(Tulungagung-Paricara) Mata Maryulin tampak berkaca-kaca ketika mengingat kembali masa lalunya. Ia masih terbayang kenekatannya 12 tahun silam untuk bekerja ke luar negeri demi mencukupi kebutuhan hidup anak dan orang tuanya yang sudah mulai renta. Keinginannya menjadi TKI (tenaga kerja indonesia) benar-benar tidak terbendung saat anak semata wayangnya, Ika Arisatul Lail, masih berusia 11 bulan.
Maryulin, warga Desa Pojok Kecamatan Ngantru, Tulungagung, yang waktu itu menginjak usia 22 tahun nekat pergi ke luar negeri karena tuntutan kebutuhan ekonomi. Apalagi selama 1 tahun menikah dengan Sugito, ia belum pernah dikirimi nafkah oleh suaminya yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Ketika hendak berangkat, sebenarnya ia tidak diberi ijin oleh kedua orang tuanya. Namun karena terdesak tuntutan ekonomi, pergi ke luar negeripun harus dijalani. Terlebih, tidak ada pekerjaan yang memadai di desanya.
Kemauan Maryulin bekerja sebagai TKI awalnya muncul ketika salah satu temannya yang juga teman dari suaminya datang menawarinya untuk bekerja ke luar negeri. Tawaran diterima. Walau dengan perasaan berat hati, ia terpaksa meninggalkan keluarganya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pilihan Maryulin sudah bulat, dia harus mendapatkan pekerjaan demi menafkahi dan menghidupi keluarganya.
Saat di penampungan, ia ingin bekerja ke Korea. Namun karena pembuatan paspor begitu lama, Maryulin lalu ditawari bos PJTKI-nya untuk bekerja di Brunei Darussalam meski upahnya lebih rendah dibandingkan Korea. ”Daripada lama-lama di penampungan menunggu ketidakjelasan, ya… apa boleh buat.. apa yang sudah jelas saja diterima dan dikerjakan,”gumam Maryulin dalam hati ketika itu.
Tidak lama kemudian Maryulin diberangkatkan tapi sesampainya di Brunei ia mendapat telepon dari pimpinan PJTKI-nya bahwa paspor dari Korea baru datang. ”Yang namanya rejeki datangnya gak bisa disangka-sangka. Ya… terlanjur sudah sampai Brunei masak kembali dan sudah kontrak dengan majikan. Itu tidak boleh karena bisa menyalahi kontrak,” tuturnya mengenang.
Begitu tiba di rumah majikan, ternyata Maryulin mendapat majikan yang tidak sesuai harapan. Wajahnya galak, suka ngomel-ngomel dan membuat Maryulin merasa tidak kerasan. Bahkan kerjanya pun tidak sesuai kontrak. Dalam kontraknya, dia dipekerjakan sebagai penjual bunga. Namun dalam prakteknya juga disuruh bersih-bersih mobil setiap harinya sampai 4 unit. Setelah selesai cuci mobil harus membawa barang dagangannya ke kios penjualan bunga. Setelah pulang, sore hari masih harus mengepaki tanah untuk media tumbuh bunga.
Kendati berat, Maryulin tetap menyimpan perasaannya dalam hati. Demi mendapatkan upah, ia bersedia menjalaninya setiap hari. Maryulin tidak lantas putus asa. Yang ada dalam hatinya hanyalah dapat mengirim uang untuk mencukupi nafkah keluarga yang ditinggalkannya di rumah.
Tapi kesabaran Maryulin akhirnya jebol juga. Setelah 2 tahun tinggal bersama majikan yang cerewet, perasaan tidak kerasan pun mencapai puncaknya. Ia lantas menelpon agensinya untuk minta pindah tempat bekerja yang layak. Agensi pun datang dan bertanya kenapa kok minta pindah? Kemudian maryulin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Sambil menunggu jawaban dari sang agen, tiba-tiba Maryulin mendapat tawaran kerja yang sama, yaitu jualan bunga. Di dekat rumah majikannya yang pertama, ada majikan lagi yang mau menawarinya bekerja. Akhirnya Maryulin memutuskan untuk berhenti bekerja dari majikan pertamanya dan pindah kepada majikan baru yang menawarinya bekerja sebagai penjual bunga. Permintaan Maryulin dikabulkan oleh agensi, sehingga ia pindah majikan.
“Saya pun menemukan majikan seperti yang saya harapkan. Mereka seperti keluarga sendiri, tidak membeda-bedakan mana majikan mana pelayan. Ketika majikan ditanya oleh orang lain saya diaku sebagai adiknya. Ketika makan semua duduk di atas satu meja. Tidak seperti majikan yang pertama yang sikapnya justru sebaliknya. Dan ini yang membuat saya betah dan kerasan hingga 6 tahun dan bisa kirim uang untuk keluarga dengan aman,” tuturnya.
Suka Duka Anak Perantau
Ika Arisatul Lail adalah anak semata wayang pasangan Maryulin dan Sugito yang sejak kecil ditinggal kedua orang tuanya mencari nafkah di negeri seberang. Sang ayah pergi sejak Ika, panggilan akrabnya, masih dalam buaian. Ia lalu ditinggal ibunya sejak berusia 11 bulan dan baru bisa hidup bersama ibunya saat umurnya 11 tahun atau kelas V SD.
Sehari-hari Ika hidup bersama kakek-neneknya dan biasa menjalani hidup apa adanya. Sesekali senang ketika ibunya mengirimkan sebuah surat akan tetapi dia hanya bisa melihat fotonya saja. Kakek-neneknya tidak mengijinkan dia membaca isinya. Namun foto-foto itu sudah bisa menjadi obat rindu kepada kedua orang tuanya.
Ika menjelaskan, orang tuanya pulang setiap 2 tahun sekali, itupun tidak bisa lama karena harus kembali bekerja ke luar negeri. Dalam pertemuan pertamanya, ia merasa takut karena tidak terbiasa dengan orang asing. Walau ia sendiri tahu bahwa mereka adalah kedua orang tuanya. Sehingga perlu waktu untuk bisa kenal dekat dengan mereka.
“Biasanya saya bisa dekat dengannya ketika saya diajak pergi main dan dibelikan makanan ringan, coklat, mainan dan sepeda. Yang paling saya sukai, saya dibelikan CD/DVD film kartun. Kemudian saya diajak main ke pantai, terus muter-muter ke Bendungan Wonorejo, terus ke Pagora Kediri. Karena pada waktu itu saya masih berusia 5 tahun jadi perlu waktu lama untuk bisa berkomunikasi dan akhirnya lama kelamaan saya suka dengan sendirinya kepada mereka berdua,”kenang Ika.
Namun perasaan sedih mulai terasa tidak tertahan ketika Ika mulai menginjak usia sekolah. Saat teman-temannya didampingi kedua orang tuanya, Ika hanya didampingi kakeknya sesekali dengan neneknya. Ditambah lagi kesedihannya ketika akan mengumpulkan raport, ia harus meminta tanda tangan orang tuanya. Karena mereka tidak ada di rumah, tanda tangan hanya bisa diwakili kakeknya. ”Bahkan waktu itu saya sampai nangis tersedu-sedu,” terang Ika dengan mata berkaca-kaca.
Kesedihannya makin bertambah saat lebaran tiba, di mana semua keluarga berkumpul beranjang sana dari rumah satu ke rumah lain. Ketika teman-temanya berjalan bergandengan bersama kedua orang tuanya, Ika hanya bisa melihat kebahagiaan itu tidak ada padanya. Ia hanya di rumah bersama kakek neneknya sesekali diajak keluar pamannya.
Sejak saat itu Ika sadar bahwa kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah karena mencari nafkah di negeri yang jauh. Untuk memenuhi kebutuhannya ia hanya bisa mendoakan semoga mereka berdua mendapat rejeki yang melimpah. Dan ia sendiri harus belajar yang giat untuk mendapatkan prestasi di sekolah agar tidak mengecewakan kedua orang tuanya.
Setelah kelas V SD ibunya pulang kampung. Ketika itu ibunya pulang dikarenakan kakek yang selama ini membesarkannya meninggal dunia. Dan sejak saat itu ibunya tidak pernah kembali bekerja ke luar negeri. Sampai sekarang Ika tak mau lagi ditinggalkan oleh ibunya. (Lukman-Paricara)
Selengkapnya...
Jumat, 29 Mei 2009
Buruh Migran Indonesia Cerita dari Negeri Seberang
Kebangkitan Kekuatan Petani MEMPERKUAT IKATAN BURUH TANI
(Jombang-Alharaka) Hari kebangkitan nasional yang jatuh pada tanggal 20 mei 2009, dimaknai oleh kaum petani sebagai bentuk perjuangan untuk berkumpul dan memperkuat organisasi petani. Tengok saja kelompok tani Tanjung 2 Dusun Mejoyo Desa Mojoyolosari Kecamatan Gudo Jombang yang berdiri sejak 10 tahun yang lalu. Berikut upaya perjuangan yang dilakukan oleh ketua kelompok tani Ismail bersama 63 petani.
Sudah dua bulan ini kelompok tani Tanjung 2 disibukkan oleh kegiatan setiap hari Rabu pukul 07.00 WIB pagi di balai desa. Hampir puluhan anggota kelompok tani Tanjung menghadiri pertemuan yang awalnya digagas oleh Ismail.
Ismail adalah Kepala Dusun (Kasun) Mejoyo sejak tahun 1997. Dirinya berhasil menyatukan para petani dan buruh tani di dusunnya untuk bertemu setahun sekali dalam forum musyawarah dusun. “Saya memang telah menjadi kasun selama 13 tahun, namun diangkat sebagai ketua kelompok tani baru 11 tahun. Pengalaman yang dapat saya bagi adalah semangat kebersamaan untuk mematuhi kesepakatan upah jasa buruh tani dalam forum harus benar-benar dilaksanakan. Hal ini untuk meminimalisir konflik antar petani dan buruh tani,”
Menurut cerita Ismail, sebelum adanya kesepakatan harga upah buruh tani sering muncul persoalan antara petani penggarap pemilik sawah dan petani penggarap musiman (petani sewa lahan). Mereka sering menaikkan harga upah seenaknya sendiri. Dampaknya petani yang sudah bisa bekerja harian di petani A juga tertarik untuk bekerja pada petani musiman yang menawarkan upah lebih tinggi. Dari sinilah Ismail membuat inisiatif untuk mengumpulkan warga dusunnya untuk membuat kesepakatan bersama. “Dengan asumsi kerja 07.00 jam mulai dari pukul 06.00 sampai 10.00 pagi dan pukul 14.00 sampai jam 16.00 WIB sore hari. Buruh laki-laki disepakati seharga Rp 20 ribu sedangkan perempuan Rp 15 ribu. Kalau ditotal upah tersebut selama satu bulan tentunya masih jauh di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Namun karena antara biaya operasional dan hasil produksi hampir imbang maka hal ini dimaklumi oleh buruh tani,” terangnya.
Dari hasil musyawarah tersebut, muncul kesepakatan adanya pertemuan tahunan antara buruh tani dengan petani. Tujuannya membahas segala persoalan dan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Sementara itu para petani sendiri juga mempunyai forum bersama setiap musim tanam yang terbagi dalam 3 kali musim dalam satu tahun. Biasanya dua kali musim tanam padi dan sekali musim jagung ketika kemarau. Awalnya memang sulit untuk mengumpulkan orang. Inilah keluhan Ismail ketika ditanya tentang hambatan terbesar dalam kelompok tani. “Harus ada yang mau ngalahi, mau berkorban dan mau transparan. Biasanya saya memberi iming-iming program subsidi benih gratis. Barang siapa yang mau datang pada setiap perempuan para petani maka akan diberi benih. Tentunya semua petani akan datang. Dari sini kemudian saya membuka pembicaraan secara terbuka, maksud dan tujuan seringnya bertemu tak lain adalah untuk meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia),” tambah Ismail.
Keinginan para petani Dusun Mejoyo untuk meningkatkan hasil produksi sedikit demi sedikit akhirnya terwujud. Mereka belajar bersama mulai dari bagaimana membangun organisasi tani hingga cara atau teknis bertani yang baik dan benar. Mereka berkeinginan mengurangi pupuk kimia. Rencananya kelompok tani Tanjung 2 mendapatkan program SLPHT (sekolah lapang pengendalian hama terpadu) dan akan dilaksanakan dalam tiga bulan terhitung sejak bulan Mei. Menurut penuturan Muqoib, para petani kini lebih sering berkumpul. Setiap hari Rabu pagi di balai desa yang langsung didampingi oleh PPL (petugas penyuluh lapangan). “Kesepakatan dengan kelompok tani jam 07.00 WIB pagi sudah harus berangkat dari rumah. Tapi namanya petani mbak, mereka kan harus ngecek dan ngirim para pekerja dulu. Saat ini kami belajar seluk beluk dunia hama dan pembuatan pupuk organik. Selama ini kami tergantung dengan pupuk kimia, padahal kami tahu dampaknya bagi tanah tiap tahun mengalami penurunan kesuburan. Untuk itu kami bersemangat akan kembali pada pupuk organik,” terang koordinator pelatihan pupuk bokasi ini menegaskan.
Manfaat Forum Bersama
Dunia pertanian utamanya melingkupi pengelolaan tanah, dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman serta memperhatikan keseimbangan alam. Dengan harapan untuk memperoleh hasil produksi maksimal tiap tahunnya. Kebanyakan petani tidak ingin bersusah payah bertani, namun memperoleh hasil maksimal dengan pupuk kimia. Pemikiran ini memang salah, karena faktanya distribusi pupuk bersubsidi sering bermasalah sejak tahun 2007 hingga memaksa petani lebih aktif mendatangi kios. Upaya ini dilakukan agar jatah pupuk bersubsidi mereka tidak hangus karena terlambat mengambil.
Dari pengalaman beberapa petani terungkap, keterlambatan mengambil jatah pupuk yang ada di kios membuat mereka harus 'gigit jari' karena tidak mendapatkan pupuk. Jika tidak memperoleh pupuk dari kios pengecer, mereka harus rela membayar lebih mahal karena membeli pupuk di luar jatah subsidi atau berburu ke daerah lain. Diantara petani ada yang bersikap pasrah. Pemupukan tanaman hanya dilakukan sekedarnya tanpa memperhatikan kebutuhan tanaman. “Keinginan kelompok tani Tanjung 2 adalah mampu membuat pupuk bokasi secara mandiri. Pasalnya semua bahan dasar pupuk tersebut sebenarnya sudah disediakan oleh alam di sekitar kita. Sebenarnya para petani itu tidak butuh teori, mereka lebih membutuhkan contoh atau praktik langsung bagaimana membuat pupuk dan cara pemakaiannya. Kalau hanya sekedar ngumpul-ngumpul saja tentunya bosan,” kata pak Mail, panggilan akrab Ismail.
Setiap pertemuan yang ada harus dimaksimalkan karena tidak semua orang tahu manfaat dan keuntungan pupuk bokasi. Salah satunya mengembalikan PH tanah menjadi normal. Dulu tahun 1985 PH tanah masih pada level 5,8. Namun hasil pengambilan sampel tanah pada akhir tahun 2008, PH tanah telah menurun drastis yakni 2,7. Untuk itu, Ismail menyarankan kepada seluruh kelompok petani untuk belajar membuat pupuk serta pestisida yang aman bagi lingkungan agar tidak menghancurkan PH tanah. “Asumsinya dalam satuan hektar, petani membutuhkan pupuk 3,5 kwintal urea. Namun tentunya kita tidak bisa langsung beralih karena membutuhkan proses. Maka asumsinya jika memakai campuran pupuk bokasi maka petani akan lebih berhemat dan hasil keuntungan akan dirasakan petani,” tutur Ismail.
Adapun pembiayaan organisasi, Ismail menyarankan agar pengurus transparan. Hal ini akan membuat jalannya organisasi lebih kuat. Pos-pos pendapatan organisasi memang belum pernah melalui iuran bersama. Karena selama ini pos pendapatan tersebut diperoleh dari perputaran sewa traktor yang telah menjadi hak kelompok. “Harga sewa traktor memang sama dengan traktor umum lainnya. Namun karena kelompok ingin kas organisasi besar, biasanya mereka lebih suka pinjam traktor kelompok. Manajemen pembagian hasil pengelolaan traktor adalah 40 untuk yang menjalankan : 60 untuk organisasi serta pembiayaan operasional. Kini posisi kas memang agak menipis karena banyaknya kegiatan serta perbaikan saluran air,” tambahnya
Dari proses perjalanan organisasi tani tanjung 2, bisa dijadikan upaya penyelesaian persoalan yang sama kepada kelompok-kelompok tani yang menghadapi konflik yang sama bagaimana membentuk kesepakatan bersama antara petani dan buruh tani. (din din)
Selengkapnya...
Mendorong Bangkitnya Komunitas yang Terisolasi
(Kediri, SuaR) Siapa di antara kita yang masih peduli pada momentum Kebangkitan Nasional. Nyaris terlupakan atau bahkan memang sudah terlupakan di tengah-tengah isu politik yang penuh gemerlap. Bertabur kemesraan elit politik yang menikmati jamuan mewah. Kebangkitan tidak lagi mempunyai arti penting di tengah-tengah persiapan pesta (belajar) demokrasi. Sementara, perjuangan hebat meraih kebangkitan yang paling sederhana masih terjadi di komunitas terisolasi, perempuan pekerja seks. Apakah mereka juga masih berhak bangkit untuk berpesta?
Terpuruk dan terlupakan. Begitulah nasib para alit apolitik di komunitas pelacuran terlokalisir. Mereka tidak akan sempat, bahkan tidak akan pernah berfikir tentang perebutan kekuasaan di negeri yang tak kunjung bangkit ini. Keberadaan mereka cukup didata sebagai pelengkap DPS (daftar pemilih sementara) dan DPT (daftar pemilih tetap) yang beberapa waktu lalu seolah-olah dianggap penting oleh bakal calon penguasa di legislatif. Faktanya hal tersebut hanya sebagai alasan untuk mengkambinghitamkan kelemahan KPU. Padahal, kalau ditelusuri lebih lanjut, belum tentu keduanya (caleg dan KPU) bisa menyelesaikan ketimpangan jumlah suara secara tuntas.
Selebihnya, para PS yang terisolasi itu akan dilupakan tanpa jejak. Faktanya, para elit politik tidak lagi memperhatikan keberadaan komunitas ini. Mereka justru semakin disibukkan oleh perhitungan dan strategi koalisi yang nyaman untuk mencari peluang lain memperoleh kekuasaan.
Begitupun di tengah hiruk-pikuk koalisi pejabat pemerintah pusat yang berebut kekuasaan. Ternyata tidak cukup mampu menarik perhatian masyarakat yang tinggal di daerah terisolasi. Komunitas yang mikrodinamis itu lebih memilih berbuat sesuatu yang masih bisa dikerjakan dan bermanfaat bagi diri, keluarga, dan lingkungannya secara nyata.
Kelompok perempuan pekerja seks tidak jauh beda nasibnya seperti negeri ini. Mereka harus survive untuk menghidupi dirinya secara ekonomi disela jeratan hutang kepada rentenir, sosial, psikologi, budaya, politik lokal, tekanan struktural dan sistem lainnya. Sejauh ini, belum ada sentuhan atau dukungan yang dapat menjawab kebutuhan mereka sebagai harapan lebih baik bagi masa depannya. Yang ada hanyalah stimulan-stimulan sesaat yang menjadikannya sebagai obyek sementara tanpa jaminan keberlanjutan yang terus menerus.
Ibarat orang orgasme, selesai lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan sejumlah imbalan disertai janji-janji manis yang lebih pantas disebut harapan semu. Begitulah keadaan negeri ini yang selalu dibesarkan dengan orientasi kapitalisme luar tanpa upaya kemandirian lokal, regional apalagi nasional. Begitu tereksploitasi habis-habisan satu sumber daya hingga berakhir akan merasakan kelelahan sendiri. Sementara sang eksploitator (asing dan koruptor) merasa puas kegirangan. Sesudahnya negeri ini akan bingung mencari pelanggan baru yang siap dengan eksploitasi sumber daya yang lain.
Kebangkitan Dimulai dari Diri Sendiri
Sebagai sesama warga negara ataupun manusia yang masih mempunyai hati nurani, masih ada peluang memperbaiki nasib untuk menjemput masa depan yang lebih cerah. Bangkit! adalah langkah yang harus ditempuh untuk keluar dari keterpurukan, keterasingan, ketersingkiran serta ketertindasan. Pekerja seks sudah waktunya menata dirinya secara politis, taktis maupun kekuatan tawar di hadapan tekanan multi sektor. Meskipun demikian, mereka tidak perlu meyakinkan kepada siapapun bahwa mereka mampu bangkit. Sebab mereka masih menyandang stigma dan terdiskriminasi yang harus dikikis terlebih dahulu.
Kebangkitan pertama dimulai dari diri sendiri bahwa mereka yakin akan mampu dan berhak mempunyai mimpi kehidupan berharga dan setara dengan yang lain. Kebangkitan kedua harus sadar dengan memahami status pekerjaan, memahami faktor resiko pekerjaan, status kesehatan, dan potensi yang setara dengan sesamanya. Pilihan pekerjaan yang bukan pilihan dengan menggunakan organ reproduksi sebagai alat untuk bekerja. Perlu menyadari bahwa organ tersebut haruslah dijaga sebagaimana peralatan bekerja yang selalu siap dalam kondisi baik, sehat. Berbeda dengan piranti kerja yang lain, organ reproduksi sangat rentan terhadap resiko epidemic IMS (infeksi menular seksual) serta HIV dan AIDS. Sehingga komunitas pelacuran berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mengaksesnya.
Kebangkitan ketiga, berani menghadapi dan meningkatkan posisi tawar terhadap kaum patriarkhi. Pekerjaan yang menuntut gonta-ganti pasangan dalam posisi tawar yang lemah membuat pekerja seks semakin rawan jika para pelanggannya tidak mempunyai perilaku bertanggung jawab. Artinya, hampir semua laki-laki hidung belang, pelanggan, tidak mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja. Tanggung jawab moral dan kesehatan bagi pribadi dan keluarga serta tanggung jawab sosial dan kemanusiaan terhadap stigma dan diskriminasi bagi pekerja seks. “Kami sudah berusaha merayu, menjelaskan, dan menunjukkan bahaya HIV dan AIDS kepada semua tamu tapi mereka masih tidak mau memakai kondom,” keluh seorang pekerja seks di sela pelatihan Pendidik Sebaya Lanjutan.
“Mereka merasa tidak enak dan tidak berpenyakit, mas. Padahal kami sudah berusaha sehat dan tidak ingin tertular HIV,” tambah temannya satu ekslokalisasi di Kediri. Terlebih jika mereka, pekerja seks, terinfeksi HIV (ODHA) dapat dipastikan mendapat beban ganda. Beban sebagai pekerja seks dan sebagai ODHA. Begitulah pelanggan yang diharapkan dapat memberikan sedikit keuntungan justru menambah penderitaan.
Kebangkitan keempat, memperjuangkan keberdayaan berpartisipasi penuh dan aktif di lingkungan kerja. Pekerja seks adalah warga yang berhak mendapatkan semua kehidupan dan peran sosialnya di masyarakat, lingkungan pelacuran. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari komunitas masyarakat tersebut yang juga memberikan berbagai kontribusi atau kewajiban yang berlaku di lingkungannya. Justru merekalah yang selama ini menjadi pusat konsentrasi semua aktifitas di pelacuran.
Hirarki, strukur, ekonomi, dan berbagai status banyak diuntungkan oleh pekerja seks. Akan tetapi yang terjadi adalah pekerja seks hanya dijadikan objek yang tak berdaya. Kini saatnya pekerja seks harus tampil menjadi subyek/pelaku yang banyak memainkan peran di komunitasnya sendiri. Kehidupan pekerja seks di pelacuran yang syarat dengan tekanan lingkungan harus mulai dirubah melalui kebangkitan peran partisipasi aktif untuk membangun masa depan bersama.
Untuk itu mereka perlu mengenali situasi, dinamika, nilai, mekanisme, hukum, dan setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, siapapun yang berinteraksi di pelacuran pasti mempunyai kepentingan dan berupaya memperoleh keuntungan dari kehidupan di dalamnya. Lalu, kenapa pekerja seks tidak ambil bagian kepentingan untuk memperoleh keuntungan pula? Bangkitlah.
Kebangkitan kelima, menggalang kebersamaan sesama pekerja seks antar lokasi. Peran yang dapat dilakukan adalah melalui jaringan Pendidik Sebaya/Peer Educator (PE). Mereka perlu membangun komitmen untuk berjejaring melalui komunikasi, pertemuan, kegiatan, dan penguatan bersama guna menggulirkan gerakan yang lebih besar. Semakin besar PE atau pekerja seks yang bersatu/bergabung, semakin besar kekuatan dan peluang untuk bisa bangkit dari ketertindasan dan keterpurukan.
Menggalang Kekuatan dan Solidaritas
Selanjutnya meningkatkan kapasitas melalui penguasaan informasi seputar hak-hak perempuan. Perempuan berhak mendapatkan kesehatannya, perempuan berhak berserikat/berkumpul sebagai organisasi, perempuan berhak mendapatkan pendidikan, perempuan berhak mendapatkan kesejahteraan, perempuan berhak mendapatkan perlindungan hukum, perempuan berhak berpartisipasi secara politik dan masih banyak lagi hak perempuan yang harus diperoleh di lingkungannya.
Aktualisasi dari kesemuanya itu harus dipahami oleh pengelola lingkungan. Jika tidak, sulit akan terjadi komunikasi dan koordinasi untuk saling memenuhi hak dan kewajibannya. Pengelola lingkungan, yang dalam hal ini diperankan oleh stakeholder lokasi, perlu bersinergi dalam membangun kesetaraan yang kemudian bersama melakukan sebuah gerakan komunitas.
Komunitas terisolasi sudah saatnya menempati posisi yang lebih maju dengan kapasitasnya yang telah mengorganisir diri. Jejaring stakeholder antar ekslokalisasi semakin diperkuat. Dengan jejaring pekerja seks antar ekslokalisasi akan semakin memperjelas dan mempertegas arah gerakan mewujudkan kebangkitan dari komunitas terisolasi.
Pekerja seks yang diwakili oleh Pendidik Sebaya/Peer educator (PE) sudah menunjukkan peran dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan positif di komunitas. Khususnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Peran ini didukung penuh oleh stakeholder setempat. Mereka memberikan akses informasi, mobilisasi akses layanan, advokasi, dan sebagai model perubahan perilaku sehat.
Pemahaman bersama tentang hak kesehatan, penguatan kelompok, kerja sama antar PE, keterlibatan mucikari, meski belum belum merata, jejaring Kelompok Kerja Peduli AIDS antar ekslokalisasi Kediri Raya, dan berbagai dukungan peningkatan kapasitas menjadikan komunitas terisolasi ke arah mandiri, berdaya, dan bangkit sebagai masyarakat yang tercerahkan.
Jika ditinjau sebagai sebuah fase atau tahapan. Proses itu masih jauh dari kulminasi kesejahteraan hidup dan kemanusiaan. Kesejahteraan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan moral masih menjadi mimpi panjang yang kebangkitannya harus mereka perjuangkan sampai mereka benar-benar mentas dari statusnya di komunitas terisolasi. Namun demikian, setidaknya mereka telah melakukan sesuatu yang bermakna bagi kemanusiaan dan tidak merugikan elit politik yang saat ini sibuk memikirkan dirinya sendiri.
Penyempurna Kebangkitan
Hal terakhir yang belum disadari secara utuh oleh kelompok terisolasi untuk menyempurnakan makna dan keberhasilan kebangkitan ialah terpenuhinya kesejahteraan rohani. Mereka juga berhak memperoleh layanan pembinaan, pemahaman dan pencerahan religius.
Selama ini kerinduan akan sentuhan illahiyah nyaris terlupakan. Peran tokoh agama yang mempunyai kapasitas membangun mental dan pribadi akan membentuk pertahanan terakhir terhadap perilaku beresiko. Peran ini dirasa belum optimal membina umatnya yang terpinggirkan/terisolasi, mungkin belum menganggap perlu.
Secara tidak langsung hal itu menjadi model laten adanya stigma dan diskriminasi. Begitulah, sekali lagi kelompok terisolasi harus mencari, berjuang, dan bergerak tertatih menggapai kebangkitan di negeri ketika jaman yang telah bangkit dari keterpurukan kolonialisme dan jatuh pada keterpurukan kapitalisme.
Sebenarnya, siapa yang masih peduli mengapresiasi kebangkitan kelompok terisolasi? Siapapun yang masih peduli, mereka tidak akan berhenti dan tetap yakin bahwa mereka sanggup untuk bangkit. Bangkitlah kaum perempuan! (Ijun)
Selengkapnya...
Membangkitkan Gairah Usaha Perempuan Pinggir Hutan di Kabupaten Nganjuk
(Nganjuk-Punden) Bangsa Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang sangat melimpah berupa daratan, laut, dan udara dengan fungsi dan peranannya sebagai sumber kehidupan. Di Kabupaten Nganjuk, sumber daya yang potensial itu salah satunya adalah hutan. Namun tidak banyak yang bisa dilakukan oleh sebagian besar penduduk yang berada disekitarnya, seperti warga Dusun Bangkak Desa Turi Pinggir Kecamatan Lengkong. Semua itu karena keterbatasan sarana sehingga mereka perlu diberdayakan.
Untuk sekedar jalan-jalan keluar desa atau melihat keramaian pasar di kota kecamatan, sulit dilakukan warga di dusun tersebut. Apalagi bagi kaum perempuan. Bukan karena jarak yang jauh atau transportasi yang tidak ada, namun karena kondisi jalan yang sulit dilewati.
Sebenarnya, jarak Desa Pinggir dengan ibukota kecamatan hanya sekitar 5 kilometer. Sarana jalan desa juga bukan tidak ada karena banyak jalur bekas kendaraan pengangkut kayu hasil hutan yang melintasi desa tersebut menuju kota kecamatan. Namun, lagi-lagi kondisinya yang tidak memungkinkan. Apalagi saat musim penghujan.
Untuk masuk Dusun Bangkak, kita harus melewati jalan yang sangat terjal dan licin. Jika hujan turun banyak kubangan air berlumpur. Hampir tidak ada petunjuk jalan untuk mengetahui nama dusun ini. Karena tidak ada pintu gerbang dusun atau sekedar papan nama. Dusun ini sangat terisolir karena lokasi yang berada di dalam kawasan hutan.
Seperti kebanyakan desa-desa di daerah pegunungan, hampir semua penduduk mata pencahariannya sebagai petani dan peternak. Aktifitas ini sebagai penopang hidup menunggu masa panen. Selain itu mereka juga mencari kayu bakar dan daun untuk di jual di pasar.
Meskipun kebanyakan dari mereka adalah petani, namun hanya pada musim penghujan mereka bisa bercocok tanam. Masalahnya, pada musim kemarau di wilayah ini kondisi tanahnya sangat kering dan air menjadi langka. Praktis pada musim kemarau mereka hanya mengandalkan ternak bagi laki-laki dan mencari kayu bakar untuk dijual bagi yang perempuan.
Sumarsono, Kepala Dusun Bangkak mengatakan bahwa, sekarang penduduk sudah mulai bercocok tanam bersamaan dengan datangnya musim hujan. ”Semua area di sini adalah daerah tadah hujan, dan kalau musim kemarau begitu kering. Sungai maupun sumber air tidak ada,” jelasnya. Akan tetapi, menurut Sumarsono, walaupun sudah mulai bisa bercocok tanam hanya komoditi tertentu yang bisa ditanam, seperti jagung, ketela, cabe, dan tanaman sayur lainnya. Hal ini disebabkan intensitas hujan masih rendah.
Air Menjadi Masalah Utama
Tidak seperti daerah pegunungan lainnya yang mempunyai ketinggian DPL (di atas permukaan laut) lebih dari 1.500 m. Sehingga bisa hidup berbagai jenis pohon dan kaya dengan sumber mata air. Banyak aliran sungai dari puncak-puncak bukit yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk di lereng gunung karena tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Di kawasan hutan bagian utara wilayah Kabupaten Nganjuk yang meliputi lima kecamatan yakni Kecamatan Rejoso, Ngluyu, Gondang, Lengkong, dan Jatikalen kondisinya sangat berbeda. Beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bojonegoro ini merupakan kawasan kering dan tandus. Di beberapa titik memang terdapat aliran sungai dan sumber air, akan tetapi tidak cukup untuk kebutuhan pertanian. Bahkan pada musim kemarau mata air disini banyak yang mati. Untuk kebutuhan rumah tanggapun sering kekurangan.
Air menjadi hal yang sangat mahal bagi masyarakat di daerah yang tinggal di tepian hutan Nganjuk. Dari sekian wilayah, Dusun Bangkak Desa Turi Pinggir ini yang kondisinya paling parah. Walaupun sebagian penduduk memiliki sumur gali, hal itu tidak banyak membantu. Jangankan untuk kebutuhan pertanian untuk kebutuhan rumah tangga saja masih kurang.
Mereka Memilih Menjadi Buruh Migran
Penduduk Dusun Bangkak ini kondisinya memang lebih parah dibandingkan dengan desa-desa lain di kawasan hutan Kecamatan Lengkong. Keberadaan dusun yang dikelilingi hutan berada di lembah perbukitan yang sebagian kontur tanahnya tandus. Maka tak heran hal ini berdampak pada mata pencaharian penduduk yang memilih menjadi buruh migran di kota-kota besar.
Sebagai kepala dusun, Sumarsono, 46 tahun, sangat berharap ada perhatian dari pemerintah untuk membantu pengadaan air agar masyarakat bisa bercocok tanam pada musim kemarau. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat bisa meningkat. “Pernah ada petugas PPL dari kecamatan datang dan menjanjikan akan memberikan bantuan mesin pompa air untuk membantu petani di sini. Akan tetapi sampai sekarang tidak ada realisasinya,” keluh Sumarsono. ”Setiap musim kemarau tiba masyarakat sudah mulai meninggalkan sawah dan ladang untuk beralih mencari kayu bakar dan kegiatan ini juga biasa dilakukan kaum perempuan untuk membantu para suami,” tambahnya.
Bagi Masyarakat di wilayah hutan ini, air menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomis, sekaligus magis. Dari air inilah yang dapat memberikan getaran kedamaian sekaligus menjadi goncangan bagi masyarakat. Air telah menjadi persoalan hidup dan mati. Merupakan faktor utama dan menentukan bagi kelangsungan hidup petani dan warga.
Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang terjadi sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Ribuan hektar pohon musnah dilalap api. Kondisi ini juga dialami hutan di wilayah Kabupaten Nganjuk bagian utara. Karena di wilayah ini kebanyakan adalah hutan buatan yang merupakan warisan dari proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) yang penanamannya bersifat monokultur. Sehingga resiko kebakaran semakin tinggi. Kondisi iklim mikro yang kering dengan jenis tanaman yang berkulit tipis, berserasah, dan kering di bawahnya membuat hutan jenis seperti ini sangat rawan bahaya kebakaran.
Akibat dari kebakaran ini tentunya sangat merugikan secara ekologis dan ekonomis. Kebakaran selalu terjadi ketika musim kemarau tiba antara bulan Agustus-September. Angin yang berhembus kencang selalu datang bersamaan dengan musim kemarau semakin membuat parah setiap terjadi kebakaran di wilayah ini. Kusmiadi, warga asal Desa Bangle, seorang petani penggarap lahan milik perhutani mengatakan, ”kebakaran sering terjadi di wilayah sekitar desanya. Penyebab kebakaran ini biasa dilakukan para pencuri kayu untuk meninggalkan jejak. Kalau warga di sini tidak pernah membuka lahan dengan cara membakar hutan,” terangnya.
Sarana Pendidikan Tidak Ada
Tak hanya soal penghidupan yang sulit, di Dusun Bangkak banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, salah satunya tidak adanya sarana pendidikan. Tidak ada satu pun sekolah, bahkan setingkat TK (taman kanak-kanak). Untuk bisa bersekolah harus pergi ke desa sebelah yang jaraknya sangat jauh. Itupun harus dijangkau dengan jalan kaki.
Kebanyakan masyarakat di dusun yang berpenduduk kurang dari 50 KK hanya mengenyam pendidikan SD (sekolah dasar) dan setingkat SMP (sekolah menengah pertama). Tidak seorang wargapun yang mengenyam pendidikan SMU apalagi sampai ke perguruan tinggi.
Memang, menjalani hidup dan menetap di daerah yang jauh dari keramaian dan kebisingan dengan dikelilingi hutan dan pegunungan, dengan fasilitas dan sarana yang kurang memadai bukanlah suatu pilihan. Akan tetapi kesejahteraan ekonomi dan sosial tidak mustahil akan terwujud di daerah yang sebagian orang menganggap ndeso dan tidak modern. Syaratnya tentu apabila dikembangkan dengan baik.
Potret masyarakat seperti Dusun Bangkak Desa Turi Pinggir ini adalah gambaran kecil yang dihadapi oleh kebanyakan masyarakat yang berada di kawasan hutan Nganjuk bagian utara. Dengan kekayaan SDA (sumber daya alam) yang melimpah seharusnya masyarakat di sini bisa sejahtera.
Ke depan, banyak inisiatif warga untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu yang sudah dilakukan adalah berorganisasi dan melakukan kegiatan ekonomi bersama seperti koperasi simpan-pinjam khusus perempuan. Selain itu juga, kelompok ini akan membuat kegiatan produksi rumah tangga dengan memanfaatkan tanaman hasil hutan yang bisa dikonsumsi. (Djali)
Selengkapnya...
Gerakan Perubahan di Wisma Perempuan LKB Ponorogo
(Madiun-DIFAA) Bulan Mei selalu diwarnai semangat perubahan bagi kita. Mulai dari semangat perjuangan buruh, semangat untuk meraih pendidikan yang lebih baik, dan kebangkitan nasional (termasuk kaum perempuan). Semangat perubahan ini juga mulai merambah perempuan-perempuan di daerah LKB (lokalisasi Kedung Banteng) Ponorogo. Kesamaan nasib, pekerjaan, dan kondisi mendorong para PS (pekerja seks) bertekad untuk bersama-sama untuk lebih baik lagi menjalani hari- hari di LKB.
Pada hari senin, tanggal 23 April 2009 bertempat di gedung pertemuan, biasa disebut gedung sekolahan, sekelompok PS mengadakan pertemuan rutin dengan di fasilitasi DIFAA. Pertemuan ini membahas terkait tindak lanjut hasil konsultasi dengan Dinkes (dinas kesehatan) yang terjadi pada 14 April 2009. Dari pertemuan itu disepakati bahwa untuk transfer atau getok tular ilmu kesehatan reproduksi bagi semua PS di LKB maka dibentuklah wadah kelompok belajar yang diberi nama “Wisma Perempuan” disingkat WP. WP dibagi dalam 8 kelompok kecil, setiap kelompok mewakili 2-3 wisma yang terdiri dari 12 sampai 15 orang.
Kata WP ini didasari dari wisma adalah tempat yang menyatukan para PS dari berbagai daerah untuk bekerja dan bersama dalam satu nasib. Perempuan berasal dari kata “empu”, pembuat keris yang bisa diartikan sebagai orang yang berperan penting untuk menjaga, memperindah, dan memperkuat diri. Perempuan juga diartikan punya semangat yang tinggi untuk bertahan dalam menghadapi segala persoalan hidup. Dengan demikian WP diharapkan dapat menyatukan dan membentuk solidaritas PS untuk bersama-sama belajar meningkatkan dan memperkuat kemampuan diri sehingga tetap dapat berperan untuk diri, keluarga dan masyarakat.
Dengan WP para PS mulai belajar materi tentang pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi bagi mereka. Yang pertama adalah hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan; hak atas informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi termasuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan seseorang maupun keluarga. Hak ini penting karena dari informasi dan pendidikan PS dapat mengenal, memahami, dan menghargai hak seksual dan kesehatan reproduksi mulai dari sendiri. Dengan demikian para PS bisa lebih menjaga kesehatan diri termasuk kesehatan reproduksinya.
Yang kedua, hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan; termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, kesinambungan pelayanan dan hak berpendapat. Bahwa pelayanan dan perlindungan kesehatan adalah termasuk hak dasar bagi semua warga negara, perlu diperjuangkan untuk terpenuhi bagi kelompok yang selalu dianggap marginal oleh masyarakat seperti PS.
Selama bulan Mei 2009 ini telah berjalan 4 kali pertemuan dengan dipandu 2 orang Community Organizer yakni Sirin dan Yogi. Pokok bahasan pertemuan adalah efektifitas kondom untuk seks aman dan menjaga diri dari PMS (penyakit menular seksual) serta HIV dan AIDS. Bagi PS yang punya aktifitas seks yang tinggi, kondom menjadi sebuah cara yang bisa menjaga kesehatan diri. Tetapi penggunaan kondom masih banyak kendala terutama dari pelanggan yang merasa keberatan bisa bertransaksi seks dengan menggunakan kondom. “Lha pelanggan itu ndak mau lho mbak, malah aku dikira menghina dia. Dia bilang aku ini bersih lho, ndak penyakiten kok disuruh pakai kondom?“ ujar salah satu PS.
Persepsi yang ada adalah yang memakai kondom adalah orang yang punya PMS. Logika seperti ini yang mesti diluruskan bahwa orang yang berhubungan seks yang memakai kondom bukan berarti orang yang ber-PMS tetapi dengan memakai kondom justru malah bisa melindungi diri dari berbagai PMS. “ Kalo aku, bila dengan pelanggan ya pakai kondom mbak, tapi biar dia yang pakai sendiri. Wegah aku memakaikan tapi kalau dengan pacarku sendiri ya ndak usah pakai kondom …he..he.., “ ujar salah satu PS lagi.
Pemakaian kondom masih belum menjadi kebutuhan bagi PS. Masih menunggu kemauan dari pelanggan dengan demikian posisi tawar PS menjadi rendah untuk melindungi diri. Persepsi bahwa bila pacar atau kiwir adalah orang yang bersih dari PMS juga masih salah. Karena PMS serta HIV dan AIDS akan rentan menular bagi orang yang sering ganti-ganti pasangan seks. Baik salah satunya atau dua-duanya. Ternyata PS juga masih ada yang enggan memakai kondom bila pelanggannya keberatan. “Lha daripada ndak dapet duit mbak….yo wislah ndak usah pakai kondom juga ndak apa-apa, “ ujar PS pasrah.
Menurut Yogi, salah satu Community Organiser, “bahwa hal pertama yang perlu dilakukan adalah proses pemahaman tentang kesehatan reproduksi perlu intens dilakukan. Pemahaman-pemahaman yang keliru tentang kondom, PMS/IMS, HIV dan AIDS perlu diluruskan dan hal ini perlu waktu yang intens dan lama”.
Dalam pertemuan WP juga menjadi tempat bertukar informasi tentang obat tradisional seperti sirih, lidah buaya dan rosella. Tumbuhan-tumbuhan itu dapat digunakan untuk kesehatan, kecantikan, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Selain itu juga untuk pengobatan sekaligus untuk penghijauan lokalisasi sehingga lebih nyaman untuk dihuni. Udara bersih atau udara yang digunakan untuk bernafas akan selalu dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan sehingga dapat menggantikan udara kotor yaitu udara hasil pernafasan manusia yang sering tercampur dengan asap rokok.
Pertemuan kelompok WP yang telah berjalan mulai menarik minat PS. Dari setiap pertemuan minimal 12 orang yang rutin hadir, ada beberapa orang mulai aktif terlibat dalam forum. Manfaat WP mulai dapat dirasakan oleh para PS. “Aku jadi tahu tentang banyak hal mbak, dari kondom, berbagai jenis penyakit dan cara menjaga kesehatan,“ ujar salah satu PS. “Saya senang juga jadi sering ketemu teman lain wisma,” ujar PS lainnya. Sementara dari mucikari banyak yang merespon positif kegiatan WP. “Pokok e dapat bermanfaat bagi PS dan nambah ilmu, kita sangat mendukung mbak,“ ujar salah satu mucikari LKB.
Menurut Sirin, salah satu CO yang jadi fasilitator WP menjelaskan,
bahwa WP mulai membentuk solidaritas para PS. Beberapa PS yang awalnya kurang akur atau bersaing dalam kerja sekarang mulai rukun. Dengan demikian akan dapat sangat membantu kelompok WP untuk proses belajar bersama terutama terkait kesehatan reproduksi. Sebuah langkah awal untuk penanggulangan PMS/IMS serta HIV dan AIDS.
Meski WP baru terbentuk dan baru mulai berjalan kegiatannya, akan tetapi ini menjadi sebuah harapan baru bagi PS yang selama ini termarginal baik dari segi informasi, pelayanan, dan pemenuhan hak-hak sebagai warga negara. WP menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan perempuan di daerah lain untuk perubahan hidup yang lebih baik. Perlu ada kerjasama yang saling membangun di antara elemen gerakan perempuan di Indonesia. (Ari DIFAA)
Selengkapnya...
Konflik Pertanahan Aksi Petani Lereng Kelud Melawan PT Sumber Sari Petung
(Kediri) Tanah bagi petani adalah kehidupan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila petani tanpa tanah. Petani tanpa tanah garapan berarti kesengsaraan dan kemiskinan di kampung sendiri. Tidak akan terjadi apa yang disebut kemakmuran dan kesejahteraan bila syarat utama itu tidak terpenuhi. Selama belasan tahun petani di tiga desa (Sempu, Babadan, dan Sugihwaras) Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri berjuang mewujudkan kedaulatan petani atas tanah.
Pada tanggal 7 Mei 2009 ratusan petani melakukan aksi di BPN (balai pertanahan nasional) Kabupaten Kediri. Mereka menuntut kepemilikan atas lahan di Desa Sempu, Babadan dan Sugihwaras. Petani di tiga desa itu telah dirampas haknya selama berpuluh-puluh tahun oleh Perusahaan Perkebunan, PT Sumber Sari Petung, yang berlokasi di lereng gunung Kelud Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri Jawa Timur. Areal lahan seluas kurang lebih 250 ha telah di kuasai oleh PT Sumber Sari Petung yang dimenangkan Mahkamah Agung atas gugatannya pada SK no.66/HGU/ BPN/2000.
BPN Kabupaten Kediri mempunyai dasar yang kuat bahwa SK tersebut dinyatakan batal di mata hukum, yaitu hasil penelitian Tim Badan Pertanahan Nasional pada tanggal 17-19 Maret tahun 2000. Dimana ditemukan bahwa PT Sumber Sari Petung tidak secara serius mengelola tanamannya. Dan bahwa pengelolaannya hanya diserahkan kepada pihak ketiga tanpa izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwewenang, BPN. Dasar kedua bahwa penggunaan lahan tersebut tidak memprioritaskan tanaman yang telah mendapat izin dari instansi teknis. Bukti lain bahwa tanah tersebut adalah hak rakyat ditandai dengan adanya bekas bangunan penduduk.
Berikut pernyataan sikap petani pada aksi yang dilakukan di halaman Kantor BPN Kabupaten Kediri yang diikuti ratusan orang.
(box news)
PAGUYUBAN PETANI
“ TRISAKTI “
Sekretariat : Jl. Kelud no 141 Desa Sempu Kec.Ngancar Kab. Kediri
PERNYATAAN SIKAP
Kuasa rakyat atas tanah adalah hak yang harus diberikan untuk keadilan dan kemakmuran masyarakat. Dalam perjuangan masyarakat yang berada di tiga desa yaitu di Desa Sempu, Desa Babadan dan Desa Sugihwaras belum bisa merasakan keadilan diatas tanahnya sendiri, karena secara nyata bahwa PT Perkebunan Sumber Sari Petung telah merampas tanah masyarakat selama puluhan tahun.
Perjuangan masyarakat tentang hak atas tanah yang telah dirampas oleh PT Sumber Sari Petung belum menemukan titik keadilan, hal ini karena Mahkamah Agung telah memenangkan gugatan pihak PT Perkebunan Sumber Sari Petung tentang SK No. 66/HGU/BPN/2000 tentang redistribusi lahan pada warga sebesar 250 Ha, dan Mahkamah Agung membenarkan dan memutuskan bahwa SK No. 66/HGU/BPN/2000 itu batal di mata hukum. Padahal BPN mempunyai dasar yang kuat.
Dilihat dari hasil penelitian tim Badan Pertanahan Nasional tanggal 17-19 Maret 2000 diperoleh hasil bahwa PT Perkebunan Sumber Sari Petung tidak secara serius mengelola tanamannya, bahwa pengelolanya diserahkan kepada pihak ke tiga tanpa izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, serta penggunaanya tidak memprioritaskan tanaman yang telah mendapat izin dari instansi teknis dan terlihat adanya bekas bangunan penduduk.
Dasar kuat yang mendukung SK No. 66/HGU/BPN/2000 salah satunya bahwa Bupati Kediri dengan suratnya tanggal 18 Agustus 2000 nomor 593/1579/421.01/2000, menyatakan telah mengadakan inventarisasi dan pengukuran keliling terhadap tanah seluas 2.500.000 m2 yang akan di redistribusikan kepada masyarakat, sebagaimana diuraikan dalam lokasi peta Usulan Obyek Landreform tanah bekas HGU PT Perkebunan Sumber Sari Petung pada tanggal 16 Agustus 2000.
Sedangkan dalam gugatan yang dilakukan perkebunan tidak mendasar karena dari isi gugatan perkebunan adalah data sebelum tahun 1998 yang menunjukkan bahwa Perkebunan kategori kelas II (dua) yang artinya perkebunan dalam kondisi baik atau kondisi normal atau tidak bongkor, padahal mulai terjadi sengketa pada tahun 1998-1999 dan kondisi perkebunan sudah dalam keadaan terlantar atau bongkor. Selain itu dalam isi gugatan banyak unsur penipuan. Hal ini bisa dikatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan pihak perkebunan adalah cacat hukum.
Selain itu dengan ditemukanya bukti baru yaitu letter C Desa dan Peta Desa serta bukti lainnya yang menunjukkan bahwa sebetulnya PT Perkebunan Sumber Sari Petung adalah penyerobot tanah warga. Dengan ini kami dari PAGUYUBAN PETANI TRI SAKTI menuntut :
1. BPN harus serius dan segera melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan PT Sumber Sari Petung.
2. Bubarkan PT Perkebunan Sumber Sari Petung karena mereka adalah Penyerobot tanah warga.
3. Tolak kriminalisasi Petani
***
Selanjutnya dari aksi bersama tersebut masih akan terus dilakukan upaya-upaya perjuangan dengan melakukan penggalangan dukungan ke beberapa kelompok-kelompok baik di tingkat lokal Kediri maupun di tingkat provinsi dan nasional. Tentunya sampai petani berhasil memenangkan hak kuasa atas tanah yang dimiliki selama ini. (Azis Alkaf)
Selengkapnya...
Bangkit dan Berjuang Wujudkan Perlindungan TKI di Tulungagung
(Tulungagung-Paricara) Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini jumlah lapangan kerja di dalam negeri sangat tidak sebanding dengan tingginya jumlah angkatan kerja yang tersedia. Akibatnya, pengangguran dan kemiskinan terjadi di mana-mana, termasuk di Kabupaten Tulungagung. Karena itu wajar jika sebagian warga di daerah ini memilih bekerja menjadi TKI (tenaga kerja indonesia) di luar negeri.
Menurut catatan Dinsosnakertrans (Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi) Tulungagung, jumlah TKI per tahun rata-rata 1.000 orang yang tersebar di berbagai negara. Namun, jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar, bahkan angkanya bisa mencapai 10.000-20.000 orang per tahun. Ini karena banyaknya TKI yang bekerja secara ilegal dan berangkat dari daerah lain sehingga sulit dideteksi.
Kiriman uang TKI asal Tulungagung pun cukup fantastis, yakni rata-rata Rp 300 miliar per tahun atau lebih dari 1/3 total APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) Tulungagung tahun 2009 yang jumlahnya sekitar Rp 800 miliar. Kiriman uang itulah yang telah mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat, terutama di daerah-daerah kantong TKI, seperti Kecamatan Kalidawir, Besuki, Pucanglaban, Ngantru dan di kecamatan lainnya.
Sayangnya, meski telah banyak membantu pemerintah namun para pahlawan devisa belum mendapatkan perlindungan yang memadai, baik perlindungan terhadap hak maupun hukum. Buktinya, masih banyak kasus terjadi, seperti penipuan calo, pemalsuan dokumen, penganiayaan oleh majikan, pelanggaran kontrak kerja, diperdagangkan, terdeportasi dan sebagainya.
Pemkab Tulungagung sendiri hingga kini masih enggan membuat kebijakan yang benar-benar melindungi TKI. Khususnya ketika masih berstatus sebagai calon dan setelah kembali ke daerah asal. Tidak ada Perda (Peraturan Daerah), Perbup (Peraturan Bupati) atau peraturan sejenis yang berpihak kepada mereka. Bandingkan dengan Kabupaten Blitar yang kini telah memiliki Perda (Peraturan Daerah) tentang Perlindungan TKI. Fatalnya lagi, dalam APBD Tulungagung tahun 2009 tidak ada satupun program untuk pemberdayaan dan perlindungan TKI.
Kondisi inilah yang membuat 3 kelompok yang sebagian besar anggotanya berlatar belakang TKI (calon, keluarga dan mantan) di Tulungagung merasa prihatin. Mereka adalah Kelompok Sumber Rejeki di Desa Pojok Kecamatan Ngantru, Kelompok Sumber Makmur Desa Tugu Kecamatan Sendang, dan Kelompok Jaya Makmur Desa Selorejo Kecamatan Ngunut.
Ketiga kelompok ini terlecut semangatnya untuk mendesak Pemkab dan DPRD Tulungagung segera menyusun Perda Perlindungan TKI, sebagaimana dilakukan Kabupaten Blitar. Diharapkan Perda akan menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi calon, keluarga, dan mantan-mantan TKI di Tulungagung. Dengan Perda, kasus-kasus yang merugikan TKI diharapkan juga dapat dikurangi.
Namun, menurut 3 kelompok tersebut, peraturan saja tidak cukup. Perda harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas dan alokasi anggaran daerah yang memadai untuk pemenuhan hak-hak dasar bagi calon, keluarga dan mantan-mantan TKI. Semua itu salah satunya bisa dicapai apabila ada gerakan yang kuat dari masyarakat.
Bentuk perjuangan mereka diawali dengan melibatkan diri dalam forum-forum perencanaan penganggaran dan pembangunan mulai tingkat desa hingga kabupaten sejak 2008 lalu. Dalam kesempatan itu mereka mendesakkan sejumlah usulan program untuk pemberdayaan dan perlindungan TKI. Diantaranya pemerintah harus melakukan sosialisasi secara lebih merata kepada masyarakat mengenai prosedur imigrasi yang benar dan aman. Lalu diadakannya pusat-pusat informasi ketenagakerjaan di desa-desa agar masyarakat tidak mudah tertipu.
Sayang sekali perjuangan mereka kandas. Usulan yang mereka ajukan tidak mendapat respon yang memadai dari Pemkab Tulungagung. Sebagian usulan memang sudah masuk Musrenbangkab (musyawarah perencanaan pembangunan kabupaten), namun dalam dokumen perencanaan penganggaran berikutnya, termasuk di RAPBD, usulan tersebut hilang. Meski begitu, mereka tidak patah semangat. Tahun 2009 ini mereka mengajukan lagi usulan-usulan yang belum diterima agar masuk dalam APBD 2010.
Membangun Usaha Bersama
Disamping terlibat dalam perencanaan penganggaran daerah, ketiga kelompok juga aktif melakukan rembuk rutin setiap bulan untuk membahasa berbagai persoalan yang mereka alami, saling tukar informasi dan sesekali berkunjung ke kelompok lain. Disamping mempererat tali silaturrohim, kegiatan ini juga sebagai media sosialisasi perkembangan ide dan gagasan yang selama ini dibangun bersama untuk memperjuangkan nasib calon, keluarga, dan mantan TKI.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan kelompok adalah menuntut pemerintah agar sebagian anggaran daerah dialokasikan kepada keluarga dan mantan-mantan TKI. Anggaran tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan pelatihan maupun peningkatan ketrampilan agar dapat lebih mandiri. Harapannya, uang hasil kerja dari luar negeri dapat dikelola dengan baik untuk membangun usaha ekonomi.
Bagi TKI yang gagal, pemerintah dapat memberikan dukungan berupa pemberian ketrampilan dan modal usaha. Dengan tujuan agar mereka tidak kembali bekerja ke luar negeri dan dapat bekerja secara layak di daerahnya masing-masing. Semua itu akan lebih mudah diwujudkan apabila keluarga dan mantan-mantan TKI bersatu dan membentuk kelompok-kelompok di masyarakat.
Menurut pengakuan Mukini, mantan TKI Malaysia asal Desa Pojok Kecamatan Ngantru, ia merasa gembira dan terbantu setelah bergabung dengan Kelompok Sumber Rejeki yang mayoritas anggotanya adalah mantan TKI. “Tahun lalu saya masih menjadi pekerja di rumah orang lain tapi sekarang saya bisa berkumpul dengan teman-teman dan saya sungguh senang bisa membuat usaha bersama kelompok Sumber Rejeki ini. Sehingga dapat membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga saya,” ungkap Mukini yang mengaku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia selama 2 tahun dan baru kembali ke desanya akhir 2008.
Hal senada dikemukakan Maryami, mantan TKI yang pernah bekerja di Brunei Darussalam selama 2,5 tahun. “Sungguh menyenangkan bisa berkumpul bersama kelompok ini. Sebelum adanya kelompok Sumber Rejeki saya masih bodoh tapi setelah bergabung saya bisa mendapat pengetahuan banyak sekali. Selain dapat pengalaman dengan berkelompok juga dapat membantu mengentaskan ekonomi keluarga saya melalui simpan pinjam,” terangnya.
Sebelumnya keberadaan Kelompok Sumber Rejeki dicibir banyak orang. Namun setelah mengalami perkembangan cukup pesat, banyak warga ingin bergabung menjadi anggotanya. Terlebih hingga sekarang kelompok ini sudah mampu merintis kegiatan simpan pinjam dan usaha bersama ternak kambing. Tak heran jika banyak pihak yang melirik karena anggotanya sudah bisa berdaya sendiri.
Sekarang kelompok perempuan menjadi tempat di mana para mantan TKI berkumpul. Usaha ekonomi masyarakat dibangun dan aspirasi masyarakat disuarakan dalam perencanaan pembangunan. Mestinya Pemkab Tulungagung memberi perhatian yang serius untuk mendorong berkembangnya kelompok-kelompok serupa di masyarakat. Segera membuat Perda Perlindungan TKI dan memberikan alokasi anggaran yang memadai dalam rangka memenuhi hak-hak dasar calon, keluarga, dan mantan TKI. (Lukman-Paricara)
Selengkapnya...
Kebangkitan Nasional SEMANGAT PERUBAHAN DARI LEMBAH GUNUNG ANJASMORO
Tanggal 16 Mei 2009 merupakan usia ke-9 bagi kelompok Pendowo Sudrun. Bagi sebuah organisasi, usia tersebut menunjukkan kedewasaan untuk menyikapi segala persoalan dengan bijaksana dan selalu mengedepankan musyawarah. Dihari yang bertepatan dengan bulan Kebangkitan Nasional, kelompok yang berada di Dusun Kedunggalih Desa/kecamatan Bareng Jombang meneguhkan semangat perubahan.
Lokasi dusun yang berada di lembah gunung Anjasmoro, tidak menyurutkan nyali kelompok untuk mengembangkan nilai kebersamaan antara pemuda dan para orang tua duduk berdampingan. Selama 3 tahun kelompok yang beranggotakan 15 orang harus menghadapi tanggapan negatif. Pendekatan secara bertahap dilakukan dengan mengikuti semua kegiatan sosial tanpa pamrih telah meluluhkan hati masyarakat. Menurut Tompo, kepala Dusun Kedunggalih, bahwa perjuangan pemuda memang patut diacungi jempol. Kini sudah saatnya masyarakat percaya penuh bahwa tanpa pemuda, desa tidak akan pernah maju. “Pemuda yang tergabung dalam Pendowo Sudrun mempunyai nilai lebih tersendiri. Pasalnya selain mereka dibekali ilmu bela diri dan pendidikan religius yang kuat telah mencetak generasi muda yang handal. Maka selaku orang tua harus turut mendukung, jangan sampai putra atau putrinya yang ikut putus ditengah jalan,” kata Tompo yang disambut dengan tepukan tangan warga setempat.
Untuk itu tepat kiranya jika hari kebangkitan nasional menjadi obor penyemangat para pemuda untuk bangkit dan menepis pikiran buruk bahwa jiwa pemuda selalu diidentikkan dengan kekerasan dan budaya arogan. Kini dengan adanya pendowo sudrun pembangunan SDM pemuda sedikit demi sedikit mulai tampak kekompakannya dalam hal menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi. “ibarat kata pepatah Roma tidak dibangun dalam satu hari, semuanya membutuhkan proses. Untuk saat ini pendowo sudrun masih belajar untuk berorganisasi selanjutnya akan belajar segi ekonomi pula,”
Sementara itu menurut Agus Hambali, selaku ketua panitia ia memberikan ucapan terimakasih kepada siapa saja yang turut membantu kesuksesan acara HUT ke-9 (Hari Ulang Tahun) Pendowo Sudrun. Pun demikian halnya dengan Su'udi Anis, selaku ketua Pendowo Sudrun, memberikan ucapan banyak terima kasih kepada semua orang. Dalam pemikiran Mbah Ud, sapaan akrab Su'udi bahwa sebuah perjuangan itu pasti tidaklah gampang, membutuhkan sebuah proses yang panjang, membutuhkan pengorbanan mulai dari mental sampai material. “Inisiatif dari 3 orang tokoh inilah Pendowo Sudrun hadir di tengah masyarakat. Kini pengembangan kegiatan difokuskan pada belajar bersama, mulai dari bidang pendidikan kader, pendidikan religius dan pendidikan pengembangan bakat dan minat. Seperti halnya pemuda yang suka seni musik, bisa langsung turut serta latihan. Tak lupa pada kegiatannya belajar organisasi untuk mengenal karakter masyarakat dengan mengasah berfikir kritis dan analitis sosial agar faham tentang kebutuhan di dalam hidup bermasyarakat,” terang Mbah Ud.
Ucapan Selamat dari Anggota KRJB
Sejak tahun 2007 lalu, Pendowo Sudrun menjadi anggota KRJB (konsorsium rakyat jombang berdaulat). Kebetulan saat ini Su'udi menduduki posisi menjadi ketua pengurus, mempunyai harapan besar bahwa ke depan proses pendewasaan Sudrun sudah tidak lagi pada perbaikan manajemen di dalam anggota, namun bagaimana membuat jaringan dengan kelompok di KRJB.
Sudah menjadi tradisi tiap perayaan HUT dilangsungkan pada malam hari, beberapa kelompok yang tergabung dalam KRJB turut hadir menyaksikan proses awal mulai gebyar seni, atraksi bela diri, dan juga sholawatan. Menurut Nilam dan Sandra, kelompok Rakom SBL FM Rejoagung Ngepeh Ngoro Jombang sangat senang sekali bisa turut hadir menyaksikan jalannya acara. “Selamat ya buat Pendowo Sudrun semoga tambah dewasa dalam berorganisasi,” ucap mereka berdua kompak.
Tak ketinggalan hadir pula kelompok dari Mawarno Mojowarno Jombang dan Dekrit'17 Badang Ngoro Jombang yang mengikuti acara dari awal hingga usai tengah malam. Tujuan dari pada peringatan ini selain berdampak positif kuatnya solidaritas kelompok pendowo sudrun dan juga mampu menjalin komunikasi dengan kelompok lain yang tergabung dalam KRJB. (din-din)
Selengkapnya...
Bersih Desa Pakis, Kuatkan Tradisi Lokal
(Kediri) Semangat menjaga tradisi leluhur merupakan salah satu upaya melestarikan kearifan nilai lokal. Salah satunya adalah sedekah desa di Desa Pakis Kunjang Kabupaten Kediri. Kegiatan yang dilakukan setelah panen dia awal tahun dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2009.
Nyadran, istilah yang sudah tidak asing ditelinga warga Pakis ketika mengadakan selamatan bagi desanya. Adapun arak-arakan tumpeng dibawa ke tempat yang diyakini mampu membawa berkah bagi masing-masing warga. Ada yang dibawa ke punden, rumah kepala dusun serta masjid. “Usai panen raya menurut cerita para orang tua, desa harus membuat syukuran bersama supaya aman dan tentram. Kalau dulu dibawa ke punden Mbah Sinto, namun sekarang tergantung bebas sesuai dengan keyakinan masing-masing terpenting ada yang ujubkan (memimpin doa),” terang Aris Eko Sugiantoro selaku Kasun Njulek.
Budaya ini menurut kepala desa Pakis, Riyanto, memang sudah turun temurun di 4 dusun. Adapun nama dusun antara lain Njulek, Madu, Njasan dan Pakis. Namun hari pelaksanaan sekaligus kemasan model acara tergantung masing-masing dusun. “Konsep awal memang dulunya harus ada seperangkat wayang, sinden, dalang, serta penabuh. Namun karena anggaran untuk mendatangkan hiburan tersebut harus memberatkan masyarakat, maka banyak dusun yang menghilangkan acara tersebut diganti hanya tasyakuran bersama berupa ingkung dan hasil bumi lainnya,” jelas Kades Pakis.
Seperti pagi itu tepat Sabtu Kliwon tanggal 2 Mei, warga Dusun Njulek berduyun-duyun melangkahkan kaki menuju Rumah Kasun Aris. Mulai dari tua, muda sampai anak-anak berkumpul menjadi satu untuk berdoa. Namun sebelum prosesi doa dimulai, terlebih dahulu Mustari yang mempunyai gelar Kajeng Sinuwun (mas Panewu) mengujubkan prosesi sedekah desa dengan menggunakan bahasa kraton jawa tengah. Setelah usai, doa penutup dipimpin oleh Kyai Suwarto sebagai sesepuh kampung. Kemudian barulah pemotongan ingkung bersama digelar. “Niat nyadran sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME atas suksesnya panen raya ditiap tahun. Sebagian besar masyarakat hidupnya memang tergantung pada pertanian khususnya menanam padi. Meski ada usaha lain yakni pembuatan korden. Namun karena saat ini orderan masih sepi masyarakat lebih konsen pada pertanian,” jelas Aris, Kasun Njulek.
Pertandingan Sepak Bola
Sejak beberapa tahun lalu di Dusun Njulek upacara sedekah desa dilaksanakan selain dengan pemotongan ingkung juga digelar pertandingan sepak bola persahabatan antar club. “Untuk tahun ini ada 10 club yang tanding rata-rata berasal dari anggota SRKB (serikat rakyat Kediri berdaulat), dan ada satu club dari DKFC (Dekrit Football Club) Badang Ngoro Jombang yang juga menjadi anggota KRJB (konsoursium rakyat Jombang berdaulat),” terang Supomo selaku panitia.
Bertemunya ke 2 kelompok tersebut, memang telah beberapa kali tidak hanya pada moment bersih desa. Dalam hal ini Abd. Muhaimin selaku promotor DKFC menjelaskan bahwa pertandingan persahabatan amat penting untuk menjalin komunikasi antar club. Bukan kalah dan menang yang menjadi tujuan utama, namun upaya untuk memperluas jaringan itulah yang terpenting.
Pada kegiatan ini, panitia hanya membebankan iuran konsumsi kepada masyarakat. Dan tidak semua orang diminta untuk membuat makanan ringan. Hanya orang-orang yang mampu saja yang dibebani. Sedangkan masyarakat kecil dibebaskan namun jika mereka ingin membantu tentunya panitia mempersilahkan. “Pelaksanaan pertandingan maksimal 10 hari, dan kami tidak memberikan hadiah apa pun. Hanya uang pengganti transport para peserta. Tujuan kami hanya ingin menjalin hubungan persahabatan antar pemuda dan untuk memeriahkan sedekah desa yang lebih menghibur tanpa harus mengeluarkan biaya,” tambahnya. (din-din)
Selengkapnya...
Organisasi Aliansi KRJB MENINGKATKAN EKONOMI ANGGOTA
(Jombang) Selama bulan Mei 2009 ini KRJB (konsorsium rakyat Jombang berdaulat) melakukan dua kali pelatihan pengembangan ekonomi kelompok. Yang pertama adalah pelatihan penetasan telur itik dan kedua adalah pelatihan koperasi. Pelatihan ini diikuti oleh kader kelompok para anggota KRJB untuk memberikan pengetahuan soal itik dan koperasi.
Belajar Penetasan Telur
Di awal bulan Mei 2009, beberapa kelompok yang tergabung menjadi anggota KRJB belajar bersama tentang penetasan telur itik. Pelatihan yang diadakan di aula ICDHRE dipandu langsung oleh Erwantoro, penggerak kelompok pemuda asal Ngori Megaluh Jombang.
Berikut langkah teknik menetaskan telor ayam atau bebek :
1. Harus jeli dalam memilih telur itu jernih dan infertil
Analisa kegagalan : a. telur tidak terbuahi karena rasio jantan dan betina tidak tepat. b. ransum induk kurang memenuhi syarat, c pejantan terlalu tua,
d. perkawinan preferensial, e. pejantan yang steril, f. embrio mati terlalu awal akibat penyimpanan yang terlalu lama.
2. Blood rings (kematian awal dari embrio)
Analisa kegagalan : 1. suhu incubator tidak tepat, 2. fumigasi tidak benar, 3. kekurangan oksigen, 4. pemutaran telur kurang banyak atau telur tidak diputar, 5. penyimpanan telur terlalu lama.
3. Kematian tetasan dalam shell
Analisa kegagalan : 1. suhu incubator tidak tepat, 2. telur tidak dibalik, 3. ransum induk tidak memenuhi syarat, 4. ventilasi tidak cukup, 5. kemungkinan ada penyakit.
4. Telur telah mulai retak (pipping) tapi tidak mau menetas
Analisa kegagalan : 1. kelembaban kurang, 2. kelembaban terlalu tinggi pada tahap awal penetasan, 3. ransum induk tidak memenuhi syarat.
5. Menetas terlalu cepat/lambat dan menempel
Analisa kegagalan : suhu yang terlalu tinggi atau rendah dan kelembaban yang tidak tepat.
6. Hasil tetasan lemah
Analisa kegagalan : suhu terlalu tinggi, atau bibit kurang bagus.
7. Hasil tetasan kecil-kecil
Analisa kegagalan : telur tetas juga kecil-kecil, atau kelembaban kurang.
8. Hasil tetasan yang tidak menentu
Analisa kegagalan : umur telur yang terlalu bervariasi.
9. Bentuk yang tidak normal (malformed)
Analisa kegagalan : suhu tidak tepat, atau pengaturan telur serta pembalikan telur tidak tepat.
Analisa kerusakan Mesin Penetas Otomatis
Pertama : Lampu tidak menyala
Analisa kegagalan : 1. hubungan kabel pada steker, terminal atau micro switch
2. micro switch rusak
Kedua : Mesin mati di tengah-tengah waktu penetasan berlangsung
Analisa kegagalan : micro switch rusak atau terbakar
Ketiga : Lampu menyala terus, tidak mau padam
Analisa kegagalan : micro switch rusak atau kapsul thermostat rusak atau bocor
Beberapa tips dalam membeli mesin penetas telur :
1. Pilihlah mesin penetas telur yang sudah teruji kemampuannya
2. Pilihlah mesin penetas telur yang mempunyai extra pemanas darurat (pemanas yang ganda) sebagai cadangan untuk mengantisipasi apabila sumber energi utama rusak atau mati.
3. Mudah untuk mendapatkan sparepartnya
4. Cek harga di tempat lain, siapa tau dengan kualitas produk sama, tetapi bisa mendapatkannya dengan harga yang lebih murah
5. Membeli mesin penetas telur tidak di tempat yang hanya menjual produk akan tetapi juga menyediakan jasa layanan konsultasi pasca pembelian. Semoga bermanfaat
(sub judul baru)
Pelatihan Koperasi
Pelatihan koperasi tahap V oleh KRJB (konsorsium rakyat Jombang berdaulat), dilakukan pada tanggal 16 Mei 2008 di Kecamatan Kudu Jombang. Pelatihan yang difasilitasi oleh Sunandar, Ida, dan Muhaimin dan dihadiri 3 kelompok membicarakan bagaimana membuat kesepakatan di dalam kelompok serta tata cara pencatatan keuangan.
Pelatihan ini adalah rangkaian terakhir dari program pelatihan koperasi bagi kelompok-kelompok anggota KRJB. Keputusan ini diambil melalui rapat antara Pengurus KRJB dan Komite Pelayanan di aula ICDHRE tiga minggu sebelumnya. Alasannya, masa kerja pengurus yang tinggal 1 (satu) tahun lagi diharapkan bisa menjalankan beberapa kegiatan yang sudah ditetapkan dalam rapat kerja. “Saya berharap kepada komite untuk segera menyelesaikan pelatihan sesuai dengan kebutuhan kelompok. Karena masa kerja tinggal setahun, maka mandat dalam raker yang terdiri 3 program secepatnya harus dievaluasi secara keseluruhan yang menghadirkan seluruh pengurus KRJB, masing-masing korcam serta Tim Komite Pelayanan. Agar beberapa program yang masih dalam proses atau belum terlaksana dapat teridentifikasi,” tegas Su'udi, Ketua KRJB. Meskipun Ketua KRJB tidak memberikan kapan evaluasi tahunan dilakukan dan melibatkan Koordinator Kecamatan, perwakilan kelompok, dan Komite Pelayanan, tapi harus dilakukan untuk mensolidkan lagi anggota dan melihat sejauh mana dampak dari pelatihan koperasi selama ini.
Sebelum pelatihan dimulai, ada sambutan dari Abd. Muhaimin, selaku Sekjen KRJB. “Makna pentingnya berkoperasi memberikan manfaat cukup besar dalam membantu ekonomi keluarga. Berdasarkan pada kebutuhan lebih riil inilah banyak orang tertarik untuk bergabung atau mendirikan koperasi kelompok. Seperti halnya pengadaan beras yang dilakukan oleh kelompok Dekrit'17 desa Badang kecamatan Ngoro. Analisis keuntungannya bisa digambarkan bahwa setiap orang membutuhkan beras setiap hari. Asumsinya jika setiap KK (kepala Keluarga) membutuhkan beras 1 kg X 30 hari, alhasil dapat diketahui tiap KK butuh 30 kg untuk makan,” jelas Cak Doel, sapaan akrab Abd. Muhaimin.
Kalau semua kebutuhan pokok disediakan koperasi maka laba akan dibagi bersama dalam tiap tahun berupa SHU (sisa hasil usaha). Masih menurut Cak Doel, kebutuhan masing-masing orang berbeda ketika hutang uang. Ada yang dipakai untuk menutup kebutuhan ada pula untuk pengembangan usaha. Untuk itu dari pada uang hasil hutang tersebut kemudian dipakai untuk membeli kebutuhan pokok do pedagang umum maka anggota tidak akan memperoleh laba. Kalau bisa kelompok mendirikan koperasi jenis Waserda (warung serba ada) untuk memenuhi kebutuhan kelompok sehingga anggota yang biasa beli ke pedagang umum bisa beralih ke koperasi.
Sementara itu, dari hasil perkenalan kelompok ada beberapa persoalan yang harus segera terjawab. Semisal Koperasi WIKA, Zainul Arifin selaku Ketua mengatakan saat ini anggota berjumlah 268 orang dan sudah pernah melakukan SHU 1 kali di bulan Agustus 2008 namun masih dibagi rata. Simpo (Simpanan Pokok) Rp 10 ribu. Simwa (simpanan Wajib) Rp 1000/bulan. “Awalnya pas deklarasi anggota hanya 100 orang. Respon anggota pertama tertarik karena bunga lebih rendah dari pada KSP (koperasi simpan pinjam) pada umum. Dengan bunga menurun masyarakat lebih tertarik, semisal kalau KSP lain seharusnya 10 bulan baru lunas, namun karena anggota telah melunasi pada bulan ke 3 maka bunga mengikuti 3 bulan tersebut,” jelasnya.
Jenis Koperasi WIKA awalnya adalah Waserda dengan kegiatan usaha simpan pinjam serta usaha anyaman pandan. Namun ditengah jalan kegiatan anyaman terkendala pada pemasaran. Padahal Wika pernah mengirim anggotanya ke Thailand, namun sekarang orderan sepi. “Saat ini yang berjalan hanya simpan pinjam, meski pada permodalan masih kurang hingga banyak anggota yang meminjam tidak bisa terpenuhi semua. Ada beberapa kendala lain yang masih muncul yakni kesadaran anggota untuk mengangsur, seringkali ada 1 sampai 2 orang yang agak lambat setiap tanggal 25. Selain itu peminjaman yang kami utamakan untuk modal usaha, namun kenyataannya sebagian besar anggota meminjam untuk kebutuhan keperluan sehari-hari,”
Kelompok dua yakni Koperasi Rukun Tani, sebagian besar anggota adalah petani, dibentuk pada bulan Desember 2008 dengan jumlah anggota 52 orang. Besaran Simpo Rp 10 ribu dan Simwa Rp 1.000, sedangkan besaran jasa dibagi menjadi dua ada yang 1,5 persen tiap bulan atau jasa musiman yakni 2 persen. Menurut Bambang kesadaran anggota untuk membayar Simpo masih kurang sehingga berdampak pada jumlah modal. “Perputaran modal sangat lambat karena anggota lebih memilih musiman dengan waktu lebih lama. Kini total anggota mencapai 100 orang dengan jumlah modal Rp 4 juta,” katanya.
Kelompok tiga yakni Koperasi KPJR (Koperasi Perempuan Jawara Randuwatang) berdiri sejak bulan April 2008 dengan jumlah anggota 20 orang. Adapun besaran Simpo Rp 10 ribu dan Simwa Rp 1.000. Menurut Ibu Sukemi, selaku ketua, bahwa saat ini modal masih bisa memenuhi kebutuhan anggota. Masing-masing anggota melakukan transaksi peminjaman minimal Rp 100 ribu, sedangkan pinjaman maksimal disesuaikan dengan uang yang terkumpul saat pertemuan. Adapun masalah yang dihadapi oleh pengurus saat ini adalah pada pembukuan atau pencatatan keuangannya.
.
Persoalan ini ditanggapi oleh Ida, bahwa apapun transaksinya anggota harus ditulis di buku kas terlebih dahulu. Tujuannya untuk mempermudah pencatatan selanjutnya. Kalau dalam satu bulan sudah tidak ada transaksi maka ditutup dan harus dicocokkan dengan uang yang di dompet. “Pencatatan tersebut amat bermanfaat pada saat pembagian SHU, karena besarnya SHU dibagi rata itu tidak adil. Dikatakan adil jika sesuai dengan jumlah transaksi yang dilakukan setiap anggota. Kalau pembukuan saat ini belum memakai sistem baku dari Dinas Koperasi, maka mulai sekarang alangkah lebih baiknya dicoba. Contoh prosentase SHU 100 persen itu terdiri: cadangan 15 persen, pengurus 10 persen, anggota 65 persen, kesejahteraan 5 persen, dan pendidikan 5 persen,” terang ida
Berapapun bunga akan kembali ke anggota. Untuk itu jika kelompok ingin memiliki modal yang besar solusinya adalah baik Simpo maupun Simwa harus dinaikkan sesuai kesepakatan dalam rapat tahunan. Karena dengan menaikkan jumlah nominal tersebut akan mendongkrak kenaikkan nominal jumlah pinjaman dan perputaran akan semakin besar.
Pelatihan yang memakan waktu hingga dua jam diakhiri dengan rencana tindak lanjut. Salah satu butir kesepakatannya bahwa Komite Pelayanan agar selalu siap jika sewaktu-waktu kelompok membutuhkan bantuan pengelolaan pembukuan saat ada pertemuan koperasi. (din-din)
Selengkapnya...
Nasib Buruh Masih di Ujung Tanduk
(Jombang-ICDHRE) Situasi politik dan ekonomi Indonesia yang semakin tidak menentu sangat berpengaruh pada nasib para buruh. Reformasi telah berjalan lebih dari 10 tahun, rejim telah berganti 4 kali, tetapi kebijakan di sektor perburuhan justru semakin parah. Ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah dalam perburuhan satu dekade terakhir, misalkan UU 13/2003 dan UU 2/2004. Kondisi buruh di lapangan hari ini sangatlah tidak diuntungkan dengan munculnya beberapa kebijakan pemerintah, terutama legalisasi sistem kerja kontrak dan outsourcing di dalam UU 13/2003.
Situasi ini lebih parah dengan munculnya paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bappenas (badan perencanaan dan pembangunan nasional) mengenai kebijakan Labour Market Flexibillity (fleksibilitas pasar tenaga kerja). Beberapa kebijakan ini akhirnya dijadikan landasan bagi para pengusaha untuk semakin melakukan penindasan terhadap buruh.
Menghadapi krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia dan juga Indonesia, pemerintah justru memunculkan satu paket kebijakan yang tidak berpihak pada buruh. Di antaranya dengan munculnya SKB 4 Menteri yang dikeluarkan pada tahun 2008. Dalam satu pasalnya menyatakan bahwa kenaikan upah buruh tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Dibungkus dengan retorika bahwa ini adalah kebijakan yang akan menyelamatkan ekonomi Indonesia. Arti sesungguhnya dari kebijakan ini adalah memaksa buruh untuk membayar kegagalan sistem kapitalisme yang dianut oleh Indonesia. Krisis ekonomi ini juga dijadikan alasan bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan status kerja kontrak dan membayar upah tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Gubernur di masing-masing daerah.
Contoh kongkrit yang dihadapi oleh Nardi, salah seorang buruh PT. SUB (sejahtera usaha bersama) Jombang atau yang biasa disebut dengan pabrik Plywood, menuturkan bahwa dirinya dan teman-temannya telah bekerja selama 3 tahun. Namun sampai saat ini status kerjanya belum juga berubah menjadi tetap, melainkan kontrak.
PT. SUB adalah Perusahaan yang bergerak di sektor kayu olahan dengan pangsa pasar di Timur Tengah dan mempunyai banyak pabrik di beberapa daerah di provinsi Jawa Timur, di antaranya Madiun dan Banyuwangi. PT. SUB yang ada di Jombang mempekerjakan sekitar 3.000 orang dengan status kontrak dan harian lepas. 200 orang diantaranya telah bekerja selama 3 tahun, namun sampai hari ini buruh PT. SUB Jombang belum juga mendapatkan kesejahteraan dan hak-hak normatif sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan no 13/2003.
Nurul Hakim, aktivis buruh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia yang juga seorang tenaga pengajar di sebuah SMK di Jombang mengatakan bahwasanya buruh harus memperjuangkan nasibnya sendiri karena lembaga yang terkait dengan permasalahan di tingkatan buruh ternyata tidak bisa berbuat banyak. "Nasib buruh menjadi tanggung jawab buruh itu sendiri, kami tidak bisa mengandalkan dinas tenaga kerja karena selama ini toh mereka tidak pernah merasa terusik jika melihat banyaknya buruh mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari perusahaan," ucapnya.
Lelaki berusia 27 tahun ini menambahkan, "bagaimana bisa bagian pengawasan yang ada di dinas terkait tidak melakukan monitoring ke pabrik-pabrik. Padahal tidak hanya di pabrik playwood saja pelanggaran normatif itu terjadi. Kalau memang pengawasnya tidak punya kapasitas untuk melihat dimana saja pelanggaran normatif itu terjadi, monggo datang ke serikat buruh dan kita diskusikan bersama, agar fungsi dari pengawasan itu sendiri bisa berjalan secara maksimal. Jangan hanya menunggu sampai ada sebuah kasus baru bergerak," tegasnya.
"Bagi kaum buruh sendiri ada 3 isu perburuhan yang mendesak, yaitu menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing, kenaikan upah, dan yang ketiga kebebasan berserikat. Persoalan outsourcing dan kerja kontrak merupakan yang utama karena sistem ini menyebabkan upah rendah dan hilangnya hak-hak buruh yang lain seperti uang makan dan lain sebagainya. Maka hanya ada satu kata...Lawan !" ucapnya sembari berteriak. (Nophee)
Selengkapnya...