(Nganjuk-Punden) Bangsa Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang sangat melimpah berupa daratan, laut, dan udara dengan fungsi dan peranannya sebagai sumber kehidupan. Di Kabupaten Nganjuk, sumber daya yang potensial itu salah satunya adalah hutan. Namun tidak banyak yang bisa dilakukan oleh sebagian besar penduduk yang berada disekitarnya, seperti warga Dusun Bangkak Desa Turi Pinggir Kecamatan Lengkong. Semua itu karena keterbatasan sarana sehingga mereka perlu diberdayakan.
Untuk sekedar jalan-jalan keluar desa atau melihat keramaian pasar di kota kecamatan, sulit dilakukan warga di dusun tersebut. Apalagi bagi kaum perempuan. Bukan karena jarak yang jauh atau transportasi yang tidak ada, namun karena kondisi jalan yang sulit dilewati.
Sebenarnya, jarak Desa Pinggir dengan ibukota kecamatan hanya sekitar 5 kilometer. Sarana jalan desa juga bukan tidak ada karena banyak jalur bekas kendaraan pengangkut kayu hasil hutan yang melintasi desa tersebut menuju kota kecamatan. Namun, lagi-lagi kondisinya yang tidak memungkinkan. Apalagi saat musim penghujan.
Untuk masuk Dusun Bangkak, kita harus melewati jalan yang sangat terjal dan licin. Jika hujan turun banyak kubangan air berlumpur. Hampir tidak ada petunjuk jalan untuk mengetahui nama dusun ini. Karena tidak ada pintu gerbang dusun atau sekedar papan nama. Dusun ini sangat terisolir karena lokasi yang berada di dalam kawasan hutan.
Seperti kebanyakan desa-desa di daerah pegunungan, hampir semua penduduk mata pencahariannya sebagai petani dan peternak. Aktifitas ini sebagai penopang hidup menunggu masa panen. Selain itu mereka juga mencari kayu bakar dan daun untuk di jual di pasar.
Meskipun kebanyakan dari mereka adalah petani, namun hanya pada musim penghujan mereka bisa bercocok tanam. Masalahnya, pada musim kemarau di wilayah ini kondisi tanahnya sangat kering dan air menjadi langka. Praktis pada musim kemarau mereka hanya mengandalkan ternak bagi laki-laki dan mencari kayu bakar untuk dijual bagi yang perempuan.
Sumarsono, Kepala Dusun Bangkak mengatakan bahwa, sekarang penduduk sudah mulai bercocok tanam bersamaan dengan datangnya musim hujan. ”Semua area di sini adalah daerah tadah hujan, dan kalau musim kemarau begitu kering. Sungai maupun sumber air tidak ada,” jelasnya. Akan tetapi, menurut Sumarsono, walaupun sudah mulai bisa bercocok tanam hanya komoditi tertentu yang bisa ditanam, seperti jagung, ketela, cabe, dan tanaman sayur lainnya. Hal ini disebabkan intensitas hujan masih rendah.
Air Menjadi Masalah Utama
Tidak seperti daerah pegunungan lainnya yang mempunyai ketinggian DPL (di atas permukaan laut) lebih dari 1.500 m. Sehingga bisa hidup berbagai jenis pohon dan kaya dengan sumber mata air. Banyak aliran sungai dari puncak-puncak bukit yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk di lereng gunung karena tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Di kawasan hutan bagian utara wilayah Kabupaten Nganjuk yang meliputi lima kecamatan yakni Kecamatan Rejoso, Ngluyu, Gondang, Lengkong, dan Jatikalen kondisinya sangat berbeda. Beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bojonegoro ini merupakan kawasan kering dan tandus. Di beberapa titik memang terdapat aliran sungai dan sumber air, akan tetapi tidak cukup untuk kebutuhan pertanian. Bahkan pada musim kemarau mata air disini banyak yang mati. Untuk kebutuhan rumah tanggapun sering kekurangan.
Air menjadi hal yang sangat mahal bagi masyarakat di daerah yang tinggal di tepian hutan Nganjuk. Dari sekian wilayah, Dusun Bangkak Desa Turi Pinggir ini yang kondisinya paling parah. Walaupun sebagian penduduk memiliki sumur gali, hal itu tidak banyak membantu. Jangankan untuk kebutuhan pertanian untuk kebutuhan rumah tangga saja masih kurang.
Mereka Memilih Menjadi Buruh Migran
Penduduk Dusun Bangkak ini kondisinya memang lebih parah dibandingkan dengan desa-desa lain di kawasan hutan Kecamatan Lengkong. Keberadaan dusun yang dikelilingi hutan berada di lembah perbukitan yang sebagian kontur tanahnya tandus. Maka tak heran hal ini berdampak pada mata pencaharian penduduk yang memilih menjadi buruh migran di kota-kota besar.
Sebagai kepala dusun, Sumarsono, 46 tahun, sangat berharap ada perhatian dari pemerintah untuk membantu pengadaan air agar masyarakat bisa bercocok tanam pada musim kemarau. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat bisa meningkat. “Pernah ada petugas PPL dari kecamatan datang dan menjanjikan akan memberikan bantuan mesin pompa air untuk membantu petani di sini. Akan tetapi sampai sekarang tidak ada realisasinya,” keluh Sumarsono. ”Setiap musim kemarau tiba masyarakat sudah mulai meninggalkan sawah dan ladang untuk beralih mencari kayu bakar dan kegiatan ini juga biasa dilakukan kaum perempuan untuk membantu para suami,” tambahnya.
Bagi Masyarakat di wilayah hutan ini, air menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomis, sekaligus magis. Dari air inilah yang dapat memberikan getaran kedamaian sekaligus menjadi goncangan bagi masyarakat. Air telah menjadi persoalan hidup dan mati. Merupakan faktor utama dan menentukan bagi kelangsungan hidup petani dan warga.
Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang terjadi sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Ribuan hektar pohon musnah dilalap api. Kondisi ini juga dialami hutan di wilayah Kabupaten Nganjuk bagian utara. Karena di wilayah ini kebanyakan adalah hutan buatan yang merupakan warisan dari proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) yang penanamannya bersifat monokultur. Sehingga resiko kebakaran semakin tinggi. Kondisi iklim mikro yang kering dengan jenis tanaman yang berkulit tipis, berserasah, dan kering di bawahnya membuat hutan jenis seperti ini sangat rawan bahaya kebakaran.
Akibat dari kebakaran ini tentunya sangat merugikan secara ekologis dan ekonomis. Kebakaran selalu terjadi ketika musim kemarau tiba antara bulan Agustus-September. Angin yang berhembus kencang selalu datang bersamaan dengan musim kemarau semakin membuat parah setiap terjadi kebakaran di wilayah ini. Kusmiadi, warga asal Desa Bangle, seorang petani penggarap lahan milik perhutani mengatakan, ”kebakaran sering terjadi di wilayah sekitar desanya. Penyebab kebakaran ini biasa dilakukan para pencuri kayu untuk meninggalkan jejak. Kalau warga di sini tidak pernah membuka lahan dengan cara membakar hutan,” terangnya.
Sarana Pendidikan Tidak Ada
Tak hanya soal penghidupan yang sulit, di Dusun Bangkak banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, salah satunya tidak adanya sarana pendidikan. Tidak ada satu pun sekolah, bahkan setingkat TK (taman kanak-kanak). Untuk bisa bersekolah harus pergi ke desa sebelah yang jaraknya sangat jauh. Itupun harus dijangkau dengan jalan kaki.
Kebanyakan masyarakat di dusun yang berpenduduk kurang dari 50 KK hanya mengenyam pendidikan SD (sekolah dasar) dan setingkat SMP (sekolah menengah pertama). Tidak seorang wargapun yang mengenyam pendidikan SMU apalagi sampai ke perguruan tinggi.
Memang, menjalani hidup dan menetap di daerah yang jauh dari keramaian dan kebisingan dengan dikelilingi hutan dan pegunungan, dengan fasilitas dan sarana yang kurang memadai bukanlah suatu pilihan. Akan tetapi kesejahteraan ekonomi dan sosial tidak mustahil akan terwujud di daerah yang sebagian orang menganggap ndeso dan tidak modern. Syaratnya tentu apabila dikembangkan dengan baik.
Potret masyarakat seperti Dusun Bangkak Desa Turi Pinggir ini adalah gambaran kecil yang dihadapi oleh kebanyakan masyarakat yang berada di kawasan hutan Nganjuk bagian utara. Dengan kekayaan SDA (sumber daya alam) yang melimpah seharusnya masyarakat di sini bisa sejahtera.
Ke depan, banyak inisiatif warga untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu yang sudah dilakukan adalah berorganisasi dan melakukan kegiatan ekonomi bersama seperti koperasi simpan-pinjam khusus perempuan. Selain itu juga, kelompok ini akan membuat kegiatan produksi rumah tangga dengan memanfaatkan tanaman hasil hutan yang bisa dikonsumsi. (Djali)
Jumat, 29 Mei 2009
Membangkitkan Gairah Usaha Perempuan Pinggir Hutan di Kabupaten Nganjuk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar