Jumat, 29 Mei 2009

Bangkit dan Berjuang Wujudkan Perlindungan TKI di Tulungagung

(Tulungagung-Paricara) Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini jumlah lapangan kerja di dalam negeri sangat tidak sebanding dengan tingginya jumlah angkatan kerja yang tersedia. Akibatnya, pengangguran dan kemiskinan terjadi di mana-mana, termasuk di Kabupaten Tulungagung. Karena itu wajar jika sebagian warga di daerah ini memilih bekerja menjadi TKI (tenaga kerja indonesia) di luar negeri.

Menurut catatan Dinsosnakertrans (Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi) Tulungagung, jumlah TKI per tahun rata-rata 1.000 orang yang tersebar di berbagai negara. Namun, jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar, bahkan angkanya bisa mencapai 10.000-20.000 orang per tahun. Ini karena banyaknya TKI yang bekerja secara ilegal dan berangkat dari daerah lain sehingga sulit dideteksi.
Kiriman uang TKI asal Tulungagung pun cukup fantastis, yakni rata-rata Rp 300 miliar per tahun atau lebih dari 1/3 total APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) Tulungagung tahun 2009 yang jumlahnya sekitar Rp 800 miliar. Kiriman uang itulah yang telah mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat, terutama di daerah-daerah kantong TKI, seperti Kecamatan Kalidawir, Besuki, Pucanglaban, Ngantru dan di kecamatan lainnya.
Sayangnya, meski telah banyak membantu pemerintah namun para pahlawan devisa belum mendapatkan perlindungan yang memadai, baik perlindungan terhadap hak maupun hukum. Buktinya, masih banyak kasus terjadi, seperti penipuan calo, pemalsuan dokumen, penganiayaan oleh majikan, pelanggaran kontrak kerja, diperdagangkan, terdeportasi dan sebagainya.
Pemkab Tulungagung sendiri hingga kini masih enggan membuat kebijakan yang benar-benar melindungi TKI. Khususnya ketika masih berstatus sebagai calon dan setelah kembali ke daerah asal. Tidak ada Perda (Peraturan Daerah), Perbup (Peraturan Bupati) atau peraturan sejenis yang berpihak kepada mereka. Bandingkan dengan Kabupaten Blitar yang kini telah memiliki Perda (Peraturan Daerah) tentang Perlindungan TKI. Fatalnya lagi, dalam APBD Tulungagung tahun 2009 tidak ada satupun program untuk pemberdayaan dan perlindungan TKI.
Kondisi inilah yang membuat 3 kelompok yang sebagian besar anggotanya berlatar belakang TKI (calon, keluarga dan mantan) di Tulungagung merasa prihatin. Mereka adalah Kelompok Sumber Rejeki di Desa Pojok Kecamatan Ngantru, Kelompok Sumber Makmur Desa Tugu Kecamatan Sendang, dan Kelompok Jaya Makmur Desa Selorejo Kecamatan Ngunut.
Ketiga kelompok ini terlecut semangatnya untuk mendesak Pemkab dan DPRD Tulungagung segera menyusun Perda Perlindungan TKI, sebagaimana dilakukan Kabupaten Blitar. Diharapkan Perda akan menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi calon, keluarga, dan mantan-mantan TKI di Tulungagung. Dengan Perda, kasus-kasus yang merugikan TKI diharapkan juga dapat dikurangi.
Namun, menurut 3 kelompok tersebut, peraturan saja tidak cukup. Perda harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas dan alokasi anggaran daerah yang memadai untuk pemenuhan hak-hak dasar bagi calon, keluarga dan mantan-mantan TKI. Semua itu salah satunya bisa dicapai apabila ada gerakan yang kuat dari masyarakat.
Bentuk perjuangan mereka diawali dengan melibatkan diri dalam forum-forum perencanaan penganggaran dan pembangunan mulai tingkat desa hingga kabupaten sejak 2008 lalu. Dalam kesempatan itu mereka mendesakkan sejumlah usulan program untuk pemberdayaan dan perlindungan TKI. Diantaranya pemerintah harus melakukan sosialisasi secara lebih merata kepada masyarakat mengenai prosedur imigrasi yang benar dan aman. Lalu diadakannya pusat-pusat informasi ketenagakerjaan di desa-desa agar masyarakat tidak mudah tertipu.
Sayang sekali perjuangan mereka kandas. Usulan yang mereka ajukan tidak mendapat respon yang memadai dari Pemkab Tulungagung. Sebagian usulan memang sudah masuk Musrenbangkab (musyawarah perencanaan pembangunan kabupaten), namun dalam dokumen perencanaan penganggaran berikutnya, termasuk di RAPBD, usulan tersebut hilang. Meski begitu, mereka tidak patah semangat. Tahun 2009 ini mereka mengajukan lagi usulan-usulan yang belum diterima agar masuk dalam APBD 2010.
Membangun Usaha Bersama
Disamping terlibat dalam perencanaan penganggaran daerah, ketiga kelompok juga aktif melakukan rembuk rutin setiap bulan untuk membahasa berbagai persoalan yang mereka alami, saling tukar informasi dan sesekali berkunjung ke kelompok lain. Disamping mempererat tali silaturrohim, kegiatan ini juga sebagai media sosialisasi perkembangan ide dan gagasan yang selama ini dibangun bersama untuk memperjuangkan nasib calon, keluarga, dan mantan TKI.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan kelompok adalah menuntut pemerintah agar sebagian anggaran daerah dialokasikan kepada keluarga dan mantan-mantan TKI. Anggaran tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan pelatihan maupun peningkatan ketrampilan agar dapat lebih mandiri. Harapannya, uang hasil kerja dari luar negeri dapat dikelola dengan baik untuk membangun usaha ekonomi.
Bagi TKI yang gagal, pemerintah dapat memberikan dukungan berupa pemberian ketrampilan dan modal usaha. Dengan tujuan agar mereka tidak kembali bekerja ke luar negeri dan dapat bekerja secara layak di daerahnya masing-masing. Semua itu akan lebih mudah diwujudkan apabila keluarga dan mantan-mantan TKI bersatu dan membentuk kelompok-kelompok di masyarakat.
Menurut pengakuan Mukini, mantan TKI Malaysia asal Desa Pojok Kecamatan Ngantru, ia merasa gembira dan terbantu setelah bergabung dengan Kelompok Sumber Rejeki yang mayoritas anggotanya adalah mantan TKI. “Tahun lalu saya masih menjadi pekerja di rumah orang lain tapi sekarang saya bisa berkumpul dengan teman-teman dan saya sungguh senang bisa membuat usaha bersama kelompok Sumber Rejeki ini. Sehingga dapat membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga saya,” ungkap Mukini yang mengaku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia selama 2 tahun dan baru kembali ke desanya akhir 2008.
Hal senada dikemukakan Maryami, mantan TKI yang pernah bekerja di Brunei Darussalam selama 2,5 tahun. “Sungguh menyenangkan bisa berkumpul bersama kelompok ini. Sebelum adanya kelompok Sumber Rejeki saya masih bodoh tapi setelah bergabung saya bisa mendapat pengetahuan banyak sekali. Selain dapat pengalaman dengan berkelompok juga dapat membantu mengentaskan ekonomi keluarga saya melalui simpan pinjam,” terangnya.
Sebelumnya keberadaan Kelompok Sumber Rejeki dicibir banyak orang. Namun setelah mengalami perkembangan cukup pesat, banyak warga ingin bergabung menjadi anggotanya. Terlebih hingga sekarang kelompok ini sudah mampu merintis kegiatan simpan pinjam dan usaha bersama ternak kambing. Tak heran jika banyak pihak yang melirik karena anggotanya sudah bisa berdaya sendiri.
Sekarang kelompok perempuan menjadi tempat di mana para mantan TKI berkumpul. Usaha ekonomi masyarakat dibangun dan aspirasi masyarakat disuarakan dalam perencanaan pembangunan. Mestinya Pemkab Tulungagung memberi perhatian yang serius untuk mendorong berkembangnya kelompok-kelompok serupa di masyarakat. Segera membuat Perda Perlindungan TKI dan memberikan alokasi anggaran yang memadai dalam rangka memenuhi hak-hak dasar calon, keluarga, dan mantan TKI. (Lukman-Paricara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar