Kamis, 26 Maret 2009

DIFABEL PUNYA HAK POLITIK…?!

Jangan Jadi Korban Kepentingan Partai Politik

Pemilu legeslatif didepan mata. Atribut-atribut partai politik sebagai fasilitas kampanye masih menghiasi hampir di setiap ruas jalan. Menampangkan foto dengan bermacam-macam pose dan janji-janji yang semakin membuat mata jenuh melihatnya. “Menjanjikan kehidupan yang lebih baik”, adalah salah satu dari sekian puluh janji-janji yang mereka suguhkan dengan hiasan poster dan bendera partai yang ukurannya mengalahkan bendera negara RI. Ironis memang, disatu sisi para caleg berani bertaruh dengan rupiah yang tidak sedikit, tetapi di sisi lain banyak masyarakat ekonomi lemah, mereka yang terpinggirkan di sudut-sudut kota atau yang tidak beruntung dengan kecacatan fiisiknya, harus berjuang demi mempertahankan hidup mereka yang semakin sulit.

Nanti, setelah pesta demokrasi selesai, rupiah yang dijadikan pajangan itu berubah menjadi gundukan sampah di sudut-sudut kota. Masih bagus, jika bisa dimanfaatkan oleh masyarakat miskin untuk alas tempat tinggal mereka, atau digunakan para pedagang kaki lima untuk menutup lapak dari hujan dan panas.
Disudut kota Madiun, tepatnya dibekas makam cina (bong cino) hidup sekelompok masyarakat dengan kondisi memprihatinkan. Mereka hanya mendapatkan hak guna tanah, hidup seadanya dengan ekonomi pas-pasan memenuhi kebutuhan keluarga, seperti mbak Titin (begitu dia biasa dipanggil), dia seorang difabel (penyandang cacat), yang hidup dengan 6 anak dan suami kuli bangunan diluar kota sebagai satu-satunya penopang ekonomi keluarga, sedangkan mbak titin tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.
Titin bersama dengan kawan-kawan difabel lainnya membentuk kelompok untuk berbagi ilmu dan informasi dengan nama PPCKM (Perhimpunan Penyandang Cacat Kota Madiun). Dengan adanya kelompok ini membuat semangat tersendiri bagi mereka untuk terus berjuang demi hidup dengan keterbatasan kemampuan secara fisik.
Kelompok ini ingin terus meningkatkan kapasitas individu dan kelompok untuk terus belajar tentang organisasi, karena mereka yakin melalui organisasi akan mampu mendapatkan solusi alternatif dari persoalan yang dihadapi bersama. Berangkat dari semangat ingin terus belajar tersebut tahun lalu PPCKM bersama-sama dengan DIFAA melakukan kegiatan peningkatan pengetahuan tentang hak-hak difabel. Tidak hanya difabel yang ada diwilayah Madiun saja akan tetapi kegiatan ini melibatkan difabel di wilayah lain termasuk Ngawi, Blitar, Nganjuk, dan Jombang.
Kegiatan ini membedah berbagai persoalan yang terkait dengan kepercayaan diri yang masih lemah, masih adanya diskriminasi yang dialami oleh difabel baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitar, disamping persoalan ekonomi yang menjadi masalah utama. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi mereka membuat pertemuan bulanan dengan kegiatan arisan dan simpan pinjam, wadah ini digunakan untuk sharing dan berbagi masalah untuk mencari solusi bersama-sama.
Kaitannya dengan pemilu 2009 kelompok ini mayoritas masih bingung dengan siapa nanti yang akan di pilih, karena banyak dari caleg yang wajahnya terpampang disepanjang jalan Madiun tidak mereka kenal, terus bagaimana nanti bisa menjamin perubahan nasib difabel kedepan?
Menurut Titin pemilu tidak menarik baginya karena dia sudah bosan dengan janji-janji politik yang tidak pernah ditepati, ”Jadi ndak jadi, gak enek penggaruh’e mbak ..., wes pokok’e wong cilek koyok aku iki nek ditakoni, terus ngomong janji – janji wes pokok’e ndang mantuk-mantuk wae” ujarnya tanpa menunjukkan ekspresi kemarahan, kejengkelan atau yang lainnya. Seakan dia sudah faham apa tujuan dari kampanye calon legislatif itu. Dia juga tidak mau berpihak kepada siapapun, karena itu akan memicu perseteruan antar tetangganya.
“Lha urip ki wes susah, kok arep nambah masalah karo tonggo nek mengko mihak sitok wong”, ujarnya sambil tertawa lirih. Ketentuan yang baru bagi calon wakil rakyat tidak ditentukan lagi dari partai politik yang berdasarkan nomor urut. Dalam hal ini sebenarnya kesempatan bagi mereka dengan melakukan pendekatan yang intens.
Kenyataannya sedikit sekali dari para wakil rakyat yang turun langsung dan melihat realita masyarakat sekitar. Jangankan turun kemasyarakat, ternyata nama-nama mereka para calon legeslatif ada yang tidak dikenal oleh masyarakat daerah pilihannya. Seperti yang dialami Mbak Siti kamsiah, yang buta sejak dia kecil, selama pemilu dia selalu didampingi petugas KPPS, tetapi dia juga tidak tahu apa yang dia pilih, dan bagaimana cara memilih. Hanya manut dengan orang yang mendampinginya. ”Yo pokok’e wes manut-manut wae karo seng nuntun” ujarnya sambil tertawa.
Seperti yang diungkapkan oleh Anton, salah satu anggota KPU Madiun, ”Mereka yang mempunyai keterbatasan boleh didampingi oleh keluarganya dan KPU juga sudah menyediakan petugas KPPS”, terangnya. Menurutnya, pada peraturan KPU No 03 Tahun 2009 pasal 30-31, hal itu telah diatur dalam ketentuan cara pemilih di pasal 30 ayat 2 yang menyatakan ”Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain dalam memberikan suara Pemilu Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, apabila diperlukan dapat dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas permintaan pemilih yang bersangkutan”.
Sayangnya, mereka tidak mengetahui gambaran untuk memilih calon wakil rakyat yang benar-benar dapat membawa masyarakatnya kearah kesejahteraan yang lebih baik. Mereka Hanya mengetahui profil caleg dari orang-orang sekitarnya. Pemilih difabel mengharapkan adanya sosialisasi tentang bagaimana memilih calon -calon legislatif yang dapat memperjuangkan hak-hak mereka.
Pemilu legislatif akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, akan tetapi sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum siap menentukan pilihannya karena belum mendapatkan referensi para calon wakil rakyat yang akan mereka pilih. Harapan kedepan masyarakat difabel dapat mengunakan hak pilihnya sesuai dengan pilihannya yang dianggap dapat memperjuangkan kepentingan difabel untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan tidak menjadi korban kepentingan partai politik.
(gic Difaa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar