Fenomena Calon Legislatif (Caleg) perempuan cukup mengundang perhatian banyak pihak, terutama menjelang Pemilu Legislatif 2009. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan yang mengembirakan sejak terbitnya Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008, dimana caleg yang diajukan oleh partai politik ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), 30 % diantaranya harus perempuan.
Penempatan perempuan pun harus disusun dalam format tiga orang. Artinya, dari 3 orang caleg yang menempati nomor urut teratas (1,2,3), salah satunya adalah perempuan dan bisa ditempatkan pada nomor 1, 2 atau 3.
Ketentuan untuk memasukkan caleg perempuan ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (DPR/DPRD). Sebab faktanya, selama ini perempuan yang duduk sebagai anggota DPR atau DPRD masih sangat kecil, sehingga kepentingan dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
Sebagai contoh di Kabupaten Tulungagung, dari 45 anggota DPRD hasil Pemilu 2004, jumlah anggota DPRD perempuan hanya 5 orang atau 11 %, dengan perincian PDIP 2 orang, PKB 2 orang dan Partai Golkar 2 orang. Jumlah legislatif perempuan periode 2004-2009 memang lebih banyak jika dibandingkan hasil Pemilu sebelumnya (1999), namun peningkatan tersebut dinilai belum terlalu maksimal mengingat besarnya jumlah penduduk perempuan serta potensi dan masalah yang mereka hadapi.
Pada Pemilu 2009 ini, caleg perempuan di Tulungagung luar biasa banyak, yaitu 170 orang atau 28,38 % dari total caleg yang mencapai 599 orang. Partai politik penyumbang caleg perempuan terbanyak yaitu PKB dengan 19 orang, disusul PAN 18 orang, PKS 16 orang, Partai Hanura 15 orang dan Partai Demokrat 11 orang. Sedangkan parpol yang sama sekali tidak punya caleg perempuan antara lain Partai Merdeka, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) dan Partai Pemuda Indonesia (PPI).
Walaupun secara kuantitas jumlah caleg perempuan cukup banyak, namun sebagian besar merupakan wajah baru, belum teruji dan belum dikenal secara luas di masyarakat. Tapi bukan berarti mereka tidak punya kemampuan. Kemampuan dan integritas mereka baru terbukti ketika benar-benar menjadi wakil rakyat.
Jangan Hanya Jadi Pelengkap
Sebagian pihak menganggap bahwa caleg perempuan hanyalah pelengkap atau orang Jawa menyebutnya sebagai tambel butuh dari daftar caleg yang sejauh ini masih didominasi laki-laki. Yang lebih sinis, penempatan caleg perempuan di nomor urut atas merupakan pemberian gratis alias hadiah atau lebih tepatnya kasihan kepada perempuan karena sulitnya bersaing dengan caleg laki-laki.
Ketua Kelompok Masyarakat “Sumber Makmur” Desa Tugu Kecamatan Sendang, Timi, tidak setuju jika dikatakan keberadaan caleg perempuan hanya sebagai pelengkap. Majunya caleg-caleg perempuan berangkat dari semangat untuk memberdayakan kaum perempuan agar memiliki peran politik yang setara dengan laki-laki. Oleh sebab itu, agar tidak muncul cap miring seperti di atas, caleg perempuan harus mampu membuktikan diri bahwa mereka mempunyai kualitas dan kemampuan untuk menjadi wakil rakyat.
Ditambahkan Timi, maraknya caleg perempuan di Tulungagung harus disikapi secara positif. Sebab hal itu menandakan bahwa posisi perempuan kini semakin maju dan mampu bersaing sejajar dengan laki-laki. “Kami senang banyak perempuan yang menjadi caleg. Kami berharap mereka mampu memperjuangkan kepentingan kaum perempuan apabila benar-benar terpilih sebagai anggota DPRD, bukan sekadar menjadi pelengkap saja,”ujarnya.
Kepada para caleg perempuan, pihaknya berpesan agar memakai cara-cara yang benar dalam meraih suara pemilih. Jangan sampai menggunakan money politic atau politik uang, karena hal itu tidak mendidik dan berpotensi merusak mental masyarakat. Ketika sudah jadi anggota DPRD, mereka harus punya peran aktif (tidak berpangku tangan) dan jangan sampai lupa untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan.
Hal senada diungkapkan Umi Ani, salah seorang penggerak Kelompok Masyarakat “Jaya Makmur” Desa Selorejo Kecamatan Ngunut Tulungagung. Menurutnya, sudah saatnya kaum perempuan tampil di panggung politik. Kendati demikian, dia mewanti-wanti kepada caleg-caleg perempuan agar tetap menjaga moral politik yang benar dan santun, sehingga tidak terjerumus ke dalam praktik politik kotor dan merugikan masyarakat.
Persaingan Semakin Ketat
Seiring dengan adanya perbuahan mekanisme dari nomor urut ke suara terbanyak, maka persaingan untuk mendulang suara juga semakin ketat. Tidak ada jaminan caleg dengan nomor urut kecil secara otomatis akan menjadi anggota DPRD seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
Begitu halnya caleg-caleg perempuan yang menempati nomor urut topi (1-3). Jika sebelumnya mereka berpeluang besar jadi, namun kini harus bersaing ketat dengan caleg-caleg nomor urut di bawahnya dan caleg-caleg dari parpol lain untuk mendapatkan kursi DPRD.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Tulungagung, Fadiq, berharap, agar caleg-caleg perempuan mampu menempatkan diri secara wajar dalam menghadapi persaingan memperebutkan kursi di DPRD. Dia menilai, peluang caleg perempuan masih besar asalkan mampu mengoptimalkan suara pemilih perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki.
Nunik Khurotul Badi’ah, caleg perempuan asal PKB nomor urut 3 Daerah Pemilihan Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru dan Ngantru, mengaku, di tengah persaingan yang begitu ketat dirinya tidak bisa hanya berdiam diri. Walaupun menempati nomor urut atas, tapi dia tetap bekerja keras untuk menghimpun suara sebanyak-banyaknya. Seandainya gagal dia tidak terlalu risau, karena setidaknya ia punya pelajaran berharga dalam dunia politik.
Sebagai pendatang baru, alumni STAIN Tulungagung ini merasa harus lebih banyak mengenalkan diri di masyarakat. Selain menempuh cara konvensional seperti menyebar berbagai atribut kampanye, ia juga melakukan sosialiasi secara langsung kepada masyarakat baik individu maupun kelompok/jama’ah.
Dalam proses itu, ia sangat menghindari metode politik uang dalam meraih suara. Selain dirinya bukan caleg kaya, Nunik tidak ingin menjerumuskan masyarakat ke dalam sikap-sikap yang terlalu pragmatis. “Lagi pula, apabila diketahui dan dilaporkan, praktek politik uang bisa dipidanakan. Ini bisa merugikan caleg. Biarlah kalau ada caleg lain yang menggunakan metode itu, namun saya tidak akan melakukannya,”paparnya. (lukman Paricara)
Kamis, 26 Maret 2009
Caleg Perempuan Bukan Cuma Pelengkap
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar