(Kediri) Rasa syukur, atas anugerah kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu dan pahlawan negeri ini patut kiranya dihargai setinggi-tingginya, dari para pejuang yang telah mengorbankan segalanya inilah Indonesia kemerdekaan. Lantas apa makna kemerdekaan bagi rakyat yang selalu terpinggirkan nasibnya, berikut ulasannya.
Benarkah negeri ini masih menaruh hormat pada kemerdekaan. Siapa sajalah mereka ini? Apakah mereka cukup mengenali kaum pinggiran yang sekarang tengah berjuang dengan menggadaikan rasa malu mempertahankan kehormatan, harga diri untuk meraih hidup dan kehidupan demi kemerdekaannya? Mereka kaum kecil yang hanya dipandang sebelah mata juga bersyukur atas perjuangan yang nyaris tak pernah selesai dengan kata kemerdekaan. Hidupnya selalu dikendalikan orang-orang yang mempunyai dompet tebal.
Makna kemerdekaan masih bias di mata orang-orang yang terlahir di masa sekarang. Terlebih bagi masyarakat di lingkungan prostitusi. Mereka tidak tahu sama sekali makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab sejak kelahirannya, sampai hari ini, mereka tetap diliputi perjuangan meraih kemerdekaan dalam setiap nafas, jengkal dan gerak kehidupannya. Beragam kesulitan terus membelenggu. Berbagai tekanan seolah sudah menjadi harga mati untuk kelompok pinggiran tersebut.
Kemerdekaan yang secara nasional dimaknai sebagai kebebasan dari cengkeraman penjajahan kolonialisme dan pendudukan bangsa/negara asing, tidak cukup dipahami secara kontekstual dan faktual oleh masyarakat prostitusi. Setiap tahun, masyarakat hanya melakukan perayaan dengan gebyar berbagai kegiatan meriah. Asumsi mereka, bahwa hari kemerdekaan perlu dirayakan dengan semarak dan keceriaan. Perlombaan, hiburan, gelar budaya lokal, kegiatan untuk anak-anak, pawai, dan berbagai macam bentuk perayaan.
Dengan tradisi seperti itu, sebenarnya nampak jelas bahwa kemerdekaan memang suatu pembebasan untuk meraih kesenangan, keceriaan, dan hiburan yang mungkin di masa lalu kurang mendapatkan ruang yang merdeka. Untuk saat ini, hiburanpun mulai dipersoalkan oleh para pemangku kepentingan yang merasa berjasa. Hal ini menjadi indikasi bahwa seolah kelompok pinggiran yang mulai mampu menggapai hak-hak dasar dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berujung pada sebuah kooptasi sebagai komoditi politik. Itulah yang mereka pahami tentang kemerdekaan yang sebenarnya tidak pernah mereka pahami. Akhirnya, kemerdekaan hanyalah rutinitas perayaan-perayaan tahunan.
Seharusnya semua orang berfikir secara optimal untuk membangun kebersamaan, kesepahaman, dan perjuangan untuk memaknai kemerdekaan kepada masyarakat pinggiran. Aspek ideologi, itulah yang menjadi dasar pemahaman kemerdekaan yang seharusnya tersampaikan kepada kelompok pinggiran. Lebih lanjut, kemerdekaan harus mampu menjawab hidup yang mutlak dan mendesak mereka butuhkan. Akses pendidikan, ekonomi, kesehatan, informasi menuju kesejahteraan belum sepenuhnya mengarah kepada kemerdekaan yang utuh. Tidak jauh beda dengan tanggapan pekerja seks yang juga seorang pendidik sebaya. ”Kemerdekaan itu belum ada. Kita dulu mungkin bebas dari penjajahan. Tapi sekarang ini kita juga masih dijajah. Justru kalau tidak 'dijajah' kita tidak bisa hidup. Kita saat ini sedang dijajah laki-laki yang ternyata membantu kita” ujar Santi (nama samaran) salah seorang perempuan yang hidup dalam dunia terpinggirkan. (Ijun, SUAR)
Sabtu, 08 Agustus 2009
MEMBUKA KRAN KEMERDEKAAN BAGI KAUM PINGGIRAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar