Jumat, 29 Mei 2009

Mendorong Bangkitnya Komunitas yang Terisolasi

(Kediri, SuaR) Siapa di antara kita yang masih peduli pada momentum Kebangkitan Nasional. Nyaris terlupakan atau bahkan memang sudah terlupakan di tengah-tengah isu politik yang penuh gemerlap. Bertabur kemesraan elit politik yang menikmati jamuan mewah. Kebangkitan tidak lagi mempunyai arti penting di tengah-tengah persiapan pesta (belajar) demokrasi. Sementara, perjuangan hebat meraih kebangkitan yang paling sederhana masih terjadi di komunitas terisolasi, perempuan pekerja seks. Apakah mereka juga masih berhak bangkit untuk berpesta?

Terpuruk dan terlupakan. Begitulah nasib para alit apolitik di komunitas pelacuran terlokalisir. Mereka tidak akan sempat, bahkan tidak akan pernah berfikir tentang perebutan kekuasaan di negeri yang tak kunjung bangkit ini. Keberadaan mereka cukup didata sebagai pelengkap DPS (daftar pemilih sementara) dan DPT (daftar pemilih tetap) yang beberapa waktu lalu seolah-olah dianggap penting oleh bakal calon penguasa di legislatif. Faktanya hal tersebut hanya sebagai alasan untuk mengkambinghitamkan kelemahan KPU. Padahal, kalau ditelusuri lebih lanjut, belum tentu keduanya (caleg dan KPU) bisa menyelesaikan ketimpangan jumlah suara secara tuntas.
Selebihnya, para PS yang terisolasi itu akan dilupakan tanpa jejak. Faktanya, para elit politik tidak lagi memperhatikan keberadaan komunitas ini. Mereka justru semakin disibukkan oleh perhitungan dan strategi koalisi yang nyaman untuk mencari peluang lain memperoleh kekuasaan.
Begitupun di tengah hiruk-pikuk koalisi pejabat pemerintah pusat yang berebut kekuasaan. Ternyata tidak cukup mampu menarik perhatian masyarakat yang tinggal di daerah terisolasi. Komunitas yang mikrodinamis itu lebih memilih berbuat sesuatu yang masih bisa dikerjakan dan bermanfaat bagi diri, keluarga, dan lingkungannya secara nyata.
Kelompok perempuan pekerja seks tidak jauh beda nasibnya seperti negeri ini. Mereka harus survive untuk menghidupi dirinya secara ekonomi disela jeratan hutang kepada rentenir, sosial, psikologi, budaya, politik lokal, tekanan struktural dan sistem lainnya. Sejauh ini, belum ada sentuhan atau dukungan yang dapat menjawab kebutuhan mereka sebagai harapan lebih baik bagi masa depannya. Yang ada hanyalah stimulan-stimulan sesaat yang menjadikannya sebagai obyek sementara tanpa jaminan keberlanjutan yang terus menerus.
Ibarat orang orgasme, selesai lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan sejumlah imbalan disertai janji-janji manis yang lebih pantas disebut harapan semu. Begitulah keadaan negeri ini yang selalu dibesarkan dengan orientasi kapitalisme luar tanpa upaya kemandirian lokal, regional apalagi nasional. Begitu tereksploitasi habis-habisan satu sumber daya hingga berakhir akan merasakan kelelahan sendiri. Sementara sang eksploitator (asing dan koruptor) merasa puas kegirangan. Sesudahnya negeri ini akan bingung mencari pelanggan baru yang siap dengan eksploitasi sumber daya yang lain.

Kebangkitan Dimulai dari Diri Sendiri
Sebagai sesama warga negara ataupun manusia yang masih mempunyai hati nurani, masih ada peluang memperbaiki nasib untuk menjemput masa depan yang lebih cerah. Bangkit! adalah langkah yang harus ditempuh untuk keluar dari keterpurukan, keterasingan, ketersingkiran serta ketertindasan. Pekerja seks sudah waktunya menata dirinya secara politis, taktis maupun kekuatan tawar di hadapan tekanan multi sektor. Meskipun demikian, mereka tidak perlu meyakinkan kepada siapapun bahwa mereka mampu bangkit. Sebab mereka masih menyandang stigma dan terdiskriminasi yang harus dikikis terlebih dahulu.
Kebangkitan pertama dimulai dari diri sendiri bahwa mereka yakin akan mampu dan berhak mempunyai mimpi kehidupan berharga dan setara dengan yang lain. Kebangkitan kedua harus sadar dengan memahami status pekerjaan, memahami faktor resiko pekerjaan, status kesehatan, dan potensi yang setara dengan sesamanya. Pilihan pekerjaan yang bukan pilihan dengan menggunakan organ reproduksi sebagai alat untuk bekerja. Perlu menyadari bahwa organ tersebut haruslah dijaga sebagaimana peralatan bekerja yang selalu siap dalam kondisi baik, sehat. Berbeda dengan piranti kerja yang lain, organ reproduksi sangat rentan terhadap resiko epidemic IMS (infeksi menular seksual) serta HIV dan AIDS. Sehingga komunitas pelacuran berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mengaksesnya.
Kebangkitan ketiga, berani menghadapi dan meningkatkan posisi tawar terhadap kaum patriarkhi. Pekerjaan yang menuntut gonta-ganti pasangan dalam posisi tawar yang lemah membuat pekerja seks semakin rawan jika para pelanggannya tidak mempunyai perilaku bertanggung jawab. Artinya, hampir semua laki-laki hidung belang, pelanggan, tidak mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja. Tanggung jawab moral dan kesehatan bagi pribadi dan keluarga serta tanggung jawab sosial dan kemanusiaan terhadap stigma dan diskriminasi bagi pekerja seks. “Kami sudah berusaha merayu, menjelaskan, dan menunjukkan bahaya HIV dan AIDS kepada semua tamu tapi mereka masih tidak mau memakai kondom,” keluh seorang pekerja seks di sela pelatihan Pendidik Sebaya Lanjutan.
“Mereka merasa tidak enak dan tidak berpenyakit, mas. Padahal kami sudah berusaha sehat dan tidak ingin tertular HIV,” tambah temannya satu ekslokalisasi di Kediri. Terlebih jika mereka, pekerja seks, terinfeksi HIV (ODHA) dapat dipastikan mendapat beban ganda. Beban sebagai pekerja seks dan sebagai ODHA. Begitulah pelanggan yang diharapkan dapat memberikan sedikit keuntungan justru menambah penderitaan.
Kebangkitan keempat, memperjuangkan keberdayaan berpartisipasi penuh dan aktif di lingkungan kerja. Pekerja seks adalah warga yang berhak mendapatkan semua kehidupan dan peran sosialnya di masyarakat, lingkungan pelacuran. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari komunitas masyarakat tersebut yang juga memberikan berbagai kontribusi atau kewajiban yang berlaku di lingkungannya. Justru merekalah yang selama ini menjadi pusat konsentrasi semua aktifitas di pelacuran.
Hirarki, strukur, ekonomi, dan berbagai status banyak diuntungkan oleh pekerja seks. Akan tetapi yang terjadi adalah pekerja seks hanya dijadikan objek yang tak berdaya. Kini saatnya pekerja seks harus tampil menjadi subyek/pelaku yang banyak memainkan peran di komunitasnya sendiri. Kehidupan pekerja seks di pelacuran yang syarat dengan tekanan lingkungan harus mulai dirubah melalui kebangkitan peran partisipasi aktif untuk membangun masa depan bersama.
Untuk itu mereka perlu mengenali situasi, dinamika, nilai, mekanisme, hukum, dan setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, siapapun yang berinteraksi di pelacuran pasti mempunyai kepentingan dan berupaya memperoleh keuntungan dari kehidupan di dalamnya. Lalu, kenapa pekerja seks tidak ambil bagian kepentingan untuk memperoleh keuntungan pula? Bangkitlah.
Kebangkitan kelima, menggalang kebersamaan sesama pekerja seks antar lokasi. Peran yang dapat dilakukan adalah melalui jaringan Pendidik Sebaya/Peer Educator (PE). Mereka perlu membangun komitmen untuk berjejaring melalui komunikasi, pertemuan, kegiatan, dan penguatan bersama guna menggulirkan gerakan yang lebih besar. Semakin besar PE atau pekerja seks yang bersatu/bergabung, semakin besar kekuatan dan peluang untuk bisa bangkit dari ketertindasan dan keterpurukan.

Menggalang Kekuatan dan Solidaritas
Selanjutnya meningkatkan kapasitas melalui penguasaan informasi seputar hak-hak perempuan. Perempuan berhak mendapatkan kesehatannya, perempuan berhak berserikat/berkumpul sebagai organisasi, perempuan berhak mendapatkan pendidikan, perempuan berhak mendapatkan kesejahteraan, perempuan berhak mendapatkan perlindungan hukum, perempuan berhak berpartisipasi secara politik dan masih banyak lagi hak perempuan yang harus diperoleh di lingkungannya.
Aktualisasi dari kesemuanya itu harus dipahami oleh pengelola lingkungan. Jika tidak, sulit akan terjadi komunikasi dan koordinasi untuk saling memenuhi hak dan kewajibannya. Pengelola lingkungan, yang dalam hal ini diperankan oleh stakeholder lokasi, perlu bersinergi dalam membangun kesetaraan yang kemudian bersama melakukan sebuah gerakan komunitas.
Komunitas terisolasi sudah saatnya menempati posisi yang lebih maju dengan kapasitasnya yang telah mengorganisir diri. Jejaring stakeholder antar ekslokalisasi semakin diperkuat. Dengan jejaring pekerja seks antar ekslokalisasi akan semakin memperjelas dan mempertegas arah gerakan mewujudkan kebangkitan dari komunitas terisolasi.
Pekerja seks yang diwakili oleh Pendidik Sebaya/Peer educator (PE) sudah menunjukkan peran dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan positif di komunitas. Khususnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Peran ini didukung penuh oleh stakeholder setempat. Mereka memberikan akses informasi, mobilisasi akses layanan, advokasi, dan sebagai model perubahan perilaku sehat.
Pemahaman bersama tentang hak kesehatan, penguatan kelompok, kerja sama antar PE, keterlibatan mucikari, meski belum belum merata, jejaring Kelompok Kerja Peduli AIDS antar ekslokalisasi Kediri Raya, dan berbagai dukungan peningkatan kapasitas menjadikan komunitas terisolasi ke arah mandiri, berdaya, dan bangkit sebagai masyarakat yang tercerahkan.
Jika ditinjau sebagai sebuah fase atau tahapan. Proses itu masih jauh dari kulminasi kesejahteraan hidup dan kemanusiaan. Kesejahteraan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan moral masih menjadi mimpi panjang yang kebangkitannya harus mereka perjuangkan sampai mereka benar-benar mentas dari statusnya di komunitas terisolasi. Namun demikian, setidaknya mereka telah melakukan sesuatu yang bermakna bagi kemanusiaan dan tidak merugikan elit politik yang saat ini sibuk memikirkan dirinya sendiri.

Penyempurna Kebangkitan
Hal terakhir yang belum disadari secara utuh oleh kelompok terisolasi untuk menyempurnakan makna dan keberhasilan kebangkitan ialah terpenuhinya kesejahteraan rohani. Mereka juga berhak memperoleh layanan pembinaan, pemahaman dan pencerahan religius.
Selama ini kerinduan akan sentuhan illahiyah nyaris terlupakan. Peran tokoh agama yang mempunyai kapasitas membangun mental dan pribadi akan membentuk pertahanan terakhir terhadap perilaku beresiko. Peran ini dirasa belum optimal membina umatnya yang terpinggirkan/terisolasi, mungkin belum menganggap perlu.
Secara tidak langsung hal itu menjadi model laten adanya stigma dan diskriminasi. Begitulah, sekali lagi kelompok terisolasi harus mencari, berjuang, dan bergerak tertatih menggapai kebangkitan di negeri ketika jaman yang telah bangkit dari keterpurukan kolonialisme dan jatuh pada keterpurukan kapitalisme.
Sebenarnya, siapa yang masih peduli mengapresiasi kebangkitan kelompok terisolasi? Siapapun yang masih peduli, mereka tidak akan berhenti dan tetap yakin bahwa mereka sanggup untuk bangkit. Bangkitlah kaum perempuan! (Ijun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar