Rabu, 27 Januari 2010

Cerita Danang Dari Sepawon

(Kediri-SS) Salah satu tokoh masyarakat Desa Sepawon adalah Danang, 38 tahun. Pria yang bertempat tinggal di Dusun Petungombo ini menguraikan bahwa desanya perlu intervensi inovasi. Banyak hal yang bisa dikerjakan masyarakat Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Namun, warga merasa bingung bagaimana memulainnya. Potensi besar yang ada di Sepawon menurut Danang adalah karakter masyarakatnya yang rukun dan perangkat desa yang terbuka untuk bekerjasama.

Namun demikian, sumber daya masyarakat Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten menurut Danang masih sangat minim. Sehingga menurutnya perlu sekali adanya program pemberdayaan terlebih untuk masyarakat di Dusun Petungombo.
Tidak salah, karena dari 5 dusun yang ada hanya satu dusun yang berada di luar wilayah PTPN XII Ngrangkah Pawon, yaitu Dusun Petungombo. Sejarahnya pada tanggal 17 Desember 1980, ada program nasional (prona) yakni 351 KK pada waktu itu mendapatkan sertifikat hak milik. Sehingga masyarakat Dusun Petungombo memiliki rumah dan tanah yang bersertifikat. Hal ini tentunya berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat di 4 (empat) dusun lain yang harus selalu mengikuti aturan perkebunan.
Masyarakat Petungombo bebas dari aturan Perkebunan dan ikut peraturan desa. Mata pencaharian masyarakat Petungombo bertani kebun dengan tanaman cengkeh dan kopi. Karena warga memiliki lahan sendiri tingkat kesejahteraannya berbeda dengan dusun lainya. Selain bertani, beternak juga menjadi andalan masyarakat di dusun ini. Ternaknya antara lain sapi, kambing, ayam dan lain-lain. Selain itu , ada juga warga Petungombo yang ikut menjadi buruh perkebunan, meski jumlahnya tidak banyak.
Menurut Danang perbedaan ini tentunya juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Petungombo. Masyarakat dusun yang termasuk kawasan Perkebunan selalu bergantung dengan PTPN, namun masyarakat Petungombo sama sekali tidak. Warga Petungombo lebih mandiri.
Berdasarkan pengalaman saat terjadi letusan Gunung Kelud, masyarakat Desa Sepawon, termasuk Dusun Petungombo kekeringan karena banyak sumber mata air tidak bisa difungsikan, dan semua permukaan tanah tertutup dengan ketebalan debu letusan sampai 15-20 cm. Dampaknya, masyarakat desa mengangur. Tapi masyarakat Petungombo memilih tetap bertahan karena evakuasi yang dilakukan pemerintah dianggap tidak menguntungkan warga.
Jika dilihat dari peta kawasan rawan bencana, jarak Dusun Petungombo Desa Sepawon, sebenarnya sangat dekat dengan letusan Kelud yaitu termasuk dalam kawasan rawan bencana satu (KRB 1). Namun saat terjadi bencana, bantuan pemerintah malah difokuskan di Desa Sugihwaras yang menjadi pusat perhatian Pemda Kediri. Kendala ini menurut Danang karena akses masuk ke Dusun Petungombo sangat sulit. Akses jalan yang berupa jalan tanah dan berbatu menyulitkan untuk dilalui kendaraan. Apalagi kalau terjadi bencana.
Namun dari pengalaman masyarakat terhadap evakuasi bencana oleh Pemda memang kurang disambut positif. Masalahnya, karena tidak adanya jaminan keamanan terhadap asset-aset yaitu barang-barang dan ternak oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengevakuasi secara paksa tetapi tidak pernah mensosialisasikan terlebih dahulu tentang perkembangan informasi akurat/valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait letusan Kelud. Hal itu membuat masyarakat engan untuk mengungsi dan lebih memilih bertahan dirumah masing-masing.
Terkait program DRR bagi Danang adalah hal positif. Minimal program ini bisa mengurangi resiko bencana yakni ancaman letusan Kelud. DRR juga melakukan pemahaman kepada masyarakat akan pengurangan resiko bencana. Salah satu hal yang mendesak adalah hal teknis berkaitan pelatihan dan pendidikan tentang resiko bencana. Sehingga masyarakat tidak perlu menunggu inisiatif pemerintah yang seringkali tidak tepat sasaran. (SS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar