Selasa, 03 November 2009

Koperasi Berkembang di Pondok Pesantren

(Tulungagung-Paricara) Pondok Pesantren (Ponpes) kini tak lagi melulu berurusan dengan mengaji kitab kuning. Ponpes telah berkembang merambah ke berbagai bidang pengetahuan dan keterampilan. Salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi para santri dalam bentuk koperasi.

Tengok saja Koperasi Daruttaibin di Ponpes Daruttaibin Desa Campurdarat Kecamatan Campurdarat, Tulungagung. Selain ngaji, Ponpes ini juga mengajari santrinya untuk praktek langsung berkoperasi. Menurut salah satu penggerak Koperasi Daruttaibin, Istiqomah, pada awalnya kegiatan ekonomi ini hanya dilakukan oleh kalangan internal ponpes sendiri, karena hanya menyediakan kebutuhan para santriwan dan santriwati seperti kitab kuning dan kebutuhan pokok lainnya. Kemudian kegiatan ini menjadi bahan pengajaran dan pengalaman bagi para santri.
Dikatakannya, untuk sementara yang banyak membutuhkan barang-barang koperasi adalah santri perempuan. Sedangkan untuk santri laki-laki biasanya hanya titip bahan atau pesan saja, seperti sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya.
Pada dasarnya keberadaan koperasi di Ponpes ini dimaksudkan untuk memperlancar proses belajar mengajar. Bagai para santri yang belum memiliki uang untuk mencukupi kebutuhannya, seperti kitab dan lain-lain, mereka bisa pinjam di koperasi. ”Apabila sudah punya uang, pinjaman bisa dilunasi di kemudian hari,” terang Istiqomah.
Kehadiran koperasi di Ponpes Daruttaibin sangat dirasakan manfaatnya oleh para santri. Romdhoni, salah seorang santri, mengaku sangat terbantu dengan adanya koperasi tersebut. ”Koperasi benar-benar membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari santri. Apalagi, santri boleh berhutang dan boleh mengembalikan kapan saja kalau sudah punya uang,” ujar santri yang akrab dipanggil Dhoni ini.
Selain menyediakan kebutuhan proses belajar mengajar, melalui koperasi para santri juga diajarkan untuk belajar membangun ekonomi. Seperti saat koperasi mendapat pesanan jajan atau kue dari masyarakat sekitar, maka para santri perempuan diajari untuk belajar membuat kue.
Para santri pun merasa senang dengan kegiatan tambahan di pondok. Selain belajar ilmu-ilmu agama, para santri juga belajar berbagai keterampilan hidup. seperti yang di ungkapkan Bapak Jazuli. ”Para santri senang diajak belajar di luar kegiatan ngaji, seperti bertani, beternak maupun yang lainnya,” tutur bapak Jazuli, salah satu pengasuh Ponpes Daruttaibin.

Libatkan Masyarakat dalam Pengembangan Koperasi
Dalam perkembangannya, kegiatan koperasi di Ponpes ini ternyata dilirik masyarakat sekitar. Bahkan sebagian diantaranya ikut bergabung. ”Ini sebagai langkah awal untuk membangun perekonomian masyarakat agar lebih bisa berkembang. Sebagai kader pesantren kita harus bisa bersosialisasi dengan masyarakat,” terang Istiqomah menambahi.
Seiring berjalannya waktu, para penggerak Koperasi Daruttaibin menginginkan agar unit usaha koperasi dikembangkan tidak hanya di bidang perdagangan, namun juga simpan pinjam. Dengan modal Rp 6 juta, penggerak koperasi yang dipelopori oleh bapak Kholik mencari anggota yang berasal dari masyarakat sekitar Ponpes Daruttaibin.
Langkah ini mempunyai prospek yang sangat besar maka Koperasi Daruttaibin kemudian dikelola secara lebih serius. Anggotanya kini mencapai anggota 20 orang. Adapun simpanan pokoknya ditentukan sebesar Rp 60 ribu dan simpanan wajibnya sebesar Rp 5 ribu. Untuk membangun kebersamaan, setiap satu minggu sekali anggota koperasi membuat pertemuan rutin dengan agenda pengajian yang diasuh oleh Pengasuh Ponpes Daruttaibin, KH Moh Damanhuri Risya.
Dalam kesepakatannya, anggota koperasi berhak mengajukan pinjaman, namun dengan jumlah yang ditentukan. Ini karena modal koperasi masih terbatas. Besarnya pinjaman, untuk setiap anggota dibatasi paling besar Rp 600 ribu. ”Sesuai kesepakatan, masing-masing anggota koperasi boleh meminjam maksimal Rp 600 ribu,” terang Istiqomah.
Dijelaskannya, jika nanti ada yang pinjam lebih dari jumlah yang ditentukan, maka di kahawatirkan anggota yang lainnya banyak yang tidak kebagian. Istiqomah menambahkan, modal koperasi masih sedikit. ”Makanya bila yang pinjam lebih dari ketentuan dikawairkan anggota yang lainnya tidak kebagian,” tuturnya.(Lukman, Paricara)


Selengkapnya...

Tol Trans Jawa: Forum Jama’ah Korban Jalan Tol Jombang; Tolak Isu Harga

(Jombang-Alha-Raka) Kekompakan para korban merupakan salah satu kekuatan untuk mengupayakan penyelesaian ketidaksamaan harga penjualan tanah yang terkena landasan tol Trans Jawa Kertosono-Mojokerto antara warga dan P2T Kab. Jombang. Kompak di sini bukan berarti warga menolak ganti rugi, namun menunggu sampai ada kenaikan harga yang layak.


Usai pertemuan perwakilan dari masing-masing desa pada tanggal 30 Agustus dan 15 September 2009 di Dsn. Ngrawan Ds. Santren Tembelang Jombang, menghasilkan beberapa temuan baru terkait isu kenaikan harga. Pada awalnya harga tanah dihargai hanya Rp 50 ribu per M² kini naik menjadi Rp 70 ribu per M². Mengenai isu yang beredar tersebut, warga yang tanahnya akan diambil negara tentunya masih enggan menerima tawaran harga tersebut. Menurut Ismail, warga Desa Sumberejo Jombang, bahwa dirinya beserta 38 warga tetap kukuh dan sepakat bersama-sama akan berusaha mempertahankan tanah yang menjadi haknya. Tapi kondisi saat ini memang ada beberapa warga yang awalnya ikut mempertahankan harga jual sudah berkurang sedikit demi sedikit dengan alasan karena terlilit hutang. Disamping itu banyak sekali aparatur pemerintahan melakukan intimidasi serta memberikan informasi bahwa tidak akan ada kenaikan harga sampai kapan pun.
“Banyak anggota kami yang diancam bahwa kalau tidak segera memberikan tanah yang akan dibebaskan maka akan segera berurusan dengan pihak pengadilan. Padahal kami juga telah memberi tahu bahwa untuk berurusan dengan pihak hukum tentunya tidak semudah itu. Ada beberapa tahapan sebelum mengarah pada urusan konsinyasi, yakni warga harus bertemu dengan pihak eksekutif terlebih dahulu, dalam hal ini adalah bupati. Jika telah terjadi tawar menawar harga dan tidak menemukan titik temu, barulah ada tahapan menuju pengadilan,” terang Ismail.
Penuturan Ismail memang berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus mengutamakan musyawarah. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah hanya sepihak dalam membuat keputusan. Kini warga yang bertahan di Sumberejo dari 38 menjadi 28 dan terakhir tinggal 16 orang. Sedangkan di kecamatan Perak dan Bandar Kedungmulyo yang juga turut menjadi anggota aliansi kini yang bertahan hanya tinggal 17 orang. Sedangkan di desa Banjardowo dari 3 dusun yang paling banyak bertahan adalah Dsn. Gempolpait yakni 12 orang. Sedangkan untuk Cangkring Ngrandu Sidomulyo dan Santren Ngrawan Tembelang juga ada yang sudah memberikan tanah-tanah mereka dengan harga yang tidak sama.
“Kami awalnya hanya memberikan penawaran dengan mengajukan langsung kepada pihak eksekutif dan tembusan kepada pihak P2T (Panitia Pengadaan Tanah) dengan harga 2 kali lipat dengan harga yang diisukan. Namun dalam satu tahun ini tidak direspon sama sekali, kami merasa dipermainkan oleh pemerintah Jombang. Kini kami akan mengajukan permintaan harga sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) jika asumsinya permeter Rp 10 ribu, maka akan kami kalikan dengan kontrak investor selama tahap awal 35 tahun atau bisa jadi kontraknya 70 tahun maka tanah kami juga akan bisa mencapai harga permeter Rp 700 ribu” kata Ismail selaku koordinator Desa Sumberejo.
Hal senada juga disampaikan oleh H. Harun dari perwakilan Dsn. Gempolpait, bahwa meski dirinya telah didatangi oleh pihak kecamatan Jombang secara langsung namun akan tetap bertahan sampai ada kelayakan harga. “Untuk mau bertahan memang hak masing-masing orang, saya pun tak bisa melarang dan tidak bisa menyuruh kepada siapapun. Jika saya ditanya tetangga yaa saya jawab menunggu sampai ada kenaikan baru saya berikan. Lha wong harga jual beli normal tahun ini saja sudah naik. Apalagi untuk kasus khusus pada ganti rugi tanah, tentunya masyarakat juga tidak mau rugi karena nantinya jalan tol ini akan dikomersilkan” ungkapnya.
Sementara itu menurut Mustaghfirin, yang menjadi tuan rumah pada pertemuan ketiga di Dsn. Ngrawan juga membenarkan hal tersebut diatas. “Kita adalah calon korban tol, kenapa disebut korban ya karena kita tidak ada niatan untuk menjual tanah-tanah tersebut, namun karena untuk kepentingan umum terpaksa kita memberikan namun tentunya dengan harga yang layak. Ketika harga tersebut kita masih merasa rugi, maka kita harus berjuang. Dulu tahap sosialisasi awal dari pemerintah kami akan diberi ganti rugi dengan harga perkotaan, namun buktinya mana? pemerintah hanya omong kosong ini kan namanya bohong. Kita dikhianati oleh pemerintahan Jombang, untuk itu hanya ada dua pilihan kita akan menempuh jalur damai ataukah anarkis. Namun untuk saat ini kita akan menempuh jalur damai dahulu, meski harga diri rakyat kecil seperti kita telah terinjak-injak namun kita harus menggunakan otak bukan otot,” kata pak Mus Tegas.

Pemerintah Membuat Rakyat Miskin
Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, jargon ini tentunya sangat tepat dipakai untuk menyemangati perjuangan warga Forum Jama’ah Korban Jalan Tol Jombang (FJKTJ). Isu harga yang telah disebarkan pemerintah memang tidak manusiawi, terbukti banyak warga yang mengeluhkan harga tersebut. Padahal kalau ditinjau dari dampak yang ditimbulkan tidaklah sedikit, mulai dari kondisi sosial masyarakat yang dulunya pedesaan akan bergeser pada budaya perkotaan. Dulunya masyarakat menjadi petani dengan mengolah tanah-tanah mereka. Namun ketika jalan tol telah jadi mereka harus berupaya bertahan hidup dengan mencari pekerjaan lain karena tidak mempunyai lahan untuk bertani. Hal ini juga akan memicu banyaknya angka pengangguran. Belum lagi polusi yang tidak bisa dihindari oleh masyarakat setempat di sekitar lingkungan tol. Mulai dari polusi udara sampai pada polusi suara bising. Apakah ini mendapatkan jaminan asuransi dari pemerintah? Tepat kiranya jika pemerintah akan membuat rakyat miskin jika tidak mempertimbangkan harga yang layak dan manusiawi melihat dampak negatif yang akan muncul sangat beragam.
Untuk itulah beberapa warga yang masih tersisa akan terus bertahan dan memperjuangkan tanah-tanah mereka. Adapun tahapan awal yang pernah dimusyawarahkan bersama dengan KRJB (Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat) dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) Jatim adalah membuat rencana kerja teknis, yakni selalu berupaya melakukan koordinasi minimal setiap bulan. Dan selanjutnya akan membentuk team kecil untuk merumuskan hasil kesepakatan dengan bentuk pernyataan sikap yang akan ditujukan kepada semua instansi pemerintah dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat pusat yakni Jakarta. Adapun tahapan proses upaya bersama tersebut yang sudah mulai, pertama: Warga sepakat untuk kompak dan bersatu untuk tidak memberikan tanah sampai ada kenaikan harga yang layak. Kedua, selanjutnya masyarakat akan terus berupaya bisa bertemu langsung dengan P2T, TPT atau tim penaksir tanah dari provinsi Jawa Timur, dan dari sini jika memang harga telah disepakati oleh tim yang ditunjuk oleh Pemkab, yakni sang penaksir harga teratas itu berapa dan minimal itu berapa. Ketiga, Maka warga juga harus tahu batasan tanggal batasan akhir kapan realisasi pembebasan tanah itu dilakukan.
Dari ketiga tahapan tersebut harus tetap disertakan transparasi dari desa, jika semua data tersebut sudah ada ditangan warga selanjutnya FJKTJ akan bersama-sama melakukan audensi atau hearing dengan pihak eksekutif maupun legislatif. Namun sebelumnya masyarakat harus berupaya keras untuk mencari dukungan dari berbagai pihak, agar persoalan ini menjadi isu kabupaten. Menurut Heri, koordinator lokal Ngrawan, “kalau diperlukan kita akan bersama-sama membuat simulasi para korban tol yang dipaksa oleh pemerintah untuk memberikan tanah miliknya yang sejengkal sampai titik darah penghabisan. Dengan model simulasi akan mempercepat proses penyebaran informasi kepada seluruh khalayak. Yang terpenting lagi dari perencanaan teknis tersebut, yang tetap harus diperhatikan adalah bagaimana warga yang masih bertahan dan belum menyerahkan tanah-tanah mereka tetap kompak. Meski ada intimidasi dari berbagai pihak, jika masyarakat kompak maka perjuangan ini akan menemukan hasil yang diinginkan bersama, ” jelas Heri.
Pada pertemuan ke-3 tersebut, KRJB memandatkan Syadad, selaku staf ICDHRE Jombang untuk memfasilitasi jalannya diskusi. Untuk mendapatkan keadilan dari pemerintah memang rakyat harus berjuang keras, untuk memperlancar proses perjuangan perlu kiranya mengadakan do'a bersama yang ditujukan kepada birokrasi pemerintahan Jombang mulai dari bupati beserta stafnya dan pihak P2T. Harapan dari do'a bersama tersebut agar mau berfikir untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan bisnis semata dan mau transparasi tentang segala hal. Jangan hanya untuk menekan pengeluaran anggaran sedikit mungkin, namun dampaknya malah mengorbankan rakyat kecil. “Kita akan mulai bersama-sama melakukan penataan strategis, namun terlebih dahulu kita akan membuat team kecil yang terdiri dari ketua, para koordinator desa dan dibantu oleh beberapa perwakilan kelompok KRJB untuk merumuskan draf pernyataan sikap bersama yang ditujukan kepada semua instansi,” terang Syadad.
Adapun usulan yang berhasil dikumpulkan pada malam hari itu diantaranya: menuntut kenaikan harga dan menolak harga yang telah diisukan selama ini oleh pihak pemerintah, adanya transparasi dari tim P2T dan TPT, peninjauan ulang terhadap kelayakan harga dari tim apreaser, pengukuran ulang terhadap tanah-tanah yang masih belum diberikan warga, memberikan tenggang waktu kepada warga untuk pindah usai pembayaran ganti rugi, penambahan kesejahteraan bagi warga yang terkena dampak sosial ekonomi, batas toleransi sisa tanah, dan tolak mafia tanah termasuk para perangkat yang terlibat. “Dari beberapa usulan ini pada tanggal 24 September 2009 usai lebaran team yang telah ditugasi harus berkumpul dan segera melayangkan draf rumusan kesejumlah instansi. Draf rumusan yang telah dibuat nantinya akan menjadi materi untuk hearing ke DPRD Jombang, namun tentunya menunggu terbentuknya komisi-komisi dan ketua DPRD yang baru,” tambah Syadad. (din-din, Alha-Raka)

Selengkapnya...

“Sekolah Dilarang Melarang”

(Madiun-Difaa) Tanggal 28 Oktober 1928 atau 81 tahun lalu menjadi tonggak persatuan tekad dan semangat nasionalisme pemuda. Pemuda dari berbagai daerah yang tergabung dalam berbagai perkumpulan daerah antara lain Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, bertemu di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Pertemuan itu melahirkan kesatuan tekad, semangat, dan tujuan perjuangan bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bebas dari penjajahan bangsa lain. Saat ini, 64 tahun merdeka, kita perlu memaknai kembali peristiwa bersejarah tersebut, terutama dalam menghadapi era globalisasi.

Pertemuan pemuda pada tahun 1928 itu merupakan proses yang panjang dari perjalanan perjuangan bangsa. Berbagai perjuangan sebelumnya yang dilakukan para pejuang selalu dapat dipatahkan penjajah/Belanda. Karena perjuangan sebelum tahun 1928 bersifat kedaerahan, adu fisik, dan tidak ada persatuan semangat dan tujuan bersama. Dengan terlaksananya pertemuan pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda maka dimulailah babak baru perjuangan bangsa yang akhirnya menghantarkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Indonesia merdeka, pemuda meneruskan peran dengan mengisi kemerdekaan. Berbagai kiprah dan bentuk pengabdian kepada negara pasti berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan dulu. Hal tersebut merupakan cara dan memaknai perjuangan pemuda tempo dulu, sesuai dengan pernyataan Bapak Chusnul Yaqien, SH, Kasi Pembinaan Generasi Muda dan Olah Raga Dinas Pendidikan, Budaya, Pemuda dan Olah Raga Kota Madiun, “Saya kira meski bentuk perjuangan pemuda berbeda dengan masa dulu, tetapi pemuda harus tetap mempertahankan NKRI, berkiprah sesuai dengan bidang dan kemampuannya, termasuk mau menjaga budaya kita seperti Reog atau kesenian yang lain”.
Yohanes Manasye atau biasa dipanggil John, adalah salah seorang pengurus kelompok studi SDM (Sekolah Dilarang Melarang). Sekolah non formal ini merupakan kelompok studi yang terbentuk pada bulan Juni 2009, yang kelahirannya diprakarsai oleh DIFAA Madiun. SDM dalam kegiatannya menganut sistem belajar terbuka, aspiratif, setara, dan partisipatif. John sebagai bagian dari SDM yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium PMKRI Madiun periode 2008-2009, menyatakan bahwa bentuk perjuangan pemuda sekarang secara internal harus meningkatkan kualitas, pengetahuan, dan integritas diri. “Pemuda terutama mahasiswa jangan bergerak di tingkat elit saja, tetapi harus masuk dan peduli dengan situasi yang terjadi di masyarakat secara langsung,” ujar John.
Hal senada disampaikan oleh Chusnul Yaqien bahwa, Sumpah Pemuda tahun ini seharusnya diperingati untuk dimaknai ulang oleh pemuda Indonesia. Bagaimana menjaga semangat kebangsaan yang melekat dalam sanubari pemuda. Menurut Chusnul, ada banyak hal yang harus dilakukan untuk memaknai Sumpah Pemuda. “Salah satu cara adalah menjaga dan mengembangkan budaya. Karena budaya Indonesia sangat banyak dan bernilai tinggi. Jangan baru sadar ketika ada klaim budaya dari bangsa lain. Pemuda juga harus bisa menjaga agar tidak terlibat dengan gerakan radikal seperti terorisme yang merugikan bangsa dan negara sendiri,” kata Bapak Chusnul.
Sementara bagi John, menjaga rasa kebangsaan bisa diwujudkan dengan cinta produk dalam negeri, karena produk dalam negeri sebenarnya tidak kalah bagus dengan produk luar negeri. “Adalah memprihatinkan apabila pemuda sekarang lebih suka produk luar negeri, termasuk juga suka dengan gaya hidupnya yang belum tentu cocok dengan masyarakat kita,” kata John.
Pemuda Indonesia sekarang ini lebih mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri dan mengoptimalkan potensi diri sehingga lebih siap menghadapi tantangan globalisasi yang penuh dengan persaingan. Globalisasi adalah masa di mana sekat negara, wilayah, sistem, dan ideologi semakin tipis. Maka persaingan kerja semakin ketat. “Generasi muda sekarang lebih bebas, leluasa, dan pasti lebih mampu bersaing, asal jangan terjebak dalam globalisasi yang bersifat negatif. Ambil sisi positif dari globalisasi,” tambah Chusnul Yaqien.
Pemuda harus siap bersaing dalam tantangan globalisasi yang membutuhkan kemampuan dan skill yang memadai. Karena dalam era globalisasi hanya yang kuat dan berkemampuan dengan skill tinggi yang dapat bertahan. “Pemuda mesti melengkapi diri dengan berbagai kemampuan, meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan iman takwa (Imtaq). Iman dan takwa tetap penting agar teknologi dapat membawa kebaikan bagi manusia,” tambah Bapak Chusnul.

Sumpah Pemuda dan Perempuan
Makna sumpah pemuda yang diperingati juga dapat dijadikan semangat bagi pemudi/perempuan Indonesia untuk meningkatkan perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemudi Indonesia harus mampu tampil ambil peran langsung dalam berbagai problem perempuan Indonesia. “Berbagai masalah perempuan mulai dari kemiskinan, pendidikan yang masih rendah, kekerasan baik KDRT maupun kekerasan pada buruh migran yang tinggi dan trafficking perlu segera diselesaikan,” ungkap Diah Ayu Kartikasari, pengurus SDM yang juga pengurus PMII IKIP PGRI Madiun.
Penyelesaian masalah perempuan Indonesia harus dilihat dari berbagai faktor termasuk faktor penyebab maka pendidikan adalah hal utama dan sangat penting untuk di lakukan. “Pendidikan menjadi kunci perubahan kehidupan dan kesejahteraan sehingga kesempatan kerja akan lebih terbuka bagi perempuan jika pendidikan lebih diperhatikan dan terjangkau,” tambah Diah lagi.
Perempuan harus terlibat aktif dalam upaya penyelesaian persoalan perempuan karena berbagai faktor:
1. Bahwa jumlah perempuan Indonesia separoh lebih banyak dari jumlah laki-laki, maka akan jadi tugas berat jika hanya laki-laki yang terlibat.
2. Persoalan perempuan lebih dipahami oleh perempuan sehingga penyelesaian masalah perempuan perlu melibatkan perempuan.
3. Laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama, hanya saja kesempatan belum terbuka lebar bagi perempuan.
( Ari Royani- DIFAA )


Selengkapnya...

Memeluk Gunung, Memeluk Kemanusiaan

(Kediri-SS) Pukul 15.20 WIB pada hari Rabu Desa Sepawon kedatangan tamu istimewa. Rombongan Cordaid, salah satu lembaga sosial dari Belanda, untuk melihat salah satu sumber air yang dibangun pada jaman Belanda dan juga ingin mendengarkan ungkapan warga setelah terjadi peristiwa Gunung Kelud.


Rombongan dari Cordaid diantaranya Mr. Jhon, Vivi, Julia, dan dari Surya Sejahtera (SS), Heri DK, Rudiyanto HS serta Bimo Husodo (Anggota DPRD Kabupaten Kediri). Rencananya rombongan akan melihat langsung ke lokasi Sumber Glatik, dimana terdapat mata air berupa DAM kecil buatan Belanda yang digunakan oleh masyarakat Desa Sepawon, memenuhi kebutuhan sanitasinya. Sumber tersebut berlokasi di tengah-tengah perkebunan kopi dan cengkeh Affdeling Glatik PTPN XII Rangkah Sepawon.
Sebelum berkunjung ke Sumber Glatik, rombongan ini berdialog dengan komite Panca Manunggal Rasa (PMR) dan warga masyarakat Sepawon di Posko PMR. Rahmad Sudrajat, 30 tahun, Sekretaris Komite PMR menjelaskan, bahwa Dusun Petungombo Desa Sepawon sesuai peta bencana hanya berjarak kurang dari 11 KM dari Kawah Letusan Gunung Kelud.
Lukas Margono, 32 tahun, juga menambahkan bahwa sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) yang selama ini memantau Gunung Kelud, Desa Sepawon masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III atau Ring I.

Ketika Letusan Kelud Menghampiri Desa Sepawon
Vivi, salah satu anggota rombongan Cordaid menanyakan, apakah selain terjadi letusan Gunung Kelud pada tahun 2007 juga terjadi letusan di tahun-tahun sebelumnya. Muharto, seorang warga menjawab bahwa telah terjadi letusan di tahun 1951, 1966, 1991 dan tahun 2007. Muhartoyo juga menceritakan pada tahun 2007, tidak terjadi letusan tetapi menurut PVMBG sudah terjadi letusan dengan perlakuan yang berbeda yaitu keluarnya kubah lava yang sekarang menjadi anak-an Gunung Kelud.
Sementara, lanjutnya, letusan tahun 1991 ciri khasnya adalah hujan abu dan batu sebesar kepalan tangan, dan ketebalan pasir sampai 50 cm. Setelah terjadi letusan terlihat seperti padang pasir dan debu, pohon-pohon pada kering tidak ada satupun daun semua pada rontok berjatuhan
Pasca letusan Gunung Kelud, jelas Muhartoyo, terjadi seperti hamparan padang pasir dan debu, waktu ini berjalan sampai 3 bulan lebih dimana sumber-sumber mata air menjadi mati dan tersumbat oleh pasir. Peternak-peternak kesulitan mencari pakan karena tidak ada satupun rumput-rumputan dan pepohonan yang ada daunnya.
Akhirnya banyak warga yang menjual hewan ternaknya. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Belum lagi di sektor pertanian banyak dari tanaman warga yang rusak dan gagal panen. Banyak rumah warga yang rusak serta sarana umum seperti : Balai Desa, Sekolah Dasar, tempat ibadah, dan jembatan sebagai jalur penghubung Desa rusak parah. Pada letusan gunung Kelud tahun 1991 itu tidak ada korban jiwa.
Sementara Julia dari Cordaid menanyakan tentang upaya apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sepawon dan Pemerintah Daerah Kediri ketika akan terjadi letusan. Menurut anggota Komite PMR, Andriyanus Danang, bahwa sesuai dengan pengalaman masyarakat di lereng Gunung Kelud, kebiasan masyarakatnya adalah membaca gejala alam dan berdasarkan petunjuk dari orang yang dituakan (pini sepuh). Jika hewan-hewan liar turun gunung dan tidak ada kicauan burung serta suhu agak panas, padahal di daerah ini hawa dingin berarti tanda-tanda gunung akan meletus (berdasar ilmu titen).
Pengalaman letusan gunung Kelud pada tahun 1991 respon pemerintah daerah tidak seperti sekarang, tidak ada informasi sebelumnya. Walaupun pemerintah daerah sekarang juga masih lemah terhadap issu pengurangan risiko bencana, tetapi setidaknya ada lembaga swadaya masyarakat seperti Surya Sejahtera yang mendampingi masyarakat dalam hal melek bencana.
“Jadi waktu terjadi letusan di tahun 1991 masih banyak warga yang masih beraktifitas dan bekerja (ada di tegal, perkebunan, ke pasar dll) untungnya letusan Gunung Kelud terjadi siang hari sekitar pukul 11.00 WIB, seandainya malam hari kita tidak bisa membayangkan dan pasti banyak korban,” tegas Sunarno, 40 tahun. “Ini dikarenakan tidak adanya sosialisasi lebih dini tentang letusan gunung Kelud,” tambahnya.

Bagaimana Seharusnya Evakuasi Dilakukan
Letusan tahun 1991 tidak ada mekanisme yang jelas tetang evakuasi, rata-rata masyarakat Desa Sepawon percaya kepada pini sepuh tentang sebuah tempat-tempat yang dipercaya aman dari ancaman sesuai lokasi di masing-masing dusun. Sebagian masyarakat percaya bahwa jika terjadi letusan, desanya malah aman dan tidak terjadi apa-apa, justru desa-desa dibawah yang cenderung lebih parah. Hal ini berdasarkan dari pengalaman-pengalaman waktu terjadi letusan.
Sementara tahun 2007 situasi berbeda dengan letusan tahun 1991, ada peringatan dini dari pemerintah melalui PVMBG, disamping itu media televisi dan radio sering memberitakan tentang perkembangan status gunung Kelud dari mulai waspada, siaga hingga awas, walaupun gunungnya tidak jadi meletus standard evakuasi yang dilakukan menimbulkan banyak persoalan karena rata-rata dilakukan dengan cara memaksa warga tanpa penjelasan terlebih dahulu. Padahal masyarakat lereng Gunung Kelud yang hidupnya bergantung dengan tradisi ini punya pengalaman tentang letusan gunung.
Muhartoyo, kembali menegaskan, seandainya informasi dan penanganan ini dipadukan dengan pengalaman masyarakat, mungkin tidak ada persoalan. Masalahnya saat terjadi tanda-tanda letusan, belum-belum ada pemaksaan dari pemerintah yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI untuk mengungsi di tempat yang telah disediakan. Mereka harus meninggalkan barang-barang berharga, dan ini menjadikan kekecewaan tersendiri bagi warga masyarakat.
Mengapa masyarakat sangat sulit untuk diajak evakuasi, alasannya karena trauma dengan kasus yang pernah terjadi. Rata-rata masyarakat yang memiliki ternak enggan untuk dievakuasi di titik aman karena pemerintah sendiri tidak menyediakan evakuasi bagi ternak mereka. Evakuasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung hanya mengamankan orangnya saja tapi tidak kepada asset yang dimiliki. Padahal masyarakat lereng gunung juga sangat bergantung kepada ternaknya sebagai tambahan penopang ekonomi keluarga

Surya Sejahtera Lakukan Program Pengurangan Risiko Bencana
Kegiatan-kegiatan apa saja yang sudah dilakukan oleh Komite Desa Panca Manunggal Rasa dengan program pengurangan resiko bencana ini? Rahmad Sudrajat selaku sekretaris PMR menjelaskan, bahwa dari awal program yang dibawa Surya Sejahtera ini ada di Desa Sepawon,
Pertama; yang kita lakukan yaitu melakukan pemetaan swadaya dan data base kependudukan desa serta aset-aset yang dimiliki warga Desa Sepawon yang terdiri dari 5 dusun, Kedua; membentuk komite desa sebagai lembaga pengurangan resiko bencana yang belum ada di Kediri, Ketiga; mengadakan pelatihan-pelatihan, workshop DRR berbasis masyarakat, melakukan pemetaan desa, pembuatan peta jalur evakuasi, kesepakatan peringatan dini dan kesepakatan bersama tentang pengurangan resiko bencana ancaman letusan Gunung Kelud, Keempat; bersama mengadakan lingking and learning bersama warga di lereng Kelud dan mitra di Plosoklaten dan Wates yang selama ini menjadi tempat untuk evakuasi Kelima; Komite desa juga mengadakan sekolah lapang ternak untuk pembuatan pakan ternak buatan, Keenam; komite desa mengadakan diskusi rutin, sarasehan, rembug warga, ambilah contoh: mengadakan sarasehan untuk membahas tentang tata kelola dan tata guna air, ketujuh; melakukan kunjungan-kunjungan dan belajar bersama ke komunitas-komunitas yang ada di Kediri
Mengenai bantuan setelah terjadi letusan Gunung Kelud menurut penuturan Andriyanus Danang, sangat kecil sekali bantuan yang masuk ke Desa Sepawon terutama Dusun Petungombo. Rata-rata bantuan yang berupa droping bahan pokok makanan, bahan obat, dan kesehatan ini hanya di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar. Padahal secara letak geografis Desa Sugihwaras bersebelahan dengan Desa Sepawon yang menurut peta bencana Kelud justru Dusun Petungombo Desa Sepawon yang paling dekat dengan kawah letusan.
Dari pengalaman letusan tahun 1991 dan 2007 dapat dianalisa memang jalur masuk ke dusun ini memang sulit. Dari arah barat sangat jauh dari pusat Kecamatan Plosoklaten, sementara dari jalur selatan yang bersebelahan dengan Desa Sugihwaras akses masuk menuju ke desa ini melewati jalan-jalan bebatuan (makadam), jalannya juga sempit. Seolah-olah Dusun Petungombo Desa Sepawon adalah desa yang terisolir, alasan inilah yang menurut masyarakat kenapa bantuan-bantuan enggan masuk.
“Karena itu pada tahun 2008 ketika Kecamatan Plosoklaten mendapat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yaitu salah satu program pemerintah, melalui komite desa pengurangan resiko bencana bersama Kader Penggerak Masyarakat Desa (KPMD) dan pemerintahan desa menggelar diskusi dan mensepakati pembangunan difokuskan pada perbaikan jalur evakuasi sepanjang 2 Km.
Karena disamping jalan ini sebagai jalur evakuasi titik aman waktu terjadi letusan Gunung Kelud, jalan ini sebagai jalur utama arah ke selatan atau ke Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar dan ke Pasar Wates Kecamatan Wates juga sebagai jalur ekonomi warga. Jika akses jalan ini terbangun Dusun Petungombo tidak terisolir karena masuk ke dusun ini lebih mudah. Alasan-alasan inilah yang menjadikan prioritas, mengapa perbaikan jalur evakuasi dan pembangunan jalan ini penting.
Dalam hal ini bekerja sama dengan Insist dan Surya Sejahtera lebih pada program-program pemberdayaan, bukan fisik (pembangunan) tapi knowledge (pengetahuan). Contohnya workshop yang diadakan, pelatihan-pelatihan dan berkunjung ke komunitas-komunitas untuk belajar bersama (lingking learning) selama ini menambah pengetahuan anggota komite desa terlebih masyarakat. Dari sinilah kesadaran itu muncul bahkan sampai menjadi kesadaran kritis. “Pertama; mengetahui akar persoalan, Kedua; tahu bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut, dan yang Ketiga; mau melakukan dan merubahnya,” tegas Sudrajad.
Diakhir sesi diskusi dan tanya jawab Komite Desa Panca Manunggal Rasa dengan rombongan Cordaid, ada catatan tentang hikmah diperoleh dari adanya program pengurangan resiko bencana di Desa Sepawon selama ini. Yaitu, Pertama; hikmah dari program ini muncul kesadaran kritis dari masyarakat di lima dusun di Desa Sepawon tentang pentingnya pengurangan resiko bencana. Kedua; di Desa Sepawon terbentuk sebuah lembaga komite desa untuk pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, Ketiga; bertambahnya ilmu pengetahuan masyarakat diluar kebiasaan membaca alam melalui mistik dan ilmu titen ke wawasan kontigensi plan. Keempat; Komite desa ini dijadikan lembaga pemberdayaan oleh masyarakat dengan prinsip menggali potensi sumber daya alam lokalitas. Contoh: berternak (kambing, sapi) dengan cara lebih maju, bertani organik, pembuatan makanan aneka kue berbasis bahan lokal (dodol, sele dari buah nanas) juga ada pra koperasi yang akan di bentuk Kelima; semakin banyak jaringan-jaringan komunitas di Kediri dan Jawa Timur, diantaranya (komunitas tani, koperasi perempuan, komunitas peternak, lembaga kesehatan, Tagana Kediri, PVMBG, mahasiswa pecinta alam, Satlak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan komunitas-komunitas di lereng Kelud kawasan rawan bencana). Hal ini dibuktikan ketika lingking learning diadakan terdapat pengikraran dan deklarasi terhadap gerakan pengurangan risiko bencana untuk ancaman letusan Gunung Kelud. (Ipung, Surya Sejahtera)
Selengkapnya...

Konveksi Lokal Kian Terpinggirkan

(Tulungagung-Paricara) Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra konveksi yang cukup besar. Terdapat ratusan usaha konveksi rumahan (home industri) yang tersebar di Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru, Boyolangu, Kauman dan sekitarnya. Ratusan bahkan ribuan tenaga kerja menggantungkan harapan hidup dari usaha ini.


Tapi kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan. Nasib sebagian pengusaha konveksi, terutama yang berskala kecil, semakin lama semakin terpuruk karena permintaan pasar yang terus menurun. Kondisi ini diperparah dengan permainan para pemodal besar dalam menyediakan bahan seperti kain, benang dan bahan konveksi lainnya.
Fatalnya lagi, sejak dibukanya perdagangan bebas, produk-produk konveksi dari luar daerah maupun luar negeri yang dipasarkan dengan harga murah, cukup leluasa masuk ke Tulungagung. Pengusaha konveksi lokal pun kalah bersaing, lantaran pasar sudah dikuasai produk luar. Akibatnya, mereka makin terpinggirkan dan bahkan sebagian diantaranya terancam gulung tikar.
Seperti yang dialami Hariyanto, pemilik rumah konveksi di Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengaku, usaha konveksi yang digelutinya belum sepenuhnya berjalan maksimal. Selama ini dia hanya sebagai pembantu untuk menjahit pesanan orang lain. “Saat ini mesin kita hanya dipakai ketika ada pesanan saja dan itupun kebanyakan merupakan pesanan orang lain,” jelasnya.
Hariyanto mengatakan, rata-rata pesanan datang dari sekolah-sekolah. Sehingga untuk produksi sendiri harus menunggu musim sekolah tiba dan itupun sifatnya tahunan. “Kita biasanya memproduksi yang sifatnya musiman, seperti saat ajaran tahun baru tiba,” ungkapnya.
Selama ini Hariyanto masih menjalankan produksinya kalau salah satu temannya ada yang dapat order dan menawarinya untuk membantu menyelesaikan pesanannya. Itupun bisa didapat kalau temanya mempunyai pesanan banyak, namun kalau sedikit biasanya dikerjakan sendiri. “Biasanya kita menjahit ketika ada teman kita mendapatkan order banyak, jadi kita bisa kebagian untuk membantu menyelesaikannya,” lanjutnya.
Sebenarnya dia mempunyai mesin jahit sejumlah 6 unit, namun demikian tidak setiap harinya dapat memproduksi pakaian karena kendala permodalan. “Maklum mas, walau usaha ini sudah berjalan 2 tahun, namun belum ada modal untuk mengembangkan produksi yang lebih besar,” tutur Hariyanto.
Disamping modal, ia juga menghadapi kendala lain, yakni persaingan pasar yang menuntutnya untuk memberikan produk yang lebih baik. Sementara itu, pasar di lokal Tulungagung tidak memberinya kesempatan untuk bisa mengembangkan hasil produksinya. “Yang pasti persaingan industri sangat ketat, apa lagi harganya, semuanya bersaing,” tambahnya.
Pemerintah Tulungagung pun sepertinya memberikan keleluasaan bagi para pemodal besar sehingga meminggirkan pengusaha konveksi kecil. Di sisi lain, dengan maraknya produk garment (konveksi) dari luar negeri secara tidak langsung akan mematikan pasar produk konveksi lokal. Hal ini mengakibatkan usaha konveksi lokal menjadi lesu dan terancam gulung tikar. Bila ini terjadi lapangan pekerjaan pun semakin berkurang dan menyisakan banyak pengangguran.

Pemerintah Perlu Ikut Mengontrol
Hal yang sama dirasakan Hana Rianto, selaku pemilik konveksi asal Dusun Patik, Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengeluhkan kalau selama ini konveksi sudah tidak diminati anak-anak muda. “Banyak anak muda sekarang tidak berminat sebagai seorang penjahit,” keluh Hana, sapaan akrabnya sehari-hari. Padahal, katanya, konveksi telah menjadi jantung perekonomian masyarakat Desa Batangsaren, dikarenakan hampir setiap penjuru masyarakat desa ini mempunyai usaha konveksi. Bahkan konveksi merupakan usaha ekonomi masyarakat Desa Batangsaren yang dilakukan secara turun temurun.
Hana mengakui, usaha kecil berupa konveksi saat ini sudah mulai surut. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya jaminan dari pemerintah mengenai standard patokan harga pasar, utamanya di pasar lokal Tulungagung. Sehingga mengakibatkan banyak para pemodal besar mempermainkan harga bahan utama konveksi. “Biasanya saat permintaan pasar banyak, stok kain dikurangi,” terangnya.
Monopoli harga ini biasa dan rutin terjadi bila saat pesanan konsumen banyak maka kain di pasaran seakan-akan langka dan pemodal mengatakan kainnya sudah habis dan tidak produksi. Alasan itulah yang biasanya dijadikan alibi untuk menaikkan harga kain di pasaran. Akibatnya, harga produksi tidak sesuai dengan harga jual di pasar. Ia membeberkan, untuk produksi biasanya dia membeli kain dan bahan-bahan produksi lainnya secara tunai. Ini belum termasuk beban biaya tenaga produksi. “Namun biasanya untuk pemesan (konsumen) hutang duluan,” beberapa Hanya.
Hanya menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya persatuan pengusaha konveksi sehingga menjadikan persaingan pasar semakin tidak terkendali. Persaingan antar pengusaha konveksi tidak bisa terbendung lagi dikarenakan belum adanya organisasi yang menaungi.
Akibatnya, banyak anak muda yang meninggalkan profesi ini. Mereka memilih untuk bekerja keluar daerah bahkan ada yang bekerja keluar negeri. Sehingga sulit untuk mendapatkan tenaga profesional dan memadai. “Saat banyak order, kami bingung untuk mencari tenaga profesional guna membantu menyelesaikan pekerjaan (menjahit) ini,” keluh Hanya. Menurut dia, ada 6 persoalan yang dihadapi pengusaha konveksi skala kecil, yaitu kurang modal, berkurangnya tenaga profesional, belum adanya persatuan antar pengusaha konveksi, managemen pengelolaan, permainan pasar kain oleh pemodal dan semakin banyaknya produk-produk garment yang datang dari luar dan tidak terkontrol.
Selain itu, ancaman besar yang paling menghantui pengusaha konveksi lokal adalah harga kain yang didatangkan dari luar negeri ternyata lebih murah dari pada harga kain hasil produk dalam negeri. Mensikapi keadaan ini, seharusnya pemerintah melakukan kontrol terhadap harga pasar kain, khususnya yang didatangkan dari luar negeri, agar tidak merusak harga kain lokal.
Hana menegaskan, kalaupun ada pemodal yang ingin masuk di wilayah Tulungagung harus seizin pemilik produksi kecil setempat. “Seharusnya pemerintah tegas melarang para pemodal besar masuk tanpa seizin pengusaha kecil di sini, kecuali mereka mau bekerja sama dengan kita dalam bentuk kontrak kerja,” tandasnya.
Pemerintahpun perlu memberikan perhatian dalam bentuk jaminan atas kelayakan produksi dalam negeri serta mendukung atas hasil produksi dalam negeri. Pemerintah semestinya juga memberikan peluang atas hasil produksi warganya sehingga bisa lebih berkembang, termasuk membantu permodalan dan jaringan pemasarannya. Selama ini pemerintah hanya memberi peluang kepada pemilik modal besar saja dan melupakan kondisi industri kecil. (Lukman, Paricara)


Selengkapnya...

SERAB, Organisasi Bagi Rakyat Nganjuk

(Nganjuk-Punden) Serikat Rakyat Anjuk Bangkit yang disingkat SERAB adalah wujud dari aliansi beberapa kelompok yang ada di Kabupaten Nganjuk. Meskipun belum dideklarasikan, organisasi bersama ini sudah bersepakat untuk saling menguatkan sebagai upaya mewujudkan keadilan demi meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat Nganjuk secara umum.

Tim penggagas terbentuknya aliansi ini beberapa waktu lalu terus melakukan tahap demi tahap untuk mempersiapkan deklarasi seperti yang telah dimandatkan. Tim inisiator ini bertugas mengkonsolidasikan seluruh kelompok yang sudah bergabung maupun kelompok lain yang ingin bergabung. Selain itu juga bertanggung jawab atas terbentuknya organisasi aliansi, kemana arah gerakan ini dibangun, dan juga bagaimana organisasi bisa berperan bagi masyarakat, khususnya yang menjadi anggota aliansi. Oleh karena itu beberapa pertemuan telah dilakukan sebagai proses gerakan menuju kemajuan bersama.

Saat ini, SERAB beranggotakan 10 kelompok, yakni PAMAN (Paguyuban Mandiri) Dusun Karang Tengah Desa Garu Kec. Baron, KPRM (Koperasi Perempuan Rejo Makmur) Dusun Tegalrejo Desa Bangsiwil Kec. Patianrowo, Koperasi Kumandang Desa Banjaranyar Kec. Tanjung Anom, Koperasi Langgeng Dusun Karang Tengah Desa Garu Kec. Baron, IPM (Ikatan Pemuda Malangsari) Desa Malangsari Kec. Tanjung Anom, Paguyuban Pedagang Pasar Mbaduk Desa Malangsari Kec. Tanjung Anom, Koperasi Ar-Rahman Desa Banjaranyar Kec. Tanjung Anom, Kelompok Tani Sumber Rejeki Dusun Ngelaban Desa Babadan Kec. Patianrowo, Gerakan Muda NU (GMNU) Kec. Baron dan Kelompok Jimpitan Desa Pandanarum Kec. Baron. Organisasi ini juga terbuka bagi kelompok-kelompok lain di masyarakat yang mempunyai anggota tetap dan telah melakukan kegiatan rutin bersama. Dan tidak menutup kemungkinan bagi kelompok yang tidak berdiri secara struktural atau memiliki struktur kepengurusan berjenjang, maupun pribadi-pribadi yang ingin melakukan pengorganisasian di wilayahnya, untuk bisa bergabung dalam aliansi ini.

Anggota organisasi aliansi ini aktifitasnya beragam. Ada koperasi, kelompok tani, kelompok pedagang, kelompok pemuda, dan paguyuban. Hal ini sangat memungkinkan bagi SERAB untuk melakukan inovasi di berbagai bidang. Dari beberapa pertemuan yang dilakukan, muncul gagasan dan ide-ide cemerlang untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Kesepakatan yang dihasilkan pada intinya adalah bagaimana organisasi aliansi ini bisa menjembatani kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing kelompok yang ada, baik di bidang ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan maupun yang lainnya.

Di bidang ekonomi usulan pelatihan kewirausahaan dan sejenisnya yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi para anggotanya. “Saya berharap dengan adanya organisasi aliansi ini kita bisa saling bertukar pengalaman antar anggota baik di bidang peningkatan ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan, pertanian maupun yang lainnya,” Kata Gaguk, salah satu inisiator yang juga wakil dari kelompok tani Sumber Rejeki dari Nglaban Babadan Patianrowo.

Terbentuknya aliansi nantinya diharapkan bisa memfasilitasi setiap persoalan yang dihadapi komunitas di lokal masing-masing. “Saya memiliki harapan yang sangat besar terhadap organisasi ini, yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa banyak manfaat yang kita dapatkan dari berorganisasi atau berkelompok, sehingga bisa menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat yang belum berkelompok untuk bisa bergabung dengan kita,” ungkap Imam Mulyo, salah satu penggerak dari Katerban Baron.

Yang tidak kalah penting adalah kekuatan berjejaring yang dilakukan oleh anggota SERAB selama ini baik dengan sesama organisasi aliansi maupun dengan organisasi lain di luar Kabupaten Nganjuk seperti dari wilayah Kediri, Tulungagung, Jombang, Madiun, Mojokerto, juga dengan instansi pemerintah baik di lokal kabupaten, provinsi Jawa Timur maupun tingkat nasional.

Gagasan Usaha Bersama Mulai Terwujud
Demi mewujudkan cita-cita dan harapan kelompok untuk bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi, dalam sebuah kesempatan pertemuan rutin, salah satu anggota SERAB yaitu Koperasi Kumandang telah membahas rencana usaha bersama yang memanfaatkan SPA atau Sentra Pengelolaan Agrobis yang berada di Kecamatan Sukomoro, yang telah disediakan pemerintah daerah setempat.

SPA ini dibangun dengan tujuan memfasilitasi masyarakat Nganjuk, khususnya bagi mereka yang bergerak di bidang agrobis untuk bisa memasarkan produknya di area ini. Letak SPA yang strategis yaitu di pinggir jalan raya dan juga berada di samping Masjid Agung Pancasila sebagai rest area yang biasa digunakan oleh para pengguna jalan untuk sekedar beristirahat dan melakukan kewajiban sholat bagi yang muslim. Keberadaan SPA ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat Nganjuk untuk bisa memiliki ruang agar bisa meningkatkan daya jual produk agrobis mereka.

Namun karena pengelolaannya belum maksimal, membuat area ini masih sepi dari pengunjung. Hal ini disebabkan kurangnya promosi maupun sumber daya yang mengelola sehingga terkesan asal-asalan. Artinya asal ada bangunan sebagai sentra agrobis sudah cukup. “Kurangnya perhatian dari pemerintah dalam pengelolaan SPA ini menyebabkan minimnya ketertarikan investor untuk berinvestasi di sini sehingga pengunjung pun malas untuk sekedar mampir,” terang Arif, pria yang berasal dari Jember ini.

Berkat kekuatan berjejaring yang dijalin Arif, sebagai salah satu anggota Koperasi Kumandang dengan Pemerintah Daerah Nganjuk, dalam hal ini Dinas Pertanian sebagai instansi yang bertanggung jawab pada keberadaan SPA tersebut, pria yang tinggal di Sukomoro ini dipercaya untuk mengelola dua buah kios yang berada di area SPA. “Saya berharap kepercayaan ini bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin, karena kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kalinya. Dan kita harus menjaga kepercayaan ini demi keberlangsungan hubungan kita dengan pemerintah daerah,” lanjut Arif

Mendapatkan kepercayaan untuk mengelola stand di SPA, bagi Arif, merupakan sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Karena dengan terbatasnya modal yang dimiliki oleh organisasi kesempatan tersebut merupakan peluang yang sangat bagus sebagai sarana awal untuk menuju usaha bersama kelompok. SERAB telah melakukan perencanaan-perencanaan terkait dengan pengelolaan stand SPA. Menurut pria yang kental dengan logat maduranya ini, SERAB tidak hanya harus bisa mengelola stand yang dipercayakan kepadanya tetapi juga harus bisa memikirkan bagaimana agar ke depan SPA ini bisa menjadi ikon pariwisata bagi Kabupaten Nganjuk.

Prospek kerjasama ini diharapkan sebagai motivasi untuk lebih mengembangkan koperasi, mengingat sumberdaya anggota yang mempunyai berbagai unit usaha dan rencana usaha koperasi sangat relevan, tinggal bagaimana nantinya kegiatan ini dilakukan.

Guna menindaklanjuti upaya kerjasama ini, Koperasi Kumandang melakukan launching untuk membuka usaha di SPA. Acara ini bersamaan dengan pertemuan rutin Koperasi Kumandang. dan acara Halal bi Halal seluruh anggota aliansi bersama dengan keluarga masing-masing bertempat di Balai Pertemuan SPA. Tidak tanggung-tanggung launching ini mengundang seluruh jajaran yang terlibat di SPA, mulai dari Bupati, Dinas Pertanian, Disperindagkop, DPRD, sampai pemerintahan desa dimana lokasi SPA ini berada. Namun seperti biasa yang datang hanya beberapa perwakilan saja. Tampak perwakilan dari Dinas Pertanian, Ir. Iswandi, hadir dalam acara santai tersebut.

Kedepan, organisasi aliansi ini berharap dengan mengelola stand SPA, bisa menjadi awal yang baik bagi SERAB untuk bisa mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan keadilan demi tercapainya kesejahteraan. (Lila, Punden)

Selengkapnya...

Dekrit’17 : Kelompok Pemuda Serba Bisa

(Jombang-Alha-Raka) Keberadaan kelompok muda Dekrit’17 Badang Ngoro Jombang, betul-betul membawa warna baru di masyarakat Badang secara keseluruhan. Setiap kegiatan besar yang diadakan di desa ini, Dekrit’17 tidak pernah ketinggalan untuk ikut berpartisipasi. Baik dalam kegiatan Agustus-an, simpan pinjam untuk pemberdayaan ekonomi kelompok serta kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada bulan Ramadhan mereka menjadi panitia pelaksana pembagian Zakat. Tekadnya, Kelompok Dekrit’17 selalu siap memberikan yang terbaik untuk kemajuan desa.


Ada kalimat bijak mengatakan, nasib bangsa di masa mendatang bisa dilihat melalui kehidupan pemudanya saat ini. Kalimat ini memiliki arti yang sangat dalam untuk memotivasi kehidupan kawula muda dalam peranannya di masyarakat. Minimal pemuda mampu mendinamisasi di tingkat lingkungan tempat tinggalnya masing-masing. Bila kehidupan pemudanya saat ini buruk, suramlah masa depan bangsa itu. Sebaliknya, bila kehidupan pemuda suatu bangsa saat ini terjadi selalu kreatif, inovatif dan mau belajar melalui karya-karya terbaik, serta jauh dari kebudayaan negatif, maka masa depan bangsa ini akan bisa terjamin sejahtera.

Hal di atas menunjukkan bahwa betapa penting peran pemuda dalam kehidupan berbangsa. Sebab hanya merekalah yang menjadi tumpuan masa depan bangsa. Pemudalah yang akan memegang tongkat estafet pengendalian bangsa dimasa mendatang. Dalam sejarah lokal perjuangan Dekrit’17 cukup panjang untuk diurai, namun untuk menunjukan betapa berat perjuangan mereka dalam proses perjuangan berorganisasi maupun dalam melakukan gerakan sosial dalam bermasyarakat. Mereka berjalan perlahan namun pasti dalam mengawali membangun kepercayaan untuk menepis krisis kepercayaan masyarakat mulai tahun 2001 yang lalu. Dengan adanya persepsi miring dalam struktur masyarakat bahwa pemuda masih identik dengan urakan dan arogan, hingga keberadaan pemuda selalu pada posisi terbawah.

Hal ini juga pernah dituturkan Puji Santoso selaku ketua panitia pembagian Zakat tahun 2009, bahwa semangat pemuda kalau sudah tumbuh memang tidak bisa dipandang remeh. Tengok saja sejarah proses munculnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 silam, sebuah tantangan untuk dapat merubah keadaan politis, untuk menjadikan bangsa yang merdeka baik pikiran maupun tindakan. ”Kini perjuangan pemuda tidaklah seberat dulu, hanya bagaimana cara bisa mengumpulkan antara pemuda embongan dengan pemuda Masjid-an mampu bertemu dan mau berfikir positif. Jiwa solidaritas bersama inilah yang kemudian disatukan dengan alat yakni membuat kegiatan bersama, seperti PHBN (Peringatan Hari Besar Nasional) dan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam),” terangnya.

Dekrit’17 (Depot Kreatifitas 17 Agustus). Dari namanya, jelas nampak kesadaran akan tanggung jawab pemuda sebagai generasi penerus bangsa terutama dalam melanjutkan cita-cita para pahlawan kemerdekaan begitu tinggi. Disadari atau tidak, dalam perjalanan sejarahnya, dia tak pernah lepas dari tantangan baik dari perangkat desa maupun masyarakat sendiri. Namun karena banyak peran positif dalam kehidupan sosial, Dekrit’17 menjadi organisasi kuat dan yang bergerak, dan karena sebagian besar anggota adalah pemuda maka mereka lebih luwes dalam menjalankan fungsi dan perannya yang selalu sejalan dengan visi dan misi organisasi. ”Ibarat tubuh, Dekrit’17 selalu berusaha menjadi penyeimbang, artinya segala bentuk posisi strategis baik wilayah politik maupun religius selalu dapat menempatkan diri pada tempatnya. Khususnya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat termasuk kegiatan pembagian zakat tahun ini telah tertata cukup baik. Melihat persiapan sejak tanggal 11, 12 September 2009 telah dilakukan pendataan baik yang wajib zakat maupun penerima zakat kurang lebih ada 500 orang dan rencana tiap orang mendapatkan 5,7 Kg beras. Dan pada tanggal 13, 14, panitia mulai berkeliling melakukan penarikan zakat dari rumah ke rumah, tanggal 15 panitia mulai menimbang dan 16 panitia membagikan kupon. Untuk selanjutnya tanggal 17 adalah cheking akhir sekaligus evaluasi kerja selama sepekan. Dan rencana H-2 atau H-1 lebaran yakni tanggal 18 atau 19 zakat akan dibagikan sesuai dengan kupon yang telah ditebar,” terang Puji.

Asah Kepedulian sosial
Dalam pandangan masyarakat umum, peristiwa tiap tahun seperti pembagian zakat ini memang ditunggu oleh masyarakat fakir miskin, janda, dan para orang tua jompo. Dan memang sebelum wadah Dekrit’17 ada, kegiatan ini telah lama berlangsung dan melibatkan para pemuda 2 dusun yakni Dsn. Badang dan Dsn. Wonoasri. Adapun jumlah kepanitian tahun ini berjumlah 49 orang, baik pemuda dan kalangan orang tua.

Menurut Puji bahwa pemuda adalah penggerak terhadap semua tujuan. Terlebih keberadaan Dekrit’17 adalah wadah organisasi yang cukup nasionalis, tidak memandang sebelah mata, siapapun adalah sama. ”Proses belajar berorganisasi yang telah lama kita jalani adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan semua bentuk golongan, baik orang orang yang pinter berpolitik, maupun pinter dalam agama. Bukti menjadi salah satu bagian kepanitiaan zakat adalah organisasi Dekrit’17 sebagai wadah yang konsisten dan mampu menunjukan eksistensi dan potensi masing-masing anggotanya. Hal ini merupakan salah satu apresiasi di segala kegiatan di masyarakat,” tambah guru yang aktif mengajar di SDN II Badang ini mantap.

Sementara itu menurut Efendi, sejak dirinya pindah ke Dsn. Badang tahun 1999 kegiatan ini relatif stabil. Dirinya mulai terlibat sejak tahun 2002 dan sejak saat itu ia berharap dari pemuda untuk belajar peduli terhadap sesama. ”Seharusnya momen berbagi tidak hanya dilakukan saat menjelang Ramadhan saja, namun kalau bisa sih bulanan. Mengingat banyaknya warga yang tidak mampu dan selalu memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari. Alangkah baiknya kalau seluruh warga Ds. Badang yang sudah mempunyai harta lebih bisa giat dalam beramal,” tutur Cak Epen.

Sisi manfaat adanya kegiatan bersama yang telah berlangsung ini antara lain, mampu menggalang persaudaraan antar pemuda dan para orang tua. Masih menurut Efendi terkadang ada jarak ketika keduanya bersitegang, dimana orang tua beranggapan bahwa kegiatan pemuda identik dengan arogan. Namun jika mereka telah berkumpul bersama segala pikiran yang negatif tentunya musnah. ”Bagi pemuda masih berproses belajar menyelami hidup dan mengasah keperdulian, pun dengan para orang tua harus selalu memberi dukungan bukan malah beradu argumen,” tandas bapak dua orang putra ini semangat. (Din-din, Alha-raka)
Selengkapnya...

Petani Tanpa Lahan: Wagiman, Beralih Profesi Menjadi Penjual Air Keliling

(Kediri-SS) Bagi Wagiman menjadi penjual air keliling bukanlah cita-citanya. Pria berusia 51 tahun ini tanpa kenal lelah menarik geledekan berisi 13 jerigen di dalamnya. Berpeluh keliling kampung, warga Dusun Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, ini sudah lebih 23 tahun menggeluti profesinya . Namun, awal mulanya Wagiman juga sama seperti penduduk Sepawon yang lain yaitu sebagai buruh lepas di Perkebunan Sepawon.

Alasannya beralih profesi sebagai penjual air keliling adalah tuntutan terhadap kebutuhan keluarganya. Dimana dengan 2 orang anaknya yang sudah masuk SMP dan lulus SMA. Tentunya kebutuhannya makin bertambah. Sementara bayaran sebagai buruh lepas kecil yaitu Rp 6000,- perhari kerja.

Wagiman juga ingin seperti para tetangganya yang sukses sebagai TKI/TKW di luar negeri. Namun dirinya sadar ijasah SD tidak dapat diandalkan. Apalagi Wagiman juga tidak memiliki keahlian. Satu-satunya keahlian adalah mengurus lahan perkebunan. Namun, Wagiman cukup jeli melihat peluang. Desa Sepawon seringkali kesulitan air untuk masak dan mandi. Itu pada kondisi normal. Apalagi kalau saat ancaman Gunung Kelud terjadi. Warga bisa sampai 1 bulan kekurangan air. Oleh karena itu setiap hari Wagiman mengambil air di sumber air yang berjarak 2 km dari dusunnya. Kemudian ia menjajakan air kepada warga setempat di lingkup Desa Sepawon. “Setiap jerigen harganya Rp 1000,-, “ jelas Wagiman. Dari gerobaknya yang berisi 13 jerigen dia mendapat Rp 13.000. Total sehari rata-rata ia bisa menjual air 3 gerobak.

Dia ingin anaknya lebih maju daripada dirinya. Kini anak pertamanya sudah lulus SMA dan anak keduanya masih sekolah di SMP. Dia tidak mau anaknya seperti halnya anak-anak tetangganya yang tidak sekolah. Meskipun ia juga tahu bahwa ada juga anak-anak tetangganya yang sudah lulus SMA banyak juga yang pada akhirnya tetap menjadi buruh di perkebunan.

Penopang ekonomi keluarga bukan urusan Wagiman seorang. Istrinya di rumah mengurus 1 ekor sapi perahnya. Istrinya tidak malu kalau harus tiap hari mencari rumput ke kebun. Demikian juga dengan anaknya setiap hari setelah pulang sekolah pergi ke kebun mencari rumput.

Dari 1 ekor sapi perahnya setidaknya setiap hari dia memperoleh rata-rata 20 liter susu perhari yang dijual Rp 2000 /liter. Dari hasil penjualan susu perhari dia mendapat setidaknya Rp 40 ribu dan setelah dipotong gamblong Rp 5000 sehingga bersih dia mendapat Rp 35 ribu. Setelah ditambah dengan hasil menjual air keliling dia mendapat tambahan setidaknya Rp 35.000. Perhari rata-rata penghasilan keluarga Rp 74 ribu.

Uang itu dia gunakan untuk biaya pendidikan anaknya, kehidupan sehari-hari, dan sebagian ditabung. Dia menyadari bahwa tidak tiap hari bisa menjual air dan tidak tiap hari pula sapinya bisa diambil susunya. Sementara kebutuhan hidup sehari-harinya; beras, sayuran, bumbu-bumbu, dan lauk-pauk harus beli karena dia seperti halnya penduduk lainnya tidak punya lahan untuk bisa menanamnya sendiri. Saat ditanya bagaimana kalau kondisi ada bencana Gunung Kelud meletus. Wagiman sendiri kebingungan, sesaat berikutnya ia menjawab, “Kulo sakdermo nglampahing gesang. Menawi sampun dados takdir kulo pasrah marang Gusti.”
(Ipung, Surya Sejahtera)
Selengkapnya...

PAUD di Desa Mojorwano: Terapkan Metode Pendekatan Komunitas

(Jombang-Alha-Raka) Sejak dari dulu Desa Mojowarno Kec. Mojowarno Jombang terkenal dengan kerukunan dan kekompakan penduduknya. Meskipun ada perbedaan keyakinan agama, Desa Mojowarno nyaris tak pernah terdengar keretakan atau konflik bernuansa agama. Tak hanya dari sisi agama, untuk pendidikan putra-putri mereka sepakat untuk merintis PAUD (pendidikan anak usia dini) dengan metode pendekatan komunitas berswadaya bersama-sama sejak bulan agustus yakni tahun ajaran baru 2009.

Keragaman penduduk merupakan potensi sejarah sehingga menempatkan Desa Mojowarno sebagai desa yang ramah terhadap perbedaan. Potensi keragaman ini ingin dijaga oleh warganya, mulai dari tradisi budaya, tradisi sosial, hingga tradisi keagamaan masing-masing. Tampaknya persatuan dan keutuhan antar warga adalah kunci kesuksesan majunya suatu desa. Menurut Catur Budi Setyo S.P, bahwa mempertahankan keharmonisan kehidupan sosial yang plural, bukanlah sebuah upaya yang mudah. Banyak kendala yang harus dilalui, sebab pluralitas terutama agama, didalamnya mengandung potensi konflik yang sangat besar. Salah satu cara dilakukan untuk meredam konflik yang berlatar agama ini adalah kebersamaan, substansi terpenting dari sebuah kerukunan harus benar-benar tercermin dalam proses interaksi antar umat beragama dalam kehidupan sosial. Hal ini bisa berupa kegiatan bersama seperti PAUD. “Ayo dulur podo jogo kerukunan, kalimat ini sering saya ucapkan kepada semua warga di setiap kegiatan. Kami tidak harus melakukan diskusi, seminar atau kegiatan bersama secara insidental. Akan tetapi aktifitas keseharian yang melibatkan orang-orang yang berkeyakinan berbeda, bisa menjadi dialog antar umat beragama untuk menjaga komunikasi secara terus menerus. Untuk itulah desa juga memerlukan generasi handal dengan pendidikan yang baik sejak usia dini,” katanya.

Hal ini juga tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (pasal 12, ayat 1b). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat inilah Catur beserta istri, Riris Dyah Nugrahini, merintis PAUD dan memberinya nama Sahabat.

Riris juga termasuk salah satu penggerak ibu-ibu PKK hingga jalan untuk membuka komunikasi dengan ibu-ibu di Mojowarno sangat mudah. Inisiatif ini langsung direspon positif oleh kaum hawa, dengan memberi pengertian bahwa maksud kehadiran PAUD di tengah keberagaman merupakan upaya untuk bersama-sama mengangkat pendidikan generasi Mojowarno dari awal. “Konsep PAUD Sahabat untuk umum, artinya tidak ada pembedaan baik muslim atau non muslim. Namun karena mayoritas yang terdaftar sampai saat ini sebagian besar muslim maka yang sering dipakai tradisi berdoa yaa muslim. Sedangkan untuk menu pendalaman keagamaan bagi anak non muslim tentunya kami juga menyediakan guru non muslim yang mampu bercerita tentang ajaran keyakinannya. Inipun kelasnya disendirikan, agar tidak terganggu,” jelas Riris, sapaan akrabnya.

Adanya PAUD selain untuk merekatkan hubungan sosial antar orang tua, ternyata si anak pun terbawa. Diusia yang masih dini anak telah diajari untuk hidup bersosial. Dimana semisal ketika si anak bermain harus rela ketika mainannya disukai oleh temanya, mau tidak mau si anak yang memegang mainan harus rela mainannya dipinjam oleh temanya. Pengalaman ini dialami oleh Riris yang juga masih mempunyai putri kecil yang ikut sekolah di PAUD Sahabat. “Putri saya Gurit, biasanya minta mau menang jika bermain. Namun ketika telah beberapa kali mengikuti arahan dari para guru PAUD sahabat, kini banyak perubahan yang terjadi. Diantaranya ketika bermain sudah mau mengalah dan berbagi jika temannya yang minta mainannya. Kemandirian juga meningkat mau duduk bersama teman-temannya. Dan bangunnya pagi, karena ada motivasi sekolah. Jika tidak sekolah yaa biasanya siang baru bangun, maklum namanya juga anak-anak,” tuturnya.

PAUD Tanamkan Solidaritas Sejak Dini
Dari hasil berbagi pengalaman yang diutarakan Riris, ternyata dibenarkan juga oleh ibu Tutus Indrawati, bahwa PAUD memang sangat penting untuk menumbuhkan keberanian anak. Di usia balita anak kalau tidak dibiasakan bersosialisasi dan berkumpul dengan teman-teman sebayanya maka dikhawatirkan anak menjadi pendiam dan menjadi pribadi yang tertutup. “Anugerah nama putri saya memang baru berumur 3 tahun 2 bulan, sebelum mengikuti PAUD, ia lebih suka bermain sendiri. Namun sejak ada PAUD Anugerah sekarang ada peningkatan lebih pintar dan kreatif dalam bermain. Harapan saya saat ini memang telah terwujud yakni anak saya tidak takut lagi bersosialisasi, dan ketika nanti memasuki usia TK (Taman Kanan-Kanak) tentunya ia telah memiliki dasar bagaimana belajar bersama dan tidak boleh menang sendiri,” kata ibu Tutus.

PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Caranya melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasamani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Menurut para pakar anak, bahwa 50% dari potensi perkembangan mental dicapai oleh anak-anak pada usia 4 tahun, usia inilah yang sering disebut dengan usia emas. Dimana antara pertumbuhan fisik berhubungan dengan perkembangan kognitif dan psikomotorik sangat pesat. Jika pertumbuhan anak-anak minim pada umumnya sulit, bahkan tidak dapat diperbaiki jika sudah terlambat. Pembentukan perkembangan anak pada sisi Mental, Moral, Panca Indera, Potensi Motorik, Afeksi, maupun Kognisi sangat bagus pada usia emas. Namun pada usia ini memang anak masih belum mandiri, dan biasanya masih sering menangis.

Hal ini dituturkan oleh Samiati, salah satu guru PAUD Sahabat, bahwa saat ini banyak orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka cepat menjadi pandai. Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun, atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan 'perilaku aneh' dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa.

“Meski masih balita, kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan istimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai. Yaa tentunya tidak mudah juga mengarahkan anak di bawah usia TK, karena mereka masih rentan emosinya. Namun ketika dipelajari lebih dalam dunia anak amat menarik, bermain sambil belajar,” terang Samiati yang pernah berpengalaman mengajar usia TK. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Konsep Komunitas, Utamakan Musyawarah
Pendekatan komunitas ini dipakai oleh PAUD Sahabat untuk mempermudah alur dan proses pembelajaran anak sesuai dengan kemauan orang tua. Dimana mulai dari seragam maupun ketentuan kegiatan masak bersama untuk menu makanan sehat bagi si kecil. Kegiatan para ibu ini disamping untuk mempererat hubungan ibu dengan anak, juga memberikan pendidikan secara tidak langsung bahwa usia balita sangat membutuhkan tambahan nutrisi, gizi, dan cara memasak yang baik untuk pertumbuhan dan kecerdasan otak. Kegiatan masak bersama ini dilakukan perkelompok dan tergantung kesepakatan para ibu. “Untuk saat ini kebutuhan seragam masih hanya sebatas seragam olah raga, sedangkan untuk seragam sehari-hari masih belum dibutuhkan. Mengingat sekolah PAUD ini masih baru dan masih memerlukan swadaya untuk kebutuhan lainnya, maka seragam masih bisa ditunda. Sampai saat ini biaya operasional hanya sebatas suka rela, dengan memberi umplungan di depan kelas. Sedangkan alat-alat mainan dan fasilitas lainnya seperti rak, kardus, dan meja lipat adalah hasil swadaya bersama. Mainan tidak harus bagus, tergantung kreatifitas guru dalam mengarahkan. Seperti kertas bekas dan botol bekas bisa disulap menjadi celengan untuk tabungan para siswa yang dihiasi cukup unik dan beragam,” Terang Riris, selaku ketua pengurus PAUD Sahabat.
Penyiapan generasi yang sejak usia emas harus diasah sejak awal agar memiliki daya kemandirian dengan pengelolaan manajemen yang bagus ketika hidup bermasyarakat. Hal ini dimaksudkan agar program pengembangan desa secara partisipatif mampu terwujud. Pendidikan berbasis pada kebutuhan membuat anak-anak dan warga dewasa mempunyai kapasitas membuat program pengembangan desa dengan wawasan pemanfaatan produktif, seperti pengenalan pada produk pertanian mulai dari biji-bijian; jagung, kedelai, kacang hijau, isi buah kelengkeng, dan masih banyak lainnya dimaksudkan agar si anak mengenal dunia pertanian dan belajar melatih motorik tangan untuk menjimpit benda-benda yang kecil. “Konsep belajar yang kami kenalkan adalah tidak harus di dalam ruangan, namun kami juga mengajak anak untuk mengenal lingkungan. Bahkan ada rencana untuk langsung bermain di sawah dan berkotor-kotor langsung dengan lumpur. Dan kemarin kami juga sempat bermain tepung dengan permainan warna, dan anak boleh membentuk adonan menjadi berbagai pola mainan sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka,” terang Riris.
Untuk mempermudah arus belajar, para guru PAUD Sahabat sepakat untuk menjadikan 4 kelompok berdasar usia yakni usia 2 dan 3 pada kelompok satu, usia 3, 4, 5 pada kelompok 2 sampai 4. Hal ini dimaksudkan agar anak mudah bermain, baris berbaris maupun senam dengan teman sebayanya. Hingga saat ini total keseluruhan siswa ada 62 yang terdaftar, namun karena masih balita terkadang setiap harinya yang aktif mencapai 50 siswa. Adapun hari efektif hanya 3 hari, selasa, rabu dan kamis mulai pukul 7.30 WIB sampai 9.30 WIB. “Namanya juga anak-anak kadang orang tua tidak bisa memaksakan anaknya untuk belajar, yang terpenting ada komunikasi intensif antara orang tua dengan para guru. Hal ini bisa secara langsung maupun melalui buku penghubung,” tambahnya.
Sementara itu bagi para guru setiap usai menemani belajar, mereka tidak lantas pulang. Namun berkumpul terlebih dahulu untuk mendiskusikan permainan esok harinya. Saat ini menu generik tetap mengacu pada kurikulum Diknas, namun tambahan menu yang dikembangkan dalam SKH (Satuan Kegiatan Harian) tetap tergantung kreatifitas masing-masing guru. (Din-din, Alha-Raka)
Selengkapnya...