Selasa, 03 November 2009

Memeluk Gunung, Memeluk Kemanusiaan

(Kediri-SS) Pukul 15.20 WIB pada hari Rabu Desa Sepawon kedatangan tamu istimewa. Rombongan Cordaid, salah satu lembaga sosial dari Belanda, untuk melihat salah satu sumber air yang dibangun pada jaman Belanda dan juga ingin mendengarkan ungkapan warga setelah terjadi peristiwa Gunung Kelud.


Rombongan dari Cordaid diantaranya Mr. Jhon, Vivi, Julia, dan dari Surya Sejahtera (SS), Heri DK, Rudiyanto HS serta Bimo Husodo (Anggota DPRD Kabupaten Kediri). Rencananya rombongan akan melihat langsung ke lokasi Sumber Glatik, dimana terdapat mata air berupa DAM kecil buatan Belanda yang digunakan oleh masyarakat Desa Sepawon, memenuhi kebutuhan sanitasinya. Sumber tersebut berlokasi di tengah-tengah perkebunan kopi dan cengkeh Affdeling Glatik PTPN XII Rangkah Sepawon.
Sebelum berkunjung ke Sumber Glatik, rombongan ini berdialog dengan komite Panca Manunggal Rasa (PMR) dan warga masyarakat Sepawon di Posko PMR. Rahmad Sudrajat, 30 tahun, Sekretaris Komite PMR menjelaskan, bahwa Dusun Petungombo Desa Sepawon sesuai peta bencana hanya berjarak kurang dari 11 KM dari Kawah Letusan Gunung Kelud.
Lukas Margono, 32 tahun, juga menambahkan bahwa sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) yang selama ini memantau Gunung Kelud, Desa Sepawon masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III atau Ring I.

Ketika Letusan Kelud Menghampiri Desa Sepawon
Vivi, salah satu anggota rombongan Cordaid menanyakan, apakah selain terjadi letusan Gunung Kelud pada tahun 2007 juga terjadi letusan di tahun-tahun sebelumnya. Muharto, seorang warga menjawab bahwa telah terjadi letusan di tahun 1951, 1966, 1991 dan tahun 2007. Muhartoyo juga menceritakan pada tahun 2007, tidak terjadi letusan tetapi menurut PVMBG sudah terjadi letusan dengan perlakuan yang berbeda yaitu keluarnya kubah lava yang sekarang menjadi anak-an Gunung Kelud.
Sementara, lanjutnya, letusan tahun 1991 ciri khasnya adalah hujan abu dan batu sebesar kepalan tangan, dan ketebalan pasir sampai 50 cm. Setelah terjadi letusan terlihat seperti padang pasir dan debu, pohon-pohon pada kering tidak ada satupun daun semua pada rontok berjatuhan
Pasca letusan Gunung Kelud, jelas Muhartoyo, terjadi seperti hamparan padang pasir dan debu, waktu ini berjalan sampai 3 bulan lebih dimana sumber-sumber mata air menjadi mati dan tersumbat oleh pasir. Peternak-peternak kesulitan mencari pakan karena tidak ada satupun rumput-rumputan dan pepohonan yang ada daunnya.
Akhirnya banyak warga yang menjual hewan ternaknya. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Belum lagi di sektor pertanian banyak dari tanaman warga yang rusak dan gagal panen. Banyak rumah warga yang rusak serta sarana umum seperti : Balai Desa, Sekolah Dasar, tempat ibadah, dan jembatan sebagai jalur penghubung Desa rusak parah. Pada letusan gunung Kelud tahun 1991 itu tidak ada korban jiwa.
Sementara Julia dari Cordaid menanyakan tentang upaya apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sepawon dan Pemerintah Daerah Kediri ketika akan terjadi letusan. Menurut anggota Komite PMR, Andriyanus Danang, bahwa sesuai dengan pengalaman masyarakat di lereng Gunung Kelud, kebiasan masyarakatnya adalah membaca gejala alam dan berdasarkan petunjuk dari orang yang dituakan (pini sepuh). Jika hewan-hewan liar turun gunung dan tidak ada kicauan burung serta suhu agak panas, padahal di daerah ini hawa dingin berarti tanda-tanda gunung akan meletus (berdasar ilmu titen).
Pengalaman letusan gunung Kelud pada tahun 1991 respon pemerintah daerah tidak seperti sekarang, tidak ada informasi sebelumnya. Walaupun pemerintah daerah sekarang juga masih lemah terhadap issu pengurangan risiko bencana, tetapi setidaknya ada lembaga swadaya masyarakat seperti Surya Sejahtera yang mendampingi masyarakat dalam hal melek bencana.
“Jadi waktu terjadi letusan di tahun 1991 masih banyak warga yang masih beraktifitas dan bekerja (ada di tegal, perkebunan, ke pasar dll) untungnya letusan Gunung Kelud terjadi siang hari sekitar pukul 11.00 WIB, seandainya malam hari kita tidak bisa membayangkan dan pasti banyak korban,” tegas Sunarno, 40 tahun. “Ini dikarenakan tidak adanya sosialisasi lebih dini tentang letusan gunung Kelud,” tambahnya.

Bagaimana Seharusnya Evakuasi Dilakukan
Letusan tahun 1991 tidak ada mekanisme yang jelas tetang evakuasi, rata-rata masyarakat Desa Sepawon percaya kepada pini sepuh tentang sebuah tempat-tempat yang dipercaya aman dari ancaman sesuai lokasi di masing-masing dusun. Sebagian masyarakat percaya bahwa jika terjadi letusan, desanya malah aman dan tidak terjadi apa-apa, justru desa-desa dibawah yang cenderung lebih parah. Hal ini berdasarkan dari pengalaman-pengalaman waktu terjadi letusan.
Sementara tahun 2007 situasi berbeda dengan letusan tahun 1991, ada peringatan dini dari pemerintah melalui PVMBG, disamping itu media televisi dan radio sering memberitakan tentang perkembangan status gunung Kelud dari mulai waspada, siaga hingga awas, walaupun gunungnya tidak jadi meletus standard evakuasi yang dilakukan menimbulkan banyak persoalan karena rata-rata dilakukan dengan cara memaksa warga tanpa penjelasan terlebih dahulu. Padahal masyarakat lereng Gunung Kelud yang hidupnya bergantung dengan tradisi ini punya pengalaman tentang letusan gunung.
Muhartoyo, kembali menegaskan, seandainya informasi dan penanganan ini dipadukan dengan pengalaman masyarakat, mungkin tidak ada persoalan. Masalahnya saat terjadi tanda-tanda letusan, belum-belum ada pemaksaan dari pemerintah yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI untuk mengungsi di tempat yang telah disediakan. Mereka harus meninggalkan barang-barang berharga, dan ini menjadikan kekecewaan tersendiri bagi warga masyarakat.
Mengapa masyarakat sangat sulit untuk diajak evakuasi, alasannya karena trauma dengan kasus yang pernah terjadi. Rata-rata masyarakat yang memiliki ternak enggan untuk dievakuasi di titik aman karena pemerintah sendiri tidak menyediakan evakuasi bagi ternak mereka. Evakuasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung hanya mengamankan orangnya saja tapi tidak kepada asset yang dimiliki. Padahal masyarakat lereng gunung juga sangat bergantung kepada ternaknya sebagai tambahan penopang ekonomi keluarga

Surya Sejahtera Lakukan Program Pengurangan Risiko Bencana
Kegiatan-kegiatan apa saja yang sudah dilakukan oleh Komite Desa Panca Manunggal Rasa dengan program pengurangan resiko bencana ini? Rahmad Sudrajat selaku sekretaris PMR menjelaskan, bahwa dari awal program yang dibawa Surya Sejahtera ini ada di Desa Sepawon,
Pertama; yang kita lakukan yaitu melakukan pemetaan swadaya dan data base kependudukan desa serta aset-aset yang dimiliki warga Desa Sepawon yang terdiri dari 5 dusun, Kedua; membentuk komite desa sebagai lembaga pengurangan resiko bencana yang belum ada di Kediri, Ketiga; mengadakan pelatihan-pelatihan, workshop DRR berbasis masyarakat, melakukan pemetaan desa, pembuatan peta jalur evakuasi, kesepakatan peringatan dini dan kesepakatan bersama tentang pengurangan resiko bencana ancaman letusan Gunung Kelud, Keempat; bersama mengadakan lingking and learning bersama warga di lereng Kelud dan mitra di Plosoklaten dan Wates yang selama ini menjadi tempat untuk evakuasi Kelima; Komite desa juga mengadakan sekolah lapang ternak untuk pembuatan pakan ternak buatan, Keenam; komite desa mengadakan diskusi rutin, sarasehan, rembug warga, ambilah contoh: mengadakan sarasehan untuk membahas tentang tata kelola dan tata guna air, ketujuh; melakukan kunjungan-kunjungan dan belajar bersama ke komunitas-komunitas yang ada di Kediri
Mengenai bantuan setelah terjadi letusan Gunung Kelud menurut penuturan Andriyanus Danang, sangat kecil sekali bantuan yang masuk ke Desa Sepawon terutama Dusun Petungombo. Rata-rata bantuan yang berupa droping bahan pokok makanan, bahan obat, dan kesehatan ini hanya di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar. Padahal secara letak geografis Desa Sugihwaras bersebelahan dengan Desa Sepawon yang menurut peta bencana Kelud justru Dusun Petungombo Desa Sepawon yang paling dekat dengan kawah letusan.
Dari pengalaman letusan tahun 1991 dan 2007 dapat dianalisa memang jalur masuk ke dusun ini memang sulit. Dari arah barat sangat jauh dari pusat Kecamatan Plosoklaten, sementara dari jalur selatan yang bersebelahan dengan Desa Sugihwaras akses masuk menuju ke desa ini melewati jalan-jalan bebatuan (makadam), jalannya juga sempit. Seolah-olah Dusun Petungombo Desa Sepawon adalah desa yang terisolir, alasan inilah yang menurut masyarakat kenapa bantuan-bantuan enggan masuk.
“Karena itu pada tahun 2008 ketika Kecamatan Plosoklaten mendapat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yaitu salah satu program pemerintah, melalui komite desa pengurangan resiko bencana bersama Kader Penggerak Masyarakat Desa (KPMD) dan pemerintahan desa menggelar diskusi dan mensepakati pembangunan difokuskan pada perbaikan jalur evakuasi sepanjang 2 Km.
Karena disamping jalan ini sebagai jalur evakuasi titik aman waktu terjadi letusan Gunung Kelud, jalan ini sebagai jalur utama arah ke selatan atau ke Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar dan ke Pasar Wates Kecamatan Wates juga sebagai jalur ekonomi warga. Jika akses jalan ini terbangun Dusun Petungombo tidak terisolir karena masuk ke dusun ini lebih mudah. Alasan-alasan inilah yang menjadikan prioritas, mengapa perbaikan jalur evakuasi dan pembangunan jalan ini penting.
Dalam hal ini bekerja sama dengan Insist dan Surya Sejahtera lebih pada program-program pemberdayaan, bukan fisik (pembangunan) tapi knowledge (pengetahuan). Contohnya workshop yang diadakan, pelatihan-pelatihan dan berkunjung ke komunitas-komunitas untuk belajar bersama (lingking learning) selama ini menambah pengetahuan anggota komite desa terlebih masyarakat. Dari sinilah kesadaran itu muncul bahkan sampai menjadi kesadaran kritis. “Pertama; mengetahui akar persoalan, Kedua; tahu bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut, dan yang Ketiga; mau melakukan dan merubahnya,” tegas Sudrajad.
Diakhir sesi diskusi dan tanya jawab Komite Desa Panca Manunggal Rasa dengan rombongan Cordaid, ada catatan tentang hikmah diperoleh dari adanya program pengurangan resiko bencana di Desa Sepawon selama ini. Yaitu, Pertama; hikmah dari program ini muncul kesadaran kritis dari masyarakat di lima dusun di Desa Sepawon tentang pentingnya pengurangan resiko bencana. Kedua; di Desa Sepawon terbentuk sebuah lembaga komite desa untuk pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, Ketiga; bertambahnya ilmu pengetahuan masyarakat diluar kebiasaan membaca alam melalui mistik dan ilmu titen ke wawasan kontigensi plan. Keempat; Komite desa ini dijadikan lembaga pemberdayaan oleh masyarakat dengan prinsip menggali potensi sumber daya alam lokalitas. Contoh: berternak (kambing, sapi) dengan cara lebih maju, bertani organik, pembuatan makanan aneka kue berbasis bahan lokal (dodol, sele dari buah nanas) juga ada pra koperasi yang akan di bentuk Kelima; semakin banyak jaringan-jaringan komunitas di Kediri dan Jawa Timur, diantaranya (komunitas tani, koperasi perempuan, komunitas peternak, lembaga kesehatan, Tagana Kediri, PVMBG, mahasiswa pecinta alam, Satlak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan komunitas-komunitas di lereng Kelud kawasan rawan bencana). Hal ini dibuktikan ketika lingking learning diadakan terdapat pengikraran dan deklarasi terhadap gerakan pengurangan risiko bencana untuk ancaman letusan Gunung Kelud. (Ipung, Surya Sejahtera)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar