(Jombang-Alha-Raka) Gaji pertama DPRD Jombang tentunya sudah dikantongi sejak Oktober 2009 lalu. Namun sampai kini, kerja riel untuk masyarakat Jombang masih sekedar janji dan janji. Banyak persoalan yang belum terselesaikan seperti perda PKL, perda pendidikan, perda transportasi, perda miras dan lain-lain. Kecuali perda prostitusi yang sejak bulan puasa lalu memang sudah disyahkan oleh Gubernur Jawa Timur dan ada beberapa verifikasi yang harus dilalui sebelum perda ini benar-benar dilaksanakan. Alasanya ada beberapa pihak masyarakat yang merasa dirugikan, hingga perda prostitusi ini terkesan dipaksakan untuk wilayah Jombang.
Kedaulatan berada di tangan rakyat, namun ketika hak politik rakyat telah terwakilkan oleh DPR seolah-olah Dewan Perwakilan Rakyat ini sebagai penjelmaan suara seluruh rakyat. Padahal sejatinya kedaulatan itu sendiri masih sepenuhnya milik rakyat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apalah arti kedaulatan rakyat? ketika rakyat selalu ditindas oleh aturan baik UU, Perpres, Perda, maupun Perbub.
Disisi lain mangkraknya beberapa Raperda yang sudah berada di gedung dewan, membuktikan banyaknya persoalan yang telah terjadi di tubuh para wakil rakyat Jombang ini. Mengapa Raperda (PKL, Transportasi, Pendidikan, dan Miras) belum juga ada perkembangan yang berarti.
Perda Prostitusi Merugikan Banyak Pihak
Menurut Udin, salah satu pengerak di lembaga non pemerintah, WCC (Woment Crisis Center) Jombang mengatakan “DPR sekarang ini memang harus segera diingatkan akan warisan tugas dari para mantan DPR lama. Yang saya herankan mengapa raperda Prostitusi sudah disyahkan oleh Gubernur, padahal banyak pasal dan ayat yang masih perlu dikaji ulang karena sangat merugikan perempuan Jombang secara keseluruhan. Belum lagi penutupan lokalisasi tentunya membawa dampak sosial yang amat berat bagi para PS (pekerja Seks), karena mereka juga butuh tetap hidup dan makan. Pemerintah belum memberikan solusi kongkrit mengapa tega menutup lokalisasi, lantas dikemanakan rasa kemanusiaan para elit penguasa ini. Banyak mata rantai yang terpotong, hingga akan memunculkan persoalan baru yakni para PS tetap akan beroperasi dengan sembunyi-sembunyi. Ini yang membahayakan karena tidak terpantau oleh dinas kesehatan sehingga membawa dampak yang lebih besar yakni terjadinya penyakit menular seks, HIV AIDS dan lain-lain persoalan kesehatan” kata Udin, Koordinator Advokasi WCC.
Polemik munculnya aturan tentunya ada dampak positif dan negatif pada rakyat. Idealnya Undang-undang memang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Namun hal ini ternyata bukan jaminan untuk rakyat bisa berdaulat, padahal UU menjadi acuan dasar, dan siapapun tidak akan mempunyai kekuatan untuk merubah dan merusaknya.
Hal ini juga diakui oleh dunia internasional, sejak diakuinya bangsa Indonesia manjadi negara merdeka. Untuk menyikapi perda prostitusi di Jombang, serjumlah elemen masyarakat yang peduli terhadap kaum perempuan mengkaji detail mengapa perda prostitusi ini disyahkan tanpa adanya solialisasi dengan masyarakat. “Ada ide untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Kostitusi, namun kami perlu kajian data lebih dalam,” tambah Udin
Masihkah Ada Guru Tanpa Tanda Jasa
Sementara itu menurut Puji Santoso, pemuda Dekrit’17 Badang Ngoro Jombang, menyatakan “Membincang kata kedaulatan, ada juga yang menyebut kekuasaan. Rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang berkuasa. Kekuasaan berada di tangan rakyat, begitu kita bisa artikan. Sampai pada kata ini, masih bisa dipahami dengan sebuah pengandaian. Misalnya diibaratkan kekuasaan adalah sebuah benda, maka benda tersebut sejak dari dulu hingga saat ini terletak di tangan rakyat. Sampai saat ini tidak ada pihak yang pernah memungkiri, namun realitanya mana ada kedaulatan yang sepenuhnya ada. Buktinya banyak aturan yang kurang berpihak kepada rakyat,” ungkap Puji Santoso, guru SDN Badang Ngoro.
Sebagai seorang guru yang masih belum diangkat (negeri), dirinya merasa dianak tirikan. Karena sampai saat ini baik Guru Tidak Tetap/Pegawai Tidak Tetap (GTT/PTT) di Kabupaten Jombang, masih sangat minim kesejahteraanya dengan upah yang masih jauh dibawah UMR (Upah Minimum Regional). “Meski ada ganjalan besar di hati, namun saya tetap mengucapkan selamat atas terpilihnya para caleg (calon legislatif) menjadi anggota DPR bulan September 2009 lalu. Semoga mereka mampu mengemban amanat sesuai tugas dan fungsinya sebagai pelayan rakyat. DPR harus mampu mereformasi kinerja buruknya (jangan hanya janji-janji di masa kampaye). Dan harus selalu pro rakyat kecil dengan memanfaatkan seluruh panca indra yang dimiliki agar jeli, teliti dan solutif terhadap persoalan dan kebutuhan rakyat seperti ketika menggodok Perda Pendidikan yang masih mangkrak agar secepatnya direalisasikan,” harap Puji yang masih menjadi tenaga GTT.
Harapan Puji, juga merupakan suara perwakilan semua guru swasta di Kabupaten Jombang. Karena pendidikan termasuk persoalan dasar seluruh rakyat, maka harus segera diprioritaskan mulai dari instrumen pendukung yakni kwalitas guru dan anggaran bantuan untuk siswa. “Semoga dengan penyegaran seluruh wajah anggota DPR baru, mampu menciptakan iklim yang baik dengan meningkatkan anggaran untuk pendidikan.
Adanya perekrutan PNS jalur honorer/pengadaan data base kepada guru yang telah mempunyai pengabdian diri cukup lama, ini merupakan anugrah bagi para guru. Secercah jaminan kesejahteraan ini merupakan bukti penghargaan pemerintah atas jasa-jasa para pahlawan tanpa tanda jasa dalam mencerdaskan generasi bangsa, semoga kuota data base ditambah lagi” tutur pemuda Dekrit ini mantap.
Kedaulatan Rakyat Masih Semu
Sementara itu menurut Abadi Arianto, yang juga warga Badang Ngoro Jombang, berharap agar DPR yang baru ini tidak hanya duduk santai di kursi dewan, namun harus turun langsung ke lapangan melihat para perangkat desa dalam melakukan tugas pelayanannya kepada masyarakat. Secara langsung apakah sudah sesuai dengan tugas dan fungsinya. “Sejak saya menjabat LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) di Desa Badang belum pernah ada seorang dewan yang mau mengkritik langsung kerja Pemerintah Desa. Meski ada BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang juga sebagai pengontrol kinerja Pemdes, namun posisi dewan di tengah masyarakat tetaplah diharapkan agar aspirasi warga tersampaikan dengan cepat,” kata cak Badi.
Berdasar UU pula, sistem diciptakan untuk melegalkan kekuasaan para pembuat kebijakan. Seharusnya aturan dibuat untuk menjamin kesejahteraan rakyat agar bisa terarahkan dalam praktek kehidupan. Di Jombang saat ini sistem politik yang berjalan adalah implementasi kekuasaan dipetakan oleh para pemain politik dengan memakai tangan rakyat. Kata pendeknya, munculnya Dewan yang berasal dari salah satu partai politik juga menentukan suara munculnya segala kebijakan baik perda maupun aturan yang lain.
Idealnya ketika menjadi dewan memang harus lepas dari atribut partai agar terlihat lebih independen. Seharusnya posisi partai juga termasuk sebagai kepanjangan tangan rakyat dalam mengemban amanat kekuasaan rakyat. Partai yang ada saat ini tidak mempunyai fungsi strategis demi terciptanya relasi kuasa yang seimbang. Namun kondisi yang terjadi sebaliknya, partai politik hanya menjadikan rakyat sebagai alat pijakan untuk kepentingan diri dan golongan semata. Sebab hanya melalui partailah implementasi kedaulatan rakyat itu bias dijalankan. Lebih jelasnya, Pemilu legislatif menghasilkan DPR, dan munculnya Caleg juga melalui partai politik.
Padahal Parpol yang telah mendudukkan wakilnya di legislatif ternyata kurang mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Hingga saat ini rakyat masih belum bisa menikmati kekuasaan yang ‘disimbolkan’ berada di tangan mereka. Kondisi ini akan tetap bertahan bila rakyat sendiri tidak merebut kedaulatan yang saat ini dipegang oleh partai politik yang notabene adalah pemerintah, baik ekskutif maupun legislatif. Rakyat petani, rakyat pedagang, semua rakyat terpinggirkan dan termiskinkan mutlak harus bisa merebut kedaulatan.
Persoalan semakin jelas, kemiskinan, keterpurukan ekonomi rakyat, agaknya bukanlah hukum alam atau takdir Tuhan, namun disebabkan kelalaian pemerintah. “Kalau sudah begini, lantas kenapa kekuasaan yang ada di tangan rakyat itu tidak bisa dijadikan jaminan bagi kehidupannya? Kedaulatan itu ternyata tidak ada pengaruh berarti bagi kehidupan rakyat secara mayoritas. Sebagai contoh, saya adalah rakyat yang tingal di pedesaan, yang mayoritas semua tetangga saya berprofesi sebagai petani. Meski dikatakan petani memegang kekuasaan, namun ternyata petani sama sekali tidak kuasa meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ketika kami ingin mendapatkan harga pupuk yang murah, banyak oknum yang turut mempermainan harga pupuk, khususnya pada masa tanam yang sebentar lagi akan tiba,” keluh Suyudi, warga Banjardowo Jombang.
Sementara itu menurut Bella Benanda, Ketua DPRD Jombang, menyatakan dirinya akan melakukan tugas dan fungsi DPRD sebagaimana mestinya “Dewan selalu siap jika diajak untuk hearing, karena tugas DPR adalah mewakili rakyat, maka saya akan selalu mendengarkan aspirasi masyarakat. Pada konsep dasar yang akan dibangun oleh DPRD sekarang adalah dari suara rakyat. Pun dalam menentukan Raperda yang sebelumnya harus dikaji, digodok, kemudian disosialisasikan baru diverifikasi” katanya pada acara dialog warga di Lakpesdam NU Jombang.
Bella juga memberikan Informasi terkait Perda Miras. Posisinya saat ini belum bisa diturunkan karena belum ada tahapan verifikasi. “Menanggapi persoalan apapun harus selalu berfikir positif, seperti usulan perda becak motor, perda transpsrasi pelayanan publik juga harus memperhatikan 3 aspek. Yakni aspek filosofis, aspek normatif, aspek sosiologis. Artinya peraturan dibuat tidak boleh bertentangan dengan aturan diatasnya, peraturan dibuat harus dilihat dampak sosialnya juga,” terang Bella.
(Din-Din Alha-Raka)
Rabu, 27 Januari 2010
Sejuta Kritik Untuk Wakil Rakyat Jombang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar