kegiatan ini melibatkan difabel di wilayah lain termasuk Ngawi, Blitar, Nganjuk, dan Jombang.
Kegiatan ini membedah berbagai persoalan yang terkait dengan kepercayaan diri yang masih lemah, masih adanya diskriminasi yang dialami oleh difabel baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitar, disamping persoalan ekonomi yang menjadi masalah utama. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi mereka membuat pertemuan bulanan dengan kegiatan arisan dan simpan pinjam, wadah ini digunakan untuk sharing dan berbagi masalah untuk mencari solusi bersama-sama.
Kaitannya dengan pemilu 2009 kelompok ini mayoritas masih bingung dengan siapa nanti yang akan di pilih, karena banyak dari caleg yang wajahnya terpampang disepanjang jalan Madiun tidak mereka kenal, terus bagaimana nanti bisa menjamin perubahan nasib difabel kedepan?
Menurut Titin pemilu tidak menarik baginya karena dia sudah bosan dengan janji-janji politik yang tidak pernah ditepati, ”Jadi ndak jadi, gak enek penggaruh’e mbak ..., wes pokok’e wong cilek koyok aku iki nek ditakoni, terus ngomong janji – janji wes pokok’e ndang mantuk-mantuk wae” ujarnya tanpa menunjukkan ekspresi kemarahan, kejengkelan atau yang lainnya. Seakan dia sudah faham apa tujuan dari kampanye calon legislatif itu. Dia juga tidak mau berpihak kepada siapapun, karena itu akan memicu perseteruan antar tetangganya.
“Lha urip ki wes susah, kok arep nambah masalah karo tonggo nek mengko mihak sitok wong”, ujarnya sambil tertawa lirih. Ketentuan yang baru bagi calon wakil rakyat tidak ditentukan lagi dari partai politik yang berdasarkan nomor urut. Dalam hal ini sebenarnya kesempatan bagi mereka dengan melakukan pendekatan yang intens.
Kenyataannya sedikit sekali dari para wakil rakyat yang turun langsung dan melihat realita masyarakat sekitar. Jangankan turun kemasyarakat, ternyata nama-nama mereka para calon legeslatif ada yang tidak dikenal oleh masyarakat daerah pilihannya. Seperti yang dialami Mbak Siti kamsiah, yang buta sejak dia kecil, selama pemilu dia selalu didampingi petugas KPPS, tetapi dia juga tidak tahu apa yang dia pilih, dan bagaimana cara memilih. Hanya manut dengan orang yang mendampinginya. ”Yo pokok’e wes manut-manut wae karo seng nuntun” ujarnya sambil tertawa.
Seperti yang diungkapkan oleh Anton, salah satu anggota KPU Madiun, ”Mereka yang mempunyai keterbatasan boleh didampingi oleh keluarganya dan KPU juga sudah menyediakan petugas KPPS”, terangnya. Menurutnya, pada peraturan KPU No 03 Tahun 2009 pasal 30-31, hal itu telah diatur dalam ketentuan cara pemilih di pasal 30 ayat 2 yang menyatakan ”Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain dalam memberikan suara Pemilu Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, apabila diperlukan dapat dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas permintaan pemilih yang bersangkutan”.
Sayangnya, mereka tidak mengetahui gambaran untuk memilih calon wakil rakyat yang benar-benar dapat membawa masyarakatnya kearah kesejahteraan yang lebih baik. Mereka Hanya mengetahui profil caleg dari orang-orang sekitarnya. Pemilih difabel mengharapkan adanya sosialisasi tentang bagaimana memilih calon -calon legislatif yang dapat memperjuangkan hak-hak mereka.
Pemilu legislatif akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, akan tetapi sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum siap menentukan pilihannya karena belum mendapatkan referensi para calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Harapan kedepan masyarakat difabel dapat mengunakan hak pilihnya sesuai dengan pilihannya yang dianggap dapat memperjuangkan kepentingan difabel untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan tidak menjadi korban kepentingan partai politik.
(gic Difaa)
Selengkapnya...

Memanfaatkan Radio Komunitas Sebagai Lidah Rakyat

Jombang-ICDHRE) Radio komunitas (Rakom) merupakan salah satu media informasi dan komunikasi yang mempunyai peran penting dalam penyebaran informasi (berita) yang seimbang dan setimpal dalam suatu komunitas masyarakat. Dan memiliki kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol, dan perekat sosial.



Seiring dengan perkembangan media elektronik khususnya Radio Komunitas dan kebutuhan masyarakat atas informasi seputar perkembangan (perubahan) yang ada di komunitas desa, maka Radio Komunitas tidak lagi hanya sebatas sarana penghibur masyarakat, akan tetapi yang lebih penting adalah Rakom juga harus mampu memenuhi kebutuhan (hak) masyarakat atas informasi, sudah barang tentu informasi/berita – berita yang bermanfaat bagi masyarakat desa.

Untuk itulah Radio Komunitas Jawara FM, Desa Randuwatang Kecamatan Kudu Jombang , dan Radio Komunitas Mugiguno FM, Desa Grogol Kecamatan Diwek Jombang, hadir ditengah-tengah masyarakat pedesaan.

Tepat pada tanggal 3 Maret 2007, bertempat di Dusun Randuwatang Kidul – Desa Randuwatang - Kecamatan Kudu Jombang, telah berdiri salah satu stasiun radio komunitas yang diberi nama Jawara FM dengan frekuensi 101,7 MHz yang diprakarsai oleh kelompok pemuda dan pemudi desa setempat

Tetap Semangat Dalam Keterbatasan
Terbentuknya Radio komunitas Jawara FM ini, bukan semata-mata terbentuk begitu saja, akan tetapi melalui beberapa kali proses diskusi antara kelompok pemuda dan pemudi (yang memiliki inisiatif) dengan warga dusun sekitar dan juga tokoh masyarakat. Setelah melalui proses diskusi sekitar satu bulan lamanya, baru ada kesepahaman bersama untuk mendirikan radio komunitas. Mendapat kemudian mereka membentuk kepengurusan penyiapan pembentukan radio tersebut.

Berdirinya radio ini, tentu memiliki tujuan yang baik, yakni untuk melestarikan dan mempererat tali persaudaraan dan mewujudkan kepedulian sosial antar warga (persoalan sosial) yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga. “Disamping sebagai media komunikasi, Rakom ini juga, diharapkan bisa menumbuhkan rasa kebersamaan dan persaudaraan antar komunitas,” pungkas Titik Purwati selaku penanggungjawab program siaran Jawara FM.

Pertamakali mengudara, peralatan studio Jawara FM, masih sangat sedehana sekali, misalnya saja keterbatasan infrastruktur, antena pemancar radio yang hanya terbuat dari bambu karena memang belum ada dana untuk membeli peralatan dari besi. Meskipun saat ini sudah ada satu unit komputer, namun belum bisa dioperasionalkan secara maksimal karena memang belum dilengkapi dengan program-program Raduga dan Cool edit pro (sebagaimana umumnya studio siaran), sehingga hanya bisa difungsikan untuk operasional Winamp.”Dengan segala keterbatasan yang kami miliki, tidak membuat kami minder bahkan sebaliknya, kami justru bersemangat untuk terus siaran dan belajar dari penyiar yang sudah berpengalaman.” Ujar Titik bersemangat.

Jawara FM, yang dalam bulan Maret 2009 ini, berusia 2 tahun tetap setia memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat di Kecamatan Kudu khususnya. Tetap eksisnya Rakom Jawara FM dalam mengkampanyekan aspirasi rakyat pinggiran menjadi poin plus tersendiri bagi rakom tersebut

Dan saat ini, daya jangkau pemancar Jawara FM sudah hampir bisa didengar di seluruh desa yang ada diwilayah kecamatan kudu, dengan meliputi wilayah jangkauan, sebelah utara Desa randuwatang (Desa Kepuhrejo, Made, Katemas dan Manunggal). Wilayah barat (Desa Tapen, Cualang dan Mandenan). Wilayah selatan (Desa Kesamben, Jatiduwur, Pojok dan Podoroto. Wilayah timur ( Keboan dan Betro).

Mengharap Kerjasama Pemerintah
Untuk mewujudkan semua cita-cita sebagaimana dijelaskan dalam AD/ART Jawara FM, tentu sangat diharapkan kerjasama antara pemerintah desa setempat dengan radio komunitas ini, karena keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, apalagi cita-cita tersebut berkaitan dengan kepentingan masyarakat Desa randuwatang.

Sama halnya dengan Mugiguno FM atau yang lebih akrab dengan panggilan MG FM. Pada awalnya sekelompok pemuda Desa Grogol membentuk sebuah organisasi kemasyarakat WKK (Wahana Kreasi Kemasyarakatan) yang bertujuan untuk menampung kreativitas masyarakat Desa Grogol, sekaligus sebagai media untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ditingkat desa.

Dari beberapa proses diskusi dan evaluasi yang dilakukan oleh WKK, akhirnya muncul keinginan untuk mendirikan sebuah Radio Komunitas sebagai media yang nantinya mampu menjawab kebutuhan akan komunikasi dan informasi serta komunikasi yang efektif demi tercapainya tujuan program WKK. ”Turut serta mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan berbudaya, dengan menghormati HAM dalam pluralitas”

Dalam proses inisiasi yang dilakukan oleh WKK bersama dengan tokoh masyarakat dan juga pemerintahan desa setempat, akhirnya tepatnya pada tanggal 18 Nopember 2005 radio komunitas yang diberi nama “Mugi Guno FM 107,4 MHz” resmi didirikan yang bertempat di balai Desa Grogol - Diwek – Jombang, dengan daya jangkau yang meliputi. Utara meliputi ( Ploso, Sumobito) dan sekitarnya. Timur ( Trowulan, Wonosalam dan sekitarnya. Selatan ( Kandangan, Kunjang) dan sekitarnya. Dan barat meliputi ( Perak, Kertosono) dan sekitarnya..” WKK sebagai induk organisasi di grogol tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan MG – FM yang merupakan bagian dari divisi informasi dan komunikasi organisasi WKK.”tandas Nasikhin, salah satu pengurus radio tersebut.

Kini, kedua radio komunitas tersebut masih terus eksis di tengah-tengah lingkungan masyarakat dan akan terus eksis sebagai media informasi yang menjalankan fungsinya sebangai hiburan, kontrol dan perekat sosial. (nophee)



Selengkapnya...

3 Warga Kediri Terinfeksi HIV/AIDS Setiap Bulan

Kediri-SuaR) Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS di Kediri cukup memprihatinkan. Sebanyak tiga warga dinyatakan terinfeksi setiap bulannya akibat hubungan seksual yang tidak sehat. Menurut data yang disampaikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Suara Hati Nurani (SuaR), pada tahun 2008, penderita HIV/AIDS di Kediri telah mencapai 124 orang, dengan rincian 92 orang berada di Kabupaten Kediri dan 32 lainnya di wilayah kota.


"Peningkatan jumlah penderita HIV mencapai 36 orang setiap tahun, atau meningkat 3 orang setiap bulan," ujar Sanusi, ketua LSM SUAR, Minggu (30/11/2008). Menurutnya penyakit mematikan ini pertama kali berhasil diketahui terjadi di Kediri pada tahun 1996. Karena minimnya pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, jumlah penderita penyakit yang ditularkan melalui virus ini semakin berkembang. Bahkan karena minimnya penanganan terhadap mereka, masih banyak penderita HIV/AIDS yang meninggal sebelum ditangani.
Dari 124 kasus HIV/AIDS yang berhasil teridentifikasi LSM SUAR, sebanyak 17 diantaranya tidak berhasil diselamatkan. Sedangkan 10 penderita lainnya tidak bisa dipantau keberadaannya. Mereka inilah yang dikhawatirkan berpotensi melakukan penularan kepada orang lain. "Kami masih berusaha melacak keberadaan mereka agar tidak menularkan kepada orang lain," terang Sanusi.
Untuk menekan angka penularan penyakit ini, Sanusi meminta kesadaran masyakat untuk lebih membuka diri dengan memeriksakan kondisi kesehatannya. Terlebih lagi bagi masyarakat yang berpotensi tertular penyakit ini seperti kelompok pekerja seks komersial (PSK) maupun Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diminta lebih menjaga diri. Terlebih lagi saat ini terdapat 2 klinik VCT yang berfungsi sebagai klinik khusus penderita HIV/AIDS.
Hal senada disampaikan Kabid Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kabupaten Kediri, Nur Munawaroh. Menurut hasil pemetaan yang dilakukan, 9% jumlah penderita HIV/AIDS berasal dari kelompok waria, 19% dari kaum lelaki hidung belang, dan sisanya sebesar 72% terdiri dari kaum perempuan.
Khusus kelompok perempuan, jumlah tertinggi disumbangkan oleh para Pekerja Seks Komersial (PSK), disusul kemudian dengan para TKW. Dengan jumlah lokalisasi di Kab Kediri yang mencapai 9 tempat, penularan penyakit ini berlangsung cukup cepat. Tiga lokalisasi yang paling rawan terjadi penularan berada di Kec Gurah, Kab Kediri yang merupakan kompleks lokalisasi.
Temuan di Kabupaten Kediri sendiri terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 jumlah penderita HIV sebanyak 8 orang dan AIDS sebanyak 5 orang. Jumlah itu meningkat pada tahun 2007 dengan jumlah penderita HIV sebanyak 16 orang dan AIDS sebanyak 7 orang. Sementara pada pertengahan tahun 2008 saja jumlah
penderita HIV meningkat hingga 31 orang dan penderita AIDS sebanyak 7 orang.
Di tahun 2009 ini apakah jumlah itu makin meningkat? (SuaR)


Selengkapnya...

Pendidikan Anak-anak di Lokalisasi

Kediri, SuaR) Pemenuhan hak-hak anak di bidang pendidikan oleh pemerintah masih belum merata dan deskriminatif. Anak-anak yang terpinggirkan di komplek lokalisasi belum diperhatikan. Mereka adalah kelompok rentan terhadap berbagai kerawanan. Tekanan sosial, rendahnya derajat kesehatan, tindak kekerasan, perdagangan manusia dan pelacuran anak itu sendiri. Siapa yang harus mengambil peran dan tanggung jawab atas pendidikan mereka ?


Keberadaan pekerja seks di Kediri tidak bisa dipungkiri. Masyarakat yang ada di dalamnya sudah puluhan tahun tinggal di sana. Artinya, proses eksploitasi kaum perempuan yang dilacurkan sudah berlangsung sangat lama, boleh dikatakan sudah turun temurun. Tradisi ini yang perlu disikapi lebih serius agar berlanjut ke generasi berikutnya, sehingga mata rantainya dapat diputus. Langkah efektif yang dapat dilakukan adalah memberikan pembinaan kepada generasi atau anak-anak di komunitas ini sedini mungkin melalui akses pendidikan.

SuaR merupakan lembaga yang memberikan aksi kepedulian pada persoalan pendidikan, khususnya bagi anak di sekitar kompleks pelacuran. Sejak awal tahun 2008, SuaR telah melakukan pendampingan pada anak-anak usia SD, SMP dan SMU di ekslolalisasi Semampir, Kota Kediri.

Anak-anak yang lahir, tumbuh, besar dan berkembang di dalam lingkungan lokalisasi kehilangan waktu terbaiknya untuk belajar. Rutinitas belajar mereka banyak di sekolah, sementara ruang apresiasi dan persiapan belajar di rumah sangat tidak kondusif.

Di rumah mereka, yang seharusnya memerlukan bimbingan orang tua, sangat terganggu oleh bising dan hiruk pikuk perilaku pekerja seks yang sangat destruktif. Kondisi ini berpengaruh pada perkembangan biologis, psikologi dan prestasi belajar di sekolah. Mereka banyak mendengar, melihat, merasakan dan terdampak oleh tekanan-tekanan secara sosial atas perilaku yang sarat kekerasan, pornografi/pornoaksi ataupun tindak kejahatan lainnya.

Untuk merespon dan mengurangi kerentatan pada anak tersebut, SuaR mencoba memberikan secercah solusi melalui pendampingan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah memberi ruang atau kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk berapresiasi. Jauh dari formalitas belajar, rutinitas pekerjaan rumah, dan beban-beban pelajaran. Mereka mulai belajar mengekspresikan kebebasannya, membuka potensi bakat dan minatnya melalui sarana yang disediakan, seperti menggambar, olahraga, keterampilan, bernyanyi dan belajar komputer serta mengaji atau pembinaan rohani (bagi yang muslim).

Rumah Kita Di Semampir
“Rumah Kita”, sebuah wahana belajar dan berlatih anak-anak pasca jam sekolah yang berada di lingkungan lokalisasi Semampir di Kota Kediri. Nama “Rumah Kita” merupakan usulan anak-anak yang penuh semangat memanfaatkan wahana untuk berekpresi secara bebas. Awal program dimulai SuaR dari Pos Semampir, yang diikuti oleh 38 anak dari RW 05 dan RW 06. Program pendampingan anak disini dimulai dengan kegiatan lomba menggambar dan mewarnai. Dalam lomba gambar ini diharapkan anak bisa menuangkan apa yang mereka pikirkan saat ini ke dalam gambar mereka. Alhasil, ternyata apa yang dipikirkan, dibayangkan dan diangankan oleh anak-anak, tidak jauh dari nuansa pelacuran. Misalnya mereka menggambar desain wisma, sosok anak nakal, dan lain sebagainya.

Kegiatan yang didukung Yayasan Al Hidayah-lembaga keagamaan yang lebih dulu berdiri, selain untuk melakukan pengenalan awal juga bertujuan untuk menambah keakraban antara anak dengan pendamping dan antara anak di dalam lokalisasi dengan anak di luar wilayah mereka.

Target program di awal adalah untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak, sehingga anak dapat saling mengenal dan bisa lebih akrab dengan teman yang baru saja mereka kenal dalam sebuah kelompok belajar. Metode yang digunakan untuk mencapai sasaran ini yaitu dengan bercerita. Melalui bercerita secara lisan, awalnya anak-anak masih malu. Namun kegiatan itu akhirnya dikombinasi, dengan menggunakan metode bercerita secara tertulis, yaitu menyalin cerita dari buku yang telah tersedia. Ternyata dari metode ini secara tidak langsung dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak, sehingga lambat laun anak mau untuk membuka diri di lingkungan sosial yang lebih luas.

Inilah langkah pertama yang harus “dibongkar” pada diri anak. Selama ini, kepercayaan diri anak sebagai bagian potensi untuk membangun kepribadian tidak tergali. Sehingga anak tetap terpuruk dalam kondisi stigma dan deskriminasi dari sistem nilai normatif. Menurut Prof. Noor Rochman, Psikolog Universitas Gajah Mada, bahwa anak berhak mendapatkan kompetensi pendidikannya yaitu kepribadian, sosial, pedagogik dan profesional. Lebih lanjut, Noor Rochman, menegaskan bahwa pada proses pendidikan yang diutamakan dalam pola hubungan antara guru dengan murid adalah keharusan adanya transformasi pengetahuan (knowledge), nilai (value), pengalaman (experience) dan sikap (attitude). Bagi anak di komplek lokalisasi, untuk mendapat hasil tranformasi keempat hal tersebut hampir tidak mungkin dicapai.

Mempermudah Akses Pengetahuan
Kehidupan anak-anak dikelompok ini, perlu perhatian serius dari pihak lain disekitarnya, khususnya dari pemerintah. Mereka berada di lingkungan yang terisolir yang sangat minim dengan sumberdaya. Di sisi tranformasi nilai, mereka hanya tahu sistem nilai pelacuran yang penuh dengan kekerasan. Karena inipun dimulai dari dalam rumah atau keluarga inti mereka. Dari segi pengalaman, keteladanan yang seharusnya paling mudah didapat dari orang tua sebagai figur terdekat pun tidak mereka dapatkan. Sementara, figur masyarakat setempat tidak jauh berbeda. Untuk keluar lokasi, mereka dibayangi oleh tekanan stigma dan deskriminasi. Sehingga kesemuanya membentuk sebuah transformasi sikap alamiah yang “liar” menuju ke arah kepribadian yang pragmatis.

Untuk menjawab kebutuhan akan akses informasi dan pengetahuan, Rumah Kita menyediakan perpustakaan (ruang baca). Banyak anak yang mengaksesnya. Mulai dari belajar membaca, menambah pengetahuan pelajaran di sekolah sampai bacaan cerita fiksi bagi anak-anak.

Target program berikutnya ketika kepercayaan diri sudah muncul adalah keleluasaan apresiasi minat dan bakat. Anak mendapatkan kesempatan menuangkan daya kreasi melalui kreasi keterampilan sederhana.Untuk kreasi ini, anak-anak telah menghasilkan beberapa karya, yaitu cerita bergambar, gambar dari kardus bekas dan beraneka macam bunga yang terbuat dari kertas klobot. Kemasan kegiatan divariasikan dengan dalam perlombaan sebagai sarana pengembangan kreasi yang kompetitif. Sebagai anak yang tumbuh di lingkkungan dengan baebagai faktor pembatas yang luar biasa, mereka harus tetap mendapatkan haknya untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Bekal yang berhak mereka dapatkan adalah penguatan kemampuan keterampilan hidup seperti yang telah mereka kreasikan serta nikmati di Rumah Kita. Proses dan produk kreatifitas keterampilan itu, dalam jangka panjang diarahkan kepada keterampilan produktif yang bernilai ekonomis.

Bicara tentang keterampilan, sebenarnya tidak jauh dari harapan dan cita-cita anak di masa depan. Ketika ditanya tentang cita-cita, “saya ingin jadi Polisi, kak,” jawab Rega, di lokalisasi. “Kalau saya ingin jadi perancang busana” ujar Oki, bersemangat. Dari penuturan keduanya, ternyata mereka tidak ingin mendapati kehidupan seperti orang tua atau lingkungan pekerja seks di kehidupan dan masa depannya.

Sebagai bagian kelengkapan, pembinaan spiritual perlu juga diberikan kepada anak. Melalui bimbingan baca huruf Qur’an, aqidah-akhlak, bakti kepada orang tua dan do’a-do’a sehari-hari. Dengan pembinaan kreatifitas, mental dan sentuhan spiritual, anak dikembangkan ke arah kehidupan sosial lebih baik, yaitu belajar saling menghargai.

Kehidupan “keras” di lokalisasi selama ini membentuk kepribadian egois, individualis, dan keakuan yang sangat kuat di dalam jiwa anak. Untuk “melunakkan” dibutuhkan latihan-latihan kompetitif yang secara santun membangun rasa solidaritas dan saling mengharagai. Kegiatan sederhana yang dilakukan adalah perlombaan-perlombaan, mulai dari lomba baca puisi, menggambar, menari dan cerdas cermat.

Ditarik pada persoalan yang lebih mendasar, peran-peran guru dalam fungsi pendidikan masih minim keteladanan di hadapan anak. Fungsi inilah yang seharusnya menjadi fungsi transformasi pengetahuan, nilai, pengalaman dan sikap. Yang terjadi di pendidikan formal saat ini masih terjebak pada kurikulum pengajaran yang didominasi transformasi pelajaran pengetahuan. Belum sampai pada tingkat pembentukan karakter dengan pendekatan penididikan sebagai hak anak. Hal ini dapat kita lihat dalam kurikulum yang ada.

Khusus untuk anak-anak di lokalisasi, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pendidikan Luar Biasa mengalokasikan dana dan program pendidikan bagi anak terpinggirkan yang salah satunya anak di komplek pelacuran. “Tanggung jawab pemerintah ini sebagai bagian dan kewajiban pemenuhan anggaran pendidikan 20 % yang diberikan kepada anak didik yang selama ini belum tersentuh secara optimal” begitu penjelasan Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pendidikan Luar Biasa dalam sebuah acara penyusunan pedoman pendidikan khusus bagi anak terpinggirkan di Bogor awal Maret lalu.

Begitulah salah satu fenomena pada wajah pendidikan Indonesia yang masih menyisakan berderet pekerjaan rumah. Pembangunan mental, karakter, kreatifitas dan sikap saling menghargai belum menjadi sesuatu yang penting dan dipentingkan. Yang ada hanyalah kegiatan mengejar target kurikulum materi pelajaran eksak. Akan seperti apakah pribadi generasi dan nasib negeri ini di masa mendatang jika bengunan kepribadiaannya masih dianggap sampingan ? (Ijun SuaR)
Selengkapnya...

KISAH SUKSES PAMAN MEMBANGUN USAHA

(Nganjuk-Punden) Desa Garu terletak di Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk. Seperti desa pada umunya, penduduknya menghabiskan waktu di sawah sebagai petani. Kalau musim tanam sudah selesai, mereka kerja serabutan. Ada yang beternak ada yang berdagang untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya. Namun, ada beberapa warganya yang tidak tinggal diam untuk terus meningkatkan kesejahteraannya. Mereka tergabung dalam Paguyuban Mandiri dan Koperasi Langgeng.


Awalnya, memang hanya sedikit orang yang terlibat dalam Paman, dan waktu itu Koperasi Langgeng belum berdiri. Dalam setiap pertemuan, mereka membicarakan masalah-masalah yang sedang dihadapi. Untuk memperkuat paguyuban, anggota diwajibkan untuk membayar arisan, sebesar Rp. 1000 per bulannya. Setelah hampir 5 bulan berjalan, arisan ini dirasa perlu untuk ditingkatkan dan dimaksimalkan. Mereka memutuskan untuk membuat koperasi, dan diberi nama Langgeng. Ada simpanan pokok, ada simpanan wajib dan ada simpanan sukarela. Uang yang terkumpul dikelola untuk dana pinjaman ke anggota.

Koperasi Langgeng sudah mampu berjalan dengan baik dan dirasakan betul manfaatnya bagi anggota. Sehingga, hal ini menarik keinginan warga desa setempat untuk masuk menjadi anggota paguyuban dan koperasi. Bahkan ada anggota yang berdomisili di desa lain. Saat ini, anggotanya mencapai 25 orang dan setiap bulan bertemu setiap tanggal 10 di rumah anggota secara bergilir.

Maro Sawah Bersama dengan Sistem Organik
Keberhasilan Koperasi Langgeng sebagai organisasi ekonomi ini kemudian menjadi inspirasi anggota paguyuban sebagai organisasi aksinya. Paguyuban merancang usaha baru, bertani secara kelompok dengan menggunakan metode organik. Memang ini tidak gambang dilakukan karena kebiasaan petani di desa yang bertani secara individu, bukan bertani secara kelompok. Namun, ada kader paguyuban yang meyakinkan anggota bahwa pola pertanian kita yang individualis dan bergantung sama pupuk kimia harus dirubah. “Saya tertarik untuk melakukan usaha pertanian organik secara kelompok, setelah saya mendapat ilmu dari kunjungan ke Mitra Tani Jogjakarta”, kata Sukardi yang menjadi penanggung jawab usaha sawah organik.

Secara teknis, paguyuban menanggung semua keperluan dari penanaman padi. Bibitnya membramo yang didapat dari penduduk setempat, bukan benih pabrikan yang dijual di toko-toko. Luas area sawah 100 m persegi itu sekarang tinggal nunggu panen. Melihat buliran padi, para anggota optimis hasilnya akan melebihi dari pertanian padi biasanya. Apalagi penggunaan pupuk yang 80 % dari pupuk organik buatan paguyuban sendiri, tidak menyedot pengeluaran atau ongkos produksi.

Dalam pembicaraan sebelumnya, pembagiannya hasil ini adalah pihak pemilik tanah hanya menyediakan lahan, sementara pihak paguyuban menggarap dan menanggung semua biaya produksi. Setelah panen, hasilnya akan dipotong 30% untuk pemilik lahan dan 70 % diberikan kepada paguyuban. Sukardi sebagai penangung jawab usaha sawah ini akan mendapat hasil dari 70 % tersebut, walaupun belum disepakati besarnya berapa.

Hasil padi membramo ini nantinya tidak akan dijual ke pasar, tetapi padinya akan dijadikan bibit baru bagi anggota. Karena kualitasnya yang bagus dan tidak banyak unsur kimia, hasil panen ini sebagai penanda dimulainya Dewi Sri alias kemakmuran turun di Desa Garu. Anggota-anggota yang lain akan didorong untuk menggunakan bibit hasil panen perdana ini sekaligus menggerakan pertanian yang berkelanjutan, tidak bergantung kepada produk pabrikan, baik bibit, pupuk maupun pestisidanya.

Pengalaman maro sawah secara kelompok ini adalah keberhasilan yang bisa menjadi semangat baru setelah warga desanya tidak lagi kesulitan mendapat pinjaman dengan adanya koperasi. Setelah maro sawah ini, apalagi yang akan digagas oleh paguyuban mandiri dan koperasi langgeng? Kita tunggu saja. Semoga kisah sukses puluhan warga Garu yang berkumpul dalam paguyuban dan koperasi ini bisa menjadi inspirasi warga desa lain untuk membangun usaha bersama.

DESA GARU, ANTARA DULU DAN SEKARANG
Dulu Sekarang
Tidak ada lembaga ekonomi komunitas yang dapat menyediakan pinjaman uang Ada koperasi Langgeng yang menyediakan pinjaman
Tidak ada penambahan income karena usaha yang dilakukan hanya pertanian pada umumnya. Dan banyak lahan pekarangan yang tidak dimanfaatkan Mendapat informasi penanaman rosela, dan dimanfaatkan sebagai pertanian alternatif di lahan pekarangan rumah yang sebelumnya tidak dikelola.
Mereka juga mengelola sawah bersama dan sudah akan panen perdana
Tidak ada bantuan dari orang lain berupa pendidikan maupun permodalan Didukung organisasi lain di luar desa sebagai peserta pendidikan perkoperasian, manajemen kelompok, pendidikan kader. Mendapat bantuan modal dari individu maupun lembaga koperasi
Tidak ada dinas pemerintah yang memberikan pembinaan dan perhatian Dinas Pemerintah Nganjuk memberikan pembinaan tentang koperasi
Pertanian yang bergantung pupuk kimia, harganya mahal kadang sulit mencari Anggota paman sudah punya pengetahuan dan ketrampilan membuat pupuk organik


Selengkapnya...

Ada Apa dengan Perempuan dan Politik?

Ada Apa dengan Perempuan dan Politik?
Oleh :
Imamatush Sholihah
Director DIFAA
Muslim Women's Initiatives for Human Rights

“…Walah mbak, kalau saya disuruh mikir partai wegah…wong mikir kebutuhan sehari hari aja sudah pusing…biar bapaknya saja yang mikir, saya nderek mawon (ikut saja)…” Ujar bu Siti warga Madiun.

Komentar diatas menggambarkan mayoritas kondisi perempuan di tanah air ketika bersinggungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan politik. Mereka merasa tidak nyaman dan apatis. Hal ini disebabkan oleh budaya Patriarki yang membelenggu selama ini. Dalam sistem patriarki menempatkan peran laki-laki di wilayah publik sedangkan peran perempuan di wilayah domestik, sehingga ketika politik ditempatkan diwilayah publik, definisi, konsep dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan diluar area tersebut. Politik didefinisikan sebagai sesuatu yang negatif, afiliasi suatu partai, dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki mendominasinya.
Pada kondisi riil, kemampuan perempuan tidak diragukan lagi untuk aktivitas sosialnya. Banyak perempuan yang menjadi pemimpin dan mempunyai peran penting dalam kelompok pemberdayaan masyarakat, serta mempunyai kemampuan multitasking disamping kemampuan mengelola waktu.
Di pemilu 2009, calon legislatif perempuan dituntut bekerja lebih keras untuk menghadapi pemilu kali ini karena adanya putusan MK yang menggunakan sistem suara terbanyak. Situasi ini membuat calon legeslatif perempuan sulit untuk mendapatkan kursi di parlemen, dimana sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa politik adalah dunianya laki-laki dan fenomena istri yang pilihannya ikut suami.
Namun disisi lain ini merupakan wujud demokrasi baru yang menjadi tantangan tersendiri bagi caleg perempuan, bertarung di kancah politik dengan memaksimalkan kekuatan dan kemampuan yang berkualitas. Memiliki motivasi yang kuat untuk berjuang, agar dipilih oleh para pemilih dan mempunyai bekal dana yang memadai merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk itu, perempuan harus mengembangkan kualitas dan kapasitas dirinya dengan rasa percaya diri dan memperkaya wawasan pengetahuan berpolitik.
Selain itu, peran partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan sosialisasi politik, harus terus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis. Caranya, dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis dan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki.
Perempuan dan politik, sangat erat kaitannya dan sangat penting, karena apapun kebijakan yang dihasilkan dari politik tersebut akan berdampak pada perempuan sebagai masyarakat yang merasakan langsung. Misalnya dengan adanya kebijakan BBM naik, semua bahan pokok juga ikut naik, sehingga yang merasakan dampaknya adalah perempuan yang paling dekat dengan wilayah domestik. Sehingga perempuan membutuhkan ruang politik untuk menghapus kebijakan yang tidak adil dan merugikan perempuan. Menyuarakan kebutuhan strategis untuk perempuan diantaranya; pendidikan, pelayanan kesehatan, dan peningkatan perekonomian.
Sekarang ini di pemilu 2009, peluang itu semakin terbuka lebar dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya melalui program pendidikan, penyadaran dan pemberdayaan perempuan. Melalui partisipasi dan representasi perempuan di pemilu legislatif dengan mengisi kursi-kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedepan, tidak ada lagi ungkapan perempuan “wegah politik” tapi BERSEMANGAT, AYO BERPOLITIK MENUJU PERUBAHAN YANG FANTASTIK, dalam artian perubahan kehidupan masyarakat yang lebih baik, dan secara khusus pada kehidupan perempuan yang lebih sejahtera. Pada pemilu kali ini hal itu harus terwujud!
Selengkapnya...

SUARA RAKYAT

RSUD Jombang
Mengapa Pasien Jamkesmas Masih Bayar ?

Tanggal 19 Maret 2009, saya merasa amat benci kepada pemerintah. Semua janji pelayanan publik khususnya bidang kesehatan yang digembar-gemborkan ternyata hanya pemanis bibir tak ubahnya untuk menghilangkan kesan menggugurkan kewajiban pelayanan kepada masyarakat Jombang.

Kemarin anak saya (Subroto) terjangkit tetanus dan langsung saya larikan ke RSUD Jombang. Karena kondisi keluarga pas-pasan dimana untuk makan sehari-hari saja saya harus membanting tulang kerja serabutan. Maka saya mempunyai hak mendapatkan JAMKESMAS, dan saya pun memakai askes tersebut untuk berobat ke RSUD. Namun saya amat kecewa dengan pelayanan para petugas yang sangat acuh tak acuh dan lambat kepada pasien yang mengunakan kartu JAMKESMAS. Belum selesai kekecewaan yang saya alami, ternyata anak saya meninggal dalam masa perawatan. Betapa sedih dan kecewa melihat kinerja para petugas RSUD yang santai. Padahal pasien memerlukan bantuan ekstra. Lagi-lagi persoalan uang menjadi prioritas pelayanan RSUD Jombang. Terbukti saat anak saya memakai program JAMKESMAS dia tidak mendapatkan perhatian yang sama dengan mereka yang menggunakan jasa rawat biasa dan membayar lebih tinggi. Yang menjadikan beban kami semakin berat, ternyata kami masih dibebani biaya masa perawatan sebelum anak kami meninggal, padahal nyata-nyata kami orang miskin yang menggunakan kartu JAMKESMAS yang semestinya gratis. Kami jelas tidak mampu membayarnya.

Lengkap sudah kebencian saya terhadap pemerintah, mana buktinya jargon peningkatan pelayan RSUD Jombang yang terpampang di depan pintu masuk. Apa itu hanya untuk menarik perhatian pemerintah pusat karena ingin memperoleh penghargaan. Nyatanya kami sebagai rakyat Jombang tak tertangani dengan baik, padahal kami juga telah melakukan kewajiban membayar pajak secara rutin, tapi kapan pemerintah melaksanakan kewajibannya untuk melayani rakyat secara maksimal… sungguh, kami sangat kecewa.
Dari : Tholan,
Dsn Gedangkeret Rt 03 Rw 06
Ds. Banjardowo
Kec/Kab Jombang


“Selamat atas diterbitkannya majalah SOERAT. Semoga bisa membawa suara dan aspirasi masyarakat yang jarang di dengar oleh petinggi Negara”.
Dari :
Fahrul, 28 tahun, pemuda Manisrejo, Madiun

“Semoga dengan banyaknya caleg yang bertebaran dari partai, dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama dalam mewujudkan pendidikan murah dan berkualitas. Jangan hanya poster dan bannernya yang bertebaran... ”
Dari :
Nina, 27 tahun, mahasiswi, Madiun

”Caleg jangan hanya obral janji saja, kita bosen makan janji...tetapi tidak ada buktinya”.
Dari :
Titin, 35 tahun, perempuan difabel, Madiun


Kelangkaan Pupuk Masih Berlangsung
Kelangkaan pupuk yang terjadi sejak 2008 lalu, hingga kini masih dirasakan para petani di Tulungagung, termasuk petani di Desa Tugu Kecamatan Sendang. Selain langka, harga pupuk (khususnya yang non subsidi) juga mahal, sehingga tidak terjangkau oleh petani.
Untuk 1 zak pupuk bersubsidi isi 50 kg harganya sekitar Rp 60 ribu, namun yang non subsidi mencapai Rp 100 ribu lebih. Sampai saat ini, pupuk bersubsidi sulit didapat, kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. Para petani pun terpaksa membeli pupuk non subsidi yang harganya cukup mahal.
Karena kelangkaan pupuk ini, sejumlah petani di Desa Tugu hanya bisa memupuk tanaman padinya sebanyak 2 kali, untuk 1 kali musim tanam. Padahal, idealnya pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali. Akibatnya, hasil panen padi di musim ini merosot tajam.
Dengan kondisi seperti itu, kami minta kepada pemerintah agar lebih memperhatikan ketersediaan pupuk dan mengatur penyaluran pupuk secara benar, sehingga tidak merugikan para petani kecil seperti kami. Disamping itu, distributor dan agen pupuk nakal harus ditindak tegas jika terbukti melakukan permainan harga dan penyaluran pupuk ke petani.
Dari : MUKTAMAT, Petani Desa Tugu Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung

”Ketika membaca media SOERAT edisi 1 Maret 2009, saya agak tergangggu di halaman 5. yang ada papan LOKALISASI, PTS (PELAKU TUNA SUSILA). Mbak memang tidak ada arah memperbaiki papan itu. Mereka bukan tuna susila. Kalau PTS itu baik untuk sebutan Pria Tuna Susila lho…? Mereka kerja/pekerja untuk hidupin keuarga, okey…! Sukses untuk SuaR Kediri memperjuangkan kaum termarjinal. Makasih bapak, salam unutk teman-teman.

Dari :
Anis, Kediri


Selengkapnya...