Rabu, 27 Januari 2010

KRJB Memperjuangkan Hak Korban Tol Yang Tertindas Kunjungi Cak Nun dan Gus Sholah

(Jombang) Anggota Jama’ah korban pembangunan jalan tol Nganjok-Mojokerto di Kabupaten Jombang pada bulan Oktober 2009, telah menemui beberapa tokoh masyarakat yakni Cak Nun (MH Ainun Najib), dan juga tokoh NU Gus Sholah (Sholahuddin Wahid dari PP. Tebuireng). Kedua tokoh ini dimintai dukungannya oleh anggota Jama’ah dalam memperjuangkan hak-hak mereka sampai berhasil. Bila perlu sampai ke pemerintah pusat.

Sesuai yang telah direncanakan, pada pertemuan awal bulan Agustus 2009 di Mushola Ismail, Desa Pagak Sumberejo Jombang yang mensepakati kenaikan harga yang layak, Welly selaku Koordinator Jama’ah Korban Tol beserta juru bicara (jubir) dari masing-masing desa mempunyai tugas mendatangi dua tokoh penting di Jombang untuk dimintai dukungan atas perjuangan jama’ah.

Pada tanggal 4 Oktober 2009, beberapa perwakilan jama’ah berhasil menemui MH Ainun Najib dan mendapat rekomendasi untuk secepatnya membuat surat keberatan kepada menteri atau presiden. Sedangkan perwakilan jama’ah dan KRJB yang melakukan kunjungan ke kediaman Gus Sholah, mendapat hasil yang cukup mengembirakan yakni Gus Sholah bersedia membantu berdiskusi dan berdialog langsung dengan para wakil rakyat di gedung DPRD Kabupaten Jombang yang akan segera dilakukan. “Saya siap untuk membantu para Jam’ah korban pembangunan jalan tol. Dan seharusnya yang memfasilitasi pertemuan dengan para investor adalah bupati sendiri. Namun anehnya dalam hal ini Bupati Jombang malah mendukung para investor menekan harga. Untuk itu saya siap membantu, melihat posisi warga Jombang yang tertindas tentunya saya juga tidak akan tinggal diam,” kata Gus Sholah saat di temui beberapa orang perwakilan KRJB di kediamanya pada 24 Oktober 2009.

Masih menurut Gus Sholah, pengadaan jalan tol umumnya hanya untuk kepentingan memperlancar bisnis para pengusaha besar. Maka seharusnya pemerintah Jombang mengalokasikan dana atau relokasi yang sepadan dan tidak merugikan masyarakat kecil. Asumsinya, ketika warga pindah tempat itu saja sudah dinilai rugi, apalagi menekan harga yang sangat rendah tentunya warga akan rugi dua kali lipat. “Dalam hal ini pemerintah Jombang sendiri yang membuat bencana bagi warganya, karena seharusnya posisi pemerintah Jombang itu menjadi jembatan untuk melindungi dan mengayomi warga bukan malah mendukung para investor. Posisi rakyat saat ini memang sudah tertekan oleh berbagai teror yang itu dilakukan para perangkat desa dan juga anak buah para investor, lantas bagaimana dengan wakil rakyat kita yang duduk di kursi legislatif. Kalau tidak kita jawil tentunya mereka juga akan diam saja. Untuk itulah rakyat yang harus bergerak terlebih dahulu untuk mengawali mendesak dan memberi tuntutan kepada pemerintah daerah melalui DPRD. Rakyat harus mengingatkan kembali tugas DPRD yang utama yakni membantu rakyat,” terang Gus Sholah.

Langkah selanjutnya para jubir kemudian mendata ulang anggota di masing-masing desa yang masih bertahan. Data ini dimaksudkan agar koordinator mengetahui secara pasti luasan tanah masing-masing anggota jama’ah yang terkena proyek pembangunan jalan tol trans Mojokerto-Nganjuk. Selanjutnya jika semua data tersebut lengkap, maka dibentuk tim untuk mengolah data menjadi dasar-dasar argumentasi untuk memperkuat gerakan jama’ah ke seluruh instansi pemerintah. Maka pada tanggal 25 Oktober 2009, Komite KRJB (Konsoursium Rakyat Jombang Berdaulat) beserta anggota yang diberi mandat melakukan pembacaan ulang terhadap persolan yang ada. Dari sinilah diketahui bahwa perjuangan para jama’ah memerlukan pemetaan ulang agar tidak mudah terpecah belah maka setiap anggota jama’ah harus mengetahun peran dan fungsi para petugas yang mengintimidasi warga.

“Untuk membuat agenda materi posisi masalah, sikap perjuangan serta tuntutan dibutuhkan kembali para Jubir untuk membantu melengkapi data awal yang telah ada. Kita akan bersama-sama melakukan kajian terhadap beberapa aturan yang sudah ada, mulai dari UU 1945 pasal 33 (3) sebagai landasan hukum pengaturan atas tanah secara nasional : Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.” jelas A Syamsul Rizal selaku penasehat KRJB. Atas landasan tersebut, lanjut Rizal, sesuai dengan falsafah pancasila; Tanah adalah karunia Tuhan yang mempunyai sifat magis-religius dan harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat, dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, bahkan negara.

Tol Untuk Kepentingan Komersil Saja?
Secara normatif pembangunan jalan tol memang mengacu pada Perpres No.65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, namun setelah diteliti lebih jauh lagi sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukan pada ranah kepentingan umum. Argumentasinya, karena menurut Kitap (1985) (dikutip penulis dari Soemardjono, 2005:78) kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial yakni, dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit. Realitas menunjukkan bahwa jalan tol pasti bermotifkan profit (Sumardjono, 2005:109). Dengan demikian, argumentasi hukum yang paling tepat untuk jalan tol adalah, cara perolehan tanah oleh pemerintah bukan dengan pengadaan tanah, melainkan dengan jual-beli (Oloan Sitorus, 2004: 7)

Hal ini juga dibenarkan oleh salah satu anggota jama’ah korban tol Suyudi asal Dsn. Gempolpait Banjardowo, bahwa nantinya warga Gempolpait sendiri akan kesulitan mengakses jalan tersebut. ”Kita selaku warga yang berprofesi petani sangat dirugikan dengan pengadaan jalan tol ini. Pertama irigasi akan macet, dan terhambatnya arus lalu lintas pertanian utamanya yang masih memakai alat transportasi sederhana seperti gerobak. Nah apa boleh kita lewat tol kalau mengangkut hasil pertanian dengan alat tersebut, tentunya akan terkena tilang. Dan biasanya para petani sering mengunakan sepeda onthel dan becak untuk mengangkut rumput pakan ternak. Wah....kalau yang ini malah bisa diusir karena dianggap mengganggu dan menghambat para penguna jalan tol. Susah memang jadi rakyat kecil, ditambah lagi harga yang ditawarkan amat tidak layak dengan kerugian yang didapat warga. Bagaimana pemerintah Jombang ini kok malah akan mengunakan konsinyasi, padahal sudah nampak betul dampak kerugian rakyatnya sangat banyak. Bukanya membantu malah menteror,” keluh bapak empat putra ini panjang lebar.

Pemerintah dalam hal ini bisa dikategorikan melanggar Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, yang mana telah menjamin ‘Hak Asasi Atas Kepemilikan’, dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan. Masalah hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari hak asasi manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk di dalamnya hak adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara paksa dengan mengabaikan aspirasi subyek hak atas tanah. Hal ini dinyatakan pada pasal 36 dan 37;

Pasal 36 menyebutkan;
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37 menyebutkan;
1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Keberadaan undang-undang tersebut jelas memihak rakyat, namun anehnya pemerintah sendiri yang melanggarnya. Hal ini menurut Ismail, warga Pagak Sumberejo Jombang, bahwa posisi dan peran rakyat sebagai pemilik tanah sudah jelas, yakni sebagai subyek pelepas dan penyerah hak atas tanah demi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. “Kita selaku korban tidak akan menolak pembangunan, bahkan menjadi partisipan yang aktif untuk mendukung pembangunan negara tercinta ini. Namun jangan hanya karena kepentingan para investor lantas hak-hak warga terabaikan,” katanya.

Perjuangan yang dilakukan oleh Jama’ah Korban tol bersama KRJB dilandasai oleh undang-undangan. Khususnya undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan, pelayanan publik, informasi publik, dan hak-hak rakyat dalam jual-beli atau mekanisme ganti rugi. Partisipasi aktif, baik secara perorangan maupun secara berkelompok dan atau pengembangan partisipasi melalui keterlibatan pihak-pihak yang dipercaya rakyat untuk dapat membantu memperlancar penyelesaian masalah yang dihadapi. “Dari peraturan ini, maka tidak ada salahnya KRJB turut membantu kelompok masyarakat yang tertindas untuk mencapai tujuan bersama yakni demi kepentingan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan,” tegas Syamsul Rizal. (Din-din, Alha-Raka)

Tuntutan Jama’ah Korban Jalan Tol
Kami, Jama’ah Korban Jalan ToL Jombang, sebagai organisasi perjuangan para korban pelepasan tanah untuk pembangunan ruas Tol dari 12 desa di 3 kecamatan, telah mempelajari, menimbang dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mendasarkan sikap dan tindakan atas data dan fakta, bahwa “kami menolak patokan dan skema harga tanah yang ditawarkan, mengecam tindakan tidak bermartabat dalam menyelesaikan masalah ganti adil tanah”. Kami menuntut kepada para pihak sesuai kewenangan masing-masing untuk :
1. Menaikkan Harga Satuan per-Meter Tanah secara Adil, Layak dan Prospektif. Adil sesuai tujuan pembangunan itu sendiri ‘demi kesejahteraan rakyat’, karena kami melepaskan hak atas tanah. Layak; lepasnya hak atas tanah berarti lepas pula peruntukan tanah untuk kepentingan keluarga dan masa depan mereka. Dan prospektif, dengan mempertimbangan ‘siapa yang diuntungkan ke depan dari pelepasan hak atas tanah ?’. Karenanya, keadilan harga menurut kami –terlepas dari nilai NJOP yang kadaluarsa dan tidak jelas perhitungan beserta mekanisme pertanggungjawabannya- adalah 1). Harga batas bawah satuan per-meter = nilai NJOP dikali 1 masa kontrak investasi dan pengelolaan jalan TOL, yakni ; 35 tahun, dan 2) Harga batas atas satuan per-meter = nilai NJOP dikali 2 masa kontrak investasi dan pengelolaan jalan TOL, yakni ; 70 tahun. Dasar berpikir adil yang kami gunakan menggunakan logika penyertaan saham dalam pengelolaan jalan TOL. Atau secara garis besar pemerintah harus menaikan Harga Untuk Tanah tol untuk tanah sawah Rp 200 ribu –Rp 1,200 juta. Sedangkan untuk tanah darat Rp 700 ribu – Rp 2,500 juta
2. Sebagai bentuk layanan publik dan kebijakan pembangunan, maka ‘Harus ada transparansi / keterbukaan harga dari Tim P2T, TPT, dan Dasar Taksiran oleh Tim Appraisal. Karenanya, jika terdapat ketidaklayakan atau ketidaksesuaian taksiran harga dengan kondisi harga yang berkembang di masyarakat, maka;
3. Perlu peninjauan ulang atas penilaian kelayakan dan keadilan harga dari Tim Appraisal. Dengan demikian, patokan tawaran harga juga harus ditinjau ulang.
4. Perlu ‘Pengukuran Ulang atas Tanah yang akan dilepas’. Hal ini penting untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik kepemilikan/keluasan tanah di masa depan. Dan konsekwensi dari pengukuran ulang adalah ;
5. Meng’harga’i sisa tanah sesuai batas toleransi yang telah ditetapkan pemerintah.
6. Menjamin dampak AMDAL yang bersifat negatif bagi warga sekitar lokasi TOL, baik dampak social-ekonomi, politik maupun budaya.
7. Memberikan tenggang waktu kepada warga –ketika tanahnya terjual- untuk mempersiapkan perpindahan se-usai pembayaran.
8. Perlu Ketegasan tugas pokok dan fungsi dari pemerintah kecamatan dan pemerintahan desa terkait pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. Hal ini penting, karena telah terjadi kecenderungan manipulasi data dan pungli atas masalah pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL.
9. Menindak tegas ‘Mafia Tanah’ yang turut serta meruncingkan masalah pembebasan tanah untuk pembangunan ruas jalan TOL. Karenanya ‘KAMI MENOLAK MAFIA TANAH’.
Jombang, 15 Oktober 2009
Jamaah Korban Tol Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar