Rabu, 22 April 2009

Jamkesmas Masih Bermasalah di Madiun

(Madiun-DIFAA) Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya. Negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi warganya khususnya bagi masyarakat miskin termasuk di dalamnya perempuan. Sistem kesehatan yang mencangkup aturan hukum, anggaran, pelaksanaan serta pengawasan program kesehatan saling terkait dampaknya bagi pemenuhan hak kesehatan masyarakat tersebut.


Salah satu program kesehatan pemerintah adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) sebagai kelanjutan program Askeskin. Di Kabupaten Madiun jumlah penerima jaminan kesehatan tersebut sekitar 186.934 jiwa atau 61.771 KK. Tujuannya adalah memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin secara gratis.

”Jamkesmas ini berlaku mulai dari pelayanan di Puskesmas hingga RS.Soedono kelas A,” kata Dr. Sudijo M.Kes, Kepdinkes Kabupaten Madiun. Tahun ini, anggaran kesehatan untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun sebesar Rp 14 M untuk semua program. ”Anggaran untuk kesehatan masyarakat miskin sebesar Rp 1 M yang diserahkan langsung ke puskesmas-puskesmas di Kabupaten Madiun, dan Rp 1 M untuk biaya obat dan operasional Puskesmas,” tambahnya.

Menurut beliau, data Jamkesmas untuk Kabupaten Madiun berbeda dengan daerah lain yang menggunakan data BLT. Di Madiun memakai data BPS. Empat belas kriteria data BPS antara lain jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari, penghasilan, frekuensi makan setiap hari, pemilikan televisi, motor, ternak, dan tabungan. Dan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk Jamkesmas maka bisa mendapatkan pelayanan gratis atau keringanan biaya apabila mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan atau desa.

Meski program Jamkesmas sudah dimulai pemerintah sejak tahun 2008 dan dilanjutkan pada tahun 2009, pemenuhan hak kesehatan masyarakat ternyata belum dicapai. Seperti kisah Sutarwo, pemuda Dusun Gemarang Desa Gemarang Kecamatan Gemarang, “sejak 5 tahun lalu ada benjolan di pipi Sutarwo. Awalnya tidak menganggu tetapi lama kelamaan benjolan itu membesar dan terasa sakit. Pada bulan September tahun 2007, saya memeriksakan ke rumah sakit Panti Waluyo, kemudian di rujuk ke rumah sakit Dr. Soetomo, tanpa tahu apa sakitnya.”

“Di rumah sakit Dr. Soetomo saya diminta untuk ronsen dan dirawat inap sambil menunggu hasil pemeriksaan sekitar 1 bulan. Selama menunggu saya tidak mendapatkan kamar, dan harus tidur di emperan rumah sakit. Dari hasil ronsen di diagnosa ternyata saya menderita tumor ganas dan perlu di operasi. Sesudah satu bulan di rumah sakit, kemudian disuruh pulang dengan alasan kamar telah penuh dan diminta menunggu panggilan. Tetapi waktu terus berjalan dan sampai kini belum ada kabar dari rumah sakit, sedangkan tumornya makin membesar,” ungkap pemuda yang sehari-hari sebagai buruh tani dan guru mengaji.

Sutarwo sebenarnya memiliki kartu Askeskin tetapi selama berobat di rumah sakit itu dia tetap diharuskan membayar biaya pengobatan dan tanpa ada pelayanan kamar. “Kulo gadhah askeskin, tapi ndak paham kangge nopo, ngertine nggih mbayar. Kulo telas kinten-pinten Rp 10 juta,” tutur Sutarwo yang rumahnya berjarak 68 km dari kota Madiun.

Hari Senin tanggal 13 April 2009, dia baru menerima kartu Jamkesmas sebagai pengganti kartu Askeskin. Namun ia tidak diberi informasi apa kegunaan kartu tersebut. Sosialisasi program belum menyentuh semua masyarakat, apalagi bila geografisnya jauh dari perkotaan. “Kulo mboten ngerti kangge nopo kartu niki, mboten disanjangi kangge nopo, mboten wonten penyuluhan kesehatan teng mriki, “ tambahnya lagi.

Kisah serupa menimpa ibu Surip, 59 tahun, penduduk Pacitan yang pernah dirawat di RSI Aisyiyah Ponorogo pada bulan lalu. Dia adalah pemegang kartu Jamkesmas saat operasi kanker rahim namun masih dibebani biaya obat-obatan dan biaya transfusi darah. “Belum semua rumah sakit mau melaksanakan keputusan Depkes untuk menggratiskan biaya obat dan pelayanan dengan alasan anggaran rumah sakit terbatas. Padahal pembiayaan kesehatan itu berasal dari pemerintah pusat,” kata Ahmad Iswahyudi, pendamping Jamkesmas di Madiun.

Penggunaan SKTM untuk non Jamkesmas ternyata juga tidak selalu berlaku dan pasien masih dibebani biaya pelayanan. “Rumah sakit tidak mau melayani pasien dengan SKTM dengan alasan tidak ada anggaran untuk itu, dan tidak ada Perda sebagai payung hukum. Sehingga pelayanan ke masyarakat miskin tidak terwujud meski itu sudah diatur oleh pemerintah pusat,” tambahnya.

Hak Kesehatan dan Caleg Terpilih
Dalam kampanye para caleg partai tidak ada yang spesifik mau memperjuangkan kesehatan masyarakat. Hampir semua caleg hanya menjanjikan kesejahteraan dan kemajuan daerah. “Kesehatan masyarakat miskin tidak terpisahkan dari keberadaan perempuan karena di negara kita mayoritas perempuan dalam kondisi miskin. Budaya partiarkhi telah menempatkan perempuan sebagai konco wingking sehingga menjadikan kelompok pertama yang miskin,” kata Ibu Henika Fauziyah, SE, caleg perempuan terpilih dari Partai Kebangkitan Bangsa dapil 4 Kabupaten Madiun.

”Dengan jumlah perempuan yang meningkat di DPR dan DPRD diharapkan pelaksanaan dan pengawasan program kesehatan masyarakat miskin termasuk perempuan dapat berjalan lebih baik,” kata Henika berharap. Menurutnya, kemiskinan dan kesehatan saling terkait satu sama lain dan tidak berujung. Kemiskinan akan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit seperti gizi buruk, kelaparan. Lingkungan yang buruk menjadi sumber penyakit karena tidak tersedia dana yang cukup untuk memenuhinya. Dan apabila kesehatan buruk maka akan menyebabkan produktifitas kerja menurun, menambah pengeluaran pengobatan, dan mengurangi keperluan hidup lain seperti pendidikan, rumah yang layak dsb.

”Untuk itu perlu peningkatan anggaran kesehatan untuk masyarakat miskin termasuk perempuan yang sampai saat ini masih kecil. Demikian juga untuk program kesehatan reproduksi, penanggulangan HIV dan AIDS, gizi perempuan dan anak, termasuk perempuan yang termarginalkan seperti pekerja seks. Pelayanan kesehatan terhadap masyarakat harus dilakukan tanpa melihat latar belakang suku, agama dan pekerjaan seseorang. Hak kesehatan setiap warganegara adalah sama,” kata Henika. ”Misalnya, perlu adanya klinik pengobatan di lokalisasi sebagai pemenuhan hak kesehatan bagi pekerja seks,” lanjutnya. Karena kesehatan masyarakat miskin, termasuk di dalamnya kelompok perempuan, adalah hak dasar yang harus dipenuhi negara. Meski aturan hukum dan anggaran telah ada, perlu juga pengawasan dalam pelaksanaannya oleh semua pihak. Sehingga kebutuhan kesehatan dapat terpenuhi tanpa membedakan status ekonomi dan sosial seseorang. ( Ari DIFAA )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar