Selasa, 24 Februari 2009

Menanggulangi Bahaya 'Kematian' di Ekslokalisasi se-Kediri

(Kediri, SuaR) Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS, beberapa tahun terakhir ini, sepertinya kelompok-kelompok yang termarginalkan (terpinggirkan) selalu dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya 'pewabahan' di suatu tempat termasuk di Kediri. Logika yang mereka pakai adalah kelompok ini terstigma dan terdiskriminasi secara sosial, politik dan ideologi. Sehingga mereka sangatlah rentan memperoleh perlakuan tidak adil. Apalagi ketika perempuan menggunakan organ reproduksinya sebagai alat untuk bekerja, maka proses stigma itu semakin kuat karena menilai seseorang berdasarkan moral. Ironisnya kita juga sering melakukan aktifitas berdasarkan apa yang kita inginkan bukan apa yang mereka butuhkan

Kita tahu, prostitusi pada dasarnya merupakan perbuatan yang membahayakan kesehatan individu maupun masyarakat. Ini jelas bertentangan dengan norma agama maupun aturan hukum. Dari perspektif kesehatan, aktifitas tersebut jika tidak dikontrol akan menjadi titik awal menyebarnya berbagai macam penyakit menular seksual.

Minimnya kualitas pendidikan, tidak adanya lapangan kerja, dan belum adanya perbaikan ekonomi secara signifikan harus diakui sebagai faktor pemicu utama keberadaan pelacuran. Kondisi ini merupakan cerminan ketidakmampuan negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya. Artinya, problem pelacuran merupakan dampak dari ketidakmampuan pemerintah. Individu di dalamnya tidak lebih dari sekedar korban dari proyek pemiskinan terstruktur yang dilakukan secara sistematis. Meski seringkali kita tidak percaya dan underestimate karena menganggap mereka bodoh, malas, mau enaknya sendiri dan harap gampang.

Dalam rangka mereduksi dampak buruk dari pekerjaannya terhadap pewabahan HIV dan AIDS, maka SuaR melakukan intervensi terhadap kelompok pekerja seks dan pasangannya serta membentuk komunitas. SuaR mengadakan beberapa kegiatan antara lain Outreach (penjangkauan) secara individu terhadap kelompok pekerja seks baik yang terbuka (di lokalisasi) maupun di non lokalisasi dengan memberikan pengetahuan tentang resiko pekerjaan dan pencegahannya sampai pada tingkat perubahan prilaku serta kesadaran untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin di delapan tempat yakni; Ekslokalisasi Dadapan, Gurah dan Gedang Sewu. Tambi, Bolodewo, Krian, Weru dan Butuh serta semampir.

Untuk mereduksi katergantungan, ketidakberdayaan dan adanya kepercayaan komunitas agar bisa berdaya dan mandiri maka SuaR mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan mereka agar bertanggungjawab dalam komunitasnya. Pada tingkat Komunitas terbentuklah POKJA pencegahan HIV/AIDS dan POKJA Se-Kediri Raya. Secara individu mereka membentuk kader-kader kesehatan untuk kelompok pekerja seks yang tergabung dalam Pendidik Sebaya (PE). Untuk memperoleh dukungan dari Mucikari dan meningkatkan pengetahuan diadakan kegiatan One Day Training, yang tidak kalah pentingnya melibatkan pasangan Pekerja seks (KIWIR) dalam pelatihan Kader Kesehatan khusus untuk laki-laki di Lokalisasi.

Hal ini adalah bagian dari strategi yang berkelanjutan, sehingga proses penyadaran berlangsung secara simultan dengan melibatkan semua stakeholder. Dan mereka menjadi pelaku utama. Karena tidak semua permasalahan bisa ditangani oleh komunitas, untuk pemeriksaan kesehatan maka harus melibatkan Dinas Kesehatan maupun Puskesmas.

Penanganan persoalan kesehatan dibutuhkan kerjasama dari beberapa pihak, baik Dinas Kesehatan, Dinas sosial, Dinas Tenaga Kerja, satpol PP maupun kepolisian untuk bersama-sama melakukan upaya pemberdayaan pada kelompok marginal, karena sebagai warga negara mereka mempunyai hak yang sama, termasuk didalamnya adalah rasa aman dari permasalahan sosial dan aman dari penyakit.

Perlindungan Bagi Pekerja Seks
Menilik tragedi beberapa bulan lalu di tahun 2008, kejadian mengenaskan menimpa dua orang WPS di ekslokalisasi Tambi Desa Tambirejo Kec. Kandangan Kediri. Keduanya meninggal dunia di sebuah sungai dekat lokasi mereka tinggal akibat lari ketakutan saat terjadi pemeriksaan aparat. Tragedi kemanusiaan pelanggaran HAM ini menelan korban NDA (26) dan Htk (40).

Dilihat dari kasus tersebut, tindakan aparat merupakan pencerminan dari kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif, mengabaikan hak-hak sipil dan ekonomi korban, serta tidak disandarkan pada kejernihan dalam melihat persoalan. Kriminalisasi terhadap korban membuktikan aparat tidak becus dalam menjalankan kewajibannya, sehingga klaim 'memberantas penyakit masyarakat' dijadikan pembenar atas kelalaian mereka melindungi nyawa korban.

Namun begitu kejadian miris ini tidak menghentikan aktifitas di eks lokalisasi yang lain. Mereka seakan sudah terbiasa dengan resiko itu sehingga tidak begitu menghiraukan. ”Namun setidaknya, pendampingan kami kepada para WPS supaya mereka bisa mengambil pelajaran agar tidak terjadi lagi tragedi serupa. Di sisi lain dalam kaitannya dengan perlindungan kesehatan, kami melakukan kegiatan program penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV-AIDS. Kegiatan ini memerlukan peran serta dari semua warga yang ada di ekslokalisasi. Dengan adanya kerjasama dan pemahaman yang sama diharapkan mereka terhindar dari bahaya mematikan yang datang dari dalam tubuh mereka sendiri. Oleh karena itu mutlak harus ada kader-kader kesehatan di lingkungan mereka baik kelompok kerja (POKJA), WPS sendiri dan kiwir,” kata Sanusi, Direktur SuaR, memberikan keterangan..

”Kiwir adalah pasangan tetap WPS non suami yang “dipelihara” WPS dengan pola hubungan seperti suami. Mereka diharapkan bisa membantu menyebarkan informasi yang akhirnya bisa membuat perubahan prilaku seseorang/WPS menjadi lebih disiplin. Lebih dari itu, penyampaian informasi kesehatan tidak hanya dilakukan ke pasangannya melainkan ke pelanggan dan ke WPS yang lain,” tambah Sanusi

Kegiatan penilaian resiko individu/Individual Risk Assesment (IRA) keWPS bisa membantu mereka dalam merencanakan pengurangan resiko agar tidak tertular IMS dan HIV-AIDS. Rencana pengurangan resiko paling banyak akan diambil tindakan pemeriksaan secara rutin, mengurangi minum anti biotik, menawarkan kondom (menggunakan kondom setiap hubungan seks), dan tidak mencuci vagina dengan menggunakan pasta gigi karena berbahaya.

Dari rencana yang telah dijalankan, yang paling berhasil adalah pemeriksaan rutin, mengurangi minum anti biotik dan tidak mencuci vagina dengan menggunakan pasta gigi. Untuk pemakaian kondom di kelompok WPS, dari hasil pemeriksaan sampai saat ini masih rendah. Menurut salah seorang WPS yang menolak disebutkan namanya menyatakan, tamu mereka banyak yang tidak mau meskipun mereka sudah berusaha melakukan nego untuk meningkatkan penggunaan kondom saat hubungan seks. Hal ini terbukti, dari keterangan WPS pada saat IRA lanjutan, bahwa dalam proses negosiasi kondom seringkali gagal.

Program lainnya yakni Penapisan (PNP), adalah pemeriksaan secara menyeluruh dan periodik pada kelompok resiko tinggi di ekslokalisasi (WPS). Kegiatan rutin itu dibantu oleh kelompok kerja (POKJA) yang bertugas di seksi kesehatan. ”Adanya komunikasi yang baik antara pokja dengan petugas medis (tim kesehatan), kegitan penapisan berjalan lancar, dan POKJA masing-masing bisa melakukan tugasnya dengan baik. Begitu juga pemeriksaan pelanggan (HRM) dengan cara datang langsung ke klinik sesuai jadwal yang saya informasikan berjalan baik,” kata Ijun, salah satu petugas lapang SuaR.

”HRM/pelangan yang mengakses layanan ini ketika diperiksa hasil IMSnya banyak yang positif. Akhirnya, mereka percaya bahwa penyakit kelamin hanya bisa dicegah dengan menggunakan kondom. Dan setelah pemeriksaan ini, diharapkan klien itu bisa menyampaikan informasi ke teman sebayanya tentang bahaya dari prilaku beresiko bagi keluarga. Namun sebaiknya anda semua mencegahnya dengan A,B,C,D,& E : yakni Anda tidak melakukan seks (bebas), Bersikap saling setia pada pasangan, menCegah dengan memakai kondom, noDrug, dan melakukan Edukasi pada masyarakat,” ujar Ijun, menyarankan. (SuaR, Rmy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar