Selasa, 24 Februari 2009

Pesta Demokrasi Bukan Untuk Rakyat

(Madiun, Difaa) Pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada 9 April 2009 mulai marak geliatnya di masyarakat. Perubahan sistem demokrasi dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka pada tahun 2004 telah membawa perubahan besar dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Tapi apakah pesta demokrasi benar-benar untuk kepentingan rakyat?

Dalam sistem pemilu proporsional tertutup wakil-wakil rakyat dipilih oleh partai. Partai inilah yang menyalurkan aspirasi rakyat melalui perwakilannya di parlemen. Partai dianggap contoh bentuk masyarakat untuk menguji kelayakan seorang calon legislatif, seperti cara memimpin, membuat kebijakan dan mengelola masyarakat. Partai punya kekuatan besar siapa yang akan didudukkan di parlemen. Dengan sistem ini terkadang rakyat tidak mengenal perwakilan dari partai, aspirasi rakyat tidak terkontrol ketika diimplementasikan.

Dalam sistem pemilu sekarang rakyat bisa langsung memilih calon legislatif yang di sodorkan oleh partai. Rakyat bisa mengenali dan berhubungan langsung dengan para calon yang akan mewakilinya. Dengan begitu masyarakat bisa menyalurkan aspirasi dan harapan penyelesaian masalah-masalah lewat wakilnya di legislatif. Para caleg partai memanfaatkan sistem pemilu yang baru ini untuk meraih dukungan seluas-luasnya dari masyarakat.

Semaraknya pesta demokrasi juga merambah di desa tertinggal Kedung Banteng, Kec. Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Berbagai poster dan reklame partai beserta calon legislatif dipasang di pinggir jalan, di pohon-pohon dan di pagar rumah. Poster-poster itu membawa pesan tentang diri caleg yang layak dipilih sebagai perwakilan di parlemen. Untuk meyakinkan pemilih ada yang berbungkus pernyataan primordial; asli daerah Ponorogo, asli wong Mediun, memasang foto petinggi partai, guru atau kyainya.

Tetapi banyak warga di LKB (Lokalisasi Kedung Banteng) adem ayem saja melihat poster-poster yang terpasang. Bahkan mereka bersepakat agar atribut pemilu tidak dipasang di dalam komplek tapi di luar komplek atau tepi jalan besar. Menurut Bapak Soenyoto, Ketua RT 38 RW Desa Kedung Banteng, “Poster tidak perlu masuk komplek mbak, biar warga sini kalau punya pilihan berbeda masih bisa guyub dengan warga lain, biar dipasang di luar saja. “Seperti juga yang disampaikan bu Salam, salah seorang pemilik warung, “warga kan macam-macam mbak pilihannya, tidak bisa disatukan pilihannya malah nanti bisa jadi masalah dengan tetangga bila pilihannya beda.“

Untuk milih caleg sederhana saja alasannya, yaitu yang memperhatikan kebutuhan warga lokalisasi, salah satunya yakni perbaikan jalan menuju lokalisasi yang sampai saat ini kondisinya masih makadam. Jalan itu menjadi akses warga lokalisasi untuk berobat, sekolah bagi anak-anak juga untuk peningkatan perekonomian warga. Beberapa waktu yang lalu ada warga yang meninggal di perjalanan, ada juga yang sakitnya semakin parah karena klinik atau balai pengobatan belum didirikan di lokalisasi. Ekonomi warga tidak lancar apalagi bila hujan datang karena pengunjung lokalisasi sedikit, distribusi barang-barang kebutuhan warga untuk sehari hari jadi terhambat.

“Kita inginnya ada caleg yang memberi aspal untuk perbaikan jalan menuju Kedung Banteng mbak, jalannya kan sudah jelek dan sudah sering diusulkan di Musrenbangdes tetapi belum diperbaiki juga. Tetapi para caleg belum sanggup, mungkin nanti kalau terpilih baru bisa katanya,” ujar Pak Soenyoto. Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Salam, “dulu waktu pemilu 2004 dijanjikan untuk di bangun oleh satu partai bila menang, eh saat menang tidak di bangun juga….mungkin lupa ya mbak akan janjinya,” ujarnya.

Warga juga belum menentukan siapa partai dan caleg yang akan dipilih. Dalam sistem pemilu sekarang ini, yang menganut multi partai, semakin membuat masyarakat kesulitan menentukan pilihan. Jumlah partai semakin banyak, pemilu sudah kesekian kalinya dilaksanakan, tetapi belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Kompleksnya persoalan sosial mulai kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang mahal, juga pemerataan kesejahteraan tak kunjung terwujud membuat kepercayaan masyarakat terhadap partai berkurang dan semakin hilang. Partai terasa jauh dari jangkauan masyarakat, dan masyarakat berada dalam tempat yang berbeda dengan partai. “Walah mbak, lha wong ndak kenal, tahu juga dari kalender saja, toh kalau dipilih juga belum tentu peduli sama kita,” ujar Bu Soinem warga LKB.

Dengan sistem proporsional daftar calon terbuka bagi legislatif telah memberi peluang masyarakat untuk memilih caleg yang dipercaya untuk mewakili aspirasinya. Akan tetapi caleg-caleg hari ini banyak wajah baru, masyarakat tidak mengenal. Bagaimana kemampuan dan kepedulian caleg terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat belum diketahui. Jika hari ini saja kemampuan mereka belum teruji maka menjadi hal yang meragukan dapat menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. “Meski banyak posternya yang dipasang di jalan-jalan tetapi aku belum tahu profilnya mbak, kemampuannya seperti apa, kepedulian pada warga kecil bagaimana?” kata Mas Heri, warga LKB.

Untuk pemilu 2004 dan pemilu gubernur ternyata warga Kedung Banteng banyak yang golput. Khususnya bagi warga yang berasal dari luar Ponorogo. Untuk menggunakan hak pilihnya harus pulang ke daerah masing- masing, tetapi mayoritas dari mereka memilih golput karena harus bekerja. “ Harusnya pulang mbak, tapi ya ndak tahulah nanti, ngapain juga milih, ndak penting. Nasib kita juga begini-begini aja, tidak berubah,” ujar mbak Yuni pesimis. Ada juga yang bersikap dingin saat ditanya masalah pemilu yang akan datang. “ Ndak tahulah mbak, lihat nanti saja, saya kan harus kerja, ujar mbak Yanti.

Pemilu sebagai bentuk dan proses demokrasi untuk perubahan kualitas kehidupan masyarakat ternyata tidak menjadi sesuatu yang menarik untuk mereka ikuti. Masyarakat menjadi putus asa terhadap partai. Karena selama ini hanya dijadikan obyek janji-janji politik dalam kampanye partai. Padahal Masyarakat telah menunaikan kewajiban sebagai warganegara yang baik dengan menggunakan hak pilih dalam pemilu selama ini, tetapi mereka tidak mendapatkan hak-haknya. Sangat disayangkan bila pemilu yang berbiaya mahal tapi tidak tahu untuk apa dan untuk siapa. (Ari difaa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar