(Madiun, Difaa) Rendahnya akses terhadap hak-hak kesehatan, yang meliputi informasi (terutama tentang hak kesehatan reproduksi), kualitas pelayanan kesehatan, dan sarana kesehatan yang kurang memadai menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan hidup lebih dari 300 orang penghuni termasuk pedagang, juru parkir, dan anak-anak di wilayah yang dikenal dengan Lokalisasi Kedung Banteng (LKB).
Biasanya lokalisasi terletak di jalur-jalur transit kendaraan pengangkut barang atau hanya beberapa kilometer dari perkotaan sehingga akses untuk memperoleh layanan umum seperti jasa transportasi, pusat perbelanjaan, puskesmas atau rumah sakit, Klinik VCT dan apotik lebih mudah karena jarak yang dekat.
Tetapi agak berbeda dengan Lokalisasi Kedung Banteng (LKB) di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Letak LKB sangat jauh dari perkotaan, sekitar 28 km dari kota Ponorogo dan 33 km dari Kota Madiun sehingga menyulitkan memperoleh layanan umum khususnya bagi para pekerjanya. Misalnya transportasi ke terminal atau ke Puskesmas harus menghabiskan uang sekitar Rp 25 ribu sampai dengan Rp 30 ribu. Belum lagi kondisi jalan masuk menuju lokalisasi ini masih makadam sejauh 3 km dari jalan beraspal.
Dari hasil PAR (Participation Action Research) yang pernah dilakukan oleh DIFAA (Muslim Woman's Initiatives for Human Right) selama 6 bulan ditahun 2007 bersama masyarakat Kedung Banteng menyimpulkan, masih adanya beberapa persoalan riil yang dirasakan oleh masyarakat LKB. Mulai dari masalah jalan yang rusak, pemenuhan kesehatan dan pendidikan.
Hak atas kesehatan ini telah dijamin dan menjadi kesepakatan dunia yang tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan konvensi-konvensi yang ada dibawahnya seperti; Konstitusi WHO 1946, Deklarasi Alma Ata 1978, Deklarasi Kesehatan Dunia 1998. Bahkan hak atas perawatan dan pelayanan secara khusus ditegaskan pada Penjelasan Umum (General Comment) No. 14/2000, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Lebih-lebih lagi bahwa hak-hak dasar rakyat atas kesehatan ini juga termaktub dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDG's) yang mana Indonesia juga turut menandatangani kesepakatan tersebut.
Rapat Koordinasi Kesehatan Daerah Propinsi Jawa Timur yang diselenggarakan di Prigen pada 13-14 Oktober 2008 lalu, juga menghasilkan pointer bahwa pada tahun 2010 setiap Kab/Kota diharapkan memiliki layanan penanggulangan HIV-AIDS terutama layanan Pengobatan Dukungan dan Perawatan serta memulai program kolaborasi TB-HIV.
Sudah saatnya pelaksanaan kebijakan publik dibidang kesehatan saat ini digeser paradigmanya dari sekedar memenuhi kebutuhan (need) ke arah pendekatan berlandaskan hak (right based). Hak atas kesehatan tersebut wajib dipenuhi oleh negara (dalam hal ini pemerintah Kabupaten Ponorogo) bagi setiap warga negara tanpa memandang suku, ras, agama atau jenis pekerjaannya.
Upaya Memperkuat Hak-hak Perempuan
Hasil pelatihan kesehatan reproduksi dan rembug warga (FGD) yang dilakukan DIFAA dengan masyarakat LKB, menunjukkan belum maksimalnya pelayanan kesehatan yang diterima oleh warga masyarakat Kedung Banteng. Kondisi ini justru menjadi semangat tersendiri untuk terus belajar mengerti dan memahami hak-hak dasarnya atas kesehatan, terutama kesehatan reproduksi bagi pekerja seks (PS) yang di sana.
DIFAA bekerjasama dengan HIVOS Jakarta berusaha membantu dan mendorong semangat ini dengan memfasilitasi beberapa kegiatan untuk memperkuat hak-hak kesehatan reproduksinya.
Hampir tiap hari, sejak 6 bulan lalu, Yogic dan Sirin berkeliling dari wisma ke wisma untuk menjalin persahabatan dan perlahan-lahan menyelipkan informasi-informasi tentang kesehatan reproduksi kepada para PS sambil bercanda dan berbagi cerita. Dan ternyata jerih payah mereka ini mulai membuahkan sedikit hasil. Terutama setelah pelatihan selama dua hari di Ngebel, beberapa alumni pelatihan ini ternyata juga sudah meng-gethok tular-kan ilmu yang didapat kepada teman-temannya yang satu wisma dan ada juga kepada beberapa pelanggan.
Seusai pelatihan kawan-kawan PS di Kedung Banteng bersepakat untuk belajar bersama dan terus meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, termasuk pentingnya penggunaan kondom. Kenyataannya belum semua memakai kondom karena seringkali pelanggan juga tidak mau memakai kondom. Seringkali mereka beralasan kondom tidak nikmat, tidak nyaman, dan merasa yakin bahwa dirinya adalah orang yang sehat atau bebas dari penyakit. Padahal hanya kondom satu-satunya cara untuk mencegah penularan PMS/IMS, HIV dan AIDS.
Tapi pada dasarnya kawan-kawan PS di Kedung Banteng banyak yang sudah pintar, buktinya beberapa diantaranya sudah berani dan mau berbagi pengalaman dengan masyarakat sekitar. Melalui Talkshow di Radio Komunitas DELTA FM pada bulan Desember, mbak Luna (nama Samaran) berbagi cerita tentang pengalamannya menjadi TKI di Luar Negri. Juga pada bulan Januari 2009 kemarin, Mbak Dara (nama samaran) berbagi pengalaman tentang cara-cara menjaga kesehatan reproduksi yang benar. Misalnya jangan terlalu sering memakai sabun pembersih vagina karena akan membunuh bakteri yang sebenarnya masih dibutuhkan oleh tubuh kita. Jadi memang tidak semua bakteri itu berwatak Jahat.
Pada bulan Februari, kawan-kawan PS di LKB ingin belajar tentang kesehatan reproduksi secara medis kepada Dinas Kesehatan (DINKES) Kabupaten Ponorogo. Mereka sudah menyusun beberapa pertanyaan tentang jarum suntik, manfaat obat-obatan yang biasa mereka konsumsi juga tentang beberapa jenis peralatan yang biasanya ada di klinik tiap hari Rabu pagi.
Tetapi nampaknya pihak DINKES belum memberikan respon karena masih padatnya jadwal kegiatan DINKES sehingga rencana ini belum dapat terwujud. Yah kita harus bersabar untuk dapat mewujudkan amandemen UUD 45 pada tahun 2000 pasal 28 H bahwa “....setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”, termasuk pelayanan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang telah disebut diatas. (ida difaa)
Selasa, 24 Februari 2009
TUNTUTAN MASYARAKAT KEDUNG BANTENG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar