Minggu, 08 Agustus 2010

www.soerat.or.id

Untuk meningkatkan pelayanan Majalah Soerat, kami membuat portal khusus. Kunjungi kami di www.soerat.or.id.
Selengkapnya...

Rabu, 07 April 2010

Pelopor Wirausaha dari Lereng Wilis

Banyak orang berpikir, tinggal di daerah terpencil di lereng pegunungan dengan akses transportasi dan komunikasi yang terbatas mengurangi kreativitas dan mendorong perilaku berpikir yang statis. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Sulastri, perempuan dari Pegunungan Wilis di lereng Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sulastri berhasil menunjukkan kepada dunia mengenai ide-idenya yang inovatif dalam gerakan penyadaran masyarakat di pelbagai bidang kehidupan. Ide-idenya bisa menggerakkan ekonomi rakyat demi mengangkat derajat kehidupan mereka. Padahal, dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. "Kuncinya hanya belajar dan terus belajar. Tidak boleh malu sekalipun harus bertanya kepada yang lebih muda," ujar Kepala Desa Joho itu. Dia berhasil mengentaskan warganya dari kantong kemiskinan.
Selengkapnya...

Rabu, 27 Januari 2010

Tolong Kabarkan, Nasi Aking Saya Belum Matang

Matahari pagi sudah terik, namun sisa hujan semalam masih membasahi Desa Pulosari Kecamatan Bareng, Jombang. Kesibukan terlihat di sebuah rumah berdinding bambu dan berlantai tanah. Sugiati (45), pemilik rumah, sibuk mencuci 'beras' yang ia taruh di ember. Air ia kucurkan, kemudian 'beras' ia bersihkan. Begitu Sugiati melakukannya berulang-ulang. Hingga akhirnya 'beras' itu ia taruh diatas tungku perapian.
Selengkapnya...

Sejuta Kritik Untuk Wakil Rakyat Jombang

(Jombang-Alha-Raka) Gaji pertama DPRD Jombang tentunya sudah dikantongi sejak Oktober 2009 lalu. Namun sampai kini, kerja riel untuk masyarakat Jombang masih sekedar janji dan janji. Banyak persoalan yang belum terselesaikan seperti perda PKL, perda pendidikan, perda transportasi, perda miras dan lain-lain. Kecuali perda prostitusi yang sejak bulan puasa lalu memang sudah disyahkan oleh Gubernur Jawa Timur dan ada beberapa verifikasi yang harus dilalui sebelum perda ini benar-benar dilaksanakan. Alasanya ada beberapa pihak masyarakat yang merasa dirugikan, hingga perda prostitusi ini terkesan dipaksakan untuk wilayah Jombang.

Kedaulatan berada di tangan rakyat, namun ketika hak politik rakyat telah terwakilkan oleh DPR seolah-olah Dewan Perwakilan Rakyat ini sebagai penjelmaan suara seluruh rakyat. Padahal sejatinya kedaulatan itu sendiri masih sepenuhnya milik rakyat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apalah arti kedaulatan rakyat? ketika rakyat selalu ditindas oleh aturan baik UU, Perpres, Perda, maupun Perbub.
Disisi lain mangkraknya beberapa Raperda yang sudah berada di gedung dewan, membuktikan banyaknya persoalan yang telah terjadi di tubuh para wakil rakyat Jombang ini. Mengapa Raperda (PKL, Transportasi, Pendidikan, dan Miras) belum juga ada perkembangan yang berarti.

Perda Prostitusi Merugikan Banyak Pihak
Menurut Udin, salah satu pengerak di lembaga non pemerintah, WCC (Woment Crisis Center) Jombang mengatakan “DPR sekarang ini memang harus segera diingatkan akan warisan tugas dari para mantan DPR lama. Yang saya herankan mengapa raperda Prostitusi sudah disyahkan oleh Gubernur, padahal banyak pasal dan ayat yang masih perlu dikaji ulang karena sangat merugikan perempuan Jombang secara keseluruhan. Belum lagi penutupan lokalisasi tentunya membawa dampak sosial yang amat berat bagi para PS (pekerja Seks), karena mereka juga butuh tetap hidup dan makan. Pemerintah belum memberikan solusi kongkrit mengapa tega menutup lokalisasi, lantas dikemanakan rasa kemanusiaan para elit penguasa ini. Banyak mata rantai yang terpotong, hingga akan memunculkan persoalan baru yakni para PS tetap akan beroperasi dengan sembunyi-sembunyi. Ini yang membahayakan karena tidak terpantau oleh dinas kesehatan sehingga membawa dampak yang lebih besar yakni terjadinya penyakit menular seks, HIV AIDS dan lain-lain persoalan kesehatan” kata Udin, Koordinator Advokasi WCC.
Polemik munculnya aturan tentunya ada dampak positif dan negatif pada rakyat. Idealnya Undang-undang memang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Namun hal ini ternyata bukan jaminan untuk rakyat bisa berdaulat, padahal UU menjadi acuan dasar, dan siapapun tidak akan mempunyai kekuatan untuk merubah dan merusaknya.
Hal ini juga diakui oleh dunia internasional, sejak diakuinya bangsa Indonesia manjadi negara merdeka. Untuk menyikapi perda prostitusi di Jombang, serjumlah elemen masyarakat yang peduli terhadap kaum perempuan mengkaji detail mengapa perda prostitusi ini disyahkan tanpa adanya solialisasi dengan masyarakat. “Ada ide untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Kostitusi, namun kami perlu kajian data lebih dalam,” tambah Udin

Masihkah Ada Guru Tanpa Tanda Jasa
Sementara itu menurut Puji Santoso, pemuda Dekrit’17 Badang Ngoro Jombang, menyatakan “Membincang kata kedaulatan, ada juga yang menyebut kekuasaan. Rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang berkuasa. Kekuasaan berada di tangan rakyat, begitu kita bisa artikan. Sampai pada kata ini, masih bisa dipahami dengan sebuah pengandaian. Misalnya diibaratkan kekuasaan adalah sebuah benda, maka benda tersebut sejak dari dulu hingga saat ini terletak di tangan rakyat. Sampai saat ini tidak ada pihak yang pernah memungkiri, namun realitanya mana ada kedaulatan yang sepenuhnya ada. Buktinya banyak aturan yang kurang berpihak kepada rakyat,” ungkap Puji Santoso, guru SDN Badang Ngoro.
Sebagai seorang guru yang masih belum diangkat (negeri), dirinya merasa dianak tirikan. Karena sampai saat ini baik Guru Tidak Tetap/Pegawai Tidak Tetap (GTT/PTT) di Kabupaten Jombang, masih sangat minim kesejahteraanya dengan upah yang masih jauh dibawah UMR (Upah Minimum Regional). “Meski ada ganjalan besar di hati, namun saya tetap mengucapkan selamat atas terpilihnya para caleg (calon legislatif) menjadi anggota DPR bulan September 2009 lalu. Semoga mereka mampu mengemban amanat sesuai tugas dan fungsinya sebagai pelayan rakyat. DPR harus mampu mereformasi kinerja buruknya (jangan hanya janji-janji di masa kampaye). Dan harus selalu pro rakyat kecil dengan memanfaatkan seluruh panca indra yang dimiliki agar jeli, teliti dan solutif terhadap persoalan dan kebutuhan rakyat seperti ketika menggodok Perda Pendidikan yang masih mangkrak agar secepatnya direalisasikan,” harap Puji yang masih menjadi tenaga GTT.
Harapan Puji, juga merupakan suara perwakilan semua guru swasta di Kabupaten Jombang. Karena pendidikan termasuk persoalan dasar seluruh rakyat, maka harus segera diprioritaskan mulai dari instrumen pendukung yakni kwalitas guru dan anggaran bantuan untuk siswa. “Semoga dengan penyegaran seluruh wajah anggota DPR baru, mampu menciptakan iklim yang baik dengan meningkatkan anggaran untuk pendidikan.
Adanya perekrutan PNS jalur honorer/pengadaan data base kepada guru yang telah mempunyai pengabdian diri cukup lama, ini merupakan anugrah bagi para guru. Secercah jaminan kesejahteraan ini merupakan bukti penghargaan pemerintah atas jasa-jasa para pahlawan tanpa tanda jasa dalam mencerdaskan generasi bangsa, semoga kuota data base ditambah lagi” tutur pemuda Dekrit ini mantap.

Kedaulatan Rakyat Masih Semu
Sementara itu menurut Abadi Arianto, yang juga warga Badang Ngoro Jombang, berharap agar DPR yang baru ini tidak hanya duduk santai di kursi dewan, namun harus turun langsung ke lapangan melihat para perangkat desa dalam melakukan tugas pelayanannya kepada masyarakat. Secara langsung apakah sudah sesuai dengan tugas dan fungsinya. “Sejak saya menjabat LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) di Desa Badang belum pernah ada seorang dewan yang mau mengkritik langsung kerja Pemerintah Desa. Meski ada BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang juga sebagai pengontrol kinerja Pemdes, namun posisi dewan di tengah masyarakat tetaplah diharapkan agar aspirasi warga tersampaikan dengan cepat,” kata cak Badi.
Berdasar UU pula, sistem diciptakan untuk melegalkan kekuasaan para pembuat kebijakan. Seharusnya aturan dibuat untuk menjamin kesejahteraan rakyat agar bisa terarahkan dalam praktek kehidupan. Di Jombang saat ini sistem politik yang berjalan adalah implementasi kekuasaan dipetakan oleh para pemain politik dengan memakai tangan rakyat. Kata pendeknya, munculnya Dewan yang berasal dari salah satu partai politik juga menentukan suara munculnya segala kebijakan baik perda maupun aturan yang lain.
Idealnya ketika menjadi dewan memang harus lepas dari atribut partai agar terlihat lebih independen. Seharusnya posisi partai juga termasuk sebagai kepanjangan tangan rakyat dalam mengemban amanat kekuasaan rakyat. Partai yang ada saat ini tidak mempunyai fungsi strategis demi terciptanya relasi kuasa yang seimbang. Namun kondisi yang terjadi sebaliknya, partai politik hanya menjadikan rakyat sebagai alat pijakan untuk kepentingan diri dan golongan semata. Sebab hanya melalui partailah implementasi kedaulatan rakyat itu bias dijalankan. Lebih jelasnya, Pemilu legislatif menghasilkan DPR, dan munculnya Caleg juga melalui partai politik.
Padahal Parpol yang telah mendudukkan wakilnya di legislatif ternyata kurang mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Hingga saat ini rakyat masih belum bisa menikmati kekuasaan yang ‘disimbolkan’ berada di tangan mereka. Kondisi ini akan tetap bertahan bila rakyat sendiri tidak merebut kedaulatan yang saat ini dipegang oleh partai politik yang notabene adalah pemerintah, baik ekskutif maupun legislatif. Rakyat petani, rakyat pedagang, semua rakyat terpinggirkan dan termiskinkan mutlak harus bisa merebut kedaulatan.
Persoalan semakin jelas, kemiskinan, keterpurukan ekonomi rakyat, agaknya bukanlah hukum alam atau takdir Tuhan, namun disebabkan kelalaian pemerintah. “Kalau sudah begini, lantas kenapa kekuasaan yang ada di tangan rakyat itu tidak bisa dijadikan jaminan bagi kehidupannya? Kedaulatan itu ternyata tidak ada pengaruh berarti bagi kehidupan rakyat secara mayoritas. Sebagai contoh, saya adalah rakyat yang tingal di pedesaan, yang mayoritas semua tetangga saya berprofesi sebagai petani. Meski dikatakan petani memegang kekuasaan, namun ternyata petani sama sekali tidak kuasa meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ketika kami ingin mendapatkan harga pupuk yang murah, banyak oknum yang turut mempermainan harga pupuk, khususnya pada masa tanam yang sebentar lagi akan tiba,” keluh Suyudi, warga Banjardowo Jombang.
Sementara itu menurut Bella Benanda, Ketua DPRD Jombang, menyatakan dirinya akan melakukan tugas dan fungsi DPRD sebagaimana mestinya “Dewan selalu siap jika diajak untuk hearing, karena tugas DPR adalah mewakili rakyat, maka saya akan selalu mendengarkan aspirasi masyarakat. Pada konsep dasar yang akan dibangun oleh DPRD sekarang adalah dari suara rakyat. Pun dalam menentukan Raperda yang sebelumnya harus dikaji, digodok, kemudian disosialisasikan baru diverifikasi” katanya pada acara dialog warga di Lakpesdam NU Jombang.
Bella juga memberikan Informasi terkait Perda Miras. Posisinya saat ini belum bisa diturunkan karena belum ada tahapan verifikasi. “Menanggapi persoalan apapun harus selalu berfikir positif, seperti usulan perda becak motor, perda transpsrasi pelayanan publik juga harus memperhatikan 3 aspek. Yakni aspek filosofis, aspek normatif, aspek sosiologis. Artinya peraturan dibuat tidak boleh bertentangan dengan aturan diatasnya, peraturan dibuat harus dilihat dampak sosialnya juga,” terang Bella.
(Din-Din Alha-Raka)
Selengkapnya...

Masih Kurang Akses Informasi Jamkesmas Di Kabupaten Ponorogo

(Madiun-DIFAA) Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-45 tahun 2009 ini mengambil tema “Perilaku Sehat Membangun Bangsa Kuat“. Makna dari peringatan HKN ini didasari dari kesepakatan global MDGs dalam bidang kesehatan antara lain upaya penurunan angka kematian ibu, penurunan angka kematian anak, memerangi penyebaran PMS, IMS , HIV dan AIDS, serta penciptaan lingkungan bersih.

Tema tersebut mencerminkan bahwa betapa pentingnya faktor perilaku kesehatan terhadap lingkungan sekitar yang dapat menentukan derajat kesehatan manusia. ”Dengan perilaku sehat seperti tidak merokok, hidup bersih, gerakan cuci sabun sebelum dan sesudah aktifitas maka dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga bila rakyat sehat maka bangsa akan kuat dan produktif,” ungkap Dr. Hj. Andy Nurdiana Diah Q, Mkes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo.
Ditambahkan lagi oleh Ibu Kepala Dinkes Kab. Ponorogo bahwa masyarakat perlu membiasakan diri hidup sehat mulai dari lingkungan rumah dengan STBM atau Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, meliputi upaya menjaga kebersihan, tersedianya jamban keluarga, minum air sehat (air matang, karena air bersih belum tentu sehat)
HKN ini juga perlu dimaknai sebagai upaya pemenuhan hak kesehatan bagi semua warga masyarakat tanpa kecuali, terutama untuk masyarakat miskin. Upaya pemenuhan hak kesehatan bagi masyarakat miskin, di Departemen Kesehatan telah melaksanakan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan basis data dari BPS.
Peserta Jamkesmas di Kabupaten Ponorogo tercatat sebanyak 340.056 jiwa. Jumlah ini sesuai dengan kuota yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dan bagi masyarakat miskin yang tidak menjadi peserta Jamkesmas, maka dibebankan pada pemerintah daerah melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Di Jawa Timur tercatat baru sekitar 8 kota/kabupaten yang melaksanakan program Jamkesda antara lain; Kabupaten Gresik dan Kediri (mulai Agustus 2009). Sementara di Karesidenan Madiun, program Jamkesda baru dilaksanakan di Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi mulai bulan November 2009.
Untuk tahun 2010, Pemerintah Jawa Timur dengan program Universal Covered bagi masyarakat miskin non kuota Jamkesmas akan dilayani hak kesehatannya dengan dana sharing dari propinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.

Kendala Dalam Program Jamkesmas
Namun begitu, program Jamkesmas masih ada kendala dalam pelaksanaannya di Ponorogo. Terdapat rumah sakit yang enggan melayani peserta Jamkesmas dengan masih membebankan biaya obat kepada pasien. ”Pihak rumah sakit sering beralasan persediaan obat sudah habis, sehingga pasien diminta membeli diluar rumah sakit (apotik). Dan untuk itu, pihak rumah sakit meminta pasien menandatangani surat keterangan sanggup membeli obat diluar rumah sakit. Dengan surat ini maka menguatkan dokter untuk mengalihkan pemenuhan kebutuhan obat bagi pasien,” kata Wempi Catur Arianto, SPd, Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kabupaten Ponorogo, yang kebetulan juga mantan ketua BEM IKIP PGRI Madiun, dan mantan Ketua I PMII Madiun.
Ketika hal tersebut dikonfirmasikan ke Kepala Dinkes Kab. Ponorogo, menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas. Tidak dibenarkan pembelian obat diluar Rumah Sakit tempat perawatan pasien Jamkesmas. ”RS harus memberikan hak pasien Jamkesmas bila pasien peserta Jamkesmas membawa persyaratan-persyaratan lain seperti KTP dan surat keterangan miskin dari desa. Bila tidak dilayani maka pasien berhak mengadukan pada Unit Pelayanan Masyarakat (UPM) yang berada di rumah sakit atau di Dinas Kesesahan setempat. Dan tugas Dinkes adalah mengkoordinasikan dengan pihak terkait,” kata Ibu Dr.Hj Andy, Kadinkes Kab. Ponorogo.
Kendala lain dari masyarakat adalah minimnya informasi tentang Jamkesmas, mulai dari alur pengajuan, jenis obat apa saja yang ditanggung dan atau biaya perawatan. ”Saya rasa sosialisasi tentang Jamkesmas ke masyarakat masih sangat kurang, sementara personil DKR terbatas dan wilayahnya sangat luas. Di sisi lain masyarakat peserta Jamkesmas mempunyai keterbatasan akses informasi,” kata Wempi Catur Arianto, SPd, Ketua DKR Kab. Ponorogo.
Untuk membenahi hal itu, pelaksanaan program Jamkesmas perlu adanya kerjasama yang baik dari semua pihak yakni, pemerintah, pendamping program, dan masyarakat itu sendiri sebagai bagian penerima program. Yang paling penting adalah peran serta aktif masyarakat untuk menjadi masyarakat yang berdaya dan berpola pikir untuk sehat. Sehingga tindakan preventif lebih baik dan optimal dilakukan, daripada kuratif terhadap penyakit, agar kita menjadi bangsa yang sehat dan bangsa yang kuat. (Ari Royani, DIFAA)


Selengkapnya...

KRJB Memperjuangkan Hak Korban Tol Yang Tertindas Kunjungi Cak Nun dan Gus Sholah

(Jombang) Anggota Jama’ah korban pembangunan jalan tol Nganjok-Mojokerto di Kabupaten Jombang pada bulan Oktober 2009, telah menemui beberapa tokoh masyarakat yakni Cak Nun (MH Ainun Najib), dan juga tokoh NU Gus Sholah (Sholahuddin Wahid dari PP. Tebuireng). Kedua tokoh ini dimintai dukungannya oleh anggota Jama’ah dalam memperjuangkan hak-hak mereka sampai berhasil. Bila perlu sampai ke pemerintah pusat.

Sesuai yang telah direncanakan, pada pertemuan awal bulan Agustus 2009 di Mushola Ismail, Desa Pagak Sumberejo Jombang yang mensepakati kenaikan harga yang layak, Welly selaku Koordinator Jama’ah Korban Tol beserta juru bicara (jubir) dari masing-masing desa mempunyai tugas mendatangi dua tokoh penting di Jombang untuk dimintai dukungan atas perjuangan jama’ah.

Pada tanggal 4 Oktober 2009, beberapa perwakilan jama’ah berhasil menemui MH Ainun Najib dan mendapat rekomendasi untuk secepatnya membuat surat keberatan kepada menteri atau presiden. Sedangkan perwakilan jama’ah dan KRJB yang melakukan kunjungan ke kediaman Gus Sholah, mendapat hasil yang cukup mengembirakan yakni Gus Sholah bersedia membantu berdiskusi dan berdialog langsung dengan para wakil rakyat di gedung DPRD Kabupaten Jombang yang akan segera dilakukan. “Saya siap untuk membantu para Jam’ah korban pembangunan jalan tol. Dan seharusnya yang memfasilitasi pertemuan dengan para investor adalah bupati sendiri. Namun anehnya dalam hal ini Bupati Jombang malah mendukung para investor menekan harga. Untuk itu saya siap membantu, melihat posisi warga Jombang yang tertindas tentunya saya juga tidak akan tinggal diam,” kata Gus Sholah saat di temui beberapa orang perwakilan KRJB di kediamanya pada 24 Oktober 2009.

Masih menurut Gus Sholah, pengadaan jalan tol umumnya hanya untuk kepentingan memperlancar bisnis para pengusaha besar. Maka seharusnya pemerintah Jombang mengalokasikan dana atau relokasi yang sepadan dan tidak merugikan masyarakat kecil. Asumsinya, ketika warga pindah tempat itu saja sudah dinilai rugi, apalagi menekan harga yang sangat rendah tentunya warga akan rugi dua kali lipat. “Dalam hal ini pemerintah Jombang sendiri yang membuat bencana bagi warganya, karena seharusnya posisi pemerintah Jombang itu menjadi jembatan untuk melindungi dan mengayomi warga bukan malah mendukung para investor. Posisi rakyat saat ini memang sudah tertekan oleh berbagai teror yang itu dilakukan para perangkat desa dan juga anak buah para investor, lantas bagaimana dengan wakil rakyat kita yang duduk di kursi legislatif. Kalau tidak kita jawil tentunya mereka juga akan diam saja. Untuk itulah rakyat yang harus bergerak terlebih dahulu untuk mengawali mendesak dan memberi tuntutan kepada pemerintah daerah melalui DPRD. Rakyat harus mengingatkan kembali tugas DPRD yang utama yakni membantu rakyat,” terang Gus Sholah.

Langkah selanjutnya para jubir kemudian mendata ulang anggota di masing-masing desa yang masih bertahan. Data ini dimaksudkan agar koordinator mengetahui secara pasti luasan tanah masing-masing anggota jama’ah yang terkena proyek pembangunan jalan tol trans Mojokerto-Nganjuk. Selanjutnya jika semua data tersebut lengkap, maka dibentuk tim untuk mengolah data menjadi dasar-dasar argumentasi untuk memperkuat gerakan jama’ah ke seluruh instansi pemerintah. Maka pada tanggal 25 Oktober 2009, Komite KRJB (Konsoursium Rakyat Jombang Berdaulat) beserta anggota yang diberi mandat melakukan pembacaan ulang terhadap persolan yang ada. Dari sinilah diketahui bahwa perjuangan para jama’ah memerlukan pemetaan ulang agar tidak mudah terpecah belah maka setiap anggota jama’ah harus mengetahun peran dan fungsi para petugas yang mengintimidasi warga.

“Untuk membuat agenda materi posisi masalah, sikap perjuangan serta tuntutan dibutuhkan kembali para Jubir untuk membantu melengkapi data awal yang telah ada. Kita akan bersama-sama melakukan kajian terhadap beberapa aturan yang sudah ada, mulai dari UU 1945 pasal 33 (3) sebagai landasan hukum pengaturan atas tanah secara nasional : Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.” jelas A Syamsul Rizal selaku penasehat KRJB. Atas landasan tersebut, lanjut Rizal, sesuai dengan falsafah pancasila; Tanah adalah karunia Tuhan yang mempunyai sifat magis-religius dan harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat, dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, bahkan negara.

Tol Untuk Kepentingan Komersil Saja?
Secara normatif pembangunan jalan tol memang mengacu pada Perpres No.65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, namun setelah diteliti lebih jauh lagi sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukan pada ranah kepentingan umum. Argumentasinya, karena menurut Kitap (1985) (dikutip penulis dari Soemardjono, 2005:78) kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial yakni, dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit. Realitas menunjukkan bahwa jalan tol pasti bermotifkan profit (Sumardjono, 2005:109). Dengan demikian, argumentasi hukum yang paling tepat untuk jalan tol adalah, cara perolehan tanah oleh pemerintah bukan dengan pengadaan tanah, melainkan dengan jual-beli (Oloan Sitorus, 2004: 7)

Hal ini juga dibenarkan oleh salah satu anggota jama’ah korban tol Suyudi asal Dsn. Gempolpait Banjardowo, bahwa nantinya warga Gempolpait sendiri akan kesulitan mengakses jalan tersebut. ”Kita selaku warga yang berprofesi petani sangat dirugikan dengan pengadaan jalan tol ini. Pertama irigasi akan macet, dan terhambatnya arus lalu lintas pertanian utamanya yang masih memakai alat transportasi sederhana seperti gerobak. Nah apa boleh kita lewat tol kalau mengangkut hasil pertanian dengan alat tersebut, tentunya akan terkena tilang. Dan biasanya para petani sering mengunakan sepeda onthel dan becak untuk mengangkut rumput pakan ternak. Wah....kalau yang ini malah bisa diusir karena dianggap mengganggu dan menghambat para penguna jalan tol. Susah memang jadi rakyat kecil, ditambah lagi harga yang ditawarkan amat tidak layak dengan kerugian yang didapat warga. Bagaimana pemerintah Jombang ini kok malah akan mengunakan konsinyasi, padahal sudah nampak betul dampak kerugian rakyatnya sangat banyak. Bukanya membantu malah menteror,” keluh bapak empat putra ini panjang lebar.

Pemerintah dalam hal ini bisa dikategorikan melanggar Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, yang mana telah menjamin ‘Hak Asasi Atas Kepemilikan’, dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan. Masalah hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari hak asasi manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk di dalamnya hak adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara paksa dengan mengabaikan aspirasi subyek hak atas tanah. Hal ini dinyatakan pada pasal 36 dan 37;

Pasal 36 menyebutkan;
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37 menyebutkan;
1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Keberadaan undang-undang tersebut jelas memihak rakyat, namun anehnya pemerintah sendiri yang melanggarnya. Hal ini menurut Ismail, warga Pagak Sumberejo Jombang, bahwa posisi dan peran rakyat sebagai pemilik tanah sudah jelas, yakni sebagai subyek pelepas dan penyerah hak atas tanah demi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. “Kita selaku korban tidak akan menolak pembangunan, bahkan menjadi partisipan yang aktif untuk mendukung pembangunan negara tercinta ini. Namun jangan hanya karena kepentingan para investor lantas hak-hak warga terabaikan,” katanya.

Perjuangan yang dilakukan oleh Jama’ah Korban tol bersama KRJB dilandasai oleh undang-undangan. Khususnya undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan, pelayanan publik, informasi publik, dan hak-hak rakyat dalam jual-beli atau mekanisme ganti rugi. Partisipasi aktif, baik secara perorangan maupun secara berkelompok dan atau pengembangan partisipasi melalui keterlibatan pihak-pihak yang dipercaya rakyat untuk dapat membantu memperlancar penyelesaian masalah yang dihadapi. “Dari peraturan ini, maka tidak ada salahnya KRJB turut membantu kelompok masyarakat yang tertindas untuk mencapai tujuan bersama yakni demi kepentingan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan,” tegas Syamsul Rizal. (Din-din, Alha-Raka)

Tuntutan Jama’ah Korban Jalan Tol
Kami, Jama’ah Korban Jalan ToL Jombang, sebagai organisasi perjuangan para korban pelepasan tanah untuk pembangunan ruas Tol dari 12 desa di 3 kecamatan, telah mempelajari, menimbang dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mendasarkan sikap dan tindakan atas data dan fakta, bahwa “kami menolak patokan dan skema harga tanah yang ditawarkan, mengecam tindakan tidak bermartabat dalam menyelesaikan masalah ganti adil tanah”. Kami menuntut kepada para pihak sesuai kewenangan masing-masing untuk :
1. Menaikkan Harga Satuan per-Meter Tanah secara Adil, Layak dan Prospektif. Adil sesuai tujuan pembangunan itu sendiri ‘demi kesejahteraan rakyat’, karena kami melepaskan hak atas tanah. Layak; lepasnya hak atas tanah berarti lepas pula peruntukan tanah untuk kepentingan keluarga dan masa depan mereka. Dan prospektif, dengan mempertimbangan ‘siapa yang diuntungkan ke depan dari pelepasan hak atas tanah ?’. Karenanya, keadilan harga menurut kami –terlepas dari nilai NJOP yang kadaluarsa dan tidak jelas perhitungan beserta mekanisme pertanggungjawabannya- adalah 1). Harga batas bawah satuan per-meter = nilai NJOP dikali 1 masa kontrak investasi dan pengelolaan jalan TOL, yakni ; 35 tahun, dan 2) Harga batas atas satuan per-meter = nilai NJOP dikali 2 masa kontrak investasi dan pengelolaan jalan TOL, yakni ; 70 tahun. Dasar berpikir adil yang kami gunakan menggunakan logika penyertaan saham dalam pengelolaan jalan TOL. Atau secara garis besar pemerintah harus menaikan Harga Untuk Tanah tol untuk tanah sawah Rp 200 ribu –Rp 1,200 juta. Sedangkan untuk tanah darat Rp 700 ribu – Rp 2,500 juta
2. Sebagai bentuk layanan publik dan kebijakan pembangunan, maka ‘Harus ada transparansi / keterbukaan harga dari Tim P2T, TPT, dan Dasar Taksiran oleh Tim Appraisal. Karenanya, jika terdapat ketidaklayakan atau ketidaksesuaian taksiran harga dengan kondisi harga yang berkembang di masyarakat, maka;
3. Perlu peninjauan ulang atas penilaian kelayakan dan keadilan harga dari Tim Appraisal. Dengan demikian, patokan tawaran harga juga harus ditinjau ulang.
4. Perlu ‘Pengukuran Ulang atas Tanah yang akan dilepas’. Hal ini penting untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik kepemilikan/keluasan tanah di masa depan. Dan konsekwensi dari pengukuran ulang adalah ;
5. Meng’harga’i sisa tanah sesuai batas toleransi yang telah ditetapkan pemerintah.
6. Menjamin dampak AMDAL yang bersifat negatif bagi warga sekitar lokasi TOL, baik dampak social-ekonomi, politik maupun budaya.
7. Memberikan tenggang waktu kepada warga –ketika tanahnya terjual- untuk mempersiapkan perpindahan se-usai pembayaran.
8. Perlu Ketegasan tugas pokok dan fungsi dari pemerintah kecamatan dan pemerintahan desa terkait pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. Hal ini penting, karena telah terjadi kecenderungan manipulasi data dan pungli atas masalah pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL.
9. Menindak tegas ‘Mafia Tanah’ yang turut serta meruncingkan masalah pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. Karenanya ‘KAMI MENOLAK MAFIA TANAH’.
Jombang, 15 Oktober 2009
Jamaah Korban Tol Jombang

Selengkapnya...

Pentingnya P3K Dan Pengetahuan Kesehatan

(Madiun-DIFAA) Kesehatan adalah hal yang utama dalam kehidupan, karena dengan kesehatan yang terjaga, manusia dapat melakukan segala aktifitas. Berbagai upaya dilakukan agar sehat mulai dari menjaga kebersihan sampai pergi ke dokter untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ketika sakit. Upaya Menjaga kesehatan juga harus di sertai dengan pengetahuan kesehatan yang luas, karena pengetahuan dapat melahirkan kesadaran untuk peduli dan menjaga kesehatan diri.

Tetapi bila sakit yang kita derita hanya luka kecil atau kecelakaan ringan, maka diperlukan pertolongan yang cepat agar tidak semakin parah. Hal ini biasa kita sebut dengan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, disingkat P3K.
Hari itu, Rabu 11 Nopember 2009, ada yang berbeda di ruang kesehatan Lokalisasi Kedung Banteng (LKB) Ponorogo. Para Pekerja Seks (PS) yang rutin melakukan pemeriksaan kesehatan di Dinas Kesehatan Kab. Ponorogo antusias berkerumun. Ternyata mereka bergantian mencoba menimbang berat badan pada timbangan yang baru saja ada. Alat timbang badan ini adalah salah satu alat kesehatan yang disediakan oleh DIFAA sebagai bentuk komitmen atas kepedulian kondisi kesehatan Pekerja Seks yang jauh dari akses kesehatan.
Alat kesehatan lain adalah tensimeter, thermometer, alat pengukur tinggi badan, perban, kain kasa dan juga kotak P3K sebagai penyimpan obat. Obat-obatan yang tersedia di kotak P3K antara lain; penurun panas (parasetamol), pereda nyeri, plester luka, obat luka bakar, obat maag, antiseptic, balsem atau krim otot.
Diharapkan dari alat P3K ini dapat membantu warga LKB untuk mendapatkan pertolongan pertama saat kondisi darurat. Karena seringkali diperlukan pertolongan pertama pada yang sakit sebelum dibawa ke Puskesmas atau ke dokter.
Beberapa kejadian kecelakaan ringan seperti yang sering kita alami di rumah seperti, pingsan, memar, luka tersayat kena pisau atau benda tajam lain, luka terbakar, terkilir (keseleo), mimisan (pendarahan hidung), gigitan hewan dan sengatan serangga, membutuhkan pertolongan segera agar tidak menjadi penyebab terjadinya penyakit yang lebih parah kondisinya. Akan tetapi tindakan ini dilakukan dengan melihat tingkat keparahan keadaan korban. Apabila kondisi korban tergolong luka berat, maka harus segera di bawa ke petugas medis.

Meningkatnya Derajat Kesehatan
Warga LKB merasa senang atas kehadiran alat-alat kesehatan dan P3K ini karena dianggap membantu mereka. ”Senenge mbak ada alat ini, jadi saya tahu berat badan dan tensi darahku....” ungkap salah seorang warga LKB. ”Obat-obatnya juga dapat membantu kami. Jadi kalau masuk angin atau tangan terbakar bisa cepat ditolong tanpa keluar dari LKB ....,” ujar salah seorang warga LKB lainnya.
Disamping penyediaan alat-alat kesehatan dan kotak P3K, terdapat pula almari sebagai tempat penyimpanan buku-buku bacaan dengan berbagai tema terkait isu kesehatan dan perempuan. Buku-buku tersebut berisi pengetahuan tentang PMS, IMS, HIV dan AIDS, serta kondom. Buku tentang kanker serviks, dan hidup sehat dengan lingkungan bersih. Juga masih banyak lagi tema yang lainnya. Warga LKB menyebut tempat ini sebagai taman bacaan mini. Berlokasi di satu ruang dengan ruangan pelayanan kesehatan di LKB.
Sementara sebagian PS antri untuk pemeriksaan kesehatan, sebagian yang lain menunggu sambil membaca-baca buku yang telah tersedia. Taman Bacaan LKB ini menjadi salah satu upaya DIFAA untuk meningkatkan pengetahuan PS dan warga LKB lainnya disamping kegiatan-kegiatan yang telah lakukan.
Upaya peningkatan pengetahuan perlu dipupuk dan dibudayakan melalui kegiatan membaca. Dengan membaca buku dapat menambah materi untuk saling diskusi dan berbagi informasi antar warga. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu PS, ”Saya senang ada banyak buku disini, saya bisa meminjamnya dan dibawa pulang biar teman-teman serumah saya bisa ikut mbaca mbak....” .
Sesudah pemeriksaan kesehatan oleh Puskesmas, kelompok PS berkumpul di ”sekolahan”. Agendanya adalah persiapan pelatihan kader kesehatan sebagai kelanjutan dari kegiatan Wisma Perempuan, yakni pembentukan pengurus kader kesehatan dan perumusan jadwal kegiatan pelatihan. Materi pelatihan meliputi pengetahuan kesehatan termasuk bagaimana cara menggunakan obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan, pengetahuan kesehatan lingkungan, pengetahuan kesehatan reproduksi, IMS, PMS, HIV dan AIDS.
Dan yang terpenting adalah adanya pelatihan teknis cara penggunaan alat-alat kesehatan yang difasilitasi oleh petugas pelayanan kesehatan Puskesmas kepada kader kesehatan di LKB. Pelatihan ini dimaksudkan agar kader kesehatan ini terampil dalam menggunakan alat-alat tersebut untuk membantu petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan setiap hari Rabu kepada kawan-kawannya sesama PS.
Dengan kegiatan ini juga dapat memaksimalkan sumber daya yang ada untuk peningkatan derajat kesehatan di LKB. Karena memang kesehatan perlu dimulai dari kepedulian dan kemauan diri sendiri untuk menjaga dan merawatnya. (Ari Royani, DIFAA)
Selengkapnya...

Ingin Memberdayakan Diri, Kaum Perempuan di Banyuwangi Selatan Membuat Kelompok Perempuan

(Banyuwangi-ICDHRE) Semangat untuk membuat kelompok perempuan tengah dilakukan oleh sebagian besar kaum perempuan di wilayah banyuwangi selatan. Upaya tersebut dilakukan karena sebagian besar dari mereka tidak mau terus menerus diposisikan sebagai pelengkap dalam urusan rumah tangga yang notabennya hanya melakukan bentuk kegiatan yang pokok - pokok saja, seperti urusan dapur, sumur dan urusan kasur.

Khususnya bagi kaum perempuan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dusun Curahjati kecamatan Grajagan-Banyuwangi. Ingin memberdayakan diri, merupakan motivasi awal bagi para perempuan ini untuk dapat terlibat langsung dan berperan aktif dalam upaya-upaya membangun roda ekonomi didesanya. Sehingga beberapa waktu yang lalu mereka bersama-sama membuat wadah kelompok yang tujuannya sebagai media belajar bersama, Senin (15/10/2009) kemarin.

Sebelumnya, kebanyakan dari para perempuan ini berlatarbelakang ekonomi menengah kebawah, kehidupan ekonominya rata-rata hanya terpaku pada penghasilan suaminya yakni penghasilan musiman. Dari latarbelakang yang sama tersebut mereka berupaya membangun kemandirian lewat usaha bersama melalui kelompok yang tengah mereka ciptakan.

Meskipun nama kelompok ini pada waktu itu belum terbentuk. Namun, rencananya; bentuk usaha yang akan dilakukan ialah usaha bersama memproduksi belbagai jenis sabun dan shampoo. Dimulai dari usaha tersebut kaum perempuan ini mencoba untuk merealisasikan peran aktifnya dalam upaya memberdayakan diri “Sebenarnya sejak dulu saya ingin sekali mengikuti kegiatan-kegiatan yang sifatnya mengarah pada pemberdayaan, apalagi pemberdayaan tentang perempuan. Akan tetapi kesempatan untuk itu jarang sekali saya peroleh, tidak jarang, kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintahan desa maupun oleh lembaga-lembaga lainnya, minim sekali melibatkan kaum perempuan. terlebih halangan tersebut juga di sebabkan oleh sang suami.” ujar Sumiati, Warga dusun Curahjati. “Selalu ada aja alasan serta motifnya, biasa; suami saya tidak mengizinkan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut karena takut; saya nanti kecantol (ikut, red) sama laki-laki lain”. Lanjut perempuan setengah baya ini, sambil tersenyum.
Hal senada juga disampaikan oleh Hadi Masrukin, selaku pemerhati nasib kaum perempuan di Banyuwangi selatan yang sekaligus eksis diLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ICDHRE-Banyuwangi. Menurutnya, pendekatan secara ekonomi sangat efektif untuk menjaring potensi-potensi para kaum perempuan ini, salah satunya ialah dengan membuat wadah belajar yang dikelola oleh kelompok-kelompok berbasis keanggotaan. Keterlibatan serta peran aktif perempuan dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan sangat menentukan, Disamping itu, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan juga harus mulai dikenalkan. Sebagaimana telah tertuang dalam kebijakan nasional dan ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. “peran perempuan dalam upaya pembangunan disekup pedesaan maupun skala nasional sangatlah dibutuhkan, karena, mereka ialah salah satu pelaku utama roda perekonomian. Sudah semestinya nasib kaum perempuan juga perlu untuk dipikirkan, karena perempuan juga mempunyai hak-hak yang sama selaku mahluk sosial, juga sudah sepantasnya mereka diberlakukan secara adil”. Tegasnya. “Partisipasi aktif wanita disetiap proses pembangunan tentunya akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Dan juga sebaliknya, kurang berperannya kaum perempuan, akan berdampak pada lambatnya proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.” Lanjut pria berambut cepak ini.
Ditempat lain, tepatnya di desa Pesanggaran-Banyuwangi, juga sudah mulai nampak beberapa kelompok perempuan yang mulai produktif, tetapi bentuk usahanya beda dengan kelompok perempuan yang ada di dusun Curahjati. Kelompok perempuan ini lebih pada usaha Unit Simpan Pinjamnya (USP). disamping itu, kelompok ini juga melakukan usaha produksi makanan ringan yang dikemas didalam plastik berukuran kecil, usaha tersebut tak lain ialah produksi keripik singkong, keripik pisang dan kripik lain sejenisnya. Dan sampai saat ini sudah didistribusikan kewarung-warung kecil (toko makanan) yang ada diwilayah Pesanggaran. Bentuk usaha-usaha tersebut juga dikelola dengan pola kekeluargaan dan berbasiskan keanggotaan. “Sebagian kecil dari kaum perempuan yang ada diwilayah Pesanggaran, sudah mulai aktif dalam melakukan usaha-usaha yang dikelola secara berkelompok, baik Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) maupun usaha Unit Simpan Pinjam (USP), setidaknya keberadaan kelompok-kelompok ini sudah memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi didesa Pesanggaran”. Ujar Didik, salah seorang pemuda yang juga aktif dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan di desa Pesanggaran-Banyuwangi, sekaligus mengakhiri perbincangan dengan Soerat.
Pada kenyataannya memang; dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima oleh sebagian besar kaum perempuan. Siapa yang disalahkan dalam hal ini?. (Sihin ICDHRE).

Selengkapnya...

MAJU BERSAMA KOPERASI GMNU BARON

(Nganjuk-Punden) Satu demi satu berbagai komunitas berdiri di Kabupaten Nganjuk. Dengan berbagai bentuk organisasi, komunitas ini berdiri sebagai wujud kesadaran masyarakat bahwa organisasi, paguyuban ataupun kerukunan di lingkungan sekitar sangat penting untuk dibangun. Munculnya berbagai kelompok ini juga sebagai jawaban atas situasi ekonomi, budaya dan politik yang selama ini tidak berpihak kepada masyarakat. Selain itu juga kesadaran individu yang ada sudah berubah menjadi kesadaran kolektif yang dapat menghasilkan karya bersama, terutama sebagai bagian dari proses tranformasi sosial dan kesejahteraan bersama.

Jauh sebelumnya, di Kabupaten Nganjuk telah terbentuk bermacam organisasi seperti paguyuban, ikatan pemuda, kelompok perempuan, kelompok usaha dan koperasi serta organisasi lainnya.
Banyaknya program yang digulirkan oleh pemerintah yang bersifat pemberdayaan dengan berbagai bentuk program ternyata masih belum menyentuh kebutuhan masayarakat yang sebenarnya. Program atau lebih tepat dikatakan proyek yang ada, selama ini hanyalah aksi pemerintah yang kontra produktif. Karena biasanya program yang ada hanya untuk meredam gejolak sosial yang terjadi di masyarakat akibat dari ketidakmampuan pemerintah mensejahterakan rakyatnya.
Berbagai program pemberdayaan yang selama ini digulirkan menjadikan masyarakat semakin miskin, semisal program pinjaman yang diberikan pemerintah bahkan membuat masyarakat harus terjerat hutang. Situasi inilah yang juga mendasari berdirinya berbagai kelompok sebagai upaya membangun kesejahteraan bersama.
Baru-baru ini telah berdiri Gerakan Masyarakat Nahdatul Ulama (GMNU) dengan kegiatan utama pengembangan ekonomi. Koperasi GMNU sebagai alat untuk mensejahterakan anggotanya. Meskipun baru beberapa bulan berdiri akan tetapi keberadaan gerakan ini telah banyak melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya sosial, yaitu melibatkan masyarakat umum dalam beberapa kegiatan. Seperti pada bulan Agustus lalu, dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia dengan bentuk lomba jalan sehat, pelatihan sablon, tak ketinggalan dalam kegiatan ini juga diadakan khusus ibu-ibu rumah tangga.
Dari serangkain kegiatan ini, sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat sekaligus hiburan juga diadakan pemutaran film dokumenter. Gagasan pembentukan gerakan ini adalah sebagai wujud kegelisahan mengingat selama ini kondisi warga Nahdhiyin khususnya di lingkup wilayah Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk masih jauh dari kondisi keadilan baik di bidang ekonomi, sosial dan politik terutama bagi warga “Nahdhiyin kultural”. Sebuah gagasan yang tidak popular tapi sangat konstruktif mengingat selama ini di lingkungan warga Nahdhiyin sudah ada wadah otonom sebagai alat pemberdayaan bagi umat.
Dinamika sosial inilah yang setidaknya menjadi upaya dan ide dalam rangka mengaktualisasikan sebuah nilai antara ibadah ritual maupun sosial ungkap Fathul Mu`in tokoh masyarakat dari Desa Waung Kecamatan Baron sekaligus juga ketua Koperasi GMNU ini bercerita terkait dengan gagasan pembentukan gerakan ekonomi bersama ini. “Kami berharap bahwa gerakan ini akan berkembang nantinya karena di samping kita bisa ber-ukhuwah kita juga bisa meningkatkan kesejahteraan secara bersama dengan tetap memegang teguh silaturrahmi dengan belajar bersama-sama,” jelasnya. Seperti komunitas-komunitas lain yang telah dulu terbentuk, untuk meningkatkan sumberdaya di dalam GMNU ini, pengurus juga melakukan kerjasama dengan berbagai kelompok yang ada baik terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) maupun pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan anggotanya.

MEMBANGUN KESEJAHTERAAN
Dalam upaya pengembangan dan penguatan modal, koperasi GMNU saat ini juga telah bekerjasama dengan Perkumpulan Desa Mandiri (PUNDEN) untuk kegiatan simpan pinjam bagi anggotanya.Upaya pengurus untuk memperluas jaringan dan pengembangan juga dilakukan oleh pengurus dengan mengikuti berbagai pertemuan antar kelompok yang selama ini sudah tergabung, baik di Koperasi Kumandang maupun forum aliansi antar komunitas yaitu Serikat Rakyat Anjuk Bangkit (SERAB) sebuah forum aliansi sebagai alat perjuangan bagi masyarakat Nganjuk.

Profil Koperasi GMNU
Sekertariat : TPQ Al-Muttaqin Ds.Waung Kec.Baron
Telp: 0358 7645320
Berdiri :5 Mei 2009
Jumlah anggota:15 orang
Tempat Pertemuan : Bergilir di setiap anggota setiap Tanggal 5 jam 14.00 WIB

Pengurus Koperasi Gmnu
Ketua : Fathul Mu`in
Sekertaris : Mahfud
Bendahara : Munir

Latar Belakang Berdiri
Bahwa sampai saat ini kesejahteraan masyarakat semakin jauh dari apa yang selama ini diharapkan. Banyaknya program bantuan dari pemerintah ternyata belum bisa meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini juga dirasakan oleh warga Nahdhiyin yang tidak menjadi pengurus, masih belum berdaya secara ekonomi, sosial maupun politik. Situasi inilah yang mendasari bahwa pentingnya sebuah gerakan baik sosial maupun ekonomi di kalangan kultural Nahdhiyin untuk mengaktualisasikan diri dengan bentuk kegiatan baik bidang pendidikan, gerakan sosial, pemberdayaan ekonomi melalui sebuah organisasi berupa Gerakan Masyarakat Nahdatul Ulama (GMNU) dan Koperasi GMNU sebagai alat pemberdayaan dan kesejahteraan bagi anggota.

Visi Dan Misi Koperasi GMNU
Visi :
 Mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi
 Memberikan pendidikan bagi kelompok masyarakat
 Mewujudkan warga Nahdhiyin sebagai pilar perubahan di segala bidang sehingga nilai-nilai sebagai ormas yang mampu menjadi tauladan dan bisa dirasakan oleh masyrakat
Misi :
 Membangun ekonomi bersama melalui gerakan pemberdayaan melalui koperasi
 Mengaktualisasikan diri di masyarakat melalui kegiatan sosial dan pendidikan
 Bekerja membangun masyarakat dengan media dakwah dan pendidikan serta pemberdayaan

Aturan Main Koperasi GMNU :
Simpanan Pokok: Rp. 50.000
Simpanan Wajib: Rp. 5000
Jasa Pinjaman (Ju`alah) 1% / bulan
Jangka Pinjaman: 5 bulan (apabila jumlah pinjaman kurang atau sama dengan Rp 150.000,-)

Unit Usaha :
Simpan-pinjam
Jual pupuk
Jual roti

Rencana Usaha :
Pengembangan usaha peternakan dan agribisnis
Membuat produk sepatu dan sandal.
Selengkapnya...

Sumber Daya Jerukgulung Terabaikan, Partisipasi Masyarakat Dianaktirikan

Andai aku jadi orang kaya, akan aku bantu permodalan rakyat miskin dalam usaha pengembangan ekonomi…………
Andai aku jadi pengusaha, akan aku ciptakan lapangan pekerjaan bagi saudaraku warga Desa Genengan………
Andai aku jadi kepala desa, akan aku jadikan desa ini lebih maju atas kehendak rakayatku………

Ungkapan di atas menandakan bahwa situasi Dusun Genengan Desa Jerukgulung Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri, masih perlu pemikiran dan kerja keras dari semua elemen desa yang lebih massif. Perkembangan ekonomi yang cenderung stagnan (datar saja) alias tidak ada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat menengah ke bawah. Lapangan pekerjaan yang sangat terbatas menyebabkan jumlah pengangguran semakin hari semakin bertambah.
“Ah…!!! kenapa aku sampai bisa melihat dan mikir sejauh ini, semakin membikin aku pusing saja…….” Hal ini sangat mengganggu fikiranku, karena kondisi pemerintahan desa, menurutku juga sangat tidak menunjukkan bahwa desa ini milik semua masyarakat. Cara pandang pemerintah sebagai penguasa penguasa kecil di desa masih lekat sekali di tempatku. Aparat desa berubah menjadi juragan-juragan yang kerjanya tukang perintah sana sini. Sedangkan, partisipasi masyarakat dan transparansi pelaksanaan pemerintahan masih menjadi perihal yang langka.
Kondisi ini menciptakan jarak antara warga masyarakat dengan pemerintah desa (perangkat). Masyarakat yang sering mengkritisi kondisi desa, dianggap menjadi penghalang dalam rencana pembangunan desa.
Aku berharap dari lingkungan terdekat ini, dengan semangat kebersamaan dapat melakukan pengembangan pembangunan secara efektif. Desa dengan perencanaan partisipatif, menemukan posisi, peran dan arti strategisnya untuk menjamin pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat dalam psores perencanaan pembangunan di desa.
Meningkatnya peran masyarakat harus dilakukan sejalan dengan peran pemerintah desa yang pro aktif dalam memfasilitasi arah dan pembangunan desa, dengan mengutamakan peran langsung dari masyarakat, termasuk dalam pembuatan keputusan. Pemerintah bersama masyarakat harus jeli melihat dan memetakan potensi desa, meliputi perencanaan dan pengendalian, pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan serta evaluasi dan tindak lanjut.
Peran pemerintah seperti ini dimaksudkan untuk mencegah adanya eksploitasi kelompok tertentu. Pemerintah harus mendorong terjadinya hubungan yang partisipatif antara masyarakat dengan perangkat desa. Upaya pemberdayaan ini dimaksudkan mampu mengoptimalkan fungsi pelayanan yang dibutuhkan masyarakat secara mandiri.
Dan dalam alur pembangunan dibutuhkan tata kelola perencanaan pembangunan dan perencanaan anggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui musyawarah desa.

Radio Komunitas Menjembatani Kepentingan Warga
Namun disisi lain, untuk mencari teman yang peduli terhadap persoalan desa perlu upaya yang sangat maksimal. Boleh dibilang apatis ketika masih belum adanya semangat untuk membangun desa. Sibuk dengan aktifitas pribadi masing masing. Sehingga dalam hal ini, perlu adanya beberapa orang untuk menjadi pelopor untuk membangun nilai solidaritas. Ingin aku mengabaikan hal ini, namun aku selaku warga desa setempat yang setiap hari melihat fakta tersebut menjadi bingung. Mulai dari mana aku untuk merubah desa ini menjadi desa yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Radio komunitas yang ada mungkin bisa menjadi pijakan awal untuk memulai membangun kebersamaan sesama warga Genengan. Di komunitas radio ini terdapat kelompok pegiat seni Dangdut, Campursari, dan Kuda lumping, yang kemudian berhimpun menjadi komunitas warga. Dalam perjalanannya selain mempunyai keinginan mengembangkan kesenian, kegiatan lain juga dikembangkan seperti, kelompok media belajar keaksaraan fungsional yang merupakan program pemerintah Kabupaten Kediri.
“Ya…..Bu Aminah teman diskusiku, untuk melihat serta mencermati kondisi desaku tempat aku lahir”. Disamping radio komunitas yang diberi nama “Purnama FM”, akan terus dikelola sebagai media bersama, media informasi, pendidikan dan hiburan. Utamanya bagi warga Dusun Genengan, Desa Jerukgulung Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri, dan semua saja yang bisa mengakses frekuensi Purnama FM.
Dengan kemampuan seadanya kami bersama kawan penyelengara siaran radio Puranama FM, terus berkomitmen mempertahankan dan mengelola radio komunitas. Dalam kurun waktu beberapa tahun secara internal banyak dinamika yang kami lalui misalnya, naik turunnya semangat dan keluar masuknya kawan-kawan yang mengelola radio. Sehingga kami bersama kawan-kawan yang ada meneruskannya dengan mencari kader yang bersedia bergabung di Radio Komunitas Purnama.
Secara finansial kami juga berbuat semaksimal mungkin untuk memenuhinya bersama kawan-kawan yang ada. Tidak heran, jika terkadang harus off beberapa hari karena pemancar mengalami kerusakan pada saat kas belum mencukupi untuk perbaikan. Apapun cerita perjalanan kami di komunitas warga dan radio, kami merasa bersyukur kepada Allah SWT. Karena kami masih diberi kekuatan dan semangat untuk bersama- sama melakukan dan memberikan yang terbaik bagi lingkungan kami.
Kami berharap ada pihak lain yang peduli dan membantu persoalan kami. Tidak lupa, kami berterima kasih sekali bisa berkenalan dengan kawan-kawan SRKB (Serikat Rakyat Kediri Berdaulat). Paling tidak ada kawan untuk berbagi pengalaman, mendapat masukan dan motifasi. Dengan mengenal SRKB, makin bertambah jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan kami membangun desa. Namun akan lebih baik bila kegiatan kami juga diikuti oleh warga desa kami yang lain. Kami akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan kegiatan kami. Salam kami untuk kawan-kawan di SRKB. Saya terkesan dengan semangatnya “UNTUK MELAWAN KETIDAKADILAN HARUS MENGORGANISIR DIRI”. (Maliki Abilowo-Genengan).

Selengkapnya...

Rakom SBL Jalin Persaudaraan Antar Umat

(Jombang-AlhaRaka) ‘Semoga semakin jaya di udara’. Ucapan selamat atas kesuksesan Radio Komunitas (Rakom) Suara Budi Luhur (SBL) FM di Dusun Ngepeh Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Jombang di tahun ke-6, datang dari berbagai organisasi masyarakat, instansi pemerintah, para pengusaha maupun sesama Rakom. Ini membuktikan jangkauan radio tersebut semakin luas, sehingga diharapkan jalinan persaudaraan antar umat beragama di wilayah itu semakin erat.

Sebuah perjalanan panjang turut mewarnai berdirinya Rakom SBL FM. Keberhasilan menjaga komitmen akan radio komunitas tentunya ditunjang oleh keberadaan fans yang selalu turut memberikan support baik materi maupun non materi. Karena tidak jarang banyak radio komunitas yang beralih haluan menjadi radio komersil, karena tuntutan kebutuhan operasional radio yang begitu banyak. Namun hal ini tidak terjadi di Rakom SBL. Kuncinya adalah tetap kompak dan semangat untuk mempertahan nilai luhur yakni hidup rukun antar umat. Tidak heran bila rakom ini memiliki fans yang beragam agama. Dan program acaranya pun lebih bernuansa untuk memperkuat kerukunan antar umat beragama. Mulai dari hiburan, informasi, pendidikan, dan juga religius.

Menurut H. Khamdi, ketua PBL (Paguyuban Budi Luhur) yang merupakan induk organisasi Rakom SBL memberikan mandat untuk terus mengembangkan Suara Budi Luhur dengan tetap diatas rel radio komunitas yang manjadi dasar berdirinya SBL. “Rakom SBL adalah sebuah wadah alternatif yang dinamis untuk umat beragama. Dimana semua agama mampu hidup berdampingan dengan indah, yang mana semua agama melupakan perbedaan, sehingga muncul kebersamaan guna mencegah perpecahan. Berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh berbagai media yang banyak kelompok dari satu dan yang lainnya saling menunjukkan egoisme sendiri-sendiri, sehingga yang tercipta adalah kebencian yang akan menghancurkan kelompok tersebut karena masing-masing tidak mau menghargai perbedaan, dan ingin menang sendiri,” tuturnya.

Masih menurut Khamdi, radio komunitas SBL merupakan sebuah wadah yang benar-benar mempunyai visi misi yang jelas. Untuk itu ia mengharap bahwa radio SBL terus berlanjut dan semakin berkembang hingga keluar kota sesuai yang dicita-citakan. Dan selalu siap untuk menghadapi hidup yang terus berkelanjutan agar semua orang mau menanam kebaikan, dengan menghormati perbedaan. Karena dia yakin, semua agama adalah baik tidak ada agama yang bertujuan merusak. Sesuai dengan jargon radio yang mengudara setiap hari yakni ‘radio bolone dewe, tambah suwe tambah ngejreng’. “Semoga dengan Ultah ke 6 ini, rakom SBL tambah dewasa dan tambah jaya di udara” ucap Khamdi semangat.

Dulu frekuwensi SBL tepat pada posisi 107,7 MHz dengan ketingian antena hanya 25 meter di tahun 2003. Sekarang, berkat dukungan para fans, ketinggian antena mencapai 42 meter dan frekuwensi 100,9 MHz. Sayangnya, fans yang berada di beberapa wilayah Kecamatan Bareng tidak mampu mengakses frekuwensi tersebut.

Namun begitu, laju perkembangan radio komunitas SBL dalam kurun waktu 6 tahun dinilai cukup baik dari tahun ke tahun. "Kini SBL sedang menata administrasi dan menejemen kelembagaan agar legal dimata hukum. Hal ini memerlukan perjuangan berat, karena prasyarat yang harus dipenuhi cukup rumit dan memerlukan waktu relatif lama. Dalam proses perjuangan ini para krew akan tetap mengudara meski belum ada ijin resmi dari Komisi Penyiaran Jawa Timur” ujar Sandra.

Masih menurut Sandra, pada tanggal 2 Nopember 2009 pengurus yang terdiri dari ketua, bidang penyiaran, bidang keuangan, jurnalis, dan teknisi akan pergi ke Surabaya, dalam rangka EDP (evaluasi dengar pendapat) untuk mempresentasikan dan menjelaskan data permohonan IPP (ijin peyelengara penyiaran) serta studi kelayakan lembaga penyiaran di SBL FM. “Kami berharap semoga proses presentasi beberapa perwakilan SBL ini sukses, agar kami dapat mengudara dengan tenang tanpa takut adanya intimidasi akan dibredel,” kata Sandra.

Di radio komunitas SBL, jika ditotal perkembangannya antara pendengar pasif dan aktif bisa mencapai 5-10 ribu orang, terlihat dari perolehan atensi maupun kiriman atensi dari para fans. Ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2006-2009. Anggota yang sudah pasti biasanya sering datang ke studio, meskipun hanya cangkruan ataupun sekedar menyapa penyiar. Hal ini menunjukkan kesuksesan radio SBL tergantung fans di berbagai kota," terangnya.

Ultah SBL, Ultah Fans
SBL akan tetap terbuka bagi siapa saja, tidak pilih-pilih dan tidak membeda-bedakan antara agama, ras, dan suku. Yang terpenting adalah untuk menjalin kerukunan umat, dimana antar fans dapat menjalin silaturrohim dan saling berbagi pengalaman hidup. Dalam capaian kesuksesan ini, yang harus selalu di pupuk adalah menumbuhkan regenerasi baru, baik dari kru penyiar maupun para fans. Pun dengan kegiatan nguri-nguri tradisi jawa yang bercirikan khas Jombang, mulai dari kesenia tari, ludruk, wayang beserta dalang dan pengiringnya sinden.

Menurut ketua Fans Mimbar Wibisono, kebersamaan untuk saling memiliki dapat diwujudkan melalui banyak hal. Diantaranya selalu menciptakan kebersamaan ditiap momen. Seperti halnya momen Ultah ke 6 ini, tanpa komitmen kuat para fans untuk turut berkorban memberikan waktu, tenaga, materi tentunya tidak akan pernah sukses. “Saya sangat bangga kepada Rakom SBL, dimana antara fans yang satu dan lainya selalu saling menghargai hingga tidak ada konflik yang tercipta. Yang ada hanya kedamaian dan kerukunan, semua sadar bahwa persatuan akan mampu menjaga kedamaian yang abadi dalam pergaulan sehari-hari. Kami memang menganjurkan setiap fans kiranya mau menyumbangkan materi sedikit untuk proses operasional Ultah. Dan dari anjuran seihlasnya inilah anggaran terkumpul dan dijadikan untuk selamatan bersama ” ujar laki-laki kelahiran Sidowayah Bareng tahun 1959 yang lalu.

Masih menurut Mimbar, baginya tidak masalah bagi para fans yang tidak bisa menyumbang karena terdesak oleh kebutuhan sehari-hari. Yang terpenting adalah hadir dan turut berkumpul dalam momen bersama, dari berbagi kebahagiaan inilah akan terdorong rasa saling memiliki antar fans. Dan ketika dirinya ditanya tentang susahnya menjadi ketua fans, tentunya tidak mudah baginya untuk mempertahankan kegiatan untuk tetap dinamis. Dimana ia tidak memperoleh gaji atas jabatan yang diembanya, malah tugas yang menumpuk selalu menuggu kala kegiatan sedang berlangsung. Namun baginya tidak ada kata susah dalam menjalani jabatan ketua Fans, karena setiap hari Mimbar selalu bertemu dengan orang-orang baru yang turut mengagumi keberadaan Rakom SBL ditengah-tengah wilayah yang penuh dengan keragaman agama. “Hati saya selalu riang gembira mbak, tak ada sedih ketika berjumpa dengan para fans. Bagi saya
Ini adalah anugrah dan mandat suci untuk menciptakan kebersamaan ditengah keberagaman,” tambahnya.

Selain momen tahunan, kegitan bulanan yang telah berjalan cukup lama adalah kegiatan arisan dan kardus terbang. Setiap tanggal 15 anggota fans yang aktif bertemu, namun tanggal ini juga menyesuaikan kesibukan para fans. Seperti pada hari raya tiap agama, tentunya antara umat yang satu dan yang lainya sadar akan kesibukan persiapan hari raya. Maka alternatif kesepakatan yang telah berlangsung, biasanya tanggal dimajukan atau diundur. Menurut Nilam, salah satu penyiar SBL mengatakan bahwa arisan sebesar Rp 10 ribu mampu mempererat tali persaudaraan antar fans. “Jika tidak ada rutinan SBL juga sepi, ini pernah terjadi setahun yang lalu, sempat arisan sudah habis dan cukup lama fakum tanpa kegiatan ditambah lagi para fans juga jarang berkunjung ke studio. Rasanya ada yang kurang gitu ketika siaran,” kenag Nilam.

Adapun kardus terbang ini diperuntukan kepada hal-hal yang tersifat mendadak, jika sewaktu-waktu radio membutuhkan biaya operasional yang membengkak. Disamping kardus terbang, para fans juga setiap arisan melakukan iuran seribu perbulanya. Dari sinilah operasional Rakom SBL diambilkan dan atas kesadaran para fans juga SBL terus berlanjut dan semakin mantap gaungnya ditengah maraknya radio komersil. Tidak ada kalimat yang indah dalam ahir tulisan ini kecuali ucapan selamat dari para pengemmar SBL di seluruh pelosok desa ‘Semoga SBL akan terus jaya di udara selamanya’. (Din-din Alha-raka)
Selengkapnya...

Cerita Danang Dari Sepawon

(Kediri-SS) Salah satu tokoh masyarakat Desa Sepawon adalah Danang, 38 tahun. Pria yang bertempat tinggal di Dusun Petungombo ini menguraikan bahwa desanya perlu intervensi inovasi. Banyak hal yang bisa dikerjakan masyarakat Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Namun, warga merasa bingung bagaimana memulainnya. Potensi besar yang ada di Sepawon menurut Danang adalah karakter masyarakatnya yang rukun dan perangkat desa yang terbuka untuk bekerjasama.

Namun demikian, sumber daya masyarakat Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten menurut Danang masih sangat minim. Sehingga menurutnya perlu sekali adanya program pemberdayaan terlebih untuk masyarakat di Dusun Petungombo.
Tidak salah, karena dari 5 dusun yang ada hanya satu dusun yang berada di luar wilayah PTPN XII Ngrangkah Pawon, yaitu Dusun Petungombo. Sejarahnya pada tanggal 17 Desember 1980, ada program nasional (prona) yakni 351 KK pada waktu itu mendapatkan sertifikat hak milik. Sehingga masyarakat Dusun Petungombo memiliki rumah dan tanah yang bersertifikat. Hal ini tentunya berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat di 4 (empat) dusun lain yang harus selalu mengikuti aturan perkebunan.
Masyarakat Petungombo bebas dari aturan Perkebunan dan ikut peraturan desa. Mata pencaharian masyarakat Petungombo bertani kebun dengan tanaman cengkeh dan kopi. Karena warga memiliki lahan sendiri tingkat kesejahteraannya berbeda dengan dusun lainya. Selain bertani, beternak juga menjadi andalan masyarakat di dusun ini. Ternaknya antara lain sapi, kambing, ayam dan lain-lain. Selain itu , ada juga warga Petungombo yang ikut menjadi buruh perkebunan, meski jumlahnya tidak banyak.
Menurut Danang perbedaan ini tentunya juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Petungombo. Masyarakat dusun yang termasuk kawasan Perkebunan selalu bergantung dengan PTPN, namun masyarakat Petungombo sama sekali tidak. Warga Petungombo lebih mandiri.
Berdasarkan pengalaman saat terjadi letusan Gunung Kelud, masyarakat Desa Sepawon, termasuk Dusun Petungombo kekeringan karena banyak sumber mata air tidak bisa difungsikan, dan semua permukaan tanah tertutup dengan ketebalan debu letusan sampai 15-20 cm. Dampaknya, masyarakat desa mengangur. Tapi masyarakat Petungombo memilih tetap bertahan karena evakuasi yang dilakukan pemerintah dianggap tidak menguntungkan warga.
Jika dilihat dari peta kawasan rawan bencana, jarak Dusun Petungombo Desa Sepawon, sebenarnya sangat dekat dengan letusan Kelud yaitu termasuk dalam kawasan rawan bencana satu (KRB 1). Namun saat terjadi bencana, bantuan pemerintah malah difokuskan di Desa Sugihwaras yang menjadi pusat perhatian Pemda Kediri. Kendala ini menurut Danang karena akses masuk ke Dusun Petungombo sangat sulit. Akses jalan yang berupa jalan tanah dan berbatu menyulitkan untuk dilalui kendaraan. Apalagi kalau terjadi bencana.
Namun dari pengalaman masyarakat terhadap evakuasi bencana oleh Pemda memang kurang disambut positif. Masalahnya, karena tidak adanya jaminan keamanan terhadap asset-aset yaitu barang-barang dan ternak oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengevakuasi secara paksa tetapi tidak pernah mensosialisasikan terlebih dahulu tentang perkembangan informasi akurat/valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait letusan Kelud. Hal itu membuat masyarakat engan untuk mengungsi dan lebih memilih bertahan dirumah masing-masing.
Terkait program DRR bagi Danang adalah hal positif. Minimal program ini bisa mengurangi resiko bencana yakni ancaman letusan Kelud. DRR juga melakukan pemahaman kepada masyarakat akan pengurangan resiko bencana. Salah satu hal yang mendesak adalah hal teknis berkaitan pelatihan dan pendidikan tentang resiko bencana. Sehingga masyarakat tidak perlu menunggu inisiatif pemerintah yang seringkali tidak tepat sasaran. (SS)

Selengkapnya...

Sejarah Tanah Ngrangkah Sepawon dan Badek

(Kediri-SS) Ini tentang sejarah tanah yang kini menjadi sengketa antara masyarakat setempat dengan pihak perkebunan (PTPN XII). Aparat dengan tangan besinya telah melakukan penindasan terhadap rakyat atas nama kewenangan yang diberikan pemerintah. Saatnya kini penderitaan rakyat berakhir.

Masa Penjajahan Belanda
Tanah di daerah Ngrangkah Sepawon, sebelumnya merupakan hutan belantara. Hutan ini kemudian dibuka oleh Mbah Diposulaksono, kemudian disusul oleh penghuni baru yang lainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa para pembuka hutan ini juga adalah para leluhur masyarakat Desa Sepawon sekarang. Masyarakat pembuka hutan ini kemudian mendiami dan beranak pinak serta memperoleh penghidupan dari tanah dan sumber-sumber penghidupan yang lain ditempat ini.
Dari situ mulai berkembang sekelompok masyarakat yang hidupnya bergantung dari pertanian (hasil membuka lahan garapan). Masyarakat kemudian mulai menanami lahan dengan tanaman palawija seperti jagung dan ketela pohon.
Jumlah kepemilikan tanah warga pada waktu itu rata-rata setiap kepala keluarga itu minimal 0,5 Ha. Seiring bertambahnya waktu jumlah penduduk bertambah banyak dan kebutuhan lahanpun bertambah dan kemudian warga berinisiatif membuka lahan baru. Maka kemudian terbentuklah perkampungan baru yaitu Sumberejo, Kampung Pulo, Kampung Pakelan, Kampung Glatik dan Kampung Ngrangkah.
Pada tahun 1923 Pemerintah Belanda membuka area perkebunan di sekitar perkampungan warga. Belanda mengambil sebagian tanah garapan dengan cara memberikan ganti rugi sepantasnya pada warga. Namun, oleh Belanda kemudian dikuasakan pada Perusahaan Perkebunan N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Sumber Glatik Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Badek Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Babadan Gevastigde to Surabaya sebagai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda.
Meski demikian, ada batas yang jelas terhadap antara tanah-tanah yang dikuasai oleh Belanda dengan tanah-tanah yang dikuasi oleh warga. Atau ada batasan jelas antara tanah yang dimiliki warga setempat, yakni tanah pertanian yang diperoleh dari hasil membuka semak belukar menjadi ladang garapan dengan tanah-tanah perkebunan yang dikuasai Belanda sebagai area perkebunan.
Batas-batas itu dibuat atas kesepakatan antara warga dengan pihak Belanda. Hal ini mengacu pada UU Agraria Belanda. Dalam Undang-Undang Agraria tersebut, yang dibuat Belanda pada 1870 tercantum aturan bahwa Gubernur Jendral Belanda tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri.

Periode Pendudukan Jepang
Akibat penyerbuan tentara Jepang 1942 Belanda kalah, tanah perkebunan yang dikuasai Belanda banyak yang terlantar. Sehingga tanah perkebunan tersebut kembali menjadi semak belukar. Kemudian, tanah-tanah tersebut dikelola oleh Jepang.
Dalam pengelolaannya Jepang memanfaatkan tenaga masyarakat yang tinggal di daerah itu untuk Romusha. Pada saat itu Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan guna memperkuat tentaranya. Jepang sendiri waktu itu sedang menghadapi peperangan melawan Sekutu.
Karena pada masa itu banyak warga laki-laki yang dipekerjakan sebagai Romusha. Sehingga, banyak tanah-tanah warga yang terlantar dan tak tergarap. Akhirnya, tanah tersebut menjadi semak belukar lagi. Ditambah lagi kontrol yang ketat dari Jepang yang mengakibatkan petani tidak bisa lagi mengelola tanah yang dimilikinya.
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 setelah penjajahan Jepang berakhir juga merupakan kemerdekaan bagi warga Ngrangkah untuk kembali lagi bertani. Sebanyak 500 KK mulai kembali mengelola lahann garapannya.
Pada tahun 1946 atas perintah Bupati Kediri Jumari dengan melalui pamong praja setempat (diantaranya Marto dan Kasmi) warga mulai melakukan pembabatan kembali tanah pertanian warga yang tak terawatt. Tindakan menduduki dan memanfaatkan lahan terlantar tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum. Karena memang sebelumnya yang dikelola adalah tanah yang pada masa penjajahan Belanda sudah menjadi milik warga yang tinggal di daerah itu.
Bahkan pada saat Agresi Militer tahun 1947-1948, dimana pada waktu itu pihak Belanda mencoba mengurus sisa-sisa tanah yang pernah didudukinya dan dikelola menjadi perkebunan kembali. Hal itu sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam mengelola lahan garapanya. Belanda pun tidak mempersoal tentang keberadaan warga yang mengerjakan lahan warga. Asumsi yang berkembang karena kesepakatan batas tanah antara warga dan Belanda sudah tuntas.
Kemudian pada tahun 1950 Rombongan dari Kawedanan Pare datang mengunjungi warga dan menyarankan agar tanah-tanah yang telah ada dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya secara turun temurun. Dari sini keyakinan warga terhadap hak kepemilikan tanahnya semakin kuat.

Masa Terjadi Nasionalisasi
Agresi Militer berakhir, Pemerintahan Soekarno segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda yang ada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No 86 / 1958, LN 1958,No 162) dan diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959 yang meliputi tanah bekas perkebunan atau perusahaan barat dikuasai Negara. Terrmasuk di dalamnya tanah perkebunan N.V. Cultuur Mij Badek, N.V. Ngrangkah Sumber Glatik, N.V. Babadan .
Sejak tanggal 3 Desember 1957 tanah perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan perusahaan perkebunan Belanda dirubah menjadi PPN Antan yang merupakan perusahaan perkebunan milik Negara RI. Sebenarnya pada saat nasionalisasi ini juga sudah ada kejelasan, mana tanah milik Perusahaan Belanda dan mana tanah milik warga. Apalagi, pada saat tanah yang terkena nasionalisasi dan kembali ke Negara diluar batas-batas tanah-tanah rakyat dan tetap ada pembatasan yang jelas antara tanah yang terkena nasionalisasi dengan tanah yang dimiliki warga.
Setelah ada program nasionalisasi dan ditambah lahirnya UUPA 1960 dan diperkuat dengan pidato Menteri Agraria pada tanggal 12 September 1960 di depan DPR-GR tentang keberadaan UUPA 1960 yang bertujuan untuk memperkuat hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki atau perempuan yang berfungsi sosial. Substansi terhadap penguatan dan perlindungan terhadap Prifat-Bezit, hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun muncul dalam UUPA 1960 ini. Pada waktu itu warga sudah melakukan pembayaran pajak penghasilan mulai tahun 1952 sampai tahun 1961. Hal ini dapat dibuktikan warga dengan adanya bukti pajak warga Ngrangkah yang dibayarkan kepada perangkat desa (Jono).

Masa Penggusuran
Pada tahun 1966 terjadi koflik, dimana tanah yang dikuasai warga berusaha diambil alih oleh Pemerintah dengan dalih tanah mereka adalah tanah hasil Nasionalisasi. Kemudian terjadilah tindakan yang bersifat manipulatif melalui tekanan, paksaan dan teror. Perangkat desa bersama tentara meminta paksa surat-surat berharga yang menunjukan kepemilikan mereka atas tanah dengan dalih bahwa tanah-tanah mereka akan diproses, istilahnya pemutihan, untuk mendapatkan sertifikat.
Dan sebagai gantinya, sementara, warga menerima kartu IKABRA (Ikatan Karyawan Brawijaya). Namun tindakan tentara dan perangkat ini hanya bohong belaka. Kenyataannya kemudian tindakan ini adalah upaya untuk menghilangkan bukti-bukti kepemilikan tanah warga dan sebagai tindakan awal untuk merampas tanah warga untuk area perkebunan.
Pemaksaan ini juga menggunakan banyak cara. Seperti dalih yang berlindung pada anggapan nasionalisasi tanah secara keliru. Seringkali yang digunakan dalih adalah Lembaran Negara No 162 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi tanah perkebunan.Tetapi dasar pijakan ini tidak dilihat secara utuh. Hanya sepotong-sepotong.
Ditingkat lokal pemerintah memperkuat upaya perampasan dengan menggunakan media pertemuan antar pemerintah lokal dan warga. Misalnya keputusan rapat Tri Tunggal yang dihadiri oleh Camat, Aparat Kepolisian, ABRI, dan warga masysarakat di lapangan Sepawon. Keputusan rapat sepihak tersebut adalah bahwa tanah yang dimiliki dan dikelola warga selama berpuluh-puluh tahun tersebut dikatakan atau diklaim tanah milik nagara dan warga wajib menyerahkan tanah garapanya kepada Negara dan apabila warga tidak mau menyerahkan maka dianggap sebagai musuh Negara.
Bentuk-bentuk penekanan tidak hanya itu, apabila warga tidak menyerahkan tanah yang dimilikinya, tanpa berdasarkan fakta dan bukti yang jelas maka mereka dicap sebagai PKI. Setelah rapat tersebut warga dikumpulkan di rumah kepala kampong yang bernama Musiran. Warga dipaksa untuk memberikan sidik jari (cap Jempol) diatas surat pernyataan. Namun ada sebagian yang tidak mau karena maksud surat pernyataan tersebut adalah upaya penyerahan tanah warga.
Selain itu bentuk pemaksaan juga dilakukan lewat perampasan bukti-bukti kepemilikan tanah (surst-surat tanah) oleh aparat tentara dengan cara mendatangi rumah-rumah warga dan menggeledah isi rumah dengan paksa. Banyak warga yang ketakutan dan akhirnya menyerahkan surat tanah mereka karena diancam dengan senjata.
Dalam perampasan hak milik oleh militer. Ada 3 kelompok militer yang terlibat. Pertama Brigif 521 dengan tokohnya Wagiran dan Wardi. Kodam dengan tokohnya Jalil. Brimob dibawah pimpinan Lameni dan Seman. Serta ada kelompok lain dari veteran dan kepolisian. Selain merampas mereka juga menduduki kampung warga dengan melakukan ancaman dan kekerasan terhadap warga apabila warga tetap ”nekad” mengelola dan memanen hasil tanamannya.
Warga diultimatum dan tidak boleh melakukan aktifitas diatas garapannya. Ultimatum ini diikuti dengan pemukulan. Contohnya pada waktu itu Tomo mengambil (rambanan) daun nangka untuk makanan ternaknya, dihajar/dipukuli oleh Imam dari Brigif karena didakwa menjarah dan berusaha mengelola lahannya kembali.
Tindakan tentara tidak berhenti sampai disini. Tindakan represif ini sampai pada penghilangan nyawa. Diantaranya yang menimpa Patmo, Yahya, Dayat, Rasid, Tarmadi, Warsimin, Nyoto, Suro Srmin. Kematian mereka semua tidak wajar dan akibat penganiayaan yang sangat keji. Bahkan, mayat pak Patmo Yahya yang dikenal sebagai pimpinan, Kepalanya di Penggal dan diarak keliling kampong oleh Nurtam yang pada waktu itu sebagai sinder keamanan.
Semenjak 1966 tanah-tanah rampasan dari warga dikelola oleh pihak militer menjadi perkebunan karet dengan mengatasnamakan perkebunan PRIGIF (Proyek Gabungan ABRI). Setelah dikelola militer, warga dikelompokkan menjadi satu di dusun Ngrangkah Desa Jarak dan sebagai gantinya warga disuruh bekerja dengan gaji 1 rupiah/hari. Padahal, kalau bekerja dilahan sendiri bisa mencapai 10 rupiah/hari, dan ganti rugi atas tanah yang dimiliki diganti uang sebanyak Rp 45.000. Namun kenyataanya uang itupun tidak diberikan segera sampai bertahun-tahun. Dalam kondisi ini warga tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Warga selama menjadi karyawan itupun dibebani dengan syarat-syarat yang memberatkan. Antara lain apabila selama 3 bulan kerjanya baik maka diangkat jadi karyawan dan apabila tidak memenuhi syarat maka akan diberhentikan. Pada tahun 1968 yang sudah jadi karyawan satu persatu diberhentikan dengan dalih SEKRENING (di- PKI- kan), upaya tersebut dilakukan dengan cara yang penuh rekayasa yakni penunjukan pada KTP yang menyatakan bahwa warga yang pernah menjadi anggota PKI. Proses tersebut berlangsung sampai tahun1970.
Setelah warga dipecat, perkampungan warga juga digusur lagi terutama bagian Timur dan Utara yakni Glatik, Sumber Rejo, Pulo, Pakelan, Ampera, Pojok, dijadikan satu diperkampungan Ngrangkah-Sepawon tahun 1966. Untuk mempermudah pengawasan, untuk Dusun Pojok dijadikan satu dengan Badek, dengan ketentuan setiap warga yang digusur akan diganti dengan ukuran tanah 20 M. dan lebar 25 M dengan janji tanah tersebut akan disertifikatkan untuk menjadi hak milik.
Namun janji itu sekali lagi hanya janji kososng. Sampai bertahaun-tahun janji itu lenyap ditelan bumi. Malah tanah tersebut menjadi perkebunan kopi dan cengkeh. Akibat dari penggusuran ini kondisi ekonomi tidak menentu. Untuk memperbaiki kehidupannya banyak warga menjadi trans (ikut program transmigrasi).
Akibat sempitnya perkampungan dari beberapa dusun dijadikan satu dan digusur lagi. Sebagai gantinya warga ditempatkan diatas lahan tempat aliran lahar gunung kelud yang diatasnya penuh batu-batu kecil dan pasir. Saat itu juga banyak yang pindah ketempat lain. Selama 4 tahun kondisi warga dalam keadaan kacau balau dan dalam tekanan pemerintahan Orde Baru.
Sesudah 2 tahun perkebunan dibawah Pengelolaan ABRI akhirnya berpindah kepemilikan. Dari pengelolaan BRIGIF digabung dengan PPN Antan XII, dimana peralihan tersebut tanpa diketahui warga dan pola yang dipakai tetap sama yaitu rekayasa.
Tahun 1975 perkebunan melakukan perluasan lagi, dan warga mengalami penggusuran lagi dan ditempatkan dilahan semak belukar yang disebut Ngglagah Rejo dan sekarang disebut Wono Rejo Desa Tri Sulo. Masa dibawah PPN Antan XII tetep tidak ada perbaikan nasib. Untuk meredam warga dijadikan karyawan tapi lagi-lagi dipecat tanpa ada alasan yang jelas.
Perlu menjadi catatan dalam masa penggusuran itu adalah, ada sebuah kampong yang waktu itu selamat dari penggusuran yakni kampong Pakelan II (Petung Ombo) dan ternyata tidak masuknya Kampong Pakelan dalam penggusurn dikarenakan di dalam kampong pakelan ada seorang Veteran 45 yaitu Kamituo Sadimin bersama keluarganya.

Perjuangan Tahun 1982
Pada tahun 1982 ada diantara warga yang ingin menuntut pegembalikan tanahya dari penguasaan perkebunan. Perkebunan dan militer menyebutnya kelompok Kamin cs.Pada 19 Mei 1983 Kamin dan Panuji diculik. Warga menyebutnya kena Petrus (Penembak Misterius) Kamin dan Panuji sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Namun, warga tidak takut. Upaya untuk mendapat hak atas tanahnya ini berlanjut sampai mengirim pengajuan hak atas tanah kepada Mendagri.
Berikutnya terjadi proses peralihan pengelolaan kebun dari pihak PPN Antan XII ke pihak PTPN XII. Hal itupun juga direkayasa dan tidak diketahui warga. Bahkan, mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria.
Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga Ngrangkah Pawon atau tanah warga diklaim berstatus tanah Negara bekas hak erfpacht dengan atas nama : N.V. Cultuur Mij Nrangkah Sumber Glatik, N.V. Cultuur Badek dan N.V. Cultuur Mij Babadan, terkena Nasionalisasi berdasarkan UU Nomor 86 tahun 1958 junto Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959. Di dalam keterangannya perkebunan menuliskan bahwa sejak tanggal 3 Desember 1959 tanah hak milik yang pernah dikelola warga (klaim tanah milik perkebunan) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Dalam SK. /HGU / DA / 87 sangat jalas sekali bahwa pengajuan HGU yang dilakukan oleh PTPN XII tentang luas tanah bukan hak erfpacht milik Belanda saja, tapi milik warga yang dirampas sejak awal pemerintahan Orde Baru. Diperkuat dalam syarat-syarat pengajuan HGU yang didalamnya sangat memberatkan, diantaranya apabila di dalam areal yang diberikan dengan HGU ini ternyata masih terdapat pendudukan atau penggarapan rakyat secara menetap yang sudah atau belum mendapat penyelesaian maka menjadi kewajiban dan tanggung jawab sepenuhnya dari penerima hak untuk menyelesaikan dengan menurut peraturan yang berlaku, syarat ini digunakan untuk menekan warga dengan sewenang wenang. (Ashar Surya Sejahtera).


Selengkapnya...