Rabu, 27 Januari 2010

Sejarah Tanah Ngrangkah Sepawon dan Badek

(Kediri-SS) Ini tentang sejarah tanah yang kini menjadi sengketa antara masyarakat setempat dengan pihak perkebunan (PTPN XII). Aparat dengan tangan besinya telah melakukan penindasan terhadap rakyat atas nama kewenangan yang diberikan pemerintah. Saatnya kini penderitaan rakyat berakhir.

Masa Penjajahan Belanda
Tanah di daerah Ngrangkah Sepawon, sebelumnya merupakan hutan belantara. Hutan ini kemudian dibuka oleh Mbah Diposulaksono, kemudian disusul oleh penghuni baru yang lainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa para pembuka hutan ini juga adalah para leluhur masyarakat Desa Sepawon sekarang. Masyarakat pembuka hutan ini kemudian mendiami dan beranak pinak serta memperoleh penghidupan dari tanah dan sumber-sumber penghidupan yang lain ditempat ini.
Dari situ mulai berkembang sekelompok masyarakat yang hidupnya bergantung dari pertanian (hasil membuka lahan garapan). Masyarakat kemudian mulai menanami lahan dengan tanaman palawija seperti jagung dan ketela pohon.
Jumlah kepemilikan tanah warga pada waktu itu rata-rata setiap kepala keluarga itu minimal 0,5 Ha. Seiring bertambahnya waktu jumlah penduduk bertambah banyak dan kebutuhan lahanpun bertambah dan kemudian warga berinisiatif membuka lahan baru. Maka kemudian terbentuklah perkampungan baru yaitu Sumberejo, Kampung Pulo, Kampung Pakelan, Kampung Glatik dan Kampung Ngrangkah.
Pada tahun 1923 Pemerintah Belanda membuka area perkebunan di sekitar perkampungan warga. Belanda mengambil sebagian tanah garapan dengan cara memberikan ganti rugi sepantasnya pada warga. Namun, oleh Belanda kemudian dikuasakan pada Perusahaan Perkebunan N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Sumber Glatik Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Badek Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Babadan Gevastigde to Surabaya sebagai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda.
Meski demikian, ada batas yang jelas terhadap antara tanah-tanah yang dikuasai oleh Belanda dengan tanah-tanah yang dikuasi oleh warga. Atau ada batasan jelas antara tanah yang dimiliki warga setempat, yakni tanah pertanian yang diperoleh dari hasil membuka semak belukar menjadi ladang garapan dengan tanah-tanah perkebunan yang dikuasai Belanda sebagai area perkebunan.
Batas-batas itu dibuat atas kesepakatan antara warga dengan pihak Belanda. Hal ini mengacu pada UU Agraria Belanda. Dalam Undang-Undang Agraria tersebut, yang dibuat Belanda pada 1870 tercantum aturan bahwa Gubernur Jendral Belanda tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri.

Periode Pendudukan Jepang
Akibat penyerbuan tentara Jepang 1942 Belanda kalah, tanah perkebunan yang dikuasai Belanda banyak yang terlantar. Sehingga tanah perkebunan tersebut kembali menjadi semak belukar. Kemudian, tanah-tanah tersebut dikelola oleh Jepang.
Dalam pengelolaannya Jepang memanfaatkan tenaga masyarakat yang tinggal di daerah itu untuk Romusha. Pada saat itu Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan guna memperkuat tentaranya. Jepang sendiri waktu itu sedang menghadapi peperangan melawan Sekutu.
Karena pada masa itu banyak warga laki-laki yang dipekerjakan sebagai Romusha. Sehingga, banyak tanah-tanah warga yang terlantar dan tak tergarap. Akhirnya, tanah tersebut menjadi semak belukar lagi. Ditambah lagi kontrol yang ketat dari Jepang yang mengakibatkan petani tidak bisa lagi mengelola tanah yang dimilikinya.
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 setelah penjajahan Jepang berakhir juga merupakan kemerdekaan bagi warga Ngrangkah untuk kembali lagi bertani. Sebanyak 500 KK mulai kembali mengelola lahann garapannya.
Pada tahun 1946 atas perintah Bupati Kediri Jumari dengan melalui pamong praja setempat (diantaranya Marto dan Kasmi) warga mulai melakukan pembabatan kembali tanah pertanian warga yang tak terawatt. Tindakan menduduki dan memanfaatkan lahan terlantar tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum. Karena memang sebelumnya yang dikelola adalah tanah yang pada masa penjajahan Belanda sudah menjadi milik warga yang tinggal di daerah itu.
Bahkan pada saat Agresi Militer tahun 1947-1948, dimana pada waktu itu pihak Belanda mencoba mengurus sisa-sisa tanah yang pernah didudukinya dan dikelola menjadi perkebunan kembali. Hal itu sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam mengelola lahan garapanya. Belanda pun tidak mempersoal tentang keberadaan warga yang mengerjakan lahan warga. Asumsi yang berkembang karena kesepakatan batas tanah antara warga dan Belanda sudah tuntas.
Kemudian pada tahun 1950 Rombongan dari Kawedanan Pare datang mengunjungi warga dan menyarankan agar tanah-tanah yang telah ada dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya secara turun temurun. Dari sini keyakinan warga terhadap hak kepemilikan tanahnya semakin kuat.

Masa Terjadi Nasionalisasi
Agresi Militer berakhir, Pemerintahan Soekarno segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda yang ada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No 86 / 1958, LN 1958,No 162) dan diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959 yang meliputi tanah bekas perkebunan atau perusahaan barat dikuasai Negara. Terrmasuk di dalamnya tanah perkebunan N.V. Cultuur Mij Badek, N.V. Ngrangkah Sumber Glatik, N.V. Babadan .
Sejak tanggal 3 Desember 1957 tanah perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan perusahaan perkebunan Belanda dirubah menjadi PPN Antan yang merupakan perusahaan perkebunan milik Negara RI. Sebenarnya pada saat nasionalisasi ini juga sudah ada kejelasan, mana tanah milik Perusahaan Belanda dan mana tanah milik warga. Apalagi, pada saat tanah yang terkena nasionalisasi dan kembali ke Negara diluar batas-batas tanah-tanah rakyat dan tetap ada pembatasan yang jelas antara tanah yang terkena nasionalisasi dengan tanah yang dimiliki warga.
Setelah ada program nasionalisasi dan ditambah lahirnya UUPA 1960 dan diperkuat dengan pidato Menteri Agraria pada tanggal 12 September 1960 di depan DPR-GR tentang keberadaan UUPA 1960 yang bertujuan untuk memperkuat hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki atau perempuan yang berfungsi sosial. Substansi terhadap penguatan dan perlindungan terhadap Prifat-Bezit, hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun muncul dalam UUPA 1960 ini. Pada waktu itu warga sudah melakukan pembayaran pajak penghasilan mulai tahun 1952 sampai tahun 1961. Hal ini dapat dibuktikan warga dengan adanya bukti pajak warga Ngrangkah yang dibayarkan kepada perangkat desa (Jono).

Masa Penggusuran
Pada tahun 1966 terjadi koflik, dimana tanah yang dikuasai warga berusaha diambil alih oleh Pemerintah dengan dalih tanah mereka adalah tanah hasil Nasionalisasi. Kemudian terjadilah tindakan yang bersifat manipulatif melalui tekanan, paksaan dan teror. Perangkat desa bersama tentara meminta paksa surat-surat berharga yang menunjukan kepemilikan mereka atas tanah dengan dalih bahwa tanah-tanah mereka akan diproses, istilahnya pemutihan, untuk mendapatkan sertifikat.
Dan sebagai gantinya, sementara, warga menerima kartu IKABRA (Ikatan Karyawan Brawijaya). Namun tindakan tentara dan perangkat ini hanya bohong belaka. Kenyataannya kemudian tindakan ini adalah upaya untuk menghilangkan bukti-bukti kepemilikan tanah warga dan sebagai tindakan awal untuk merampas tanah warga untuk area perkebunan.
Pemaksaan ini juga menggunakan banyak cara. Seperti dalih yang berlindung pada anggapan nasionalisasi tanah secara keliru. Seringkali yang digunakan dalih adalah Lembaran Negara No 162 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi tanah perkebunan.Tetapi dasar pijakan ini tidak dilihat secara utuh. Hanya sepotong-sepotong.
Ditingkat lokal pemerintah memperkuat upaya perampasan dengan menggunakan media pertemuan antar pemerintah lokal dan warga. Misalnya keputusan rapat Tri Tunggal yang dihadiri oleh Camat, Aparat Kepolisian, ABRI, dan warga masysarakat di lapangan Sepawon. Keputusan rapat sepihak tersebut adalah bahwa tanah yang dimiliki dan dikelola warga selama berpuluh-puluh tahun tersebut dikatakan atau diklaim tanah milik nagara dan warga wajib menyerahkan tanah garapanya kepada Negara dan apabila warga tidak mau menyerahkan maka dianggap sebagai musuh Negara.
Bentuk-bentuk penekanan tidak hanya itu, apabila warga tidak menyerahkan tanah yang dimilikinya, tanpa berdasarkan fakta dan bukti yang jelas maka mereka dicap sebagai PKI. Setelah rapat tersebut warga dikumpulkan di rumah kepala kampong yang bernama Musiran. Warga dipaksa untuk memberikan sidik jari (cap Jempol) diatas surat pernyataan. Namun ada sebagian yang tidak mau karena maksud surat pernyataan tersebut adalah upaya penyerahan tanah warga.
Selain itu bentuk pemaksaan juga dilakukan lewat perampasan bukti-bukti kepemilikan tanah (surst-surat tanah) oleh aparat tentara dengan cara mendatangi rumah-rumah warga dan menggeledah isi rumah dengan paksa. Banyak warga yang ketakutan dan akhirnya menyerahkan surat tanah mereka karena diancam dengan senjata.
Dalam perampasan hak milik oleh militer. Ada 3 kelompok militer yang terlibat. Pertama Brigif 521 dengan tokohnya Wagiran dan Wardi. Kodam dengan tokohnya Jalil. Brimob dibawah pimpinan Lameni dan Seman. Serta ada kelompok lain dari veteran dan kepolisian. Selain merampas mereka juga menduduki kampung warga dengan melakukan ancaman dan kekerasan terhadap warga apabila warga tetap ”nekad” mengelola dan memanen hasil tanamannya.
Warga diultimatum dan tidak boleh melakukan aktifitas diatas garapannya. Ultimatum ini diikuti dengan pemukulan. Contohnya pada waktu itu Tomo mengambil (rambanan) daun nangka untuk makanan ternaknya, dihajar/dipukuli oleh Imam dari Brigif karena didakwa menjarah dan berusaha mengelola lahannya kembali.
Tindakan tentara tidak berhenti sampai disini. Tindakan represif ini sampai pada penghilangan nyawa. Diantaranya yang menimpa Patmo, Yahya, Dayat, Rasid, Tarmadi, Warsimin, Nyoto, Suro Srmin. Kematian mereka semua tidak wajar dan akibat penganiayaan yang sangat keji. Bahkan, mayat pak Patmo Yahya yang dikenal sebagai pimpinan, Kepalanya di Penggal dan diarak keliling kampong oleh Nurtam yang pada waktu itu sebagai sinder keamanan.
Semenjak 1966 tanah-tanah rampasan dari warga dikelola oleh pihak militer menjadi perkebunan karet dengan mengatasnamakan perkebunan PRIGIF (Proyek Gabungan ABRI). Setelah dikelola militer, warga dikelompokkan menjadi satu di dusun Ngrangkah Desa Jarak dan sebagai gantinya warga disuruh bekerja dengan gaji 1 rupiah/hari. Padahal, kalau bekerja dilahan sendiri bisa mencapai 10 rupiah/hari, dan ganti rugi atas tanah yang dimiliki diganti uang sebanyak Rp 45.000. Namun kenyataanya uang itupun tidak diberikan segera sampai bertahun-tahun. Dalam kondisi ini warga tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Warga selama menjadi karyawan itupun dibebani dengan syarat-syarat yang memberatkan. Antara lain apabila selama 3 bulan kerjanya baik maka diangkat jadi karyawan dan apabila tidak memenuhi syarat maka akan diberhentikan. Pada tahun 1968 yang sudah jadi karyawan satu persatu diberhentikan dengan dalih SEKRENING (di- PKI- kan), upaya tersebut dilakukan dengan cara yang penuh rekayasa yakni penunjukan pada KTP yang menyatakan bahwa warga yang pernah menjadi anggota PKI. Proses tersebut berlangsung sampai tahun1970.
Setelah warga dipecat, perkampungan warga juga digusur lagi terutama bagian Timur dan Utara yakni Glatik, Sumber Rejo, Pulo, Pakelan, Ampera, Pojok, dijadikan satu diperkampungan Ngrangkah-Sepawon tahun 1966. Untuk mempermudah pengawasan, untuk Dusun Pojok dijadikan satu dengan Badek, dengan ketentuan setiap warga yang digusur akan diganti dengan ukuran tanah 20 M. dan lebar 25 M dengan janji tanah tersebut akan disertifikatkan untuk menjadi hak milik.
Namun janji itu sekali lagi hanya janji kososng. Sampai bertahaun-tahun janji itu lenyap ditelan bumi. Malah tanah tersebut menjadi perkebunan kopi dan cengkeh. Akibat dari penggusuran ini kondisi ekonomi tidak menentu. Untuk memperbaiki kehidupannya banyak warga menjadi trans (ikut program transmigrasi).
Akibat sempitnya perkampungan dari beberapa dusun dijadikan satu dan digusur lagi. Sebagai gantinya warga ditempatkan diatas lahan tempat aliran lahar gunung kelud yang diatasnya penuh batu-batu kecil dan pasir. Saat itu juga banyak yang pindah ketempat lain. Selama 4 tahun kondisi warga dalam keadaan kacau balau dan dalam tekanan pemerintahan Orde Baru.
Sesudah 2 tahun perkebunan dibawah Pengelolaan ABRI akhirnya berpindah kepemilikan. Dari pengelolaan BRIGIF digabung dengan PPN Antan XII, dimana peralihan tersebut tanpa diketahui warga dan pola yang dipakai tetap sama yaitu rekayasa.
Tahun 1975 perkebunan melakukan perluasan lagi, dan warga mengalami penggusuran lagi dan ditempatkan dilahan semak belukar yang disebut Ngglagah Rejo dan sekarang disebut Wono Rejo Desa Tri Sulo. Masa dibawah PPN Antan XII tetep tidak ada perbaikan nasib. Untuk meredam warga dijadikan karyawan tapi lagi-lagi dipecat tanpa ada alasan yang jelas.
Perlu menjadi catatan dalam masa penggusuran itu adalah, ada sebuah kampong yang waktu itu selamat dari penggusuran yakni kampong Pakelan II (Petung Ombo) dan ternyata tidak masuknya Kampong Pakelan dalam penggusurn dikarenakan di dalam kampong pakelan ada seorang Veteran 45 yaitu Kamituo Sadimin bersama keluarganya.

Perjuangan Tahun 1982
Pada tahun 1982 ada diantara warga yang ingin menuntut pegembalikan tanahya dari penguasaan perkebunan. Perkebunan dan militer menyebutnya kelompok Kamin cs.Pada 19 Mei 1983 Kamin dan Panuji diculik. Warga menyebutnya kena Petrus (Penembak Misterius) Kamin dan Panuji sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Namun, warga tidak takut. Upaya untuk mendapat hak atas tanahnya ini berlanjut sampai mengirim pengajuan hak atas tanah kepada Mendagri.
Berikutnya terjadi proses peralihan pengelolaan kebun dari pihak PPN Antan XII ke pihak PTPN XII. Hal itupun juga direkayasa dan tidak diketahui warga. Bahkan, mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria.
Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga Ngrangkah Pawon atau tanah warga diklaim berstatus tanah Negara bekas hak erfpacht dengan atas nama : N.V. Cultuur Mij Nrangkah Sumber Glatik, N.V. Cultuur Badek dan N.V. Cultuur Mij Babadan, terkena Nasionalisasi berdasarkan UU Nomor 86 tahun 1958 junto Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959. Di dalam keterangannya perkebunan menuliskan bahwa sejak tanggal 3 Desember 1959 tanah hak milik yang pernah dikelola warga (klaim tanah milik perkebunan) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Dalam SK. /HGU / DA / 87 sangat jalas sekali bahwa pengajuan HGU yang dilakukan oleh PTPN XII tentang luas tanah bukan hak erfpacht milik Belanda saja, tapi milik warga yang dirampas sejak awal pemerintahan Orde Baru. Diperkuat dalam syarat-syarat pengajuan HGU yang didalamnya sangat memberatkan, diantaranya apabila di dalam areal yang diberikan dengan HGU ini ternyata masih terdapat pendudukan atau penggarapan rakyat secara menetap yang sudah atau belum mendapat penyelesaian maka menjadi kewajiban dan tanggung jawab sepenuhnya dari penerima hak untuk menyelesaikan dengan menurut peraturan yang berlaku, syarat ini digunakan untuk menekan warga dengan sewenang wenang. (Ashar Surya Sejahtera).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar