Sabtu, 08 Agustus 2009

Pentingnya Kondom bagi Kesehatan Reproduksi Pekerja Seks

( Madiun) Wisma Perempuan (WP) Lokalisasi Kedung Banteng Ponorogo sebagai organisasi perempuan telah menjadi alternatif tempat belajar dan pertukaran ilmu bagi pekerja seks (PS) semakin bergeliat geraknya. Masalah kesehatan reproduksi yang menjadi materi utama belajar tiap pertemuan mulai dikupas untuk diketahui, dihindari penyebaran dan bagaimana penyembuhan berbagai persoalan kesehatan reproduksi.


Kondom menjadi salah satu media untuk menjaga kesehatan reproduksi dari kemungkinan berbagai IMS, PMS serta HIV dan AIDS. Kondom umumnya terbuat dari karet/lateks yang di dalamnya ada spermisite (bahan kondom yang berfungsi membunuh kuman/virus), sebagian besar kuman bisa mati atau melemah dengan adanya bahan ini, tetapi bahan spermise ini justru akan larut bila kena air. Studi pada tahun 1992 menunjukkan, sekalipun kondom berpori, namun hanya 0,1 mikroliter cairan yang bisa lewat. Jumlah ini sama dengan 0,01 persen ejakulasi air mani yang bisa dipastikan bebas dari HIV karena jumlahnya yang terlalu kecil. Kondom juga tak mudah lepas, pecah, atau robek. Anggapan kondom bisa lepas, pecah, dan robek umumnya muncul karena terjadi kesalahan dalam proses pemakaian. Sebab, sebelum dipasarkan, kondom harus melalui uji laboratorium sesuai standar internasional.
Siang itu bertempat di ruang pertemuan atau ”sekolahan” suasana riuh rendah dengan tawa dan juga teriak kecil para PS dalam kegiatan di WP diskusi rutinan setiap sebulan sekali. Ternyata pertemuan hari itu membahas kondom dengan alat peraga dildo (alat peraga berbentuk kelamin laki-laki). Beberapa PS juga terlihat tersipu-sipu malu. Komentar dari mereka langsung spontan keluar, sehingga materi diskusi kondom mulai mengalir.
”Piye mbak besar e, yen iki kegeden opo keciliken”, ujar Yogi, fasilitator DIFAA memancing diskusi. Para PS spontan menjawab ”Marem mbak. ”Lha ki Mbak luweh marem nek dinggoni kondom yo ben aman, tur iso dibaleni maneh, yo to”, lanjutnya. Salah satu PS langsung jawab ”Yo sip”. Kontan semua peserta pertemuan tertawa. Itulah suasana diskusi dengan tema ”Ada apa dengan Kondom” yang dilakukan setiap sebulan sekali.
Kondom bisa aman bila cara pemakaian, penggunaan dan pelepasan dapat di lakukan dengan benar.
Cara memakai kondom yang benar adalah melalui tahapan-tahapan :
1. Robek bungkusnya dengan hati-hati dan lihat tanggal penggunaan jangan sampai kadaluwarsa
2. Tekanlah ujung kondom untuk mengeluarkan udara
3. Pasang kondom setelah penis ereksi
4. Pasangkan kondom pada penis dan dorong sampai pada pangkalnya

Para PS ternyata masih banyak yang belum tahu cara memakai kondom yang benar karena pemakaian kondom tergantung pelanggan mau memakai atau tidak. Selain itu PS belum paham bagaimana cara melepaskan kondom. ”Mereka yang pake yo mereka yang harus melepas sendiri tho mbak...” ujar PS. Padahal cara melepas kondom dengan langkah yang benar menjadi hal penting untuk menjaga kesehatan dan kebersihan PS. ”Kalo kon nyepot yo dibatek wae,” sambil memperagakan cara dia melepas dengan cara menarik dengan asal.

Cara melepas kondom yang benar adalah :
1. Lepaskan kondom dengan hati-hati agar isinya tidak tumpah dengan cara pegang kondom dari ujungnya, ditarik perlahan dan jangan di gulung ke bawah
2. Ikat kondom dan buang ke tempat sampah
Hal yang perlu diperhatikan kondom yang baru dilepas jangan dibuang di kamar mandi karena kalau isinya tumpah bisa mencemari air dan lingkungan, jangan pula dibuang di toilet, bisa menghambat toilet. Karena bahan kondom yang tidak mudah hancur. ”pengetahuan tentang kondom ini penting bagi PS karena akan mengurangi resiko terkena PMS, IMS, HIV dan AIDS. Namun yang lebih penting adalah kesadaran dan kemauan PS untuk mengajak pelanggan/tamu mereka untuk menggunakan kondom, bila pelanggan yang sering memakai dan melepas kondomnya sendiri, para PS bisa mengingatkan kalau caranya salah.” ujar Yogi, fasilitator DIFAA.

Persoalan Kebijakan Kondom di Indonesia
Salah satu contoh keberhasilan pelaksanaan program wajib kondom adalah negara Thailand pada tahun 1989 dimulai di Ratchaburi, sebuah provinsi di Thailand Tengah. Dua tahun kemudian pada Agustus 1991 program ini diimplementasikan secara nasional. Rata-rata penggunaan kondom secara nasional meningkat dari 14% pada awal 1989 menjadi lebih dari 90% pada Juni 1992. Kasus IMS juga menurun menjadi kurang dari 15.000 kasus/tahun sejak tahun 2000 dari 400.000 kasus/tahun. Pada Juli 2004 di Pembukaan Internasional AIDS Congress, Perdana Menteri Thailand bahkan mengakui bahwa program ini telah mencegah lebih dari 5 juta infeksi HIV. Kemudian diikuti oleh beberapa negara lain seperti Kamboja, Laos, Vietnam, China, Myanmar, Philipina dan Mongolia.
Banyak alasan tidak efektifnya program-program pencegahan penularan HIV di beberapa negara, termasuk Indonesia salah satunya adalah kegagalan menghadapi kerentanan terhadap kelompok infeksi tertentu. Hampir semua negara melarang praktik prostitusi, namun juga gagal meredam praktek-praktek prostitusi oleh pekerja seks. Prostitusi tetap akan ada seiring dengan perkembangan sosial masyarakat. Apalagi bila persoalan kesenjangan ekonomi menjadi masalah krusial, bukan hanya sebagai masalah moral semata.
Program wajib kondom adalah program gabungan antara pemerintahan daerah (pusat pelayanan kesehatan, kepolisian, dan gubernur) dan semua pelaku bisnis sex entertainment (pemilik, mucikari, dan pekerja seks) untuk bersama-sama menurunkan angka penularan IMS, PMS, HIV dan AIDS. Caranya dengan memastikan angka penggunaan kondom yang tinggi antara pekerja seks dan klien. Karakteristik utama dari program ini adalah pemberdayaan pekerja seks, dimana mereka akan berani bilang kepada klien yang datang “Tidak pakai kondom ya tidak ada Seks”.
Ada tiga sektor utama yang bertanggung jawab dalam program ini, pertama adalah sektor kesehatan yang bertanggung jawab pada penyediaan kondom, pelayanan IMS, pendidikan dan informasi, pengumpulan data. Sektor kedua adalah kepolisian yang diharapkan bisa bekerja sama untuk tidak menangkap pekerja seks yang menjadi bagian dalam program ini, karena dalam program ini pekerja seks dianggap telah membantu negara dalam masalah kesehatan. Program ketiga adalah koordinator dari semua sektor, yaitu pemerintah daerah.
Di Indonesia program 'kondom 100 persen' tidak akan berhasil karena: di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang 'resmi', dan sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan IMS, PMS, HIV dan AIDS melalui hubungan seks ditolak banyak kalangan. Setuju pada penggunaan kondom dianggap sebagai legalisasi terhadap praktek prostitusi yang dianggap tidak sesuai norma dan nilai masyarakat. Kalau program dan perda-perda penanggulangan IMS, PMS, HIV dan AIDS yang diterbitkan di Indonesia tidak menyentuh akar persoalan epidemi, apalagi semua perda mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai 'alat' untuk menanggulangi. Perda IMS, PMS, HIV dan AIDS Provinsi Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV. Cara ini tidak akan berhasil karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV. Jadi kita mesti kerja keras untuk sinergi antara system kebijakan dan pelaksanaan program yang benar-benar riil bisa menyelesaikan hal tersebut. (Ari, DIFAA )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar