Jumat, 29 Mei 2009

Buruh Migran Indonesia Cerita dari Negeri Seberang

(Tulungagung-Paricara) Mata Maryulin tampak berkaca-kaca ketika mengingat kembali masa lalunya. Ia masih terbayang kenekatannya 12 tahun silam untuk bekerja ke luar negeri demi mencukupi kebutuhan hidup anak dan orang tuanya yang sudah mulai renta. Keinginannya menjadi TKI (tenaga kerja indonesia) benar-benar tidak terbendung saat anak semata wayangnya, Ika Arisatul Lail, masih berusia 11 bulan.


Maryulin, warga Desa Pojok Kecamatan Ngantru, Tulungagung, yang waktu itu menginjak usia 22 tahun nekat pergi ke luar negeri karena tuntutan kebutuhan ekonomi. Apalagi selama 1 tahun menikah dengan Sugito, ia belum pernah dikirimi nafkah oleh suaminya yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Ketika hendak berangkat, sebenarnya ia tidak diberi ijin oleh kedua orang tuanya. Namun karena terdesak tuntutan ekonomi, pergi ke luar negeripun harus dijalani. Terlebih, tidak ada pekerjaan yang memadai di desanya.
Kemauan Maryulin bekerja sebagai TKI awalnya muncul ketika salah satu temannya yang juga teman dari suaminya datang menawarinya untuk bekerja ke luar negeri. Tawaran diterima. Walau dengan perasaan berat hati, ia terpaksa meninggalkan keluarganya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pilihan Maryulin sudah bulat, dia harus mendapatkan pekerjaan demi menafkahi dan menghidupi keluarganya.
Saat di penampungan, ia ingin bekerja ke Korea. Namun karena pembuatan paspor begitu lama, Maryulin lalu ditawari bos PJTKI-nya untuk bekerja di Brunei Darussalam meski upahnya lebih rendah dibandingkan Korea. ”Daripada lama-lama di penampungan menunggu ketidakjelasan, ya… apa boleh buat.. apa yang sudah jelas saja diterima dan dikerjakan,”gumam Maryulin dalam hati ketika itu.
Tidak lama kemudian Maryulin diberangkatkan tapi sesampainya di Brunei ia mendapat telepon dari pimpinan PJTKI-nya bahwa paspor dari Korea baru datang. ”Yang namanya rejeki datangnya gak bisa disangka-sangka. Ya… terlanjur sudah sampai Brunei masak kembali dan sudah kontrak dengan majikan. Itu tidak boleh karena bisa menyalahi kontrak,” tuturnya mengenang.
Begitu tiba di rumah majikan, ternyata Maryulin mendapat majikan yang tidak sesuai harapan. Wajahnya galak, suka ngomel-ngomel dan membuat Maryulin merasa tidak kerasan. Bahkan kerjanya pun tidak sesuai kontrak. Dalam kontraknya, dia dipekerjakan sebagai penjual bunga. Namun dalam prakteknya juga disuruh bersih-bersih mobil setiap harinya sampai 4 unit. Setelah selesai cuci mobil harus membawa barang dagangannya ke kios penjualan bunga. Setelah pulang, sore hari masih harus mengepaki tanah untuk media tumbuh bunga.
Kendati berat, Maryulin tetap menyimpan perasaannya dalam hati. Demi mendapatkan upah, ia bersedia menjalaninya setiap hari. Maryulin tidak lantas putus asa. Yang ada dalam hatinya hanyalah dapat mengirim uang untuk mencukupi nafkah keluarga yang ditinggalkannya di rumah.
Tapi kesabaran Maryulin akhirnya jebol juga. Setelah 2 tahun tinggal bersama majikan yang cerewet, perasaan tidak kerasan pun mencapai puncaknya. Ia lantas menelpon agensinya untuk minta pindah tempat bekerja yang layak. Agensi pun datang dan bertanya kenapa kok minta pindah? Kemudian maryulin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Sambil menunggu jawaban dari sang agen, tiba-tiba Maryulin mendapat tawaran kerja yang sama, yaitu jualan bunga. Di dekat rumah majikannya yang pertama, ada majikan lagi yang mau menawarinya bekerja. Akhirnya Maryulin memutuskan untuk berhenti bekerja dari majikan pertamanya dan pindah kepada majikan baru yang menawarinya bekerja sebagai penjual bunga. Permintaan Maryulin dikabulkan oleh agensi, sehingga ia pindah majikan.
“Saya pun menemukan majikan seperti yang saya harapkan. Mereka seperti keluarga sendiri, tidak membeda-bedakan mana majikan mana pelayan. Ketika majikan ditanya oleh orang lain saya diaku sebagai adiknya. Ketika makan semua duduk di atas satu meja. Tidak seperti majikan yang pertama yang sikapnya justru sebaliknya. Dan ini yang membuat saya betah dan kerasan hingga 6 tahun dan bisa kirim uang untuk keluarga dengan aman,” tuturnya.

Suka Duka Anak Perantau
Ika Arisatul Lail adalah anak semata wayang pasangan Maryulin dan Sugito yang sejak kecil ditinggal kedua orang tuanya mencari nafkah di negeri seberang. Sang ayah pergi sejak Ika, panggilan akrabnya, masih dalam buaian. Ia lalu ditinggal ibunya sejak berusia 11 bulan dan baru bisa hidup bersama ibunya saat umurnya 11 tahun atau kelas V SD.
Sehari-hari Ika hidup bersama kakek-neneknya dan biasa menjalani hidup apa adanya. Sesekali senang ketika ibunya mengirimkan sebuah surat akan tetapi dia hanya bisa melihat fotonya saja. Kakek-neneknya tidak mengijinkan dia membaca isinya. Namun foto-foto itu sudah bisa menjadi obat rindu kepada kedua orang tuanya.
Ika menjelaskan, orang tuanya pulang setiap 2 tahun sekali, itupun tidak bisa lama karena harus kembali bekerja ke luar negeri. Dalam pertemuan pertamanya, ia merasa takut karena tidak terbiasa dengan orang asing. Walau ia sendiri tahu bahwa mereka adalah kedua orang tuanya. Sehingga perlu waktu untuk bisa kenal dekat dengan mereka.
“Biasanya saya bisa dekat dengannya ketika saya diajak pergi main dan dibelikan makanan ringan, coklat, mainan dan sepeda. Yang paling saya sukai, saya dibelikan CD/DVD film kartun. Kemudian saya diajak main ke pantai, terus muter-muter ke Bendungan Wonorejo, terus ke Pagora Kediri. Karena pada waktu itu saya masih berusia 5 tahun jadi perlu waktu lama untuk bisa berkomunikasi dan akhirnya lama kelamaan saya suka dengan sendirinya kepada mereka berdua,”kenang Ika.
Namun perasaan sedih mulai terasa tidak tertahan ketika Ika mulai menginjak usia sekolah. Saat teman-temannya didampingi kedua orang tuanya, Ika hanya didampingi kakeknya sesekali dengan neneknya. Ditambah lagi kesedihannya ketika akan mengumpulkan raport, ia harus meminta tanda tangan orang tuanya. Karena mereka tidak ada di rumah, tanda tangan hanya bisa diwakili kakeknya. ”Bahkan waktu itu saya sampai nangis tersedu-sedu,” terang Ika dengan mata berkaca-kaca.
Kesedihannya makin bertambah saat lebaran tiba, di mana semua keluarga berkumpul beranjang sana dari rumah satu ke rumah lain. Ketika teman-temanya berjalan bergandengan bersama kedua orang tuanya, Ika hanya bisa melihat kebahagiaan itu tidak ada padanya. Ia hanya di rumah bersama kakek neneknya sesekali diajak keluar pamannya.
Sejak saat itu Ika sadar bahwa kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah karena mencari nafkah di negeri yang jauh. Untuk memenuhi kebutuhannya ia hanya bisa mendoakan semoga mereka berdua mendapat rejeki yang melimpah. Dan ia sendiri harus belajar yang giat untuk mendapatkan prestasi di sekolah agar tidak mengecewakan kedua orang tuanya.
Setelah kelas V SD ibunya pulang kampung. Ketika itu ibunya pulang dikarenakan kakek yang selama ini membesarkannya meninggal dunia. Dan sejak saat itu ibunya tidak pernah kembali bekerja ke luar negeri. Sampai sekarang Ika tak mau lagi ditinggalkan oleh ibunya. (Lukman-Paricara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar