Kamis, 26 Maret 2009

Perempuan Jadi Pajangan Untuk Menarik Massa di Pemilu 2009 ?

( Madiun – Difaa ) Perubahan sistem pemilu dari UU no 12 tahun 2003 ke UU no 10 tahun 2008 telah membawa perubahan sistem demokrasi Indonesia. Perubahan ini ditambah dengan keputusan Mahkamah konstitusi (MK) pada 23 Desember 2008, yaitu Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, memutuskan pemberlakuan sistem suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih, yang otomatis membatalkan penentuan calon legislatif (caleg) berdasar nomor urut. Perubahan sistem ini merubah cara kampanye partai dan caleg dalam meraup suara dan juga membawa peluang, harapan dan tantangan untuk peningkatan partisipasi politik perempuan.

Dengan telah disahkannya UU Pemilu No.12 Tahun 2003, yang dipakai sebagai sistem pemilu tahun 2004 telah melakukan aturan affirnative action bagi partisipasi politik perempuan. Hal ini memiliki dampak politik besar terhadap upaya penghapusan marginalisasi perempuan dibidang politik (pasal 65 ayat(1)); Parpol harus memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik.

Pada Pemilu 2004, ada sepuluh partai politik yang mengklaim telah mendaftarkan bakal calon anggota legislatifnya dengan quota 30% bagi perempuan; Partai Bulan Bintang (PBB) 35,4 %; Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) 42,2 %; Partai Amanat Nasional (PAN) 31 %; Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 32,1 %; Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 32,1 %; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 35,7 %; Partai Bintang Reformasi (PBR) 36,4 %; Partai Damai Sejahtera (PDS) 32,5 %; Partai Golongan Karya (Golkar) 32,5 %; dan Partai Persatuan Daerah (PPD) 46,4 %. (Kompas, 08/01/04).

Namun, setelah dicermati, berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, hampir seluruh parpol yang mengklaim telah memenuhi kuota 30% tidak ada yang memahami ketentuan yang dimaksud dalam Undang-undang Pemilu. Seharusnya, penghitungan dilakukan berdasarkan daerah pemilihan (DP). Namun, yang terjadi adalah jumlah bakal calon legislatif perempuan yang disampaikan adalah jumlah secara keseluruhan. Dan berdasarkan nomor urut bakal calon yang disampaikan ke KPU, menunjukkan perempuan masih dijadikan sebagai pelengkap saja. Ini dibuktikan dari hampir rata-rata perempuan tidak dimasukkan dalam nomor urut jadi.

Kuota 30 % dianggap tidak efektif bagi partisipasi politik perempuan, melihat prosentase perempuan di DPR = 11,09% atau 62 orang dari 550 orang, dan di DPD hanya 21,5%. Bahkan di DPRD Kota Madiun hanya 1 orang, dan di DPRD Kabupaten Madiun hanya 2 orang saja.

Dengan rendahnya partisipasi politik perempuan di pemilu 2004, membuat kebijakan-kebijakan publik yang di hasilkan kurang sensitif gender. Kepentingan-kepentingan perempuan terkait anggaran APBD , kesehatan ibu dan anak, gizi, ASI , pendidikan, dan akses publik terabaikan.

Fenomena sampai saat ini, belum semua partai memiliki caleg perempuan yang handal. Persoalannya, kesalahan awal terjadi dari partai politik itu sendiri yang tidak mempersiapkan kader perempuannya sejak awal. Kebijakan partai di masa yang lalu tidak mempersiapkan perempuan sebagai politikus, tetapi para perempuan ini dipakai untuk menarik simpati dan menghimpun suara saja. “Partai tidak banyak melakukan kaderisasi perempuan untuk membentuk militansi kepartaiannnya, dan militansi perjuangan untuk kepentingan perempuan,” kata Bambang Irwanto, Pengurus Cabang NU Kabupaten Madiun

Dan diberikannya kuota sebesar 30 persen, belum menempatkan kader perempuan pada posisi yang menguntungkan, sebab salah satu kebijakan parpol saat ini adalah setiap calon yang maju sebagai kandidat harus memenuhi syarat-syarat administrasi dan wajib menyediakan dana kampanye. Hal ini sulit bagi perempuan, karena selama ini yang memegang kuasa dalam ekonomi atau asset produksi selalu laki- laki. Ironisnya, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi ketentuan kuota 30%. Jadi tidak ada beda secara hukum apakah di lakukan atau tidak UU pemilu tersebut.

Fenomena Caleg Perempuan di Pemilu 2009
Pada pemilu 2009, Keputusan MK menunjukan perwujudan demokrasi berdasarkan suara rakyat sebagai sebuah perbaikan kualitas demokrasi langsung. Tentunya yang akan menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR, adalah suara yang mewakili secara dominan (banyak) dari rakyat yang memilihnya. Apakah hal ini sudah mencerminkan sebuah demokrasi kehendak rakyat?

Sistem pemilu dengan suara terbanyak berdampak besar untuk partisipasi politik perempuan ke depan. “Dengan pemilu sistem suara terbanyak perempuan mempunyai peluang, motivasi tinggi, dan tantangan yang sama dengan laki-laki. Bila dengan sistem nomer urut, perempuan peluangnya kecil karena di tempatkan di nomer sepatu partai. Sekarang ini bila perempuan bisa menggunakan jaringan lebih maksimal sampai memenuhi 1 BPP, maka dia berhak duduk sebagai anggota dewan” ujar Bambang Irwanto, SH, Pengurus Cabang NU Kabupaten Madiun.

Dengan demikian, menurutnya sistem ini lebih adil bagi para caleg baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, kata Bambang lebih lanjut, tantangan lebih besar akan dihadapi caleg perempuan karena berbagai faktor budaya patriarki yang dimasih kental di masyarakat kita. “Tantangan bagi caleg perempuan adalah meyakinkan pemilih terutama pemilih perempuan itu sendiri, sehingga perempuan perlu motivasi dan optimisme yang tinggi untuk berhasil “ ujar Bambang Irwanto menambahkan.

Peluang caleg perempuan untuk terpilih pada pemilu 2009 juga berdasarkan karakter pemilih perempuan itu sendiri. Gerakan Perempuan Pilih Perempuan yang telah di jalankan pada pemilu 2004 perlu digiatkan lagi. “Perempuan punya banyak kelebihan. Secara jumlah lebih banyak, perempuan juga lebih bisa di percaya dan yang aktif di organisasi punya ikatan lebih kuat, lebih bisa bertanggung jawab, tahan rintangan termasuk godaan korupsi,” ujar Zulin Nur Chayati, Dosen komunikasi UNMER dan aktivis perempuan Madiun.

Realitasnya sekarang, banyak partai yang mulai merekrut perempuan untuk dijadikan caleg partainya. Namun bukan karena nilai lebih seperti yang dimaksud diatas, tetapi karena ‘kelebihan’ lain untuk menarik massa (perempuan). Kita lihat, atribut partai yang bertebaran di jalan-jalan selalu memasang perempuan dengan berbagai pose cantik. Tetapi hal itu bukan jaminan untuk partisipasi perempuan lebih tinggi. Hal ini lebih sebagai fenomena politisi ‘dadakan’.

“Partai hanya menangkap peluang yaitu massa perempuan lebih banyak, maka perlu memasang caleg perempuan. Bagi caleg perempuan sendiri, menjadi dewan adalah pekerjaan, tetapi kebanyakan mereka belum teruji kemampuan di politik apalagi di masyarakat. Hal ini hendaknya di perhatikan oleh pemilih” tambah Zulin Nur Chayati.

Menurutnya, kemampuan caleg perempuan juga harus di tunjang oleh kemampuan finansial yang tinggi, karena kampanye partai memerlukan dana yang tidak sedikit. “Ketika kekuatan finansial perempuan kurang, meski perempuan tersebut adalah kader yang mumpuni, maka dia tidak akan lolos dalam pemilu. Malah mungkin yang terjadi adalah perempuan yang punya dana besar tapi kemampuan ndak ada. Kalau sudah begini, bagaimana dia memperjuangkan nasib perempuan dan rakyat?. Daripada buat poster dan bergaya kayak foto model, mbok ya langsung bantu wong cilik kayak saya ini mbak..,” kilah Ani ( bukan nama sebenarnya ), seorang pedagang di stadion Wilis Madiun.

Tanggapan Masyarakat Terhadap Caleg Perempuan
Banyaknya caleg perempuan ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang menanggapi positif karena perempuan dianggap lebih bisa mewakili kepentingan mereka. “Saya pilih caleg perempuan karena saya kenal dia jujur, jadi ndak mungkin korupsi lah....dan dia dari kalangan masyarakat kecil juga, pasti lebih paham masalah wong cilik kayak saya....,” ujar Ady (bukan nama sebenarnya), seorang laki-laki pedagang jajanan kecil di alun-alun Madiun.

Tanggapan berbeda dilontarkan oleh Nina, 27 tahun, seorang mahasiswa, “Dengan memilih caleg perempuan, harapan saya agar dia bisa memperjuangkan kepentingan perempuan, bagaimana anggaran dan program pemerintah bisa lebih sensitif gender,” ujarnya.

Dan dari hasil investigasi, sebagian masyarakat yang ditemui mengaku lebih suka memilih caleg perempuan, sayangnya kebanyakan mereka belum jelas alasan mengapa memilih caleg perempuan. “Saya pilih caleg perempuan saja karena dia cantik dan kelihatannya baik. Tapi tidak tahu ya, lha sebelumnya juga tidak kenal, hanya tahu dari kalender dan spanduk saja,” ujar Ttn, pedagang warung di pinggir kota Madiun.

Pemilu dengan sistem suara terbanyak masih menjadi tantangan bagi perempuan untuk menunjukkan dan memberikan andil dalam menentukan kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan untuk kepentingan rakyat dan perempuan di dalamnya, harus di perjuangkan lebih giat lagi. Sekarang tergantung kemauan dan kemampuan perempuan untuk bisa mewujudkannya dalam pemilu 2009 ini. Berhasilkah perempuan yang terpilih di dewan mewakili kepentingan perempuan dan rakyat pada umumnya? Kita lihat saja nanti! ( Ari Difaa )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar