Selasa, 03 November 2009

Tol Trans Jawa: Forum Jama’ah Korban Jalan Tol Jombang; Tolak Isu Harga

(Jombang-Alha-Raka) Kekompakan para korban merupakan salah satu kekuatan untuk mengupayakan penyelesaian ketidaksamaan harga penjualan tanah yang terkena landasan tol Trans Jawa Kertosono-Mojokerto antara warga dan P2T Kab. Jombang. Kompak di sini bukan berarti warga menolak ganti rugi, namun menunggu sampai ada kenaikan harga yang layak.


Usai pertemuan perwakilan dari masing-masing desa pada tanggal 30 Agustus dan 15 September 2009 di Dsn. Ngrawan Ds. Santren Tembelang Jombang, menghasilkan beberapa temuan baru terkait isu kenaikan harga. Pada awalnya harga tanah dihargai hanya Rp 50 ribu per M² kini naik menjadi Rp 70 ribu per M². Mengenai isu yang beredar tersebut, warga yang tanahnya akan diambil negara tentunya masih enggan menerima tawaran harga tersebut. Menurut Ismail, warga Desa Sumberejo Jombang, bahwa dirinya beserta 38 warga tetap kukuh dan sepakat bersama-sama akan berusaha mempertahankan tanah yang menjadi haknya. Tapi kondisi saat ini memang ada beberapa warga yang awalnya ikut mempertahankan harga jual sudah berkurang sedikit demi sedikit dengan alasan karena terlilit hutang. Disamping itu banyak sekali aparatur pemerintahan melakukan intimidasi serta memberikan informasi bahwa tidak akan ada kenaikan harga sampai kapan pun.
“Banyak anggota kami yang diancam bahwa kalau tidak segera memberikan tanah yang akan dibebaskan maka akan segera berurusan dengan pihak pengadilan. Padahal kami juga telah memberi tahu bahwa untuk berurusan dengan pihak hukum tentunya tidak semudah itu. Ada beberapa tahapan sebelum mengarah pada urusan konsinyasi, yakni warga harus bertemu dengan pihak eksekutif terlebih dahulu, dalam hal ini adalah bupati. Jika telah terjadi tawar menawar harga dan tidak menemukan titik temu, barulah ada tahapan menuju pengadilan,” terang Ismail.
Penuturan Ismail memang berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus mengutamakan musyawarah. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah hanya sepihak dalam membuat keputusan. Kini warga yang bertahan di Sumberejo dari 38 menjadi 28 dan terakhir tinggal 16 orang. Sedangkan di kecamatan Perak dan Bandar Kedungmulyo yang juga turut menjadi anggota aliansi kini yang bertahan hanya tinggal 17 orang. Sedangkan di desa Banjardowo dari 3 dusun yang paling banyak bertahan adalah Dsn. Gempolpait yakni 12 orang. Sedangkan untuk Cangkring Ngrandu Sidomulyo dan Santren Ngrawan Tembelang juga ada yang sudah memberikan tanah-tanah mereka dengan harga yang tidak sama.
“Kami awalnya hanya memberikan penawaran dengan mengajukan langsung kepada pihak eksekutif dan tembusan kepada pihak P2T (Panitia Pengadaan Tanah) dengan harga 2 kali lipat dengan harga yang diisukan. Namun dalam satu tahun ini tidak direspon sama sekali, kami merasa dipermainkan oleh pemerintah Jombang. Kini kami akan mengajukan permintaan harga sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) jika asumsinya permeter Rp 10 ribu, maka akan kami kalikan dengan kontrak investor selama tahap awal 35 tahun atau bisa jadi kontraknya 70 tahun maka tanah kami juga akan bisa mencapai harga permeter Rp 700 ribu” kata Ismail selaku koordinator Desa Sumberejo.
Hal senada juga disampaikan oleh H. Harun dari perwakilan Dsn. Gempolpait, bahwa meski dirinya telah didatangi oleh pihak kecamatan Jombang secara langsung namun akan tetap bertahan sampai ada kelayakan harga. “Untuk mau bertahan memang hak masing-masing orang, saya pun tak bisa melarang dan tidak bisa menyuruh kepada siapapun. Jika saya ditanya tetangga yaa saya jawab menunggu sampai ada kenaikan baru saya berikan. Lha wong harga jual beli normal tahun ini saja sudah naik. Apalagi untuk kasus khusus pada ganti rugi tanah, tentunya masyarakat juga tidak mau rugi karena nantinya jalan tol ini akan dikomersilkan” ungkapnya.
Sementara itu menurut Mustaghfirin, yang menjadi tuan rumah pada pertemuan ketiga di Dsn. Ngrawan juga membenarkan hal tersebut diatas. “Kita adalah calon korban tol, kenapa disebut korban ya karena kita tidak ada niatan untuk menjual tanah-tanah tersebut, namun karena untuk kepentingan umum terpaksa kita memberikan namun tentunya dengan harga yang layak. Ketika harga tersebut kita masih merasa rugi, maka kita harus berjuang. Dulu tahap sosialisasi awal dari pemerintah kami akan diberi ganti rugi dengan harga perkotaan, namun buktinya mana? pemerintah hanya omong kosong ini kan namanya bohong. Kita dikhianati oleh pemerintahan Jombang, untuk itu hanya ada dua pilihan kita akan menempuh jalur damai ataukah anarkis. Namun untuk saat ini kita akan menempuh jalur damai dahulu, meski harga diri rakyat kecil seperti kita telah terinjak-injak namun kita harus menggunakan otak bukan otot,” kata pak Mus Tegas.

Pemerintah Membuat Rakyat Miskin
Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, jargon ini tentunya sangat tepat dipakai untuk menyemangati perjuangan warga Forum Jama’ah Korban Jalan Tol Jombang (FJKTJ). Isu harga yang telah disebarkan pemerintah memang tidak manusiawi, terbukti banyak warga yang mengeluhkan harga tersebut. Padahal kalau ditinjau dari dampak yang ditimbulkan tidaklah sedikit, mulai dari kondisi sosial masyarakat yang dulunya pedesaan akan bergeser pada budaya perkotaan. Dulunya masyarakat menjadi petani dengan mengolah tanah-tanah mereka. Namun ketika jalan tol telah jadi mereka harus berupaya bertahan hidup dengan mencari pekerjaan lain karena tidak mempunyai lahan untuk bertani. Hal ini juga akan memicu banyaknya angka pengangguran. Belum lagi polusi yang tidak bisa dihindari oleh masyarakat setempat di sekitar lingkungan tol. Mulai dari polusi udara sampai pada polusi suara bising. Apakah ini mendapatkan jaminan asuransi dari pemerintah? Tepat kiranya jika pemerintah akan membuat rakyat miskin jika tidak mempertimbangkan harga yang layak dan manusiawi melihat dampak negatif yang akan muncul sangat beragam.
Untuk itulah beberapa warga yang masih tersisa akan terus bertahan dan memperjuangkan tanah-tanah mereka. Adapun tahapan awal yang pernah dimusyawarahkan bersama dengan KRJB (Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat) dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) Jatim adalah membuat rencana kerja teknis, yakni selalu berupaya melakukan koordinasi minimal setiap bulan. Dan selanjutnya akan membentuk team kecil untuk merumuskan hasil kesepakatan dengan bentuk pernyataan sikap yang akan ditujukan kepada semua instansi pemerintah dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat pusat yakni Jakarta. Adapun tahapan proses upaya bersama tersebut yang sudah mulai, pertama: Warga sepakat untuk kompak dan bersatu untuk tidak memberikan tanah sampai ada kenaikan harga yang layak. Kedua, selanjutnya masyarakat akan terus berupaya bisa bertemu langsung dengan P2T, TPT atau tim penaksir tanah dari provinsi Jawa Timur, dan dari sini jika memang harga telah disepakati oleh tim yang ditunjuk oleh Pemkab, yakni sang penaksir harga teratas itu berapa dan minimal itu berapa. Ketiga, Maka warga juga harus tahu batasan tanggal batasan akhir kapan realisasi pembebasan tanah itu dilakukan.
Dari ketiga tahapan tersebut harus tetap disertakan transparasi dari desa, jika semua data tersebut sudah ada ditangan warga selanjutnya FJKTJ akan bersama-sama melakukan audensi atau hearing dengan pihak eksekutif maupun legislatif. Namun sebelumnya masyarakat harus berupaya keras untuk mencari dukungan dari berbagai pihak, agar persoalan ini menjadi isu kabupaten. Menurut Heri, koordinator lokal Ngrawan, “kalau diperlukan kita akan bersama-sama membuat simulasi para korban tol yang dipaksa oleh pemerintah untuk memberikan tanah miliknya yang sejengkal sampai titik darah penghabisan. Dengan model simulasi akan mempercepat proses penyebaran informasi kepada seluruh khalayak. Yang terpenting lagi dari perencanaan teknis tersebut, yang tetap harus diperhatikan adalah bagaimana warga yang masih bertahan dan belum menyerahkan tanah-tanah mereka tetap kompak. Meski ada intimidasi dari berbagai pihak, jika masyarakat kompak maka perjuangan ini akan menemukan hasil yang diinginkan bersama, ” jelas Heri.
Pada pertemuan ke-3 tersebut, KRJB memandatkan Syadad, selaku staf ICDHRE Jombang untuk memfasilitasi jalannya diskusi. Untuk mendapatkan keadilan dari pemerintah memang rakyat harus berjuang keras, untuk memperlancar proses perjuangan perlu kiranya mengadakan do'a bersama yang ditujukan kepada birokrasi pemerintahan Jombang mulai dari bupati beserta stafnya dan pihak P2T. Harapan dari do'a bersama tersebut agar mau berfikir untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan bisnis semata dan mau transparasi tentang segala hal. Jangan hanya untuk menekan pengeluaran anggaran sedikit mungkin, namun dampaknya malah mengorbankan rakyat kecil. “Kita akan mulai bersama-sama melakukan penataan strategis, namun terlebih dahulu kita akan membuat team kecil yang terdiri dari ketua, para koordinator desa dan dibantu oleh beberapa perwakilan kelompok KRJB untuk merumuskan draf pernyataan sikap bersama yang ditujukan kepada semua instansi,” terang Syadad.
Adapun usulan yang berhasil dikumpulkan pada malam hari itu diantaranya: menuntut kenaikan harga dan menolak harga yang telah diisukan selama ini oleh pihak pemerintah, adanya transparasi dari tim P2T dan TPT, peninjauan ulang terhadap kelayakan harga dari tim apreaser, pengukuran ulang terhadap tanah-tanah yang masih belum diberikan warga, memberikan tenggang waktu kepada warga untuk pindah usai pembayaran ganti rugi, penambahan kesejahteraan bagi warga yang terkena dampak sosial ekonomi, batas toleransi sisa tanah, dan tolak mafia tanah termasuk para perangkat yang terlibat. “Dari beberapa usulan ini pada tanggal 24 September 2009 usai lebaran team yang telah ditugasi harus berkumpul dan segera melayangkan draf rumusan kesejumlah instansi. Draf rumusan yang telah dibuat nantinya akan menjadi materi untuk hearing ke DPRD Jombang, namun tentunya menunggu terbentuknya komisi-komisi dan ketua DPRD yang baru,” tambah Syadad. (din-din, Alha-Raka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar