Kamis, 26 Maret 2009

Pendidikan Anak-anak di Lokalisasi

Kediri, SuaR) Pemenuhan hak-hak anak di bidang pendidikan oleh pemerintah masih belum merata dan deskriminatif. Anak-anak yang terpinggirkan di komplek lokalisasi belum diperhatikan. Mereka adalah kelompok rentan terhadap berbagai kerawanan. Tekanan sosial, rendahnya derajat kesehatan, tindak kekerasan, perdagangan manusia dan pelacuran anak itu sendiri. Siapa yang harus mengambil peran dan tanggung jawab atas pendidikan mereka ?


Keberadaan pekerja seks di Kediri tidak bisa dipungkiri. Masyarakat yang ada di dalamnya sudah puluhan tahun tinggal di sana. Artinya, proses eksploitasi kaum perempuan yang dilacurkan sudah berlangsung sangat lama, boleh dikatakan sudah turun temurun. Tradisi ini yang perlu disikapi lebih serius agar berlanjut ke generasi berikutnya, sehingga mata rantainya dapat diputus. Langkah efektif yang dapat dilakukan adalah memberikan pembinaan kepada generasi atau anak-anak di komunitas ini sedini mungkin melalui akses pendidikan.

SuaR merupakan lembaga yang memberikan aksi kepedulian pada persoalan pendidikan, khususnya bagi anak di sekitar kompleks pelacuran. Sejak awal tahun 2008, SuaR telah melakukan pendampingan pada anak-anak usia SD, SMP dan SMU di ekslolalisasi Semampir, Kota Kediri.

Anak-anak yang lahir, tumbuh, besar dan berkembang di dalam lingkungan lokalisasi kehilangan waktu terbaiknya untuk belajar. Rutinitas belajar mereka banyak di sekolah, sementara ruang apresiasi dan persiapan belajar di rumah sangat tidak kondusif.

Di rumah mereka, yang seharusnya memerlukan bimbingan orang tua, sangat terganggu oleh bising dan hiruk pikuk perilaku pekerja seks yang sangat destruktif. Kondisi ini berpengaruh pada perkembangan biologis, psikologi dan prestasi belajar di sekolah. Mereka banyak mendengar, melihat, merasakan dan terdampak oleh tekanan-tekanan secara sosial atas perilaku yang sarat kekerasan, pornografi/pornoaksi ataupun tindak kejahatan lainnya.

Untuk merespon dan mengurangi kerentatan pada anak tersebut, SuaR mencoba memberikan secercah solusi melalui pendampingan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah memberi ruang atau kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk berapresiasi. Jauh dari formalitas belajar, rutinitas pekerjaan rumah, dan beban-beban pelajaran. Mereka mulai belajar mengekspresikan kebebasannya, membuka potensi bakat dan minatnya melalui sarana yang disediakan, seperti menggambar, olahraga, keterampilan, bernyanyi dan belajar komputer serta mengaji atau pembinaan rohani (bagi yang muslim).

Rumah Kita Di Semampir
“Rumah Kita”, sebuah wahana belajar dan berlatih anak-anak pasca jam sekolah yang berada di lingkungan lokalisasi Semampir di Kota Kediri. Nama “Rumah Kita” merupakan usulan anak-anak yang penuh semangat memanfaatkan wahana untuk berekpresi secara bebas. Awal program dimulai SuaR dari Pos Semampir, yang diikuti oleh 38 anak dari RW 05 dan RW 06. Program pendampingan anak disini dimulai dengan kegiatan lomba menggambar dan mewarnai. Dalam lomba gambar ini diharapkan anak bisa menuangkan apa yang mereka pikirkan saat ini ke dalam gambar mereka. Alhasil, ternyata apa yang dipikirkan, dibayangkan dan diangankan oleh anak-anak, tidak jauh dari nuansa pelacuran. Misalnya mereka menggambar desain wisma, sosok anak nakal, dan lain sebagainya.

Kegiatan yang didukung Yayasan Al Hidayah-lembaga keagamaan yang lebih dulu berdiri, selain untuk melakukan pengenalan awal juga bertujuan untuk menambah keakraban antara anak dengan pendamping dan antara anak di dalam lokalisasi dengan anak di luar wilayah mereka.

Target program di awal adalah untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak, sehingga anak dapat saling mengenal dan bisa lebih akrab dengan teman yang baru saja mereka kenal dalam sebuah kelompok belajar. Metode yang digunakan untuk mencapai sasaran ini yaitu dengan bercerita. Melalui bercerita secara lisan, awalnya anak-anak masih malu. Namun kegiatan itu akhirnya dikombinasi, dengan menggunakan metode bercerita secara tertulis, yaitu menyalin cerita dari buku yang telah tersedia. Ternyata dari metode ini secara tidak langsung dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak, sehingga lambat laun anak mau untuk membuka diri di lingkungan sosial yang lebih luas.

Inilah langkah pertama yang harus “dibongkar” pada diri anak. Selama ini, kepercayaan diri anak sebagai bagian potensi untuk membangun kepribadian tidak tergali. Sehingga anak tetap terpuruk dalam kondisi stigma dan deskriminasi dari sistem nilai normatif. Menurut Prof. Noor Rochman, Psikolog Universitas Gajah Mada, bahwa anak berhak mendapatkan kompetensi pendidikannya yaitu kepribadian, sosial, pedagogik dan profesional. Lebih lanjut, Noor Rochman, menegaskan bahwa pada proses pendidikan yang diutamakan dalam pola hubungan antara guru dengan murid adalah keharusan adanya transformasi pengetahuan (knowledge), nilai (value), pengalaman (experience) dan sikap (attitude). Bagi anak di komplek lokalisasi, untuk mendapat hasil tranformasi keempat hal tersebut hampir tidak mungkin dicapai.

Mempermudah Akses Pengetahuan
Kehidupan anak-anak dikelompok ini, perlu perhatian serius dari pihak lain disekitarnya, khususnya dari pemerintah. Mereka berada di lingkungan yang terisolir yang sangat minim dengan sumberdaya. Di sisi tranformasi nilai, mereka hanya tahu sistem nilai pelacuran yang penuh dengan kekerasan. Karena inipun dimulai dari dalam rumah atau keluarga inti mereka. Dari segi pengalaman, keteladanan yang seharusnya paling mudah didapat dari orang tua sebagai figur terdekat pun tidak mereka dapatkan. Sementara, figur masyarakat setempat tidak jauh berbeda. Untuk keluar lokasi, mereka dibayangi oleh tekanan stigma dan deskriminasi. Sehingga kesemuanya membentuk sebuah transformasi sikap alamiah yang “liar” menuju ke arah kepribadian yang pragmatis.

Untuk menjawab kebutuhan akan akses informasi dan pengetahuan, Rumah Kita menyediakan perpustakaan (ruang baca). Banyak anak yang mengaksesnya. Mulai dari belajar membaca, menambah pengetahuan pelajaran di sekolah sampai bacaan cerita fiksi bagi anak-anak.

Target program berikutnya ketika kepercayaan diri sudah muncul adalah keleluasaan apresiasi minat dan bakat. Anak mendapatkan kesempatan menuangkan daya kreasi melalui kreasi keterampilan sederhana.Untuk kreasi ini, anak-anak telah menghasilkan beberapa karya, yaitu cerita bergambar, gambar dari kardus bekas dan beraneka macam bunga yang terbuat dari kertas klobot. Kemasan kegiatan divariasikan dengan dalam perlombaan sebagai sarana pengembangan kreasi yang kompetitif. Sebagai anak yang tumbuh di lingkkungan dengan baebagai faktor pembatas yang luar biasa, mereka harus tetap mendapatkan haknya untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Bekal yang berhak mereka dapatkan adalah penguatan kemampuan keterampilan hidup seperti yang telah mereka kreasikan serta nikmati di Rumah Kita. Proses dan produk kreatifitas keterampilan itu, dalam jangka panjang diarahkan kepada keterampilan produktif yang bernilai ekonomis.

Bicara tentang keterampilan, sebenarnya tidak jauh dari harapan dan cita-cita anak di masa depan. Ketika ditanya tentang cita-cita, “saya ingin jadi Polisi, kak,” jawab Rega, di lokalisasi. “Kalau saya ingin jadi perancang busana” ujar Oki, bersemangat. Dari penuturan keduanya, ternyata mereka tidak ingin mendapati kehidupan seperti orang tua atau lingkungan pekerja seks di kehidupan dan masa depannya.

Sebagai bagian kelengkapan, pembinaan spiritual perlu juga diberikan kepada anak. Melalui bimbingan baca huruf Qur’an, aqidah-akhlak, bakti kepada orang tua dan do’a-do’a sehari-hari. Dengan pembinaan kreatifitas, mental dan sentuhan spiritual, anak dikembangkan ke arah kehidupan sosial lebih baik, yaitu belajar saling menghargai.

Kehidupan “keras” di lokalisasi selama ini membentuk kepribadian egois, individualis, dan keakuan yang sangat kuat di dalam jiwa anak. Untuk “melunakkan” dibutuhkan latihan-latihan kompetitif yang secara santun membangun rasa solidaritas dan saling mengharagai. Kegiatan sederhana yang dilakukan adalah perlombaan-perlombaan, mulai dari lomba baca puisi, menggambar, menari dan cerdas cermat.

Ditarik pada persoalan yang lebih mendasar, peran-peran guru dalam fungsi pendidikan masih minim keteladanan di hadapan anak. Fungsi inilah yang seharusnya menjadi fungsi transformasi pengetahuan, nilai, pengalaman dan sikap. Yang terjadi di pendidikan formal saat ini masih terjebak pada kurikulum pengajaran yang didominasi transformasi pelajaran pengetahuan. Belum sampai pada tingkat pembentukan karakter dengan pendekatan penididikan sebagai hak anak. Hal ini dapat kita lihat dalam kurikulum yang ada.

Khusus untuk anak-anak di lokalisasi, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pendidikan Luar Biasa mengalokasikan dana dan program pendidikan bagi anak terpinggirkan yang salah satunya anak di komplek pelacuran. “Tanggung jawab pemerintah ini sebagai bagian dan kewajiban pemenuhan anggaran pendidikan 20 % yang diberikan kepada anak didik yang selama ini belum tersentuh secara optimal” begitu penjelasan Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pendidikan Luar Biasa dalam sebuah acara penyusunan pedoman pendidikan khusus bagi anak terpinggirkan di Bogor awal Maret lalu.

Begitulah salah satu fenomena pada wajah pendidikan Indonesia yang masih menyisakan berderet pekerjaan rumah. Pembangunan mental, karakter, kreatifitas dan sikap saling menghargai belum menjadi sesuatu yang penting dan dipentingkan. Yang ada hanyalah kegiatan mengejar target kurikulum materi pelajaran eksak. Akan seperti apakah pribadi generasi dan nasib negeri ini di masa mendatang jika bengunan kepribadiaannya masih dianggap sampingan ? (Ijun SuaR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar