Rabu, 27 Januari 2010

Tolong Kabarkan, Nasi Aking Saya Belum Matang

Matahari pagi sudah terik, namun sisa hujan semalam masih membasahi Desa Pulosari Kecamatan Bareng, Jombang. Kesibukan terlihat di sebuah rumah berdinding bambu dan berlantai tanah. Sugiati (45), pemilik rumah, sibuk mencuci 'beras' yang ia taruh di ember. Air ia kucurkan, kemudian 'beras' ia bersihkan. Begitu Sugiati melakukannya berulang-ulang. Hingga akhirnya 'beras' itu ia taruh diatas tungku perapian.

Jangan salah, beras yang sedang dicuci oleh perempuan paruh baya ini bukan beras pada umumnya. Akan tetapi, warga Pulosari itu sedang mencuci beras untuk nasi aking atau yang biasa disebut karak.

Ya, beras dari nasi basi yang sudah dikeringkan, kemudian dimasak lagi. Nasi alternatif itulah yang akan digunakan untuk mengganjal perut.

Sugiati tak pernah tahu bahwa Kamis (28/1/2010), pemerintahan SBY-Boediono sudah berusia 100 hari. Ibu dua anak ini juga tidak mengerti jika saat ini banyak orang sedang turun jalan untuk 'mencuci' sekaligus mencaci pemerintahan SBY-Boediono. Yang ia tahu hanya mencuci nasi aking, memasak, kemudian menyantapnya bersama keluarga. Tidak lebih.

"Nggak sempat mikir 100 hari pemerintahan pak SBY-Boediono. Malah saya tidak tahu. Orang kecil seperti saya yang terpenting bisa makan tiap hari," kata Sugiati dengan polos, Kamis (28/1/2010).

Apa ada pesan khusus untuk 100 hari pemerintahan SBY-Boediono? Sugiati tak menjawab, ia terdiam untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba mulutnya terbuka. Dengan spontan ia mengatakan bahwa nasi aking yang sedang dimasak belum matang.

"Tidak ada pesan khusus. Tolongkan kabarkan saja kalau nasi aking saya belum matang," kata Sugiati sambil membersihkan bakul yang ia pegang.

Memang, menyantap nasi aking bukan hal baru bagi Sugiati dan sebagian warga Pulosari. Maklum saja, sejak dua bulan terakhir ini harga beras tak terbendung lagi. Komoditas tersebut merangkak hingga tembus Rp 6.500/Kilogram.

"Dengan makan nasi aking bisa mengirit pengeluaran," tambahnya beralasan.

Istri dari Suwanto ini menjelaskan, dalam satu minggu, hanya satu hari keluarganya mengkonsumsi nasi beras. Selebihnya, ia menyiasati dengan makan nasi aking tersebut.

�Agar rasa nasi alternatif itu lebih nikmat, warga RW 04 Pulosari ini mencampurnya dengan singkong yang sudah kering alias gaplek. Alasannya, jika dicampur dengan gaplek, nasi aking lebih pulen.

Ketimpangan itu dibenarkan oleh Purnomo, Ketua RW 04 Desa Pulosari. Kata Purnomo, di wilayahnya ada sekitar 500 KK (Kepala Keluarga). Dari jumlah itu, 120 KK diantaranya mengkonsusmsi nasi aking.

Mengapa? Salah satu alasannya adalah faktor kemiskinan. Sebab, sebagian besar penduduk Pulosari bekerja sebagai buruh tani. Otomatis, penghasilannya mereka juga tidak pasti. " Rata-rata penghasilan dalam satu bulan hanya Rp 500 Ribu," ungkap Purnomo.

Sebenarnya, lanjut Purnomo, warganya sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Semisal BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Beras untuk orang miskin). Hanya saja, bantuan tersebut belum mampu mengurai benang kusut kemiskinan di wilayahnya.

"Kami hanya berharap pemerintah terketuk hatinya," pungkasnya.[suf/ted]

sumber: beritajatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar