Selasa, 03 November 2009

Petani Tanpa Lahan: Wagiman, Beralih Profesi Menjadi Penjual Air Keliling

(Kediri-SS) Bagi Wagiman menjadi penjual air keliling bukanlah cita-citanya. Pria berusia 51 tahun ini tanpa kenal lelah menarik geledekan berisi 13 jerigen di dalamnya. Berpeluh keliling kampung, warga Dusun Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, ini sudah lebih 23 tahun menggeluti profesinya . Namun, awal mulanya Wagiman juga sama seperti penduduk Sepawon yang lain yaitu sebagai buruh lepas di Perkebunan Sepawon.

Alasannya beralih profesi sebagai penjual air keliling adalah tuntutan terhadap kebutuhan keluarganya. Dimana dengan 2 orang anaknya yang sudah masuk SMP dan lulus SMA. Tentunya kebutuhannya makin bertambah. Sementara bayaran sebagai buruh lepas kecil yaitu Rp 6000,- perhari kerja.

Wagiman juga ingin seperti para tetangganya yang sukses sebagai TKI/TKW di luar negeri. Namun dirinya sadar ijasah SD tidak dapat diandalkan. Apalagi Wagiman juga tidak memiliki keahlian. Satu-satunya keahlian adalah mengurus lahan perkebunan. Namun, Wagiman cukup jeli melihat peluang. Desa Sepawon seringkali kesulitan air untuk masak dan mandi. Itu pada kondisi normal. Apalagi kalau saat ancaman Gunung Kelud terjadi. Warga bisa sampai 1 bulan kekurangan air. Oleh karena itu setiap hari Wagiman mengambil air di sumber air yang berjarak 2 km dari dusunnya. Kemudian ia menjajakan air kepada warga setempat di lingkup Desa Sepawon. “Setiap jerigen harganya Rp 1000,-, “ jelas Wagiman. Dari gerobaknya yang berisi 13 jerigen dia mendapat Rp 13.000. Total sehari rata-rata ia bisa menjual air 3 gerobak.

Dia ingin anaknya lebih maju daripada dirinya. Kini anak pertamanya sudah lulus SMA dan anak keduanya masih sekolah di SMP. Dia tidak mau anaknya seperti halnya anak-anak tetangganya yang tidak sekolah. Meskipun ia juga tahu bahwa ada juga anak-anak tetangganya yang sudah lulus SMA banyak juga yang pada akhirnya tetap menjadi buruh di perkebunan.

Penopang ekonomi keluarga bukan urusan Wagiman seorang. Istrinya di rumah mengurus 1 ekor sapi perahnya. Istrinya tidak malu kalau harus tiap hari mencari rumput ke kebun. Demikian juga dengan anaknya setiap hari setelah pulang sekolah pergi ke kebun mencari rumput.

Dari 1 ekor sapi perahnya setidaknya setiap hari dia memperoleh rata-rata 20 liter susu perhari yang dijual Rp 2000 /liter. Dari hasil penjualan susu perhari dia mendapat setidaknya Rp 40 ribu dan setelah dipotong gamblong Rp 5000 sehingga bersih dia mendapat Rp 35 ribu. Setelah ditambah dengan hasil menjual air keliling dia mendapat tambahan setidaknya Rp 35.000. Perhari rata-rata penghasilan keluarga Rp 74 ribu.

Uang itu dia gunakan untuk biaya pendidikan anaknya, kehidupan sehari-hari, dan sebagian ditabung. Dia menyadari bahwa tidak tiap hari bisa menjual air dan tidak tiap hari pula sapinya bisa diambil susunya. Sementara kebutuhan hidup sehari-harinya; beras, sayuran, bumbu-bumbu, dan lauk-pauk harus beli karena dia seperti halnya penduduk lainnya tidak punya lahan untuk bisa menanamnya sendiri. Saat ditanya bagaimana kalau kondisi ada bencana Gunung Kelud meletus. Wagiman sendiri kebingungan, sesaat berikutnya ia menjawab, “Kulo sakdermo nglampahing gesang. Menawi sampun dados takdir kulo pasrah marang Gusti.”
(Ipung, Surya Sejahtera)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar